Peranan Ibu Dalam Keluarga
Keluarga merupakan lembaga sosial yang paling awal dikenal dan dekat dengan anak maka peranannya dalam pendidikan dan proses pembentukan pribadi tampak dominan. Salah satu bagian dari keluarga adalah ibu. Kehidupan seseorang tak akan lepas dari seorang ibu. Menjadi ibu rumah tangga atau ibu untuk anak-anak sering dianggap profesi yang remeh-temeh oleh kebanyakan orang, anggapan ibu rumah tangga yang hanya bergelut dengan dapur, kasur, dan sumur kadang membuat sebagian ibu rumah tangga sering kali minder jika ditanya mengenai pekerjaannya sebagai ibu rumah tangga.
Seorang wanita yang memilih menjadi ibu rumah tangga bukanlah sesuatu yang salah. Baik wanita yang mempunyai latar belakang pendidikan yang tinggi maupun yang tidak, tidak salah apabila dalam kehidupannya wanita memilih menjadi ibu rumah tangga. Peran ibu rumah tangga dalam keluarga tidak hanya terpaku pada peran ibu dalam mendidik anak-anaknya. Seorang ibu juga bisa berkarier, akan tetapi ia tidak lupa akan perannya sebagai ibu dari anak-anaknya.
“Behind a great man, there must be a gread woman” kata ini menggambarkan betapa berperannya seorang ibu dalam mendidik anak dan peran ibu dalam membentuk manusia yang super. Karena bukankah ada ungkapan bahwa dibalik kesuksesan seorang laki-laki adalah tergantung siapa wanita dibelakangnya, ya wanita itu, bisa jadi ibu bagi seorang anak atau istri bagi seorang suami.
Seorang ibu bagi keluarga sangatlah penting, karena peran seorang ibu sangat menentukan tumbuh kembangnya pribadi keluarga terutama anak. Anak mampu berdikari dan mandiri ketika kelak hidup di masyarakat adalah berkat peran ibu dalam mendidik anak. Selain peran ibu yang sangat penting dalam membentuk kepribadian anak peran seorang ayahpun tidak bisa dihilangkan. Ibu memiliki peran menyusui anak dan merapikannya, sementara ayah bertugas mencari nafkah dan sekali-kali ayah juga berpotensi menggantikan ibu dalam mendidik anak. Misalnya memandikannya dan mengantar anak ke sekolahnya.
Tumbuh kembangnya kepribadian anak juga bisa dipengaruhi oleh keadaan keluarganya. Misalnya saja seorang anak yang berada di lingkungan keluarga “Broken Home” karena ibu dan ayahnya bercerai, psikologis anak yang dididik oleh ayahnya belum tentu sama dengan psikologis anak yang dididik oleh ibunya. Anak yang dididik ayahnya bisa saja lebih cenderung memiliki sifat dan sikap yang kurang baik. Semua itu sering disebabkan karena kurangnya kasih sayang, perhatian, penerapan nilai dan norma yang ada di dalam masyarakat dan didikan dari seorang ayah karena si ayah terlalu sibuk dengan pekerjaannya, sampai-sampai ia lupa akan peran ganda yang dimilikinya sebagai seorang ayah yang mencari nafkah sekaligus seorang ibu yang mendidik dan membimbing anaknya. Dari hal inilah seorang anak memiliki psikologis yang kurang baik.
Berbeda halnya dengan anak yang diasuh ibunya. Seorang ibu akan menanamkan nilai-nilai dan norma yang ada di dalam masyarakat. Pada hakekatnya seorang ibu memang bertugas sebagai pendidik, pengasuh, dan pembimbing bagi anak-anaknya dalam keluarga. Akan tetapi, sejak tiga dasa warsa terakhir peran ibu dalam keluarga mengalami kemajuan pesat. Dorongan utamanya adalah tuntutan ekonomi. Keluarga tidak bisa lagi mengandalkan para bapak untuk memenuhi kebutuhan keluarga secara memadai. Untuk itu para ibu terpanggil untuk berparan, mengambil alih peran bapak yang tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarganya.
