Sudah lebih dari 60 tahun lemari jati berlaci sembilan itu menemani
keluarga Lilani. Huan yang membeli. Huan menyimpan guci-guci kecil di
lemari itu sekaligus menggunakannya sebagai meja persembahan. Lemari
berwarna hijau tua dengan detail ukiran bercat merah itu dipermanis lis
warna emas. Lemari yang tidak terlalu tinggi. Saat Huan masih bisa
berdiri tegak, bagian atas lemari itu setinggi dagunya.
Sejak membeli lemari itu, Huan selalu duduk berlama-lama di hadapannya
usai berdoa saban pagi. Lilani suka mengintip dari pintu kamar tiap
kali Huan menyandarkan punggung di kursi busa berangka kayu. Meski ingin
tahu, Lilani tak bertanya apa yang sedang dilakukan Huan. Ia hanya
tahu, neneknya itu tengah memandangi lemari dengan dian dan tempat dupa
di atasnya.
Pada masa remaja Lilani kerap menemukan Huan lelap dalam duduk di kursi busa yang menipis. “Makco bangun, pindah ke dalam,” ujar Lilani lirih, kemudian memegangi punggung Huan yang melengkung dan menuntun masuk ke kamar.
Ia tak lagi ingin tahu mengapa Huan betah sekali duduk menghadap lemari.
Waktu bergulir. Kesibukan mengurus toko mainan bersama suami
mengantarkan Lilani pada kesimpulan, duduk di depan lemari adalah
kebiasaan Huan yang berkaitan dengan kenyamanan dan kelegaan hati. Tak
perlu lagi menanyakan soalnya.
Namun, akhir-akhir ini Lilani kembali diserang rasa ingin tahu yang
muncul dari ingatan ke masa kecil. Justru saat ia tak lagi menemukan
kebiasaan Huan duduk di kursi busa depan lemari. Kerinduan pada Huan
yang membuka jendela masa kecil, sehingga hawa ingin tahu itu kembali
menerobos masuk.
“Betah sekali duduk sini, ada apanya ta kursi ini?” Lilani
menggumam dan duduk di kursi Huan. Ternyata sama sekali tidak nyaman.
Busanya sudah terlalu tipis. Karet yang menyangga busa terasa keras di
pantat. Lilani masih terus menelusuri penyebab kebiasaan mendiang
neneknya.
Dari kursi itu ia bisa melihat foto Huan yang dia doakan tiap selesai
mandi pagi. Berjejer dengan foto papi dan maminya yang lebih dulu
menempati bagian atas lemari. Dari kursi itu pula Lilani melihat deretan
laci yang memenuhi muka lemari. Tiga baris laci mendatar dan tiga lajur
laci menurun.
Lilani sudah tahu isinya. Guci-guci kecil dan beberapa gelang giok
oleh-oleh Om Yu dari Singapura ada di laci deretan paling atas. Lilani
ingat, Huan menyimpan teko dan cangkir keramik serta beberapa lembar
kain batik Lasem di laci tengah.
Kenangan sore yang pilu delapan belas tahun lalu kembali datang. Kala
Lilani melihat Huan memasukkan arloji milik mami Lilani, juga kacamata
dan cincin papinya di laci paling bawah sebelah kiri.
“Lan, bantu sini sebentar!”
Lamunan Lilani, yang sedang mengingat-ingat apa saja yang ada di dalam laci-laci lemari, buyar oleh seruan sang suami.
“Ya!” Lilani segera beranjak dari kursi Huan, menuju ke bagian depan rumah yang sekaligus menjadi toko.
“Ambil yang mana?”
“Itu alat masak-masakan bagus, Pah. Ambil lima. Lainnya ambil
boneka-boneka, Barbie, Frozen. Sama mobil-mobilan. Itu Hotwheel sama
Tomica banyak yang cari, Pah,” Lilani mengomando suaminya.
Sang penyetok dagangan untuk tokonya mencatat.
“Kompor-komporan ini, kok, bagus, ya. Warna-warni, lucu,”
lanjut Lilani, meneliti alat masak-masakan. “Sekarang semua mainan dari
plastik. Zaman saya kecil dulu kompor-komporan dari kaleng bekas, ndak diwarnai.”
Tiba-tiba Lilani disergap kenangan kanak-kanak yang masih menyisakan
banyak pertanyaan. Masa ia berumur sembilan tahun dan harus berhenti
sekolah karena Sekolah Merpati di samping rumahnya ditutup. Masa ia tak
lagi bisa memanjat pohon jambu kluthuk di halaman Sekolah Merpati. Masa ia bertemu Purnomo tiga hari sekali dan mendapat hadiah kompor mainan dari kaleng susu bekas.
***
SEJAK SEKOLAH Merpati ditutup, banyak orang yang entah
berasal dari mana menjadi penghuni. Dijaga pria-pria berseragam dan
bersepatu lars. Lilani kecil sering kali mengindik gedung Sekolah
Merpati yang dia rindukan dari balik pagar seng di samping sumur
keluarga di halaman belakang rumah. Pagar setinggi badan orang dewasa
itu punya beberapa bolongan kecil karena dimakan karat.
“Lan, sedang apa?” tanya maminya suatu siang.
“Mami, Lani ingin main ke sekolah. Naik pohon jambu.”
“Sekarang sudah tidak boleh. Masuk sini, Lani. Main di dalam,” perintah maminya.
Jika sudah begitu, Lani hanya bisa menurut dan mengikuti maminya menuju
ke meja depan. Lalu duduk di samping maminya yang kembali menghitung
uang setoran becak.
Lilani tak berani menanyakan apa-apa. Termasuk soal erangan-erangan
keras yang dia dengar di antara kesenyapan malam sebelumnya. Erangan
kesakitan dan acap kali jeritan yang bersumber dari gedung Sekolah
Merpati. Apakah itu hantu atau setan sedang disiksa atau seseorang
sedang kesetanan?
Pernah Lilani menyenggol papinya. “Papi….”
Papinya merangkul gadis kecil yang semenjak Sekolah Merpati ditutup
tidur bersama papi dan maminya itu. “Papi tidak dengar apa-apa. Lani
tidur lagi.”
Sebetulnya Lani tahu papinya terjaga sepanjang malam.
Tepat sebulan sejak Lilani berhenti sekolah, salah seorang pria
berseragam memakai ujung bedil untuk menggedor pagar seng bagian depan
rumah keluarga Lilani. Kencang sekali. Huan tergopoh-gopoh membuka.
Gedoran sekencang itu pasti bukan oleh tukang becak yang akan memarkir
kendaraan di halaman depan.
Sebagai juragan, Huan biasanya menyahut ketukan salah seorang tukang
becak, “Ya, tunggu!” Namun, kali itu Huan tak kuasa menyahut.
“Ada apa, Pak?”
“Bu, kami butuh tambahan air. Air dari sumur sekolah kurang. Ini
Purnomo. Bolehkah dia mengambil air dari rumah Anda tiga hari sekali?”
Pria berseragam itu menunjuk orang kumal di sebelahnya. Mata awasnya
mengelilingi halaman. “Becaknya banyak, ya, Bu?”
Huan hanya mengangguk.
Mulai hari itu, tiga hari sekali Huan rutin merebus singkong yang dia
taburi sedikit garam. Dia bungkus daun pisang, lalu dia berikan kepada
Purnomo. Sebagian singkong rebus dia wadahi rantang. Itu jatah untuk
pria-pria berseragam di tenda pos penjagaan depan, antara sekolah dan
rumah keluarga Lilani. Supaya becak-becak Huan dan
pengemudi-pengemudinya tetap bisa mendatangkan uang setoran.
“Mak, itu siapa?” Lilani menunjuk ke arah Purnomo yang tengah mengungkit pompa air pada hari pertama di sumur keluarga.
“Ssstt!” Huan melarang Lilani bertanya, tetapi membiarkan
cucunya itu duduk di teras belakang. Mengamati Purnomo memenuhi
ember-ember air dan memikul ulang-alik ke gedung sekolah.
Sesekali Purnomo melirik dan melempar senyum pada Lilani. Pada putaran
terakhir, Purnomo meletakkan empat ember air dan pikulan di depan tempat
Lilani duduk. Purnomo menuding kaleng-kaleng bekas di bawah kursi
Lilani. Purnomo membawa kaleng-kaleng itu ke gedung Sekolah Merpati.
Setelah itu, Lilani makin kerap mengindik Sekolah Merpati. Berharap
menemukan sosok Purnomo melintasi lubang kecil pagar seng. Lilani tak
menemukan Purnomo. Namun, ia melihat orang-orang berjalan berurutan,
digiring pria berseragam dari belakang. Mereka bertelanjang dada, dengan
wajah kuyu, sebagian bermata bengkak, sebagian lagi memar di ujung
bibir.
Maka soal erangan dan jeritan terjawab. Namun mengapa? Ada apa?
Purnomo datang lagi setelah tiga hari. Lilani kembali menunggui di teras
belakang. Pada putaran terakhir, Purnomo menerima bungkusan singkong
rebus. Kepada Lilani, Purnomo memberikan kompor mainan dari kaleng
bekas yang tempo hari dia bawa. Esok dan esoknya lagi, Purnomo dan
Lilani sudah akrab bermain masak-masakan.
Pada hari-hari menunggu Purnomo datang, Lilani mencuri kelengahan
maminya. Ia kembali mengintip Sekolah Merpati dari pagar bolong. Hanya
sesekali Lilani menemukan Purnomo lewat bolongan itu. Ia lebih kerap
melihat orang-orang kumal penuh luka yang makin hari kian meratai tubuh
mereka.
Lilani ingin sekali menanyakan soal itu pada Purnomo. Namun ia sudah
cukup lega, karena Purnomo datang tanpa luka sedikit pun di tubuh.
Kendati Purnomo tampak makin kurus dan kuyu, Lilani senang Purnomo bisa
tersenyum-senyum saat bermain dengannya. Mengobati kangennya memanjat
pohon jambu di Sekolah Merpati.
***
TERINGAT KOMPOR mainan kanak-kanaknya itu, Lilani
cepat-cepat kembali duduk di kursi Huan. Kembali memandangi lemari hijau
tua. Namun Lilani segera bangun dan membuka laci paling bawah bagian
kanan. Tak salah, ia menemukan kompor mainan di situ. Masih bersih,
terbungkus kantong plastik bening.
Dulu, Huan menyimpannya ketika Lilani sudah tak memainkan lagi. Ketika
Lilani telah kecewa lantaran Purnomo tak lagi muncul di rumahnya. Dan,
ketika lemari tua itu baru saja dibeli.
Ingatan Lilani kembali terlempar pada suatu siang yang panas, puluhan
tahun lalu. Seluruh penghuni gedung Sekolah Merpati digiring keluar.
Keluarga Lilani bersama tukang-tukang becak yang sudah ngandang siang itu hanya berani melihat dari sela pintu pagar seng yang sedikit terbuka.
Mereka diangkut dengan truk-truk besar. Ada Purnomo di antara mereka.
“Mbah Pur!” seru Lilani yang segera terhenti. Maminya sigap membungkam
mulut gadis kecil itu. Lilani terisak-isak dan menyingkir dari pagar.
“Mereka pindah ke mana?” tanya Lilani pada salah satu pengemudi becak di sudut teras rumahnya.
“Katanya mau dibuang ke laut, Nik. Nonik tahu, kata orang-orang, mereka
membahayakan negara. Jadi mereka harus dibuang,” jawab yang ditanya
panjang-lebar tanpa menoleh kepada Lilani.
Belum tuntas jawaban itu, Lilani pergi. Ia tak mengerti.
Lilani meraung, menuju kamar neneknya. “Mbah Pur, Mbah Pur! Mengapa dibuang ke laut?”
Huan diam saja, duduk di kasur.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar