Translate

Welcome Guys

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.

cerpen hujan

Written By iqbal_editing on Rabu, 13 September 2017 | 21.03

Cerpen - Hujan

Sore ini hujan lagi lagi mengguyur, beberapa hari ini tak ada sedikitpun jeda untuk menikmati matahari di sore hari.Secangkir teh yang belum ku sentuh sejak tadi, masih panas. Aku suka hujan, ya suka. Tetes air dari langit, bau tanah yg basah, udara sejuk tentunya. Bermain hujan mampu menyamarkan air mata yang menetes, berteriak keras, meloncat dan bermain air. Semuanya aku suka. Ya walaupun setelah itu terkadang aku harus menderita demam. Tapi tak masalah. Air hujan ini mampu mendinginkan, hati yang sedang panas, otak yang mendidih. Tapi kali ini aku tidak bermain hujan lagi, cukup memandangi air yang menetes dari langit tetes demi tetes. Dulu, kita sering bermain hujan, bersama. Dingin, memang dingin tapi itu mengasyikkan. Apalagi jika bermain denganmu. Aku tertawa mengingat hal tersebut. Kita bertemu tepat di saat bulan pertama musim penghujan. Otomatis saat kita bertemu selalu terkendala hujan. Agak menjengkelkan, tapi aku suka. Karena aku bisa melihatmu. Beberapa musim penghujan telah kita lewati bersama. Tertawa saat hujan, marah saat hujan, jalan2 saat hujan. Itu lucu jika di ingat saat ini. Betapa kekanak-kanakan aku dulu. Masih ingat, sebelum kita benar benar bersama. Aku bersikeras bahwa aku bukan wanita baik, aku adalah wanita jahat. Kamu hanya tertawa, lalu pergi. Besoknya kamu datang lagi. Jawabanku tetap sama, dan kelakuanmu tetap seperti kemarin. Esok harinya lagi, kamu memberikanku sebuah buku, didalamnya terdapat beberapa kata, membuat aku berpikir sejenak. Apa salahnya mencoba, mungkin kamu bisa membuat aku berubah. Dan cerita itu dimulai. Sekarang kamu telah pergi, membiarkan aku menikmati hujan ini sendiri. Dan kamu selalu saja nakal. Membuat aku rindu. Apalagi saat hujan turun. Rinduku selalu berlebih terhadapmu. Tapi bukankah aplikasi rindu yg paling indah adalah doa. Ya, aku berdoa untukmu disini, karena aku rindu padamu. Tangan mungil memelukku dari belakang. "mbah uti, jangan ngelamun terus, sini anin temenin ya" Aku tersenyum, bocah cantik dan manis ini duduk dipangkuanku, menemaniku menikmati hujan sambil berceloteh ria tentang sekolahnya siang tadi. ----------------
21.03 | 0 komentar | Read More

cerpen perahu senja

KENANGAN PERAHU SENJA
Karya Sinta
Ombak berkejaran meraih pantai nyaris menyentuh pesisir. Tiada lelah tiada kesah. Ribut bergemuruh sepanjang hari tanpa henti. Datang lalu pergi dan begitu seterusnya. Tak berlalu pun tak berganti.

Bongkahan kayu menyatu dan terapung berselimutkan langit senja. Senja terindah! Dua onggok kayu beradu dalam air tuk melaju. Menatap fatamorgana nan remang di balik air.
“Tya, kamu beneran mau pindah ke kota?” Tanyaku datar dengan wajah sendu. Rasanya aku tak rela harus kehilangan sahabatku.
“Iya. Besok pagi aku berangkat. Tolong, jangan sedih kayak gitu! Aku kan gak pergi selamanya. Kalo ada waktu luang aku pasti balik karena aku punya sahabat di sini.” Tuturnya sambil tersenyum untuk mencoba menghiburku. Aku melonjak memelukknya dengan erat seakan tidak rela untuk melepaskannya pergi.
Kenangan Perahu Senja
Itulah pelukan terakhir sebelum akhirnya kita berpisah untuk waktu yang lama. Aku akan sangat merindukannya. Merindukan sahabat yang selama ini selalu bersamaku dalam suka maupun duka.
*****

Hari silih berganti hinga merangkai bulan yang terus merajut tahun. Tya tak kunjung datang. Entah apa yang ia lakukan sekarang. Apa dia sedang merindukanku? Atau mungkin merencanakan hari untuk menemuiku?

Kini aku berada di tengah-tengah keramaian kota. Tempat yang ramai dan terasa asing. Mengantarkan saudaraku dengan harapan bisa bertemu dengan Tya.

DUUGGGGG!!!! Sebuah benda jatuh mengenai kepalaku yang sedang menunduk ingin mengambil sesuatu. “Aawww....” Pekikku. Ternyata sebuah makanan kaleng yang jatuh.
“Aduuhhh..., maaf, maafin gue! Gue gak sengaja tadi. Beneran deh. Aduuhhhh....” Ucapnya panik.
“Aku yang sakit kok dia yang aduh-aduh sih?” Pikirku. Aku pun berdiri sambil mengelus bagian kepala yang terkena kaleng itu. Untung saja keadaan di swalayan cukup sepi hingga tidak menjadi pusat perhatian.
“Astaga...!” Kaget sungguh kaget ketika aku melihat perempuan itu adalah Tya, sahabatku. “Tya? Kamu Tya kan? Wah, kamu udah berubah. Tambah cantik aja kamu, Tya.” Selorohku histeris melihat perubahannya yang tampak modern.
“I.., iya gue Tya. Loe siapa? Kok kenal gue?” Tanyanya dengan raut kebingungan.

Duuaaarrrrr! Seperti sambaran petir yang tengah menerjang. Tak menyangka, tak percaya, dan tak diduga. Dalam kurun waktu yang singkat dia melupakanku, sahabatnya. Mungkinkah dia hanya berpura-pura?
“Kok diem? Aduh, masih sakit ya? Sorry deh sorry....”
“Kamu? Kamu beneran gak ingat aku? Aku Lina.” Ujarku lesu. Organku terasa membeku, urat nadi erat menyatu, dan hati begitu pilu.
“Lina? Lina..?? Lina siapa ya?” Tanyanya lagi. Tiba-tiba ponselnya berdering dan ia segera membukanya. “Ya udah, gue pergi dulu. Soal tadi, sekali lagi gue minta maaf. Bye...” Pamitnya dan akhirnya beranjak meninggalkanku begitu saja.

Kamu pergi? Pergi gitu aja? Kamu bener-bener berubah. Kamu bukan Tya yang kukenal dulu. Kehidupan di kota merubahmu sedemikian hingga. Merubahmu menjadi diri yang lain. Diri yang tak mengenalku dan kukenal.
*****

Malam tak bertemankan bulan dan bintang. Hanya berselimutkan awan mendung. Gulita mengingatkan waktu silam yang kini kelam. Siapa yang salah? Tak ada yang salah. Tidak aku, tidak dia, dan tidak juga waktu. Keadaan? Tak ada yang bisa menyalahkan. Kini hanya tinggal kenangan.
“Kamu gak tidur, Lina? Besok pagi kan kamu balik ke kampung.” Tanya Rasty, sepupuku yang telah berdiri di sampingku.
“Aku belum ngantuk. Kamu tidur aja.” Pintaku. “Oh iya, apa suatu hari nanti kamu juga akan berubah seiring berjalannya waktu?” Tanyaku tiba-tiba.

Rasty pun duduk di sebelahku. “Kamu kenapa, Hen? Ada masalah?” Aku menggeleng. Tapi aku yakin dia dapat membaca raut wajahku. “Pasti terjadi sesuatu. Ayo, cerita!”

Aku menarik nafas panjang lalu menghelanya dengan panjang juga. “Tya. Aku tadi ketemu dia. Hanya saja...”
“Hanya saja?”
“Dia bukan Tya yang kukenal dulu. Dia sudah seperti orang lain.” Aku pun terdiam sesaat. “Ah udah lah, maaf ganggu waktumu yang seharusnya sudah tidur.” Ujarku sambil tersenyum kecil.

Rasty menepuk-nepuk lenganku dengan bermaksud untuk menenangkanku. “Segala sesuatu akan berubah kapan saja tanpa terkendali. Mungkin dia bukan yang kamu kenal dulu. Tapi berbanggalah karena kamu tetap dirimu yang dulu yang selalu merindukannya. Gak masalah dia berubah atau nggak, asal satu hal yang kamu tau yaitu kamu gak pernah lupain dia. Bisa jadi suatu hari nanti dia kembali menjadi Tya yang dulu.” Tuturnya panjang lebar dengan bijaksana.
“Aku mengerti.” Jawabku singkat.
“Malam semakin larut untuk menuju pagi. Waktu gak akan berhenti hanya untuk menunggumu merenungkan perubahan. Tidurlah!” ujarnya lalu beranjak. Aku hanya mengiyakan pintanya sebelum akhirnya ia berjalan jauh menuju kamarnya.

Aku hanya belum ngantuk. Aku masih ingin duduk bersama sunyinya malam. Rumah-rumah mewah yang tertutup dan gelap, jalan yang sepi, dan lampu jalan yang remang. Seperti beberapa kalimat dalam sebuah lagi. “Langit selalu gelap. Semua orang akan berpisah. Siapa pun tak akan dapat menemani orang lain selamanya.”
“Ok, gue tunggu besok pagi.” Terdengar perbincangan beberapa gadis di persimpangan.
“Gadis-gadis kota!” Ucapku dalam hati.
“Sip.., bye.” Mobil pun melaju meninggalkan seorang gadis di persimpangan yang jaraknya hanya hitungan meter dari tempatku bersantai.

Gadis itu berjalan nyaris melewatiku, sedang aku sendiri hanya menunduk tidak ambil pusing siapa gadis itu. Hingga dia menghentikan langkahnya dan berjalan mendekatiku. “Loe yang tadi siang itu kan? Siapa nama loe? Sorry, gue lupa.” Sapanya. Aku menengadahkan kepala dan akhirnya aku menyadari jika gadis itu adalah Tya.
“Lina. Namaku Lina.” Ucapku dingin sambil berdiri. “Dalam hitungan bulan kamu sudah lupain aku. Dan dalam hitungan jam kamu lupain namaku. Mungkin setelah ini dalam kurun waktu dekat, kamu benar-benar lupa semuanya.” Ucapku semakin dingin.
“Sewot amat loe. Gue baik-baik nyapa malah jawabnya gitu. Tau gini gue kagak nyapa loe.” Ujarnya kesal. “Ya udah lah gue cabut dulu. Gue malas debat apalagi malam-malam gini.” Lanjutnya kemudian beranjak.
“Kamu bener-bener berubah, Tya.” Selorohku setengah menjerit. Dia pun berhenti dan membalikkan tubuhnya menghadapku. “Aku kecewa. Kamu bukan Tya yang dulu. Aku rindu seorang Tya. Di mana Tya yang dulu? Kenapa kamu biarin dia berubah menjadi orang lain?” Ucapku menahan isak tangis.

Dia belum menjawab melainkan mendekatiku. “Tya yang dulu? Gue gak tau Tya yang dulu. Mungkin dia udah pergi. Dan gue gak kenal ama loe. Loe salah orang.” Tuturnya.
“Aku gak mungkin salah. Kamu Tya dan kamu sahabatku. Kamu kenapa tega lupain aku? Kenapa kamu lupain janji kamu? Tiap senja kita selalu mendayung perahu dan menikmatinya sambil bercanda. Kenapa kamu buang itu semua dari ingatanmu, Tya? Kenapa?” Ujarku menahan tangis sambil mengguncang lengannya berharap dia hanya pura-pura.
“Lepasin!” Sentaknya menepis tanganku. “Ya, gue emang Tya dan Tya yang dulu udah pergi. Dia udah lupain semua kenangan itu. Hidup ini terlalu indah untuk memandang masa lalu. Gak ada waktu mengingat masa lalu karena kita hidup di masa kini. Paham loe?” Amarahnya membuncah.

Aku sadar. Akhirnya aku tau jika dia memang sengaja melupakannya. Dia melupakan semua kenangan yang terajut indah karena hidupnya yang sekarang. Wajar atau kejam kah?
“Anggap kita gak pernah ketemu! Gue udah berubah dan bukan yang dulu loe kenal. Lupain soal kenangan senja atau perahu atau apa pun itu. Selamat malam.” Ujarnya lalu beranjak tanpa ingin mendengar apa yang akan aku katakan.

Gak ada waktu mengingat masa lalu karena kita hidup di masa kini? Kalimat yang memilukan. Ibarat dinding-dinding kerinduan yang terkoyak belati berasa perih. Mulut membisu dan air mata yang berbicara.
“Kamu jahat, Tya! Apa salahku sampe kamu kayak gitu?”
*****

Senja baru yang tidak biasa. Kini hanya aku sendiri bersama sejuknya udara tuk hempaskan rindu yang tak perlu. Senja itu, perahu itu, gemericik air itu, dan lampu remang itu hanyalah sisa-sisa kenangan. Yah, hanya sebait kenangan perahu senja. Tak ada yang berarti lagi.
“Hei, kamu!” Panggil seseorang dari belakang yang menghentikan renunganku. Aku menoleh dan kudapati seorang gadis yang belum pernah terlihat di kampung ini sebelumnya. “Ya, kamu! Kamu ngapain ngelamun sendiri?” Ucapnya seraya berjalan menghampiriku.
“Aku? Emm.., emang kenapa? Kamu siapa?” Tanyaku sambil memerhatikannya mengatur posisi duduk di sebelahku.
“Kenalin nama aku, Andin. Nama kamu siapa?” Tanyanya balik sambil mengulurkan tangannya.
“Namaku Lina.” Jawabku sambil menjabat tangannya. “Kamu warga baru? Aku gak pernah liat kamu sebelumnya.”
Dia menghela nafas. “Kalau gak pernah liat sebelumnya ya berarti aku warga baru. Pake tanya segala. Lagian kamu ngapain sore-sore gini nongkrong sendirian di sini? Gak takut apa kalo napa-napa?” Gerutunya seakan-akan sudah kenal dekat.

Kuamati dia dari ujung rambut sampai ujung kaki dan aku yakin dia anak kota. Mulai dari model rambutnya, pakaiannya, dan wajahnya. “Kamu.., dari kota kan?” Tebakku.
“Kalau iya kenapa, kalau nggak kenapa?” Tanyanya menatapku sambil tersenyum. Aku tidak menjawab. “Mau kota kek, desa kek, kampung kek, pelosok sekalian kek, menurutku sama aja.” Lanjutnya santai. “Eh kayaknya enak kali ya kalau dayung perahu sekarang ini? Pasti tenang dan terasa damai. Gimana menurutmu?” Tanyannya meminta pendapatku sambil tersenyum ceria menatap air pantai menari-nari di bawah senja.
“Kamu mau naik perahu? Aku bisa nemenin kamu. Berada di tengah-tengah sana rasanya indah sekali.” Timpalku lalu menunjuk tengah laut.
“Berdua doang? Kamu berani?” Tanyanya ragu. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum kecil. “Wah.., ayo deh kalo gitu. Oh iya, kamu mau gak jadi sahabatku? Aku baru di sini dan kamu orang pertama yang aku kenal.” Ujarnya menawarkan persahabatan padaku.
“Sahabat? Boleh.” Jawabku singkat.
“Ya udah yuuukkk!” Ajaknya tidak sabar seraya menarik tanganku menuju perahu.

Mungkin inilah maksud dari ucapan pepatah “Ketika seorang sahabat meninggalkanmu, biarlah karena Tuhan akan memberimu yang lebih baik.” Jika demikian hendaknya, maka inilah awal aku merangkai kisah perahu senja yang baru bersama orang baru dan meninggalkan yang telah lalu bersama kenangan senja itu.
PROFIL PENULIS
Nama: Sinta Susanti
TTL: Medan, 14 Maret 2013
Alamat: Desa Siwalan Panji, Jl Kh. Ach. Khozin RT 12 RW 03, Sidoarjo, Jawa Timur.
Hobi: Menari, menyanyi dan menulis.
Cita-cita: Penulis, dan penjelajah.
FB: Sinta Huang
18.31 | 0 komentar | Read More

puisi tandu baginda ratu

Tanah, tawanlah tawar
Biar langit di sana koyak
lalu lihat!
lihatlah! Langit di sini pucat api,
pintu berlapis emas tujuh penjaga; Terbakar
Air menjadi debu hilang sendiri
Sekarang;
Mata cakrawala menjadi airmata di perut bumi.

Sudahkah Tuhan?
Nasib di tanganMu lepas dari pembendaharaan fitrah
Aku tak mengeluh melihat ketentuan;
karena taqdir memiliki rencana yang Engkau tuliskan. Pasti

Kami Manusia lupa Engkau ada; Yang Mengintip.

Malaikat ; jangan hanya duduk di samping Tanah; Ajarkan kami azab Tuhan;
saat;
Langit. Angin berlapis merah awan dalam cawan
sebelum malam ditiduri purnama
Turunlah!
Mentari
Lihat!
Kupukupu menyulam sendiri pakaiannya tanpasutra telanjang membawa mahkota
Madu mengalir di atas susu,
Daun menjadi hijab, antara selaput a'rsy yang bergemuruh lebah jantan.
Manis anggur menawan mata, tertarik-jatuh dari rusuk biji atom muda

Sekarang lihat, lihatlah jutaan mantra yang mengrogoti rahim hawa
Lihat dengan bahasa, semua telah direkayasa sang aqal
Sepertiga dusta, selebihnya rimba raya
Walau di kutuk dengan kata sederhana; harusnya nikmat itu mulia;
Namun sempurna; air hina kembali ketempat hina dengan jalan yang hina.
Hanya duapertiga rahasia; jutaan ternak berebut makan dalam singgasana
Hanya sementara;
Nikmat adalah malapetaka; tandu suci ratu buta.
18.07 | 0 komentar | Read More

ppuisi tandu perjuangan

TANDU PERJUANGAN"

Tandu-tandu bisu berbicara
Tentang perjuangan nusa bangsa
Tentang tubuh kaku di tembus peluru
Dalam sejarah tanah tumpah darah ku

Tandu-tandu bisu berbicara
Tentang perjuangan martabat bangsa
Tentang sepatu serdadu sangar menyerbu
Dalam sejarah Indonesia ku

Tandu-tandu bisu berbicara
Tentang perjuangan generasi bangsa
Tentang pemuda-pemudi hilang kendali
Dalam kontaminasi arus modernisasi

Tandu-tandu bisu berbicara
Tentang perjuangan mengapai cita
Tentang pupusnya semangat juang
Dalam persatuan yang mulai hilang


BANJARMASIN,08/02/2013
PRIMANATA.D
18.04 | 1 komentar | Read More

puisi pengantin tandu

Pengantin Tandu
lulurilah tubuh kami dengan serpihan batu kapurmu
kemenyan dupa bedak hingga ngengat keringat
tak mennyeruak ke balik kelambu pernikahan
tempat kami bersanding mengubur ingkar di kolong ranjang
tempat kami berbagi rahasia antara berbanjar maupun tidur
hingga kesia-sian umur terkubur
araklah harum tubuh kami dalam
iringan tetembuhan-
lengking saronen, lenggang penari, pengantin tandu, hingga
tuntas tangis, runcing bayang tak pernah lekang
lukai tapak pijak kaki. Dan bentangkan,
terbentanglah jalan penuh semak
oleh iringan syahdu doa para pengiring
meski luka-lungkrah harus kami tanggung
lantaran bapak-ibu kami tak pernah rela
biarkan kami saling pandang
mengulum senyum di atas tikar daun lontar
bertukar rahasia tanpa harus ingkar
Tepi Kali Bedog 2010
18.02 | 0 komentar | Read More

cerpen perahu bapak

Written By iqbal_editing on Selasa, 12 September 2017 | 15.57

BUNYI kecipak ombak yang menampar-nampar lambung perahu tidak pernah membangunkanku dari tidur siang sebelumnya. Namun kali ini lain. Suara itu lebih dekat, lebih keras, dan aku terusik untuk mencari tahu. Pelan, kubuka kedua mata yang masih ingin terlelap, sampai akhirnya mendapati sosok Bapak sedang berjongkok di haluan. Badan dan rambutnya kuyup, berkilauan disengat matahari siang. Seekor kakap merah besar menggelepar-gelepar di depannya. Pasti suara ekor ikan yang menghantam geladak itulah yang membangunkanku.
“Selamat ulang tahun, Bujang,” katanya menyapaku.
Aku terdiam sejenak sebab belum paham apa itu ulang tahun. Namun senyum Bapak yang mengembang mengisyaratkan bahwa itu adalah sesuatu yang menyenangkan. Terbukti dengan adanya kakap merah yang merupakan ikan kesukaanku. Bapak bilang, tepat pada hari ini enam tahun yang lalu, aku hadir di dunia. Maka itu sudah selayaknya kami rayakan, walau hanya dengan kakap merah bakar. Tak apalah.
Konsep ulang tahun betul-betul membuatku bingung. Apa itu tahun? Ada di mana aku dulu sebelum hadir di dunia? Dan —yang paling sering kutanyakan— di mana ibu dan rumah kita? Pertanyaan-pertanyaan itu kulancarkan kepada Bapak sehabis santap siang. Awalnya, ia hanya terdiam sambil memandang jauh ke cakrawala. Aku tahu ia sedang berpikir keras untuk menjawab.
“Kau lihat cakalang itu, Bujang?” Bapak menunjuk kawanan ikan cakalang yang berlalu-lalang di dekat perahu kami. “Kalau kau melihat cakalang beramai-ramai berenang ke selatan, itu artinya umur kau bertambah satu tahun.”
Mendengar jawaban Bapak, aku langsung mengangguk, walau muncul pertanyaan baru di kepala: kenapa perilaku ikan bisa menentukan umur manusia? Tetapi buru-buru aku kunci mulut cerewetku begitu melihat Bapak yang tampak bangga setelah mampu memuaskan rasa ingin tahu anak semata wayangnya. Aku tak ingin dia tepekur memandangi lautan lagi.
“Dulu kau tinggal bersama ibumu di surga, Bujang. Di sanalah rumah kita. Sampai suatu hari Dara-laut menjemput kau untuk turun ke dunia, hingga ke perahu ini,” sambung Bapak yang lagi-lagi bersambut anggukan dari anaknya. Bapak memang serba tahu, begitu aku membatin.
Hari beranjak gelap dan kami pun bersiap untuk tidur. Tikar bambu yang sudah kecokelatan tergelar rapi di buritan. Tangan Bapak mengalasi kepalaku, sedangkan kepalanya berbantalkan jala penjaring ikan. Bila langit sedang cerah seperti malam ini, biasanya Bapak akan bercerita tentang susunan bintang-bintang dan nama-nama mereka yang unik. Ini adalah saat yang paling kutunggu.
“Rasi bintang pari,” cetus Bapak.
Telunjuknya menuliskan dua garis yang saling menyilang antara empat bintang cemerlang di langit selatan. Aku terpukau pada kemiripan formasi bintang-bintang itu dengan ikan Pari. Bapak bilang, kalau empat bintang itu sedang benderang, maka ikan-ikan Pari akan keluar dari persembunyiannya di balik karang dan pasir dasar laut untuk mencari pasangan. Menarik bukan buatan. Khayalanku langsung menyelam ke dasar samudera untuk menyaksikan bagaimana tuan dan nyonya pari berjumpa. Namun Bapak belum berhenti di situ.
Ujung jarinya bergerak ke barat, mengacung ke arah sekumpulan bintang yang terlihat acak. “Rasi Pemburu,” katanya lagi.
Aku mengerutkan dahi, mencoba menangkap bentuk si pemburu yang Bapak bilang. Lamat-lamat, ia menampakan dirinya. Seorang lelaki tangguh sedang mengangkat perisai dan menghunus pedang. Gagah bukan main. Mataku tak berkedip memandangnya. Lekas saja aku berfantasi menjadi pemburu gagah berani yang sedang bertarung dengan Macan Kumbang. Alangkah perkasanya diriku di sana.
Sayangnya, tak berapa lama kemudian, awan kelabu mulai menyelimuti. Seperti tirai yang menyudahi pentas di panggung langit. Bapak juga sudah mendengkur di sebelahku, pertanda cerita malam ini telah berakhir. Meninggalkan aku yang masih terjaga memandangi arakan awan dengan senyum masih mengembang di wajah. Ternyata bahagia itu sederhana. Aku hanya butuh Bapak, langit dan samudera. Itu saja.
Cahaya mentari pagi lembut menyapa wajahku yang masih mengantuk. Seperti biasa, begitu mata terbuka aku langsung mencari sosok Bapak di atas perahu. Akan tetapi dia tak kutemukan kali ini. Panik, aku langsung bangkit berdiri mencari Bapak. Setelah mataku berhasil menyesuaikan diri dengan terang, aku mendapati hamparan pasir dan deretan pohon kelapa terbentang di hadapan. Ternyata kami terdampar di sebuah pulau, entah pulau apa ini. Sepertinya hampir tak berpenghuni. Kukatakan “hampir” karena di bibir pantai aku melihat Bapak sedang bercakap-cakap dengan seseorang. Mungkin dia satu-satunya penduduk pulau ini. Lawan bicara Bapak itu berbadan gemuk dan kulitnya cokelat kusam. Kepalanya tidak seperti kepala manusia pada umumnya, tidak seperti kepalaku dan Bapak. Jungurnya yang panjang ditenggeri beberapa helai kumis yang tak kalah panjangnya. Mirip moncong binatang. Telinganya pun lebar-lebar. Aku penasaran. Apa yang Bapak bicarakan dengan orang itu? Tak berapa lama, orang asing itu menoleh ke arahku. Sontak ada rasa tak suka yang tumbuh di dada. Tak tahu mengapa.
Aku baru paham kalau orang itu hendak ikut naik ke perahu kami setelah ia dan Bapak berjalan mendekat. Dari dekat, aku makin tak menyukai orang itu. Lirikan matanya yang mencoba ramah seperti sedang berpura-pura. Buru-buru aku merapat ke arah Bapak, memeluk kakinya erat-erat.
“Tak usah takut, Bujang. Abang ini cuma mau menumpang sampai pulau seberang.” Begitu Bapak menenangkanku. Namun tetap saja aku tak melepaskan pelukan, malah semakin kencang aku merangkul kaki Bapak. Bola mataku mengawasi lekat lelaki aneh itu. Aku tahu ada sesuatu yang tak beres dengannya. Mengapa Bapak tidak curiga?
Kami menunggu malam turun untuk berangkat. Waktu seharian itu Bapak pakai untuk memanen buah kelapa segar dan mengangkutnya ke perahu. Sedangkan aku sibuk mengumpulkan berbagai macam cangkang kerang dengan motif warna-warni di pesisir pantai. Sepanjang hari pula, orang asing yang hendak ikut perahu kami hanya bersantai-santai di bawah pohon kelapa. Sesekali kulihat ia mengawasi keberadaan Bapak dan aku. Namun tak terlalu kuacuhkan.
Malamnya, tak butuh waktu lama bagi perahu kami untuk kembali mencapai tengah lautan begitu layarnya mengembang. Angin darat yang bertiup cukup kencang sangat membantu kelancaran pelayaran kami. Orang berkepala janggal itu duduk di dekat kemudi sambil menyulut lintingan daun enau dan menghisapnya dalam-dalam. Matanya mengawasi Bapak yang sedang menyiapkan pukat dari antara kepulan asap tembakau. Dia tak berbicara sepatah kata pun semenjak naik ke perahu.
Rupanya laut sedang bermurah hati pada Bapak malam itu. Dalam tempo singkat, jaring jalanya sudah terisi oleh berbagai macam jenis ikan. Kakap, kembung, cakalang, kuwe melimpah ruah di geladak.
“Ini hari baik, Bujang,” kata Bapak singkat.
Ya, hanya dengan kalimat sependek itu aku langsung tahu betapa girangnya hati Bapak. Hasil penjualan panenan kelapa dan berkilo-kilo ikan segar pastilah cukup untuk bekal kami melanjutkan petualangan ke pulau-pulau lain. Melihat tempat-tempat baru sampai ke ujung dunia. Itulah janji Bapak kepadaku dulu. Malam itu aku tidur pulas, tak sabar menunggu pagi. Malang, ternyata nasib bermaksud lain. Begitu fajar merekah, aku merasa ada sesuatu yang janggal.
Perahu kami telah bersandar dan terikat pada sebuah tonggak tambatan. Barisan pohon kelapa lagi-lagi menjadi hal pertama yang kulihat. Geladak yang semalam penuh sesak dengan keranjang ikan dan buah kelapa sekarang kosong. Orang asing yang menumpang perahu kami pun tak tahu kemana rimbanya. Menyisakan aku dan Bapak yang masih tertidur nyenyak.
Lekas aku menggoyang-goyangkan tubuh Bapak agar ia terbangun. Namun ia tidur terlalu dalam. Sangat dalam sampai-sampai tak tahu kalau ia telah ditipu mentah-mentah.
Bapak akhirnya terbangun setelah aku berteriak di dekat telinganya. Secepat kilat ia berdiri dan melihat ke sekeliling. Keranjang-keranjang penuh ikan hasil tangkapan semalam telah lenyap, dan ia segera sadar apa yang telah menimpanya. Air mukanya berubah murung dirundung mendung.
Aku memeluk pundak Bapak yang sekarang duduk tercenung. Pastilah memikirkan bagaimana kami bisa melanjutkan perjalanan tanpa bekal. Bapak adalah orang yang selalu melihat sisi terbaik dari kehidupan, dari manusia-manusia yang ia temui sehari-hari. Tak peduli seburuk apa pun penampilan dan riwayat manusia itu. Sayangnya, sifat Bapak membuatnya jadi sasaran empuk para penipu.
Perlahan, ia menoleh ke arahku. Ada ketenangan yang mendamaikan di sorot matanya. Bapak kemudian mengusap-usap rambutku sambil berkata, “Perkara kita menolong orang yang kesusahan adalah urusan kita dan Tuhan. Perkara orang mencuri juga urusan pencuri itu dengan Tuhan. Manusia hanya menjatuhkan pilihan. Tuhanlah yang membuat penilaian. Kau harus ingat itu, Bujang.”
Lalu ia berdiri, mendayung perahu kami ke lautan lepas dan kembali menebarkan pukatnya ke air.
ROMBONGAN cakalang sudah berkali-kali hilir-mudik ke perairan selatan. Kalau hitunganku benar, sudah lima belas kali mereka migrasi, artinya umurku juga memiliki jumlah tahun yang sama.
Namun hidup tak banyak berubah. Cuma ada aku, Bapak dan laut yang membentang. Tiga hal yang masih menjadi kunci kebahagiaanku. Kami telah jauh merantau. Berbagai macam perairan telah kami lewati. Berpuluh-puluh teluk dan semenanjung telah kami sisir. Serta beratus-ratus pulau telah kami singgahi. Bapak telah menua. Uban dan guratan keriput telah menguasai kepala dan wajahnya. Alih-alih bertambah lemah, fisiknya malah masih belum mampu dikalahkan usia. Otot-otot di lengannya masih liat. Dan ia masih mampu berlama-lama menahan napas di air saat berenang. Bagiku, Bapak masih sama seperti dulu.
Aku pun telah tumbuh dewasa. Bapak telah banyak memberiku tugas yang biasanya hanya boleh aku tonton. Seperti menaikkan layar, melemparkan pukat ke air, memanjat pohon kelapa, bernegosiasi dengan juragan ikan di pasar dan tugas-tugas lainnya. Tetapi tugas yang paling kusukai adalah mengemudikan perahu, seperti yang kulakukan hari ini.
“Jangan melawan ombak, Bujang. Ikuti saja ke mana angin bertiup.” Bapak yang duduk di haluan memberikan arahan. Berlayar mengikuti arah angin memang menyenangkan. Perahu kami meluncur dengan kecepatan tinggi tanpa hambatan. Dengan angin seperti ini, seharusnya kami mampu mencapai perairan utara sebelum malam tiba. Sayang, manusia hanya bisa berharap. Angin kencang yang tadi menemani kami perlahan menghilang, dan perahu kami pun melambat.
Samar, aku menangkap sebuah garis hitam mengambang di kaki langit sebelah timur. Pastilah itu daratan. Kulihat Bapak pun sedang menimbang-nimbang untuk mengarahkan perahu ke sana. Tubuhnya naik-turun, berdenyut bersama perahu yang dimanja riak samudera. Bayangan di ufuk terlihat seperti kawanan pulau-pulau tak berpenghuni. Kecil kemungkinan kami bisa berdagang di sana. Lagi pula hari masih siang dan belum waktunya kami merapat ke daratan. Namun Bapak akhirnya menyuruhku membelokkan kemudi ke timur. Jika saja udara tidak pengap seperti sekarang dan angin tiba-tiba menghilang —pertanda badai akan datang— bisa kupastikan Bapak takkan memilih untuk berlabuh di kepulauan itu.
Gugusan pulau kecil itu membujur dari utara ke tenggara. Pasirnya masih putih bersih seperti belum tersentuh peradaban. Batu-batu apung yang tak kalah putihnya bertebaran di sepanjang pantai. Dan deretan pepohonan hijau yang rimbun berkerumun di kedalamannya. Perairan dangkal di sekitarnya pun sangat jernih, bening layaknya kaca. Aku bisa melihat ikan-ikan cantik yang berwarna-warni sedang bermain di balik bunga koral yang tak kalah menawan. Beberapa ekor cumi-cumi dan kuda laut pun tertangkap mata sedang asyik bercumbu dengan terumbu karang. Pulau-pulau kecil ini seperti surga, indah tak terperikan.
Perahu kami mengambang pelan menyusuri selat-selat kecil yang terbentuk di antara masing-masing pulau. Beruntung laut sedang pasang hingga kami bisa mengayuh dengan lancar. Kedalaman air yang agak dangkal memang hanya memungkinkan perahu kecil untuk menjelajah hingga pulau terdalam. Bahkan mungkin kami adalah manusia pertama yang menemukan nirwana ini. Kulihat Bapak menebarkan pandangan ke segala arah untuk mencari petunjuk kehidupan. Sejauh ini yang kudapati hanya koloni camar dan bermacam-macam serangga yang beterbangan dari daun ke daun. Rantai makanan terpendek yang pernah kutahu. Sampai akhirnya kami mendengar bunyi gemeresak di kanan-kiri.
Sosok-sosok berambut hitam panjang mulai bermunculan dari balik bayang-bayang pohon. Menyeruak di antara cabang-cabang ketapang dan cemara laut. Walaupun awan mendung sudah dekat, namun kami masih bisa melihat mereka dengan jelas. Penunggu pulau-pulau ini adalah para perempuan. Tua, muda, hingga anak-anak perempuan berjejer di bibir pantai, memperhatikan dua orang asing yang tanpa permisi memasuki teritorial rumah mereka.
Napasku tercekat. Gerakan Bapak pun melambat, seolah ada sesuatu yang menahannya di tempat. Hanya bola mata kami yang berputar-putar dalam rongganya, berusaha menangkap sinyal-sinyal bahaya yang mungkin sedang mengintai. Namun sejauh ini, tak kulihat adanya ancaman. Kenapa hanya ada perempuan di sini? Ke mana para lelakinya? Suami-suami mereka? Serbuan pertanyaanku akhirnya menguap tak terjawab.
Kaum hawa penghuni pulau-pulau ini pastilah belum pernah menemui orang asing sebelumnya. Terlihat jelas di sorot mata mereka yang polos sekaligus menyelidik. Kebanyakan dari mereka pun telanjang tanpa mengenakan apa-apa dari ujung kepala sampai ujung kaki. Aku menelan ludah. Ini adalah pertama kalinya aku melihat wanita tampil tanpa penutup badan sehelai pun. Menyadari hal yang sama, Bapak langsung melemparkan sarungnya ke arahku. Matanya mendelik, menyuruhku meringkuk di balik terpal yang menutupi bagian buritan perahu. Ia tak mau sesuatu mengejang di balik celana si bujang, dan aku menurut.
Masih dengan perlahan dan dengan gerakan yang teratur, Bapak mendayung perahu kami terus masuk ke pulau terdalam. Setelah air menjadi tenang dan deburan ombak tak terdengar lagi, barulah Bapak memanggilku keluar dari buritan. Sekarang di sekeliling kami hanya ada batu-batu karang. Tak kulihat lagi perempuan-perempuan penasaran yang tadi menyambut kami. Aku lantas mengambil tangkai dayung yang lain dan ikut mengayuh bersama Bapak.
Jika pengamatanku tepat, maka pulau-pulau kecil tadi fungsinya hanya sebagai pelindung pulau terbesar yang ada di tengahnya, pulau yang sekarang ada di depan mataku. Barisan bakau menyesaki sisi sebelah baratnya, membuat kami harus sedikit berputar untuk mencari pantai yang agak landai buat perahu kami bersandar.
Ketika kami berputar menyusuri tebing selatan, tiba-tiba aku melihat sesuatu yang berkilau di balik tebing sana. Bapak yang ikut penasaran mulai mempercepat kayuhannya, begitu juga aku. Lambat laun, tebing-tebing karang curam yang menutupi pandangan kami mulai menyingkir, dan sesuatu yang berkilauan di bibir pantai itu sontak membuat aku dan Bapak terkesiap.
Gundukan emas dan batu permata yang melimpah ruah terhampar di atas lusinan peti-peti kayu. Aku dan Bapak terpukau melihat kilauan logam mulia dan segala macam perhiasan yang menyilaukan. Zamrud, safir, mutiara, berlian, emas koin dan batangan teronggok tak terjaga. Lama kami memandangi harta karun itu tanpa berkedip. Tanpa berkata-kata. Barulah setelah lambung perahu menyentuh pasir yang dangkal, aku melompat turun, hendak mendekati kekayaan tak bertuan itu.
Bapak terlihat masih ragu dan memandang ke sekeliling. Kehati-hatian Bapak sekonyong-konyong membuatku bimbang untuk melangkah lebih jauh. Takut kalau-kalau ada pemiliknya yang sedang bersembunyi di balik pepohonan, menunggu makhluk-makhluk tamak yang ingin mengambil hartanya masuk perangkap, walau sejauh ini aku tak melihat siapa pun. Biarpun begitu, tetap saja Bapak tak mau menapakkan kaki ke pulau ini.
“Kembali ke sini Bujang! Kita angkat sauh,” perintah Bapak.
Perhatian yang masih terpecah antara Bapak dan tumpukan harta karun di depan mata membuatku terlambat mencerna perintahnya. Apa aku tak salah dengar? Bapak mau pergi dari tempat ini tanpa membawa emas permata sedikit pun?
Aku mendapatkan jawabannya begitu melihat lagi wajah Bapak. Bola matanya bulat hitam, menandakan ia tak main-main dengan perkataannya. Namun aku masih tak mengerti. Dengan segenggam emas ini, hidup kami akan jauh lebih mudah. Bapak tak perlu bersusah-susah menjala ikan atau memanjat pohon kelapa hanya demi memenuhi kebutuhan kami. Bahkan kami bisa membeli perahu baru untuk mengganti perahu kami yang lapuk. Kenapa Bapak malah mau pergi dari sini tanpa membawa apa pun?
Bapak sudah mulai memutar perahu untuk kembali menyusuri selat tempat kami datang. Sementara aku masih saja mendebat perintahnya yang tidak masuk logika itu. Hanya orang bodoh yang meninggalkan harta karun tak terjaga dan pergi begitu saja. Apa yang Bapak pikirkan? Segala macam alasan dan sanggahan aku utarakan pada Bapak. Namun ia tak bergeming dan tetap mengayuh perahunya dalam diam. Sedangkan aku hanya bisa memendam kesal melihat kilauan emas dan batu mulia kembali menghilang di balik tebing.
Sepanjang perjalanan menuju ke lautan lepas, aku dan Bapak tak saling bicara. Ia mendayung perahu sendirian di buritan dan aku masih meratapi keberuntungan yang hilang dari genggaman. Emosi yang memuncak membuatku tak acuh pada para perempuan telanjang yang tadi menyambut kami. Hanya segelintir dari mereka yang masih berdiri di antara semak belukar.
“Samudera adalah hidup, dan daratan hanya godaan. Kau harus ingat itu, Bujang,” kata Bapak tiba-tiba. Aku tak menggubris ucapannya. Hati ini masih terlalu marah dan kecewa untuk menafsirkan maksud dari kata-katanya. Memasuki perairan lepas, Bapak mulai menaikkan layar dan perahu kami melaju ke arah pilar-pilar awan yang semakin hitam.
Selama belasan tahun hidup mengarungi lautan, aku dan Bapak telah mengalami berpuluh-puluh badai, dari yang kecil hingga yang dahsyat seperti ini. Pilihan pertama bagi para pelaut jika menghadapi badai adalah segera mencari daratan untuk bersandar sambil menunggu angin kencang reda. Akan tetapi keputusan Bapak sudah bulat. Ia tak mau berlama-lama tinggal di kepulauan tadi. Baginya, menghadapi badai di laut masih lebih baik dibanding menghadapi godaan di darat.
Gelombang setinggi rumah mulai bermunculan, sambung-menyambung menghempaskan perahu kami ke udara. Aku langsung membantu Bapak untuk menurunkan layar agar perahu kami tidak dihempaskan angin. Yang bisa kami lakukan sekarang hanya membiarkan diri terombang-ambing ombak sambil berharap badai segera berakhir. Harapan yang masih jauh dari kenyataan melihat awan semakin gelap dan hujan bertambah deras. Amukan badai pun semakin berkobar-kobar diselingi petir yang menyalak. Tak kulihat lagi daratan yang tadi begitu dekat. Kami dikepung riak air dan gelombang yang meradang.
Sebuah suara keras mengagetkan aku dan Bapak. Seperti bunyi kayu berderak. Dan dalam hitungan detik air mulai membanjiri geladak. Ternyata ada batang kayu sebesar tiang layar yang menghantam lambung perahu, membuatnya limbung. Tanpa banyak berpikir, Bapak langsung mengambil palu dan beberapa pilah kayu untuk menambal kebocoran. Sementara aku mengambil beledi dan membuang air yang berhasil menyusup masuk dari lubang itu. Sialnya, tak peduli seberapa banyak air yang kubuang, air yang menggenangi perahu tetap makin banyak. Belum lagi ditambah guyuran hujan yang tak reda-reda.
Di sela-sela kepanikan kami berdua, tanpa sadar sebuah gelombang setinggi rumah dua lantai mulai menggunung, menderu menuju arah kami. Beberapa meter sebelum menghantam perahu, ia pecah dan bergalon-galon air menghujani perahu. Aku yang tak siap langsung terlempar ke buritan. Kepalaku membentur tangkai kemudi. Sakit yang luar biasa langsung menyerbu, bertubi-tubi sampai kesadaranku hilang. Kegelapan yang pekat segera menyelimuti, dan aku tak ingat apa-apa lagi.
Aku terbangun dengan kepala yang berdarah. Pusing yang luar biasa langsung menyergap begitu mata terbuka. Tertatih-tatih, aku mencoba berdiri melihat ke sekeliling. Laut sudah tenang. Gelap malam meluruh sejauh pandang. Tak ada bekas amukan badai sama sekali di sana. Beda dengan keadaan perahu yang carut-marut. Air masih menggenang di geladak, namun hanya semata kaki. Lubang akibat benturan dengan batang pohon tadi rupanya sudah cukup tertutup, membuat keadaan perahu jadi setimbang. Hanya ada satu keanehan. Aku tak melihat Bapak di mana-mana.
Spontan, aku berteriak sekencang-kencangnya ke segala arah, memanggil-manggil Bapak. Kepalaku kembali berdentam-dentam seiring denyut jantung yang terpacu. Namun tak ada jawaban ataupun tanda keberadaannya. Gelombang besar yang menghempaskanku tadi pasti juga ikut menghempaskan Bapak ke air. Dan aku tak bisa menolongnya. Bapak telah hilang ditelan samudera.
Menyadari itu, air mata langsung meleleh tanpa henti beriringan dengan ratapanku. Aku terhuyung dan jatuh terduduk di atas geladak. Penyesalan akan pertengkaranku dan Bapak siang tadi langsung datang menghantui. Satu-satunya orang yang kusayangi telah pergi dan aku tak sempat mengucapkan selamat tinggal, mengucapkan maaf. Sekarang hanya ada aku dan samudera. Aku tak akan pernah bahagia lagi.
Rasi bintang pari bersinar terang di selatan, mengantar kenanganku kembali datang. Dadaku sesak mengingat bagaimana sayangnya Bapak padaku, anak semata wayangnya. Kami telah menjelajahi banyak lautan dan samudera. Melihat segala macam keunikan dunia dari ujung barat sampai ujung timur. Sekarang, aku tak tahu harus ke mana.
Emosi yang hanya bisa tersalurkan lewat ratap tangis membuatku lelah dan tertidur pulas. Sampai suara berisik di haluan membangunkanku keesokan paginya.
Aku mendapati empat ekor dara-laut berketak-ketuk di atas kayu ketika membuka mata. Mereka membawa sesuatu, sebuah keranjang rotan yang dilapisi kain putih dengan corak kotak-kotak. Tak lama setelah aku mencoba duduk, mereka lantas terbang satu persatu, meninggalkan perahu dan keranjang itu. Dari tempatku berbaring, aku bisa melihat ada tangan mungil yang bergerak-gerak di dalam keranjang. Tangan seorang anak manusia. Terkejut, aku lekas berdiri dan menemukan seorang bayi laki-laki dengan warna mata sebiru lautan menatapku dari peraduannya. Bibirnya yang kecil terbuka, tertawa selebar-lebarnya begitu melihatku. Aku mematung karena tak percaya pada apa yang kulihat. Kenangan akan Bapak mulai muncul lagi. Kata-katanya yang menemaniku tumbuh besar kuputar lagi di kepala. Lalu tanpa sadar, mulutku membuka, menyebutkan satu kata yang selalu terucap dari mulut Bapak.
“Bujang?”
Cerpen Karangan: Dan Iswanda
15.57 | 0 komentar | Read More

CERPEN PERAHU KERTAS

Sudah lama gadis cantik yang bernama Syakyla itu memendam perasaannya, bahkan sudah sejak kelas 1 SD. Awalnya bermula dari kesal.
“Eh, kamu kalau gak bisa naik perosotan tinggi enggak usah naik aja!” seruan seseorang. Syakyla mengerutkan dahinya kesal. Apaan sih, ini orang… anak kelas 1 SD aja digituin, gerutunya dalam hati.
Sahabat Syakyla yang merupakan kakak kelasnya, Yasmin bercerita pada Syakyla.
“Aku punya temen baru. Banyak lho yang laki-laki… ada yang namanya…” “Namanya siapa?” Syakyla penasaran. “Rivan” Yasmin tersenyum. “Cuman dia doang? Terus yang lain?” “Ya… banyak sih ada yang namanya Dihkan, Deyon, Darrell… banyak lah…”
Pada saat pulang, Syakyla duduk di bangku taman sekolah. tiba-tiba saja kakak kelasnya yang bernama rivan itu melihat Syakyla. “Kamu siapa sih? Syakyla ya?” tanya Rivan. “Iya” jawab Syakyla santai.
Dia mengajak Syakyla ngobrol dan … sejak itu Syakyla selalu jadi dag-dig-dug. Setiap hari… dan dibayang-bayangi terus.
Ia dan rivan memang sangat dekat. sayangnya, pada saat Syakyla naik kelas muncullah seseorang bernama Diandra.
“Eh… tahu enggak, sebenarnya…” Diandra tersenyum malu-malu. Dia mengajak Syakyla mengobrol di kantin pada saat itu. “Aku suka sama…” Ia merendahkan suaranya. “Rivan.”
Syakyla terkejut. Dia menjatuhkan gelasnya seketika.
“Lho, kenapa Sya?” Diandra kaget. “Ah… eng… enggak apa-apa kok…” jawab Syakyla. Dia berusaha menutupi rasa kesalnya di balik senyum tersopannya.
Dan pada saat SMP, ternyata sekolah mereka sama lagi. Pada saat siang itu SMS melayang ke HP Syakyla. Dia jadi geer, dikiranya itu sms dari Rivan padahal ternyata dari… Diandra.
Smsnya sangat mebuat Syakyla merasa sedih.
SYA.. AKU PUNYA KABAR GEMBIRA, TADI RIVAN BARU AJA NEMBAK AKU.
Syakyla membanting HPnya saking kaget dan sakit hati. Pantas saja Rivan ga pernah SMS dia lagi, ga pernah telepon dan ajak ngobrol dia lagi. Orang Syakyla menyapanya aja dia enggak jawab, matanya terus saja menerawang… kayak membayangkan seseorang.
Olala… inikah rasanya jatuh hati? pikir Syakyla.
Beberapa hari kemudian Syakyla tetap saja berusaha melupakan orang itu akan tetapi tak semudah yang dia pikirkan. Suatu hari.
“Sya, kita pulang bareng ya!” ajak Diandra. Dia sangat senang. katanya di ajak makan sama rivan.
Syakyla dan Diandra berjalan. Walau Syakyla merasa hatiinya sangaaat sakit. akan tetapi dia tetap bersama Diandra.
Namun apa yang terjadi? Tiba-tiba saja… PLEK. Diandra terjatuh dan pingsan. “TOLOOONG… TOLOOONG!” jerit Syakyla. Semuanya langsung berlari ke arah Syakyla dan menggotong Diandra.
Diandra dilarikan ke rumah sakit terdekat. kedua orangtua Diandra juga datang.
Bahkan kedua orangtua Syakyla ikut menjenguk. dan… ada dia. Dia tampak sangat cemas dan walaupun Syakyla juga sangat mengkhawatirkan Diandra, tetapi tetap saja … sakit sekali rasanya.
“Dia membutuhkan donor hati!” seru Dokter Aliza. Syakyla menghela napas. Dia sangat bingung atas hal ini. “Jika aku mendonorkan hatiku untuk Diandra… maka aku akan terus bersamanya,” pikir Syakyla. “Aku tahu jika Diandra meninggal maka aku bisa mengambil kesempatan untuk bersama Rivan tapi aku engak mau melakukan ini!”
Setelah Syakyla mendapat izin dari kedua orangtuanya, akhirnya Syakyla memutuskan menjadi pendonor bagi Diandra. Dia menuliskan sesuatu di selembar kertas.
Keesokan harinya.
Syakyla dimakamkan. Lalu Rivan membaca selembar surat untuknya yang diberikan Dokter Aliza.
Aku lakukan ini karena aku sayang kalian semua. Kak, aku juga jadi pendonor buat Diandra karena dengan begitu maka kita akan terus sama sama kak…
Rivan sangat sedih membaca surat itu, “maafin gua Sya, gua ga tau kalau lo suka sama gua…”
Terlambat.
Syakyla sudah pergi… dia pergi dengan ikhlas dan dia pergi dengan gembira.
Cerpen Karangan: Annabeth Chase
Facebook: PrincessPrincess Chocolate
Pesan dari admin: lain kali dalam pembuatan cerpen, dalam penentuan judul lebih di perhatikan lagi ya… buat judul yang berhubungan dengan isi ceritanya… soalnya di cerpen ini judul “perahu kertas” sama sekali tidak berhubungan sama sekali dengan isi ceritanya… tetap semangat dalam berkarya! ^_^
Cerpen Perahu Kertas merupakan cerita pendek karangan ,
15.53 | 0 komentar | Read More
 
berita unik