Sementara, posisi itu dalam rumah tangga juga mengalami perubahan, bahkan dengan cara drastis dan radikal. Wewenang dan wibawa para ibu menanjak dalam keluarga. Mereka turut memutuskan apa saja yang selama ini dipegang kaum bapak. Di samping itu pergeseran dalam kemampuan intelektual, khususnya tingkat pendidikan kaum perempuan merupakan salah satu kunci perkembangan sekaligus masalah baru dalam keluarga. Emansipasi dalam kehidupan social juga turut membutuhkan hubungan harmonisasi antara bapak dan ibu serta anak-anak di rumah. Ibu dan ayah memiliki peran yang sama-sama penting dalam keluarga. Namun ada beberapa keutamaan ibu dibandingkan ayah. Peran ibu dalam mendidik anak tidak bisa di sejajarkan dengan ayah. Karena itu ibu memiliki naluri yang begitu kuat terhadap anaknya di bandingkan ayahnya. Untuk itu, ibu memiliki keutamaan-keutamaan dibandingkan ayah. Keutamaan ibu diantaranya adalah ibu lebih sabar dibandingkan ayah di dalam hal mendidik anak, ibu lebih memiliki insting alami yang tidak dimiliki oleh ayah, ibu lebih mengetahui karakter dan moral anak dibandingkan ayah. itu semua dimiliki seorang ibu karena ibu yang mengandung dan melahirkan anaknya sehingga, ibu lebih sayang pada anaknya. Tanpa kasih sayang, seorang anak tidak akan mampu mengetahui seberapa berharganya diri seseorang di dalam kehidupannya
Yang dititikberatkan dalam hal ini adalah betapa pentingnya peran ibu dalam keluarga. Tidak diragukan bahwa peran ibu dalam keluarga adalah hal yang sangat penting. Bahkan dapat dikatakan bahwa keharmonisan dan kebahagiaan keluarga sangat ditentukan oleh peran seorang ibu. Jika ibu adalah wanita yang baik akan baiklah kondisi keluarga. Sebaliknya apabila ibu adalah wanita yang bersikap buruk, hancurlah keluarga.
Ibu adalah madrasah pertama untuk anak-anaknya, tempat dimana anak mendapat asuhan dan diberi pendidikan pertama bahkan mungkin sejak dalam kandungan. Seorang ibu secara sadar atau tidak sadar telah memberi pendidikan kepada sang janin, karena menurut penelitian bahwa bayi dalam kandungan sudah bisa mendengar bahkan ikut merasakan suasana hati seorang sang ibunda, maka tidak heran jika ikatan emosional seorang ibu dan anak akan lebih tampak dibandingkan dengan seorang ayah.
Jika seorang ibu dapat memahami dan mau melaksanakan tugas serta tanggung jawabnya dalam mendidik dan mengarahkan anak dengan baik, dengan segala tuntutan dan teladan pada anak. InsyaAllah akan terlahir generasi yang salih, unggul dan mampu bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan kehidupan yang layak.
Pada dasarnya manusia itu mempunyai potensi yang positif untuk berkembang tetapi apakah potensi itu akan diaktualisasikan atau tidak sangat ditentukan oleh pendidikan di dalam keluarga, seperti yang dituntunkan Rasullullah SAW bahwa: “setiap bayi lahir dalam fitrah (Bertauhid). Ibu dan bapaknyalah yang menjadi yahudi, nasrani atau majusi”.
Ibu dan bapak bagi anaknya di dalam keluarga merupakan suatu wadah tempat bimbingan dan latihan anak sejak kehidupan mereka. Dan diharapkan dari merekalah seseorang dapat menempuh kehidupannya dengan matang dan dewasa.
Berbicara mengenai pendidikan anak maka yang paling besar pengaruhnya adalah ibu. Di tangan ibu keberhasilan pendidikan anak-anaknya walaupun tentunya keikutsertaan bapak tidak dapat diabaikan begitu saja. Ibu memainkan peran penting di dalam mendidik anak-anaknya terutama pada massa balita. Pendidikan di sini tidak hanya dalam pengertian yang sempit. Pendidikan dalam keluarga dapat berarti luas, yaitu pendidikan iman, moral, fisik atau jasmani, intelektual, psikologis, sosial dan pendidikan seksual.
Peranan ibu dalam mendidik anaknya dibagi menjadi empat tugas penting yaitu: ibu sebagai pemuas kebutuhan anak ;ibu sebagai teladan dan ibu sebagai pemberi stimulasi bagi perkembangan anak serta ibu sebagai figur publik.
Yang pertama, peran ibu sebagai sumber pemenuhan kebutuhan anak, fungsi ibu ini sangat besar artinya bagi anak, terutama sampai periode anak sekolah, bahkan sampai menjelang dewasa. Ibu perlu menyediakan waktu bukan saja untuk selalu bersama tetapi untuk selalu berinteraksi maupun berkomunikasi secara terbuka dengan anaknya.
Pada dasarnya kebutuhan seseorang meliputi kebutuhan fisik, psikis, sosial dan spiritual. Kebutuhan fisik merupakan kebutuhan makan, minum, pakaian, tempat tinggal dan lain sebagainya. Kebutuhan psikis meliputi kebutuhan akan kasih sayang, rasa aman, diterima dan dihargai. Sedangkan kebutuhan sosial akan diperoleh anak dari kelompok di luar lingkungan keluarganya. Dalam pemenuhan kebutuhan ini, ibu hendaknya memberi kesempatan bagi anak untuk bersosialisasi dengan teman sebayanya. Kebutuhan spiritual, adalah pendidikan yang menjadikan anak mengerti akan kewajibannya kepada Allah, kepada Rasul-Nya, orang tuanya dan sesama saudaranya, menjadi tanggung jawab ayah dan ibunya. Karena memberikan pelajaran agama sejak dini merupakan kewajiban orang tua kepada anaknya dan merupakan hak untuk anak atas orang tuanya, maka jika orang tuanya tidak menjalankan kewajiban ini berarti menyia-nyiakan hak anak.
Seorang ibu harus memberikan atau memuaskan kebutuhan anak secara wajar, tidak boleh berlebihan maupun tidak kurang. Pemenuhan kebutuhan anak secara berlebihan atau kurang akan menimbulkan pribadi yang kurang sehat kelak kemudian hari. Seorang ibu yang ,memenuhi kebutukan anaknya secara berlebihan akan menyebabkan anaknya cenderung memiliki sifat manja. Begitupun sebaliknya seorang ibu yang kurang memenuhi kebutuhan anaknya akan menyebabkan si anak cenderung memiliki sifat pasif yang berakibat si anak tidak bisa mengembangkan potensi yang berada di dalam dirinya.
Dalam memenuhi kebutuhan psikis anak, seorang ibu harus mampu menciptakan situasi yang aman bagi putra-putrinya, ibu diharapkan dapat membantu anaknya apabila mereka menemui kesulitan. Perasaan aman anak yang diperoleh dari rumah akan dibawa keluar rumah, artinya anak tidak akan mudah cemas dalam mehadapi masalah-masalah yang timbul.
Seorang ibu harus mampu menciptakan hubungan atau ikatan emosional dengan anaknya. Kasih sayang yang diberikan ibu terhadap anaknya akan menimbulkan berbagai perasaan yang dapat menunjang kehidupannya dengan orang lain. Cinta kasih yang diberikan ibu pada anak akan mendasari bagaimana sikap anak terhadap orang lain. Seorang ibu yang tidak mampu memberikan cinta kasih pada anak-anaknya akan menimbulkan perasaan ditolak, perasaan ditolak ini akan berkembang menjadi perasaan dimusuhi. Anak dalam perkembangannya akan menganggap bahwa oranglain pun seperti ibu atau orang tuanya. Sehingga tanggapan anak terhadap orang lain juga akan bersifat memusuhi, menentang atau agresi.
Seorang ibu yang mau mendengarkan apa yang dikemukakan anaknya, menerima pendapatnya dan mampu menciptakan komunikasi secara terbuka dengan anak, dapat mengembangkan perasaan dihargai, diterima dan diakui keberadaanya. Untuk selanjutnya anak akan mengenal apa arti hubungan diantara mereka dan akan mewarnai hubungan anak dengan lingkungannya. Anak akan tahu bagaimana cara menghargai orang lain, tenggang rasa dan komunikasi, sehingga dalam kehidupan dewasanya dia tidak akan mengalami kesulitan dalam bergaul dengan orang lain.
Yang kedua, ibu sebagai teladan atau model bagi anaknya. Dalam mendidik anak seorang ibu harus mampu menjadi teladan bagi anak-anaknya. Mengingat bahwa perilaku orangtua khususnya ibu akan ditiru yang kemudian akan dijadikan panduan dalam perlaku anak, maka ibu harus mampu menjadi teladan bagi anak-anaknya. Seperti yang difirmankan Allah dalam Surat Al-Furqaan ayat 74:
“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi golongan orang-orang yang bertaqwa.”
Kalau kita perhatikan naluri orang tua seperti yang Allah firmankan dalam Al Qur’an ini, maka kita harus sadar bahwa orang tua senantiasa dituntut untuk menjadi teladan yang baik di hadapan anaknya.
Sejak anak lahir dari rahim seorang ibu, maka ibulah yang banyak mewarnai dan mempengaruhi perkembangan pribadi, perilaku dan akhlaq anak. Untuk membentuk perilakuan anak yang baik tidak hanya melalui bil lisan tetapi juga dengan bil hal yaitu mendidik anak lewat tingkah laku. Sejak anak lahir ia akan selalu melihat dan mengamati gerak gerik atau tingkah laku ibunya. Dari tingkah laku ibunya itulah anak akan senantiasa melihat dan meniru yang kemudian diambil, dimiliki dan diterapkan dalam kehiduapnnya. Dalam perkembangan anak proses identifikasi sudah mulai timbul berusia 3 – 5 tahun. Pada saat ini anak cenderung menjadikan ibu yang merupakan orang yang dapat memenuhi segala kebutuhannya maupun orang yang paling dekat dengan dirinya, sebagai “model” atau teladan bagi sikap maupun perilakunya. Anak akan mengambil, kemudian memiliki nilai-nilai, sikap maupun perilaku ibu. Dari sini jelas bahwa perkembangan kepribadian anak bermula dari keluarga, dengan cara anak mengambil nilai-nilai yang ditanamkan orang tua baik secara sadar maupun tidak sadar. Dalam hal ini hendaknya orang tua harus dapat menjadi contoh yang positif bagi anak-anaknya. Anak akan mengambil nilai-nilai, sikap maupun perilaku orang tua, tidak hanya apa yang secara sadar diberikan pada anaknya misal melalui nasihat-nasihat, tetapi juga dari perilaku orang tua yang tidak disadari. Sering kita lihat banyak orang tua yang menasehati anaknya tetapi mereka sendiri tidak melakukannya. Hal ini akan mengakibatkan anak tidak sepenuhnya mengambil nilai, norma yang ditanamkan. Jadi, untuk melakukan peran sebagai model, maka ibu sendiri harus sudah memiliki nilai-nilai itu sebagai milik pribadinya yang tercermin dalam sikap dan perilakunya. Hal ini penting artinya bagi proses belajar anak-anak dalam usaha untuk menyerap apa yang ditanamkan.
Yang ketiga, ibu sebagai pemberi stimuli bagi perkembangan anaknya. Perlu diketahui bahwa pada waktu kelahirannya, pertumbuhan berbagai organ belum sepenuhnya lengkap. Perkembangan dari organ-organ ini sangat ditentukan oleh rangsang yang diterima anak dari ibunya. Rangsangan yang diberikan oleh ibu, akan memperkaya pengalaman dan mempunyai pengaruh yang besar bagi perkembangan kognitif anak. Bila pada bulan-bulan pertama anak kurang mendapatkan stimulasi visual maka perhatian terhadap lingkungan sekitar kurang. Stimulasi verbal dari ibu akan sangat memperkaya kemampuan bahasa anak. Kesediaan ibu untuk berbicara dengan anaknya akan mengembangkan proses bicara anak. Jadi, perkembangan mental anak akan sangat ditentukan oleh seberapa besar rangsang yang diberikan ibu terhadap anaknya. Rangsangan dapat berupa cerita-cerita, macam-macam alat permainan yang edukatif maupun kesempatan untuk rekreasi yang dapat memperkaya pengalamannya.
Yang terakhir, ibu sebagai publik figur. Kita tidak bisa menghindar dari yang namanya masyarakat, seorang ibu merupakan bagian integral dari masyarakat (society), sangat penting baginya melakukan adaptasi terhadap keragaman kultur, etnis dan agama. Apapun alasannya, menjadi keharusan untuk dapat hidup rukun dan damai dalam sebuah masyarakat yang heterogen. Dalam menghadapai tantangan zaman yang sangat kompetitif diharapkan para ibu mampu bersatu menjalin tali persaudaraan yang kokoh agar tidak menjadi objek pembangunan yang sangat merugikan dirinya, menjadi pelengkap penderita pembangunan. Untuk menciptakan ranah kehidupan yang kondusif, para ibu harus memiliki jiwa kepemimpinan dan ilmu pengetahuan (leadership and knowledge) yang mapan dan keteladanan yang patut diikuti.
Jiwa kepemimpinan (leadership) minimal untuk dirinya dan keluarganya sebagai unit terkecil dari lingkungan masyarakat. Begitu juga keteladanan minimal untuk anak-anaknya. Dan yang sangat kita harapkan ibu punya kapasitas dan kredibilitas yang diakuiuntuk tampil di masyarakat baik itu di lingkungan kerjanya maupun di lingkungan tempat tinggalnya atau menjadi tokoh masyarakat. Banyak deretan nama tokoh atau pahlawan wanita Indonesia, pejuang abad ke-19 antara lain: M Christina Tiahahu, Walanda Maramis, Dewi Sartika, Rangkoyo Rasuna Said, R. A. Kartini, Cut Nya Dien, Cut Mutiah, Nyai Ahmad Dahlan dll. Menjadi tanda tanya besar untuk era sekarang, maukah kaum ibu saat ini menyamai dan mewarisi semangat perjuangan beliau? Andaikan Ibu R.A. Kartini melihat kaum ibu saat ini maka beliau menangis atas kegagalan cita-cita mulia beliau, “kebebasan (emansipasi) perempuan malah disalahartikan”. Banyak kaum perempuan telah mengecap pendidikan sehingga mampu menjadi publik figur di luar rumahnya, apakah itu ditempat kerja atau masyarakat tetapi ada yang terlupakan yaitu anak-anak mereka sebagai regenerasi, tidak mendapatkan kasih sayang dan pendidikan akhlakul karimah yang cukup, akhirnya anak tumbuh menjadi anak yang gersang batinnya, terjauh dari nilai-nilai agama. Kemudian ada perempuan yang telah mendapatkan pendidikan di sekolah sehingga mampu melakukan kreativitas seni, namun dengan mudahnya diajak mengikuti budaya yang bertentangan dengan nilai budaya ketimuran dan terlebih lagi norma-norma agama yang dianutnya yaitu Islam.
Pornografi dan pornoaksi masih kita lihat di media, korbannya adalah para perempuan yaitu anak dari seorang ibu, lalu pergaulan bebas anak-anak remaja/usia sekolah dan bahkan sampai anak-anak putus sekolah juga banyak (akibat dari didikan yang salah), kita dapat lihat di pinggir-pinggir jalan menjadi pengamen. Apakah makna cita-cita ibu R.A. Kartini tidak tersampaikan di telinga para ibu sampai hari ini. Sungguh sangat-sangat “menyedihkan dan memilukan hati”,
Selain ibu memiliki peran publik dalam keluarga, ibu juga memiliki peran domestik yang terdiri dari peran ibu sebagai istri dan peran ibu sebagai orang tua dalam keluarga. Ibu Sebagai Istri.Seorang ibu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari satu keluarga, berstatus sebagai seorang pendamping dari suaminya. Sehingga mempunyai peran yang sangat urgen dalam kehidupan keluarga, namun terkadang atau bahkan sering terjadi kekerasan terhadapnya. Fakta memperlihatkan bahwa banyak ibu diperlakukan sebagai pelengkap penderita, di mana ia diperlakukan dan diposisikan pada second classdan bahkan dibiarkan tak berarti apa-apa di saat tertentu.
Hal tersebut menjadi penyebab utama perempuan selalu berada pada posisi yang lemah karena tidak dipandang sebagai mitra kerja oleh laki-laki. Apakah itu dalam lingkungan keluarga, lingkungan kerja dan lingkungan masyarakat. Keretakan suatu keluarga banyak disebabkan oleh hilangnya sifat saling menghargai antara keduanya (suami – istri). Harmonisasi keluarga hilang yang pada akhirnya akan terjadi keretakan keluarga atau sampai pada perceraian. Secara psikilogi akan berdampak pada kinerja laki-laki (suami) di lingkungan kerjanya begitu pula di lingkungan masyarakat akan mendapat cemoohan.
Oleh karena itu, potensi yang dimiliki masing-masing, tidak mampu menjadi sebuah kekuatan yang pada dasarnya bisa mengatasi krisis bangsa yang dimulai dari unit keluarga. Sadar atau tidak sadar, kesuksesan unit keluarga sangat signifikan untuk mengatasi krisis bangsa. Dampak langsung yang bisa kita lihat, perempuan dan laki-laki (istri-suami) dapat bekerja dengan tenang, nyaman dan damai di tempat kerja masing-masing karena saling ada kepercayaan/menjaga kepercayaan di antara keduanya. Titik kerawanan keluarga ada pada, jika seorang ibu memiliki peran di luar rumah, apakah itu karyawan atau atasan di kantor atau menjadi perempuan pengusaha (business woman),
pada kondisi ini akan timbul saling curiga yang ujung-ujungnya akan melemahkan semangat kerja di kantor dan tanggung jawab keluarga otomatis akan melemah pula, yang terjadi broken home. Anak-anak tidak diperhatikan lagi dan akan melakukan apa saja yang mereka kehendaki tanpa kontrol dari kedua orang tua.
Budaya patriarki tidak menciptakan demokratisasi keluarga, ada pihak yang sangat dominan melakukan penekanan terhadap pihak yang lain sehingga persoalan-persoalan yang muncul tidak terselesaikan secara demokratis. Tidak ada transparansi keluarga yang pada dasarnya hal tersebut tidak boleh muncul dalam satu keluarga. Malah tidak jarang ada keluarga saling menceritakan aibkeluarga bukan pada tempatnya. Artinya bukan pada lembaga pembelaan (advokasi), atau konsultan (consultant) keluarga yang konsen pada penyelesain masalah keluarga. Jadi, bukannya menyelesaikan tetapi semakin memperuncing masalah, kerukunan dan kedamaian keluarga semakin jauh atau tidak tercapai lagi.
Ibu Sebagai Orang Tua. Peran Ibu terhadap anak-anaknya di rumah sebagai pendidik dan pengayom pertama sebelum masuk pendidikan formal, yang sangat berarti dalam perkembangan dan pertumbuhan segala potensi anak. Seorang ibu yang mampu memberikan pendidikan awal (basic education) yang benar yaitu pendidikan akhlak (moral education) dan pendidikan pengembangan potensi pikir dan kreativitas sejak dalam lingkungan keluarganya, maka anak tersebut akan cepat menyesuaikan kondisi di luar lingkungan keluarganya dan mampu melakukan penajaman dan pencerahan pemikiran secara cepat. Terlebih seorang anak yang dibekali pendidikan akhlak sejak kecil oleh orang tuanya terutama ibu yang banyak waktu bersamanya, anak tersebut tidak cepat terpengaruh dan terjerumus dalam pergaulan bebas yang kontroversial dengan ajaran Islam.
Anak akan selalu teringat dengan pesan-pesan moral yang baik sepanjang hidupnya. Dekadensi moral yang dialami oleh seorang anak karena krisis moral, tidak mampu melakukam penyaringan budaya asing. Banyak anak yang kita temukan secara materi tercukupi tetapi gersang dengan kasih sayang dan pendidikan moral. Sehingga batin mereka kosong, dengan mudahnya akan terisi dengan ajakan pergaulan bebas, pecandu narkotika dan putus sekolah karena tak ada lagi gairah belajar.
Seorang anak akan bergerak sesuai dengan zamannya sehingga pendidikan akhlakul karimah sangat signifikan sebagai bekal melawan pengaruh negatif dari barat. Optimalisasi fungsi kontrol orang tua juga sangat diharapkan sampai anak-anak mampu mambawa dirinya dan tidak larut dalam kondisi secanggih apapun.
Dari apa yang dikemukakan di atas jelaslah bahwa kunci keberhasilan seorang anak di kehidupannya sangat bergantung pada ibu. Sikap ibu yang penuh kasih sayang, memberi kesempatan pada anak untuk memperkaya pengalaman, menerima, menghargai dan dapat menjadi teladan yang positif bagi anaknya, akan besar pengaruhnya terhadap perkembangan pribadi anak. Jadi dapat dikatakan bahwa bagaimana gambaran anak akan dirinya ditentukan oleh interaksi yang dilakukan ibu dengan anak. Konsep diri anak akan dirinya positif, apabila ibu dapat menerima anak sebagaimana adanya, sehingga anak akan mengerti kekurangan maupun kelebihannya. Kemampuan seorang anak untuk mengerti kekurangan maupun kelebihannya akan merupakan dasar bagi keseimbangan mentalnya. Dengan demikian seorang ibu wajib memiliki kecukupan ilmu pengetahuan untuk dapat mengarahkan anak-anaknya kepada kebaikan dan serta suri tauladan yang baik di hadapan anak-anaknya. Perilaku dan kebijakan seorang ibu sangat tergantung pada tingkat pendidikan dan pengalamannya. Zaman dengan secepat mungkin dapat berubah sehingga menuntut seorang ibu yang tanggap dan cerdas dalam menuntun anak-anaknya, sehingga krisis moralitas bangsa dapat teratasi. Para remaja tidak lagi terjerumus dalam kehidupan yang glamor, tetapi mereka akan berkembang menjadi anak-anak yang cerdas dan kreatif serta taat dan patuh terhadap Sang Pencipta (Allah Swt).
0 komentar:
Posting Komentar