Translate

periodisasi puisi lama-1945

Written By iqbal_editing on Rabu, 21 September 2016 | 20.03

Dalam buku berjudul Apresiasi Puisi, Herman J. Waluyo menyebutkan bahwa ada tujuh periode perpuisian di Indonesia. Di antaranya: Puisi Lama, Puisi Angkatan Pujangga Baru, Puisi Angkatan 45, Puisi Periode Tahun 1950-an, Puisi Periode 1960-1980, Puisi Periode 1980-2000, Puisi Periode Tahun 2000 dan Sesudahya.

Puisi Lama (Angkatan Balai Pustaka)

Ketika membicarakan tentang Puisi Lama-Angkatan 20-an-Balai Pustaka, maka menurut Sawardi (1999: 25) nama Balai Pustaka merujuk pada dua pengertian yaitu nama sebuah penerbit dan nama suatu angkatan sastra Indonesia. Nama Balai Pustaka pada awalnya adalah Commissie voor de Inlandsche School-en Volkslectuur atau Komisi Bacaan Rakyat yang merujuk pada nama penerbit yang didirikan pada masa kolonial Pemerintahan Belanda pada 1908 dengan tujuan untuk menyediakan bacaan bagi penduduk pribumi yang tamat bersekolah dengan sistem pendidikan barat. Kemudian nama Balai Pustaka dapat pula merujuk pada nama angkatan sastra Indonesia, karena pada masa itu kebanyakan buku-buku sastra diterbitkan oleh Penerbit Balai Pustaka, sehingga angkatan pada masa itu disebut sebagai Angkatan Balai Pustaka. Tokoh-tokoh utama angkatan ini adalah Muhammad Yamin (1903-1962), Rustam Effendi (1903-1979), dan Sanoesi Pane (1905-1968).

Ciri-ciri puisi angkatan ini, di antaranya:

  1. Puisi masih mengadopsi bentuk mantra, syair, dan pantun
  2. Puisi masih terikat
  3. Puisi tidak memiliki sampiran
Sebagai suatu bahan telaahan, di bawah ini puisi karya Sanoesi Pane dengan judul "Sajak" mengandung ciri yang telah saya sebutkan di atas:
Di mana harga karangan sajak,
Bukan dalam maksud isinya;
Dalam bentuk, kata nan rancak,
Dicari timbang dengan pilihannya.

Tanya pertama keluar di hati,
Setelah sajak di baca tamat,
Sehingga mana tersebut sakti,
Mengikat diri di dalam hikmat.

Rasa pujangga waktu menyusun,
Kata yang datang berduyunduyun
Dari dalam, bukan nan dicari.

Harus kembali dalam pembaca,
Sebagai bayang di muka kaca,
Harus bergoncang hati nurani.
Pada puisi di atas, terlihat jelas sekali penggunaannya, menggunakan corak yang sama seperti pantun, memiliki sajak a-b-a-b. Sanoesi Pane selaku penyairnya menggunakan sajak k-a-k-a.


Puisi Angkatan Pujangga Baru (1930-1942)

Angkatan ini biasa disebut juga Angkatan 30-an atau Angkatan 33. Beberapa penyair angkatan ini adalah Sutan Takdir Alisjahbana (1908-1986) dengan karyanya Kumpulan Puisi Tebaran Mega; Amir Hamzah (1911-1946) dengan karyanya Kumpulan Puisi Nyanyian Sunyi dan Buah Rindu; dan Armijn Pane  (1908-1970) dengan karyanya Kumpulan Puisi Jiwa Berjiwa. Angkatan ini dimulai dengan terbitnya majalah Pujangga Baru pada Mei 1933. Majalah ini kemudian menjadi penyambung lidah para penyair pada masa itu.  Hal yang perlu diingat adalah kehadiran Angkatan Pujangga Baru ini tidak lepas dari pengaruh para pujangga Belanda Angkatan 1880 (De Tachtigers). Hal ini bisa kita ketahui karena memang pada masa angkatan ini banyak pemuda yang berpendidikan barat. Mereka tidak hanya mengenal, mempelajari, namun bahkan mendalami ilmu kesusastraan Belanda.

Ciri-ciri puisi Angkatan Pujangga Baru, di antaranya:
  1. Pola menyimpang dari bentuk puisi lama
  2. Adanya pemakaian sanjak tak sempurna (oleh Sanoesi Pane)
  3. Pemakaian aliterasi (oleh Rustam Effendi)
  4. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia modern
  5. Tema yang disuguhkan bersifat kompleks
  6. Aliran yang dianut adalah romantik idealisme
  7. Menggunakan jenis puisi bebas yang mementingkan keindahanan bahasa
Sebagai contoh, mari kita tilik puisi karya Sutan Takdir Alisjahbana di bawah ini:
AKU DAN TUHANKU

Tuhan, Kau lahirkan aku tak pernah kuminta
Dan aku tahu, sebelum aku Kau ciptakan
Berjuta tahun, tak berhingga lamanya
Engkau terus menerus mencipta berbagai ragam
Tuhan, pantaskah Engkau memberikan hidup sesingkat ini
Dari berjuta-juta tahun kemahakayaan-Mu
Setetes air dalam samudra tak bertepi
Alangkah kikirnya Engkau, dengan kemahakayaan-Mu
Dan Tuhanku, dalam hatikulah Engkau perkasa bersemayam
Bersyukur sepenuhnya akan kekayaan kemungkinan
Terus menerus limpah ruah Engkau curahkan
Meski kuinsyaf, kekecilan dekat dan kedaifanku
Di bawah kemahakuasaan-Mu, dalam kemahaluasan kerajaan-Mu
Dengan tenaga imajinasi Engkau limpahkan
Aku dapat mengikuti dan meniru permainan-Mu
Girang berkhayal dan mencipta berbagai ragam
Terpesona sendiri menikmati keindahan ciptaanku
Aahh, Tuhan
Dalam kepenuhan terliput kecerahan sinar cahaya-Mu
Menyerah kepada kebesaran dan kemuliaan kasih-mu
Aku, akan memakai kesanggupan dan kemungkinan
Sebanyak dan seluas itu Kau limpahkan kepadaku
Jauh mengatasi mahluk lain Kau ciptakan
Sebagai khalifah yang penuh menerima sinar cahaya-Mu
Dalam kemahaluasan kerajaan-Mu
Tak adalah pilihan, dari bersyukur dan bahagia, bekerja dan mencipta
Dengan kecerahan kesadaran dan kepenuhan jiwa
Tidak tanggung tidak alang kepalang
Ya Allah Ya Rabbi
Sekelumit hidup yang Engkau hadiahkan
dalam kebesaran dan kedalaman kasih-Mu, tiada berwatas
akan kukembangkan, semarak, semekar-mekarnya
sampai saat terakhir nafasku Kau relakan
Ketika Engkau memanggilku kembali kehadirat-Mu
Ke dalam kegaiban rahasia keabadian-Mu
Dimana aku menyerah tulus sepenuh hati
Kepada keagungan kekudusan-Mu,
Cahaya segala cahaya
Pada puisi di atas, dapat kita lihat bahwa Sutan Takdir Alisjahbana sudah tidak menggunakan pola pantun atau syair. Ia menyuguhkan tema yang cukup kompleks tentang ke-Tuhan-an.


Angkatan 45 (1942-1953)

Singkatnya, Angkatan 45 ini muncul sebagai akibat perubahan politik yang mendadak yaitu dari pendudukan Belanda berpindah ke pendudukan Jepang. Pada saat itu, para sastrawan tidak sekadar berjuang secara fisik untuk menuntut revolusi kemerdekaan, namun juga berpikir untuk menentukan orientasi bangunan budaya bangsa ke depannya. Hal lain yang turut mendorong lahirnya angkatan ini adalah adanya perasaan tidak suka pada Angkatan Pujangga Baru yang karya-karya sastranya sangat condong ke Barat. Mereka dianggap telah mengkhianati identitas bangsa sendiri. Nama Angkatan 45 untuk pertama kalinya dipopulerkan oleh Rosihan Anwar pada lembar kebudayaan “Gelanggang”. Mungkin karena Chairil dan teman-temannya menandatangani surat Kepercayaan Gelanggang. Nama ini pun disepakati kalangan sastrawan sebagai nama angkatan pada masa itu.  Beberapa pujangga Angkatan 45 adalah Chairil Anwar (1922-1949) dengan karya fenomenalnya “Aku”. Menurut Prof. Sapardi Djoko Damono, Chairil dianggap menjadi pelopor masa Angkatan 45, oleh karenanya beberapa sajaknya dikenal oleh siapa pun yang pernah duduk di bangku sekolah menengah (Chairil Anwar, 2003: 99). Kemudian tokoh-tokoh lainnya: Asrul Sani dengan karya puisinya yang terkenal, “Surat dari Ibu”, Sitor Situmorang dengan salah satu karya puisinya, “Surat Kertas Hijau”, dan Waluyati dengan salah satu karya puisinya, “Berpisah”.

Ciri-ciri puisi Angkatan 45 adalah:
  1. Menggunakan bahasa Indonesia baru, bahasa Indonesia yang tidak terpengaruh bahasa Belanda maupun Melayu
  2. Mementingkan isi daripada bentuk
  3. Lebih bebas dari permainan rima atau pun bunyi yang melekat pada puisi angkatan sebelumnya
  4. Menggunakan bahasa yang ekspresif, meledak-ledak, dan penuh vitalitas
  5. Menggunakan ungkapan-ungkapan yang pendek
Sebagai contoh, dapat kita baca puisi Chairil Anwar, tokoh sentral Angkatan 45, di bawah ini:
AKU

Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri   
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Pada puisi di atas, dapat kita ketahui pada larik 7 dan 8 bait pertama bahwa Chairil menunjukkan semangat revolusi kemerdekaan. Pun juga, Chairil menonjolkan sisi individualismenya dengan penggunaan kata aku yang menjadi identitas sudut pandang orang pertama.

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik