***
Kini,
aku telah mejadi janin yang menyatu dengan ibuku, mengikuti gerak
dinamisnya yang lembut. Barangkali aku seperti parasit yang menghisap
seluruh intisari hidup yang masuk ke dalam tubuh ibuku. Mulai dari
sesuatu yang manis yang menimangku dalam pusaran hangat yang nyaman,
sampai gelegak cadas tajam yang membuat dada ibuku sesak dan berdarah.
Acapkali aku terendam dalam tungku tuba yang mendidih, ketika ibuku
menangis tak henti-henti.
“Menurutmu, apakah kita benar-benar lahir dari dua jiwa yang saling mencintai?” tanyaku suatu kali pada bakal kembaranku.
“Kalau mereka tak saling mencintai, bagaimana mungkin kita ada.”
“Mungkin saja. Keberadaan kita hanya soal fisik. Penyatuan tubuh dengan tubuh. Bukan pertalian hati dengan hati.”
“Apa kau tahu, mengapa lelaki itu tidak segera menceraikan ibu?”
“Tentu
saja; kita. Lelaki itu akan menunggu sampai kita lahir. Setelah kita
lahir, lelaki itu akan merebut kita dari tangan ibu. Setelah itu barulah
dia akan menceraikan ibu.”
“Mengapa begitu?”
“Apa kau tidak merasakan, guncangan-guncangan kecemasan yang kerap menghimpit dada ibu?”
“Ya.
Ibu tahu, lelaki itu sama sekali tidak mencintainya. Tapi anehnya,
pada lelaki itu, mengapa ibu terus mengendus seperti anjing yang minta
dikasihani oleh tuannya?”
“Barangkali ibu kita memang bodoh. Mencintai lelaki yang sama sekali tidak mencintanya.”
“Untunglah,
di sini, kita berdua. Tak bisa kubayangkan, aku terpanggang dalam
rahim panas ini, dan hanya sendiri. Bisa-bisa aku meleleh seperti
santan kental yang bergejolak karena api.”
“Sudahlah, bagaimanapun kita punya hak untuk melihat dunia, kelak. Kita harus bertahan.”
“Bagaimana
kalau alam mayapada di luar sana, ternyata lebih menyeramkan dari pada
tungku tuba ini? Apa tak pernah menyembul ke benakmu? Barangkali,
kembali ke langit lebih baik.”
“Kau tahu? Ada kekuatan besar yang mendampingi kita. Kita tak perlu khawatir.”
***
Berbilang
waktu panjangku sudah sekitar 16 cm dan bobotku sekitar 35 gram.
Dengan bantuan scan, ibu dapat melihat kepala dan tubuhku yang
bergerak-gerak. Ibuku senang sekali saat merasakan gerakanku yang
pertama. Gerakanku bisa dengan mudah dideteksi dengan USG.
“Mas,
aku sudah bisa merasakan, si kecil sudah mulai menggeliat, peganglah
di sini.” Pinta ibuku pada lelaki itu. Lelaki itupun meletakkan telapak
tangannya yang berotot pada bagian perut ibuku.
“Ya,
aku juga bisa merasaknnya.” Ucap lelaki itu datar. Baru kali ini aku
merasakan sentuhan tangan lelaki itu. “Semoga kau melahirkan anak lelaki
yang sehat.” Lanjutnya.
Aku selalu merasa
lebih nyaman, jika lelaki itu ada di dekat ibu. Sebagaimana ibu
merasakan kenyamanan itu. Namun itu tak pernah berlangsung lama.
Sepertinya lelaki itu hanya peduli padaku, dan bukan pada ibu. Selalu,
setelah melihat kondisi kandungan ibu normal, lelaki itu segera
beringsut. Lewat perasan ibu aku bisa tahu, kemana lelaki itu pergi.
Lelaki itu pasti pergi untuk menemui perempuan itu. Perempuan yang
mungkin akan menggantikan posisi ibuku, setelah aku lahir. Perempuan
yang telah mempunyai tempat di hati lelaki itu.
“Kau mau ke mana lagi, Mas?” tanya ibu, bergetar.
“Ada urusan penting di kantor. Aku tak bisa berlama-lama.”
“Urusan penting apa lagi, Mas? Selalu urusan penting. Lalu kapan Mas punya waktu buat saya?”
“Kau tak perlu merajuk seperti itu. Kehamilan tak harus membuatmu menjadi manja. Seperti anak kecil saja.”
Dan, kurasakan dada ibuku mulai sesak. Seperti ada gejolak yang hendak ia teriakkan keras-keras ke telinga lelaki itu.
“Saya tahu. Mas mau menemui perempuan itu lagi. Mengaku saja!” suara ibu parau tertelan isakkan kecil.
“Kau
mulai lagi. Selalu kau yang memulai. Apa kau tak bisa untuk tidak
bersikap memuakkan di depanku. Kau selalu curiga dan curiga.”
“Hh...
apa karena saya hamil, lantas Mas kira saya tidak bisa mengawasi apa
saja yang Mas lakukan di luar sana? Saya sudah tahu semuannya. Setelah
bayi kita ini lahir, Mas akan menceraikan saya, kemudian Mas akan
menikahi perempuan sundal itu. Iya, kan?” balas ibuku semakin sengit,
suarannya kembali bergetar, beriringan dengan cairan hangat yang meleleh
dari sudut matanya.
“Oooh..... jadi selama
ini kamu memata-mataiku.” Lelaki itu kembali mendekati ibu, lalu
mencengkram lehernya. “Ya.... bagus sekali, kamu sudah seperti anjing
pelacak. Lalu kalau aku mau menceraikanmu dan menikah dengan perempuan
lain, kamu mau apa?” bentak lelaki itu.
“Bapak dan Ibu takkan pernah mengizinkan Mas menceraikan saya.” Ucap ibuku, tersedak-sedak. Wajahnya hampir basah oleh air mata.
“Oh
ya, siapa bilang? Sekarang aku sudah tak peduli lagi. Tak seorangpun
bisa menghalangiku, termasuk orang tuaku sendiri. Sudah hampir dua tahun
aku menahan geram, mempertahankan rumah tangga yang lahir lantaran
perjodohan bodoh itu. Sudah hampir dua tahun pula aku belajar
menyukaimu. Tapi tak pernah bisa. Kau tahu kenapa? Karena kau memang
sangat memuakkan. Sekarang, apalagi yang ingin kau dengar dariku? Apa
semuanya sudah jelas? Kalau semuannya sudah jelas, kau tak perlu
susah-susah memataiku lagi, bukan?”
Lelaki itu
melepaskan cengkraman tangannya dengan kasar dari tengkuk ibuku.
Sepertinya lelaki itu sangat marah karena tahu bahwa ibu selalu
mengawasinya. Setelah ibu terjerembab ke tilam tebal. Lelaki itu
beringsut dari kamar dengan menggebrak pintu.
Untuk
selanjutnya aku gelagagapan, merasakan sedu sedan yang disimpan ibuku
bersama kesunyian kamarnya. Badan ibuku bergetar oleh sesenggukan yang
tak berkesudahan. Inilah puncak magma yang mengguyurku dalam rekah
kerak bumi yang sempit. Setiap denyar darah ibuku seolah mengalirkan
perih berkepanjangan. Akupun merasakannya. Aku ikut menangis dan
meronta. Tentu ibuku juga merasakan sakit bukan main di perutnya
Hari-hari
semenjak kejadian itu, ibuku lebih suka mengurung diri dalam kamar.
Pekerjaannya hanya tercenung lama dan terisak lagi. Bisa kurasakan
betapa rasa cinta ibuku terhadap lelaki itu tak mengenal batas. Bisa
kurasakan, ibu begitu merindukan dekapan hangat lelaki itu. Demi
disadarinya, lelaki yang ia cintai telah melabuhkan kehangatannya pada
perempuan lain, ia kembali mengolah sedu sedan. Ia kembali mengalirkan
magma itu ke degup kecil jantungku.
Sudah
beberapa hari, ibu sengaja membiarkan dirinya kelaparan. Apa ibu tahu?
Dengan menyiksa dirinya seperti itu, ia telah menyiksaku. Bahkan
beberapa kali ia mulai nekat memukulku, memukul perutnya sendiri. Entah,
apa maksudnya. Yang jelas, gelegak tuba panas itu tak pernah reda. Aku
terkungkung dalam sesak dan bara yang tak berkesudahan.
Lelaki itu pun datang sesekali waktu, untuk menanyakan keadaanku.
“Bagaimana keadaan bayimu? Baik-baik saja?”
Ibuku
tak menyahut. Ia tampak pucat dan kusam seperti patung di tengah
pancuran, patung yang lekang dan berlumut oleh panas dan hujan.
“Soal kemarin, aku minta maaf.” Enteng sekali lelaki itu mengumbar kata maaf.
Ibuku
masih mematung. Dadanya kembali berdecak-decak. Lelaki itu minta maaf?
Apa maksudnya? Apa semua racun yang menyembur dari mulutnya lampau
hari hanya kekhilafan lantaran emosi semata? Ibuku bertanya-tanya.
“Aku
tak ingin terjadi apa-apa pada bayi kita? Kau tak harus menyiksa
dirimu seperti itu. Isilah perutmu barang sesuap. Minumlah vitamin dan
obat imun itu dengan teratur. Sekarang kau sedang hamil tua. Tak lama
lagi kau akan jadi ibu. Jangan bersikap bodoh seperti itu. Apa kau
tahu? Dengan begitu kau telah menyiksa bayimu sendiri. Apa kau sampai
hati, kalau terjadi apa-apa dengan bayi kita?” lelaki itu terus
berpetuah.
“Apa pedulimu?” ibu bersungut.
Kemudian
lelaki itu mendekati ibu dan membelai perutnya dengan lembut. “Kau
harus percaya, perempuan itu cuma rekan kerja, bukan siapa-siapa.”
Ibuku
menghela nafas. Ia ingin sekali lelaki itu meyakinkannya, bahwa semua
yang dikatakannya lampau hari hanya emosi semata. Tapi benarkah?
Rasanya kata-kata itu mengalir begitu saja. Seperti bisa murni yang
menggelegak dari empedu kedalaman hati. Ah, sudahlah. Ia benar-benar
lelah untuk terus perang mulut dengan lelaki yang sebetulnya sangat ia
sayangi itu. Lelaki itu ada di dekatnya, itu saja sudah cukup. Tapi,
seperti sebelumnya, lelaki itu tak pernah betah berlama-lama dengan
ibu. Ketika lelaki itu mulai berdiri dan merapikan jasnya. Ibu mulai
tak tenang.
“Kau mau kemana lagi, Mas?” introgasinya.
“Pasti,
kau pikir aku mau berkencan lagi dengan asistenku. Sudahlah, curigamu
itu terlalu berlebihan. Hari ini ada pertemuan penting di kantor.”
“Tapi ini kan hari libur!”
“Iya,
tapi jam kantor masuk. Khusus hari ini. Sudah kubilang, ada rapat
penting. Kalau kau masih tidak percaya, ikutlah kau ke kantorku.”
Ibu
terdiam. Ia berharap lelaki itu mendekatinya lalu mengucup keningnya
sebelum pamit. Tapi lelaki itu pergi begitu saja, setelah membenarkan
letak lehernya. Kali ini ibu benar-benar bertekad membuntutinya
senidiri. Kalau sebelumnya ibu hanya membayar orang kantor untuk
mengawasi suaminya selama di kantor. Kini ia benar-benar ingin tahu
sendiri, apa saja yang sebenarnya dilakukan suaminya di luar kantor.
Berselang
lelaki itu berangkat, ibu menyewa taksi untuk mengikuti ke mana mobil
lelaki itu melaju. Dada ibu mulai di berondong kecemasan ketika mobil
lelaki itu melesat melewati kantor tempat seharusnya yang ia tuju. Satu
hal, lelaki itu sudah berbohong. Tidak dapat di percaya. Di sini, mata
ibu berkaca retak lagi.
“Terus saja ikuti mobil itu diam-diam, Pak!” pinta ibu pada si pengemudi.
Mobil
itu terus melaju, ibu terus membuntutinya. Bermil-mil jauhnya dari
pusat kota. Ibu bertanya-tanya, kemana sebenarnya suaminya akan pergi.
Detak jantung ibu terus melaju, semakin kencang. Perasaannya jauh dari
rasa tenang. Mobil lelaki itu mulai melamban memasuki sebuah perumahan
elit di pinggiran kota. Mobil lelaki itu berhenti di depan sebuah rumah
petak kecil yang elegan. Seperti ada segumpal batu besar dan tajam
menyumpal dada ibu. Dari kejauhan ibu melihat lelaki itu keluar dari
mobilnya. Seorang perempuan muda dan anak kecil berlari menyambutnya,
girang.
Dari kejauhan ibu masih bisa mendengar jelas, anak kecil itu berteriak memanggil lelaki itu, “Papaaaaa!”
Ibu
benar-benar tak bisa menahan dirinya. Rasanya ia ingin mati saja.
Kurasakan pula desakan hebat itu seperti menindih, meremuk tubuhku yang
kecil. Lihatlah! Selangkangan ibu berdarah. Dengan air mata beruarai
ibu meminta si pengemudi untuk mengantarnya pulang. Sampai di rumah ibu
berjalan limbung memasuki kamarnya. Ia tak mempedulikan lelehan darah
di sepanjang kakinya. Di atas dipan, ibu menangis habis-habisan. Tangis
itu meresap melalui darah dan degup jantung, lalu menjelma ribuan
jarum api yang menusukku bertalu-talu. Aku lemah. Sangat lemah. Aku
kesakitan. Benar-benar kesakitan.
Menjelang
petang, saat tangis ibu mereda. Tiba-tiba ibu menyeret meja tinggi dan
kursi rias ke tengah ruang. Dinaikkannya kursi itu ke atas meja. Lantas
ia memelintir seutas selendang hingga menyerupai tali. Dengan nekat ia
menaiki meja dan kursi itu. Pada kipas angin besar yang tergantung di
langit-langit ia mengaitkan tali itu. Erat-erat. Tanpa mempedulikanku,
ia mengaitkan lehernya pula pada tali yang menganga itu. Beberapa detik
kemudian....
“Brakk...” ibu menendang kursi
tinggi itu. Ia meronta sendiri. Kakinya menggelinjang di udara. Tanpa
pijakan kesadaran yang utuh. Lehernya tercekik oleh iman yang setipis
ari. Napasnya mulai sesak. Lehernya sakit sekali. Ia meregang. Benarkah
ini tak lebih sakit daripada melihat lelaki yang dicintainya berpadu
kehangatan dengan perempuan lain? Ini benar-benar lebih miris.
Tak berselang lama dari suara gebrak kursi jatuh itu, kudengar pintu kamar digedor-gedor dari luar.
“Iiin...! Buka pintunya In! Iin!” suara lelaki itu.
Tak mungkin ibuku menjawab. Ia sudah seperti capung yang terperangkap
jaring laba-laba. Aku tersentak. Sama sekali tak kudengar lagi detak
jantungnya. Akupun mulai merasakan sesak. Jatah napasku terasa lepas di
pergelangan ari-ari. Lamat-lamat kudengar pintu didobrak. Lelaki itu
tercengang melihat ibu yang melayang mengenaskan. Ia berteriak, meraih
ibu, menurunkanya, dan segera melarikannya ke rumah sakit.
“Bayinya masih bernapas, Pak? Kita butuh tindakan cepat.” Kata seorang dokter.
Beberapa
saat kemudian, seperti ada sebuah benda dingin yang menyentuh rahim
ibuku. Aku terguncang-guncang hebat. Tuba, darah, barangkali air mata.
Semua melebur dalam blender yang dahsyat. Aku gelagapan. Napasku seperti
tersumpal. Aku memejamkan mata. Menyerahkan semua pada kekuatan
terbesar yang selama ini membuatku bertahan. Kurasakan placenta yang
mula-mula melilitku terlepas oleh koyakkan-koyakan kasar. Tuhan!
Benarkah, aku harus meninggalkan dunia sebelum aku menyambanginya?
Rahim
ibuku terasa payah. Bersama darah, aku mengapung ringan seperti debu
yang di sedot vacum cleaner. Sedotan itu semakin kuat, dan semakin kuat.
Maka rahim itu melepasku seperti biji leci yang terlempar dari mulut
basah.
“Aow.... aow....” benar-benar jelas aku mendengar gaung itu.
“Putra Anda kembar, Pak.” kata seorang dokter pada lelaki itu, kata-kata yang gagu, rekah ucap yang ragu.
Lelaki
itu tercekat. Matanya terbelalak, bibirnya hanya gemetaran. Ia tak
percaya melihat bayinya memiliki dua kepala, dua tubuh yang saling
berhimpit, tiga tangan, dan dua kaki. Ia memejamkan mata, menutup
mukanya dengan kedua telapak tangan. Barangkali ia berusaha mengingat,
bagaimana cara menyebut nama Tuhan.]*
Malang, 2009-2011
0 komentar:
Posting Komentar