Mirna, membuka mata secara perlahan. Ada bintang-bintang bertaburan di pelupuk matanya. Ia masih sulit untuk melihat dengan jelas.
“Mirna, kamu sudah sadar?” tanya suaminya.
“Mas, bagaimana anak kita?” suara Mirna masih terdengar parau.
Solihun mengelus kening istrinya. Wajahnya juga cukup tegang memikirkan Mirna yang masih lemas terbaring di katil puskesmas. Mirna khawatir bahkan degup jantungnya kini ia rasakan sangat kencang berdenyut. Mata Mirna memicing memandang wajah suaminya.
“Mas, di mana anak kita?”
“Kamu sabar dulu,”
Ah, sungguh hati Mirna ditumpuki perasaan tidak karuan. Ia khawatir kalau omongan para tetangga menjadi kenyataan. Dan jika benar, itu berarti Mirna harus ikhlas dan mau menerima keadaan bayinya.
“Loh, Mba Mirna kok masih menjahit. Katanya sedang hamil. Menurut orangtua itu pamali. Tidak boleh.” Ucap bu Nita.
“Iyah Mba Mirna, nanti bayinya cacat loh,” tambah bu Mugi.
Mirna hanya tersenyum menyambut omongan mereka. Bagi Mirna itu hanya mitos belaka. Mirna yang sekolah sampai kuliah, merasa tidak wajib meyakini mitos yang dianut oleh orang-orang di desanya. Apalagi jika itu suatu hal yang tidak masuk akal.
“Masa iyah sih. Ibu-ibu ini ada-ada saja. Itu kan cuma mitos. Kita tidak boleh terlalu mempercayainya. Itu namanya mendahului takdir Allah, tidak baik,” Mirna menyangkal.
Akhirnya bu Nita dan bu Mugi tak berserang lidah lagi, mereka memilih untuk pulang saja. Mirna mengelus jabang bayi dalam perutnya yang sudah berumur tujuh bulan.
“Dokter, di mana anak saya?”
“Lohh, apa belum dibawa ke sini sama suami Ibu?”
“Belum dok. Tapi anak saya baik-baik saja, kan?”
Dokter itu mengecek dada Mirna. “Anak Ibu baik-baik saja, nanti juga bu Mirna akan tahu.”
“Saya mau melihat anak saya sekarang, dok, tolong bawa ke mari.”
Solihun datang habis membeli makan siang.
“Saya permisi dulu Bu. Oh yah Pak, nanti sore istri Bapak sudah boleh pulang,”
“Terima kasih, dok.”
Solihun tersenyum melihat istrinya. Dikecup kening Mirna. Sikap Solihun belum juga membuat hati Mirna tenang.
“Mas aku mohon, bawa anak kita ke sini. Aku ingin melihatnya…”
“Mirna, kamu kenapa sih kelihatannya sangat khawatir sekali dengan anak kita. Memangnya ada apa?” tanya Solihun penasaran.
“Karena aku takut Mas,”
“Takut anak kita cacat, seperti yang orang-orang bilang?”
“Kok Mas tahu?”
“Sudahlah jangan kamu pikirkan itu, anak kita baik-baik saja.”
Solihun sebenarnya ingin tertawa. Namun ia tahan karena takut akan membuat Mirna semakin khawatir. Solihun sudah tahu akan mitos yang katanya, ‘KALAU SEDANG HAMIL TIDAK BOLEH MENJAHIT’ nanti anak yang dilahirkan akan cacat. Solihun juga orang Jawa yang sangat kenal akan cerita maupun mitos pada zaman dahulu.
Mirna membenarkan posisi duduknya. Ia menyusui bayi merahnya. Rasa cemas dalam hatinya lenyap seketika, ketika melihat bayinya baik-baik saja. Setibanya di rumah dari puskesmas, hari sudah sore bahkan cakrawala sangat cepat menampakkan aura jingganya.
“Huaaaaaaaahhhh…” Mirna menguap. Rasa kantuk menggelayuti matanya. Mirna merem melek sambil memandang bayinya yang terbaring di sampinyanya. Bayi merah itu telah kenyang sedikit merasakan ASI.
“Awas loh jangan tertidur.” Ucap Solihun.
“Kenapa, Mas?” tanya Mirna penasaran sambil menutup mulutnya yang mau menguap.
“Orang yang habis melahirkan tidak boleh tidur saat Maghrib nanti bayinya diambil Kuntilanak.”
Mendengar ucapan suaminya, Mirna merasa takut. Tidak biasanya Mirna segampang itu menerima dongeng-dongeng yang belum tentu fakta. Solihun menangkap raut wajah Mirna cemas.
“Ah, ini hanya mitos kok. Masa sih kamu percaya?”
“Nggak Mas, kalau tidur pada saat Maghrib, aku memang percaya. Karena aku pernah mengalami namanya ketindihan.”
Solihun menatap wajah Mirna dengan serius. Ia juga tahu akan mitos tersebut. Bahkan dulu saat kecil, Solihun selalu dinasihati oleh ibunya. “Jangan tidur pada waktu Magrib nanti kamu kena tindih,”
Sebisa mungkin Mirna menahan kantuknya. Maghrib itu, secara bergantian Mirna dan Solihun menjaga bayi merahnya.
Magelang, 10 Januari 2017
Cerpen Karangan: Anung D’Lizta
0 komentar:
Posting Komentar