Aku sangat mencintainya, seluas semesta. Tak bertepi, seperti perahu
yang ditiup angin ke tengah samudera. Meski terhuyung, terambing, dan
mungkin terlungkup, tak musnah ia tetap bertahta. Akad yang dulu
terucap, adalah firman suci langit yang turun melalui malaikat. Yang
mengetuk hatiku, saat kesendirian membuatku mengatupkan mata,
bersembunyi dari liang dunia.
Kau datang. Lalu sudi menggamitku. Merangkul pundakku. Tersenyum
beberapa senti di depan mataku. Ah, aku bisa ingin tak mati, biar
separuh nyawaku mematahari, mungkin sinarnya tak akan begitu kau
perlukan, karena kau lebih dari matahari. Setidaknya kau mengerti, aku
cahaya yang merasukimu dengan sederhana.
Aku sempat takut, ketakutan yang lebih dari kematian yang menjemput.
Ketakutan yang maha. Ia meranggas di tanah jiwaku yang kemarau. Seperti
kitab hidupku yang usang, yang di dalamnya tertulis wahyu takdir,
menyatakan lukisan nasibku sebagai wanita. Yang dicerca tabib. Membuka
tirai janin yang tak bertempat, tak beruang, tak berarah. Menjadi hantu
bermuka buruk, menghantuiku di setiap detak jarum jam yang bergerak.
Aku tak perlu bertanya, sekiranya pun kau tahu. Begitulah aku.
Masyhur namaku sebagai wanita di kampung ini, yang dilepas pergi usai
diikat pejantan bumi. Aku tak menyalahkan, karena aku tak bisa
diharapkan. Aku hanya ingin sabar itu lebih dicandai. Mungkin kelak
waktu berubah warna, dari hitam ke putih, atau dari biru ke hijau. Semua
sangat mungkin. Dan harus kuakui, memang bisikan iblis ampuh mengusik
Adam. Apakah semua yang pernah datang juga akhirnya pulang, karena iblis
tak sudi menyaksikan kita bertahan di sana, di surga.
Dan kau, aku bungkam tak bisu, tak tahu dari mana harus berucap kata
itu. Terima kasih yang terlafadz, tak terbetik hanya sesaat. Ingin ku
benamkan saja biar ia mengalir di darahmu. Biar kau tahu, aku
menyelamimu tak sebatas ruang waktu. Tapi jiwa juga raga, tapi hidup
juga maut.
Di sebuah malam akad, saat paginya kita bersepakat dan disaksikan
saksi-saksi setempat. Kau membisikan kata-kata yang membuat aku terbang.
Melayang tanpa sayap. Seraya terpejam. Hingga mencapai langit
bergemintang. Kau sudah memberikan jawaban sebelum kutanyakan. Kau sudah
memberikan harapan sebelum kumintakan.
“Jangan takut, aku bukan seperti mereka,”
Kau mendekatkan wajahmu. Kau sentuh dahiku.
“Jadilah bercahaya. Kau matahari, bukan lampu api yang mati saat sumbunya tak lagi dialiri minyak wangi.”
Kau mengecup keningku, kucium harum itu.
“Apapun dirimu, ku percaya bahwa hidup selalu beraneka. Setiap kedipan mata, setiap napas menghela, Tuhan merubah muka dunia.”
Kau meraih kepalaku, kubenam dalam dadamu.
Aku tak ingin menyamakanmu. Dulu-dulu juga begitu. Malam akad selalu
bunga dan surga. Tapi kau tak sama. Kau terlihat murni. Sesuci embun tak
tersentuh polusi. Tatapanmu itu benderangkan temaram lampu kamar yang
redup ini. Napasmu helai kasturi yang meningkup busuk prasangkaku pada
makhluk lelaki. Sentuhanmu kasih seorang ibu saat mendekap bayi yang
terlahir dari nyawanya yang terancam pergi.
Aku ingin bilang percaya. Tapi kau telah menenggelamkanku dalam desah
yang ditingkahi doa-doa. Percayaku percayamu menjadi percaya semesta.
Aku percaya Tuhan yang percaya pada kepercayaan cinta kita.
