Sutan Takdir Alisjahbana (STA) lahir
di Natal, Sumatera Utara, 11 Februari 1908. Beliau merupakan tokoh
pembaharu, sastrawan, dan ahli tata Bahasa Indonesia.
STA masih keturunan keluarga kerajaan.
Ibunya, Puti Samiah adalah seorang Minangkabau yang telah turun temurun
menetap di Natal, Sumatera Utara. Puti Samiah merupakan keturunan Rajo
Putih, salah seorang raja Kesultanan Indrapura yang mendirikan kerajaan
Lingga Pura di Natal. Ayahnya, Raden Alisyahbana yang bergelar Sutan
Arbi, adalah seorang guru.
STA menikah dengan tiga orang istri serta
dikaruniai sembilan orang putra dan putri. Istri pertamanya adalah
Raden Ajeng Rohani Daha (menikah tahun 1929 dan wafat pada tahun 1935)
yang masih berkerabat dengan STA. Dari R.A Rohani Daha, STA dikaruniai
tiga orang anak yaitu Samiati Alisjahbana, Iskandar Alisjahbana, dan
Sofjan Alisjahbana. Tahun 1941, STA menikah dengan Raden Roro Sugiarti
(wafat tahun 1952) dan dikaruniai dua orang anak yaitu Mirta Alisjahbana
dan Sri Artaria Alisjahbana. Dengan istri terakhirnya, Dr. Margaret
Axer (menikah 1953 dan wafat 1994), STA dikaruniai empat orang anak,
yaitu Tamalia Alisjahbana, Marita Alisjahbana, Marga Alisjahbana, dan
Mario Alisjahbana. STA sangat menghormati wanita, ia mengatakan bahwa
wanita adalah motor penggerak dan pendukung dibalik kesuksesan seorang
laki-laki.
Setelah menamatkan sekolah HIS di
Bengkulu (1921), STA melanjutkan pendidikannya ke Kweekschool,
Bukittinggi. Kemudian dia meneruskan HKS di Bandung (1928), meraih Mr.
dari Sekolah Tinggi di Jakarta (1942), dan menerima Dr. Honoris Causa
dari Universitas Indonesia (1979) dan Universitas Sains Malaysia,
Penang, Malaysia (1987).
Kariernya beraneka ragam dari bidang
sastra, bahasa, dan kesenian. STA pernah menjadi redaktur Panji Pustaka
dan Balai Pustaka (1930-1933). Kemudian mendirikan dan memimpin majalah
Poedjangga Baroe (1933-1942 dan 1948-1953), Pembina Bahasa Indonesia
(1947-1952), dan Konfrontasi (1954-1962). Pernah menjadi guru HKS di
Palembang (1928-1929), dosen Bahasa Indonesia, Sejarah, dan Kebudayaan
di Universitas Indonesia (1946-1948), guru besar Bahasa Indonesia,
Filsafat Kesusastraan dan Kebudayaan di Universitas Nasional, Jakarta
(1950-1958), guru besar Tata Bahasa Indonesia di Universitas Andalas,
Padang (1956-1958), guru besar dan Ketua Departemen Studi Melayu
Universitas Malaya, Kuala Lumpur (1963-1968).
STA merupakan salah satu tokoh pembaharu
Indonesia yang berpandangan liberal. Berkat pemikirannya yang cenderung
pro-modernisasi sekaligus pro-Barat, STA sempat berpolemik dengan
cendekiawan Indonesia lainnya. STA sangat gelisah dengan pemikiran
cendekiawan Indonesia yang anti-materialisme, anti-modernisasi, dan
anti-Barat. Menurutnya, bangsa Indonesia haruslah mengejar
ketertinggalannya dengan mencari materi, memodernisasi pemikiran, dan
belajar ilmu-ilmu Barat.
Dalam kedudukannya sebagai penulis ahli
dan kemudian ketua Komisi Bahasa selama pendudukan Jepang, STA melakukan
modernisasi Bahasa Indonesia sehingga dapat menjadi bahasa nasional
yang menjadi pemersatu bangsa. Ia yang pertama kali menulis Tata Bahasa
Baru Bahasa Indonesia (1936) dipandang dari segi Indonesia, yang mana
masih dipakai sampai sekarang. Serta Kamus Istilah yang berisi
istilah-istilah baru yang dibutuhkan oleh negara baru yang ingin
mengejar modernisasi dalam berbagai bidang. Setelah Kantor Bahasa tutup
pada akhir Perang Dunia kedua, ia tetap mempengaruhi perkembangan Bahasa
Indonesia melalui majalah Pembina Bahasa yang diterbitkan dan
dipimpinnya. Sebelum kemerdekaan, STA adalah pencetus Kongres Bahasa
Indonesia pertama di Solo. Pada tahun 1970, STA menjadi Ketua Gerakan
Pembina Bahasa Indonesia dan inisiator Konferensi Pertama Bahasa-bahasa
Asia tentang The Modernization of The Languages in Asia (29 September-1
Oktober 1967).
Selain sebagai ahli tata Bahasa
Indonesia, STA juga merupakan seorang sastrawan yang banyak menulis
novel. Beberapa contoh novelnya yang terkenal yaitu Tak Putus Dirundung
Malang (1929), Dian Tak Kunjung Padam (1932), Layar Terkembang (1936),
Anak Perawan di Sarang Penyamun (1940), dan Grotta Azzura (1970 &
1971).
STA menghabiskan masa tuanya di rumah, di
Indonesia. Rumahnya sangat asri dan penuh dengan tanaman serta
pepohonan. STA membiarkan hewan-hewan ternaknya berkeliaran di halaman
belakang rumahnya yang luas, seperti angsa dan ayam. STA mengisi waktu
luangnya dengan membaca dan menulis, serta berenang di kolam renang yang
dibuatkan oleh anak-anaknya untuk menjaga kesehatan tubuh. STA
meninggal di Jakarta, 17 Juli 1994 pada usia 86 tahun.
0 komentar:
Posting Komentar