***
Sangat berarti kehadirannya. Sangat. Tak pakai tapi atau embel-embel
lainnya yang semakna. Sangat itu begitu kuat menancap. Sangat yang
membuatku ingin selalu berdoa, merayu Tuhan dan merayumu. Agar kita
melanggengkan hasrat dan segenap kemampuan kita. Terus mendaki di
tebing-tebing tinggi. Tak kenal malam siang.
Bayang-bayang itu melukiskan sebuah bibir mungil, sepasang lucu mata
bening, dan kulit merah sehalus sutera. Tangisnya akan menjadi merdu
seruling bambu, atau gemercik batu bercumbu air hulu. Pada seranting
rindu memeluk dan mendekapnya, menjadi kekuatan ghaib itu. Menghuyung
langkahku yang semula terhuyung, menerkam cinta suciku yang semula
tertikam.
Bersamamu, bersama percaya kita, aku akan mampu memberi nyawa itu untukmu.
“Apalah kedudukan tabib, semua masih sebagi manusia. Tak ada upaya ia
punya. Semua tuntutan yang kuasa. Dinda, kau mesti jauh lebih percaya.”
Katamu itu membasuhku. Aku memang masih dihantui vonis itu. Vonis
yang keluar dari mulut tabib-tabib tua, yang tak satu pun dari mereka
membesarkan hatiku dan membantu aku bangkit, seraya menasehatiku agar
mencoba beragam setapak jalan, yang mungkin menjadi perantara keajaiban.
“Percayaku kini semakin kaya, jangan berhenti bertutur untukku,”
Lelaki kasih itu tersenyum. Senyum yang hangat dan tertancap lama di
awang-awang kepala. Adanya atau perginya, selalu membekaskan rona rindu
bila tak kunjung berdekatan berdua.
Hujan menderas tanpa rintik. Kau tak kunjung pulang, apa kau berjalan
ke negeri seberang? Menghampiri mawarmu yang telah berkorban.
Mengikhlaskan kau kugenggam dan kulumat dalam kunyahan, menggantung
pelukan dan hasrat terpendam dalam khayalan. Kalau memang kau pulang,
tentunya aku tak boleh kehilangan. Sangat meski karena kau pasti
kembali. Kau tak seperti yang lain. Kau mengikat namun melekat. Bukan
lantas lepas, lalu terurai ke atas. Hilang di langit tak berbatas, lalu
merasa tak sudi datang memelas.
Sudah tujuh nama hari kita lewati. Mungkin sudah tunai kewajibanmu
membagi waktu untukku. Aku tak berpikir buruk tentangmu. Hanya rindu
yang menjadi sisi menyakitkan yang menyenangkanku. Bila mungkin malam
ini tanpa ekor matamu yang menelanjangi batinku. Ada bau harum dan bisik
mesra yang telah kau tinggalkan di sisi bilik-ku.
Aku tak akan bertanya mengapa kau pulang tanpa meninggalkan pesan.
Hanya kata ‘mungkin’ yang melegakan. Hanya kata ‘mungkin’ yang
meringankan. Ia mengurai beban-beban, menerang-benderangkan keabstrakan,
dan menitik-tenggelamkan keegoan.
Bukankah damai itu telah kau firmankan padaku?
***
Aku tentu khawatir. Tapi tak mungkin lari menghampirimu di negeri
seberang. Aku hanya bertitip pada Tuhan. Dan sangat yakin kau dalam
penjagaan ketat malaikat bersayap. Dua nama hari semenjak kau pergi, dan
belum jua kembali, cukup untuk menumpahkan air mataku dari bejana yang
lama kering diserap terik kasih yang kau pancarkan.
Mungkinkah kau pergi? Adakah iblis kembali membisiki? Mungkinkah
surga dan bunga malam akad lalu hanya ilusi atau mimpi? Adakah percaya
itu tenggelam di telaga pengkhianatan sejarah manusia? Mungkinkah jabang
bayi itu memang tak bisa tersimpan dalam ruang kokoh tak ternilai
bernama rahim? Sehingga kau melangkah mundur. Meski matamu tak
berpaling, dan hatimu tak bergeming.
Sepi menjadikanku merpati yang mengeram bisu di sarang. Tak ada
hasrat mencium desah pepohonan, atau menatap senyum mega dan sekawanan
awan menawan. Hanya pada selembar usang tempat aku mensujudkan harapan.
Sedikit menyuburkan setitik kebahagiaan yang telah kau
kembalikan—setelah sekian masa dirampas lelaki binatang yang datang
membawa senyuman lalu pergi mewarisikan cakar tajam.
Atau inikah nasib menjadi nomor dua. Di mana langkah pertama lebih
berharga. Tak peduli meski banyak orang menjadikan nomor dua sebagai
perbaikan, perubahan, dan mungkin pelampiasan. Oh, aku tak boleh terus
buruk berpikir macam-macam. Tak ingatkah memang tak ada hidup senyaman
hulu di hutan. Atau setenang udara di atap langit biru terhampar. Semua
mesti ada guncangan. Hulu bisa tercemar lalu keruh saat kaki-kaki
petualang terjejak ke permukaan. Udara bisa termakan busuk polusi dari
corong-corong berasap yang menjulang di antara bangunan yang berserakan.
Mestikah semua kukembalikan saja pada Tuhan. Lalu kubiarkan saja
tubuhku Dia belai sepanjang malam. Aku tenang bila ketenangan hadir
akibat berdekat-dekatan pada Tuhan. Ketika tangis mengalir, disertai
bibir senyum menyungging.
Bisa saja dengan itu lalu Tuhan menjadikanku seorang Maryam. Bisa
saja dengan itu jabang bayi akan tersimpan dan terkuak dari rahim yang
tak lagi perawan, yang gersang, dan tak menjadikan dua nyawa tersekat
dua alam.
Pekat malam berseloroh tangis jabang bayi. Mengusik tidurku yang sebenarnya hanya terjaga yang tertunda. Sudah tiga malam ini, saat kau pergi dan belum juga kembali, suara kurindukan sepanjang hayat itu bergaung.
Aku tak kuasa mencari di mana suara itu, aku mendekat ke jendela lalu
membukanya, hanya redup lampu-lampu dari rumah tetangga. Aku berlari
menuju pintu lalu membukanya, hanya gelap bertingkah sinar bulan yang
separonya saja yang bercahaya. Aku mendongak menukik atap kayu rumah
yang tak karuan rupanya, hanya panorama kelam bertabur dua tiga ekor
cicak bekejaran atau mungkin bercinta.
Mungkinkah ada Maryam di abad ini? Oh, aku merutuki buah benakku.
Tentunya aku jauh dari Maryam yang perawan itu. Aku tak lagi gadis.
Sudah bermacam lelaki bernama suami yang meniduri. Semua berujung pada
kenyataan pasti bahwa aku tak dapat dibuahi. Aku tak dapat mengandung
janin lantas melahirkan jabang bayi. Orang-orang anggap aku mandul.
Rahimku gundul. Meski katanya nasibku mujur karena banyak lelaki yang tetap datang setelah suami sebelumnya pergi—tak puas dengan keyataan.
Alunan tangis itu seperti jabang bayi yang menyambut hidupnya di
lingkaran semesta. Kenapa dengan tangis? Apa arti tangisan itu? Apakah
segala yang bermula tangis berarti ancaman yang tersusun rapi di
sepanjang jalan nanti? Atau itu pertanda bahwa misteri alam tak
menjajikan surga di setiap potong takdir yang lahir sebagai peristiwa.
Aku menggigil.
***
Apakah harus percaya pada lelaki? Apakah semua lelaki busuk? Apakah
lelaki suci cepat mati dan kembali ke pangkuan Illahi? Hingga hanya
tersisa keturunan Adam yang tak menyemai ketulusan pada Hawa yang haus
cinta kasih dan sayang.
Kini sendiri meleawati tujuh nama hari.
Kau pergi juga. Ternyata sama seperti lelaki-lelaki sebelummu. Meski
pergimu kali ini tanpa isyarat meninggalkanku selamanya. Sementara
lelaki-lelaki sebelum kamu semua berbusa-busa bergumpal alasan dicerca,
adalah menjadi warisan mereka yang kuterima dengan pedih tak terkira.
Beginikah nasib menjadi nomor dua? Atau memang ketulusan bungamu di
sana hanya sebatas ucap tanpa detak jiwa. Hingga saat kau temani selama
detak jam itu berputar-putar pasti, ia melayu dan meminta angin mengirim
pesan kepadamu. Lantas kau melesat melampiaskan kerinduannya, meski kau
melakukannya tanpa hati dan jiwa.
Aku pun telah menyatakan kesanggupan. Aku pun telah menerima titah
dirimu sebagai lelaki yang kucintai dan dicintai yang lain. Setidaknya
pada seberkas damai yang pernah kau hembus, aku bisa memetik kelopak
syukur itu. Lalu menyiram taman percaya kita. Pelan-pelan, tak hanya
dengan hujan doa, tapi juga air mata.
Terngiang apa yang dulu kau kata. Kau meyakinkanku dan membantuku
berdiri hingga tak lena. Kau meniup tubuhku hingga debu-debu tak
membalur luka dan nganga. Kau bawa aku, dalam dekapmu, ke telaga di
tengah belantara, lalu kau basuh aku sepenuh cahaya hingga merona semua
ragaku yang seakan mau meregang nyawa.
“Percayalah, aku tak akan pergi,”
Tapi kini kau pergi.
“Aku tak yakin saat kau yakin tak dapat beranak pinak suatu kelak.”
Tapi kini rahim ini masih sunyi, tak ada detak nyawa menyentak.
“Tenanglah, jangan kau hirau ucapan manusia, hiraulah ucapan Yang Kuasa,”
Tapi seberapa mampu aku yang begitu ringkih hati, harus menghadapi bisak-bisik meningkahi perih kesenjangan hidupku.
Maka aku hanya ingin kembalilah kau. Sekedar beritahu apa maksudmu.
Pun hingga akhirnya kau harus pergi lagi selepas itu. Agar aku tak
lantas menyamakanmu dengan lelaki yang lain, yang selama ini sampai hati
menyakiti dan mencampakkan pada sunyi hari-hari. Aku sudah terlampau
percaya padamu, terlampau cinta dengan pembawaanmu, jangan kau kubur aku
hidup-hidup dengan kabut misteri yang bergumpal di subuh hari.
***
Berhitung minggu. Tak ada yang tepat dikata melainkan kebisuanku
makin sempurna. Aku lelah mencarimu di lorong-lorong batin yang selalu
malam. Kakiku masih kukuh, masih utuh, meski terjegal batu cadas dan
duri-duri berserakan. Kubiarkan saja darah ini mendarah daging di
gumpalan raga yang kian merana. Mungkin ini memang harga dari sebuah
cinta. Cinta yang sudah kuanggap gagal membiuskan kebahagiaan.
Aku mengulang peran lama, melayari sendiri dalam sepi yang sunyi.
Mengubur mimpiku yang mengeja malam siang setiap waktu. Membenamkan di
liang pedih si jabang bayi yang setiap hari menari di pelupukku.
Pada sepasang waktu aku biarkan bisu yang bicara. Mungkin hingga kau kembali meski untuk sekejap saja.
Lambat-laun berbilang hari, keadaanku bagai daun yang gugur,
meliuk-liuk hingga tanah kerontang memeluk. Panas dingin menghajar
separuh tubuh. Kepala seperti ditumbuk beribu lesung, megalun-alun
mengiramakan tandu kematian yang dipikul. Sering kupingsan dan baru
beberapa jam tersadar. Kukira ini sekarat kecil di mana malaikat maut
masih setengah hati menjemput nyawaku, si perempuan kerdil.
Tengah malam pun menjadi siang yang terik dan hingar-bingar. Mataku
tak mampu sekedar dipaksa pura-pura terpejam. Tak ada bayangan lelaki
terakhir yang kini menjadi entah itu. Tak ada khayalan jabang bayi yang
merengek minta kususui itu. Sakit. Aku rasa aku tengah didera sakit. Apa
pun nama sakit ini, cukup membuatku mengerti kenapa sakit sangat pahit.
Terlebih tak ada tabib yang berfatwa dan memberi petunjuk, sekedar
membuat reda raga yang serasa digigit-gigit makhluk kasat mata.
Kini perih itu menjalar ke perut. Luar biasa, seperti ada bongkah api
yang berputar-putar di dalamnya. Aku terbaring tanpa daya seraya
mengeram kencang, gerahamku beradu, kejang tubuhku bertalu-talu.
Keringat bersimbah, basah membuat kuyup merata hingga mukena yang
membalurku bagai tercelup.
Sebelum akhinya aku melayang-layang di angkasa hitam. Aku seolah
disambut suara tangis jabang bayi yang merdu, melepas segala sakit yang
menghantamku. Suara itu berkumandang seperti panggilan suci surau di
subuh hari.
***
Apa hari memang benar siang? Atau ini hanya cahaya mimpi yang
menjebakku pada setapak jalan buntu berliku-liku. Aku bangkit dengan
mata yang menyipit di hantam silau dari lobang dinding kayu kamar itu.
Hatiku asing, seakan tengah terdampar di pulau yang sekelilingnya hanya
biru berombak kecil.
Aku bangkit. Sambil mengingat apa peristiwa yang tengah kulakoni.
Entah itu semalam, kemarin, atau dulu. Langkahku terhuyung saat
kurasakan perih menyayat di bagian perut. Aku muntah. Ini tak biasa.
Mataku memerah seperti bekas menangis. Di cermin, pucat itu menopengiku.
Benakku berputar mencari sebuah makna.
Mungkinkah ada janin yang tersimpan di rahim?
Aku menyungging senyum, seperti melihat wajah mungil terbang
berputar-putar menggodaku untuk menangkapnya. Kuraba-raba perutku yang
kini lebih nyaman setelah berkali-kali muntah tadi. Memang belum besar,
masih ramping dan datar. Namun setidaknya tanda-tanda itu seperti
berbicara baik.
Gairah merekah, seperti kembang api yang membuncah di malam-malam
indah saat purnama dan bebintang beradu menghibur semesta yang tengah
gundah. Aku harus ke tabib. Aku harus mendapati fatwa tabib adalah
impian lamaku yang berwujud.
“Kau hamil. Aku melihat tanda-tanda kehamilan itu ada padamu. Selamat. Ini mukjizat Tuhan yang Maha Penyayang,”
Kata-kata itu seperti alunan seruling yang menentramkan hatiku. Di
sepanjang jalan pulang melewati hutan dan ladang, pikiranku melayang
mencari jawaban-jawaban hati yang mengusik di tengah kegembiraan ini.
Siapa penanam janin ini? Apa itu kau, atau dia, atau mereka?
Meski bila aku berhak menjawabnya, aku tak ragu menyebut namamu.
Jalan panjang ini seolah terpangkas dengan suka cita. Sebelum
matahari telah naik merangkak ke atas ubun-ubun, rumah papan tempat aku
melayari masa itu pun telah nampak. Dari jarak pandang yang belumlah
dekat, aku melihat sosok seorang laki-laki. Tak begitu nampak pemilik
wajah itu. Ada sepeda pula yang bersandar di pohon mahoni.
Apakah itu kau? Apa kau datang dengan kereta angin untuk kembali
pergi dan segera pulang ke hariban mawarmu di sana? Hela napasku
satu-satu. Ada degup yang menggetarkan sendi-sendi. Bila memang pergi,
demi Tuhan, tak akan kucengkram erat tubuhmu karena aku ada hal gembira
tentang percaya yang kita percayai.
“Apa benar anda Nyonya Lasmi?”
“Benar.”
“Saya dari kampung seberang, ingin menyampaikan surat ini,”
Aku raih surat bersampul coklat. Tak ada perasaan apa-apa. Tak sempat
pula aku bertanya dari siapa. Namun saat membaca satu-satu susunan kata
tinta merah itu. Aku ambruk, membuat debu-debu berarak ke udara,
menggelapkan semesta.
Salam takzim, saya Tari, maaf baru sempat berkirim kabar, kita
tengah dilanda ujian, Bang Dar tiada saat pergi ke hutan untuk mencari
kayu bakar. Berhari-hari tak pulang, setelah dilakukan pencarian oleh
petugas kehutanan, jasad Bang Dar ditemukan sudah tanpa nyawa, Bang Dar
koyak diserang binatang buas…
Wajah bersimbah tangis ini menyentuh tanah yang ditaburi daun-daun
kering. Kusebut asma suci Tuhan berkali-kali. Dari sudut mataku yang
kabur, aku seperti melihat bayang-bayangmu tengah berlari menghampiriku.
Surat yang ditulis istri pertamamu itu terlepas dari genggamku, lalu
melayang meliuk-liuk ke udara. Menghilang.
Sebelum akhirnya pandanganku lumpuh, sempat kudengar suara tangis
jabang bayi. Menggelegar, memantul-mantul di segenap ruang dengar dan
perasaan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar