Yusron Muchsin
yang lebih akrab dipanggil Kak Ucon -- karena banyak anak-anak
kesulitan mengeja Yusron, lahir di Ponorogo pada 17 Juli 1970.
Pendidikan terakhir adalah sarjana ekonomi manajemen di Universitas
Islam Darul Ulum-Lamongan (1998), dan alumni Pondok Modern Gontor
Ponorogo (1992).
Bagi pria berkacamata ini pengalaman mendengarkan dongeng dari orangtua sangat membekas dihatinya. Terutama saat didongengi ibu menjelang tidur, atau saat bulan purnama di halaman rumah oleh ayah. Saat itu Ucon kecil tahunya mendapat hiburan. Tanpa sadar pesan moral dari ungkapan kasih sayang itu seolah menjadi kompas hidupnya. Inilah yang membuat si-Ucon bertekad melakukan hal yang sama, menghibur dan menularkan dongeng kepada siapa saja.
Di luar pendidikan formal, ia juga ditempa dalam komunitas teater, diantaranya Sena Didi Mime-Jakarta, asuhan Didi Petet, Teater Satu Merah Panggung-Jakarta, yang dibesut Ratna Sarumpaet, dan Terisda (Teater Islam Darussalam). Di dunia seni peran itulah ia belajar akting, pantomime dan menemukan cara menirukan ratusan suara, dari aneka binatang, manusia, alat transportasi, suara senjata, hingga instrumen musik. Ia pun sempat mendirikan kelompok peniru suara “Varia Vocalia, The Magic Voice”, sebuah wadah bagi para penggemar tiru suara. Pengalaman itu dikemudian hari sangat mendukungnya dalam menggeluti hobi mendongeng.
Ketika merantau ke Jakarta (1993), ia tampil di acara televisi Salam Canda yang di bawakan Ebet Kadarusman. Di luar acara on air di RCTI itu, Kang Ebet juga sering mengajaknya ‘mengamen’ di hotel, kafe, dan beberapa tempat hiburan lain. Saat itu ia bersama beberapa peniru suara juga mendirikan kelompok parodi tiru suara “Ali Baba”, yang rutin mengisi acara di Pasar Seni, Taman Impian Jaya Ancol.
Dengan kelompok barunya ia terpilih sebagai finalis Senimania Republika yang di gelar Harian Republika di Taman Ismail Marzuki (TIM). Juga sering pentas atas undangan perusahaan swasta maupun pemerintah. Selain itu “Ali Baba” acap kali mengisi acara-acara di televisi, mulai dari PESTA (Indosiar), Keren Beken (TPI), Dian Rana (TVRI), Bumbata (RCTI), dan puluhan acara lain. Bahkan mempunyai acara parodi “Wartegs” (Warung Tegur Sapa) di TPI. Sayang, akibat krismon 1998 acara itu hanya bertahan 24 episode.
Di luar kesibukan pentas dan menjadi penyiar di Radio Attahiriyah tahun 2002, rumahnya di Jatijajar II Rt.02/09 No.62 Tapos-Depok, kala itu selalu didatangi anak-anak tetangga minta didongengi. Itulah awalnya ia mendongeng. Kebiasaan baru itu terus berlanjut ketika ia menjadi wartawan di Harian Bandung Post dan Harian Pelita. Pengetahuannya dalam mendongeng semakin terasah ketika bertemu pendongeng Kak WeEs Ibnu Say (Rumah Dongeng Indonesia).
Lebih dari itu, pergaulannya dengan anak-anak menjadikan kemampuannya dalam mendongeng semakin mumpuni. Karena kecintaannya pada anak-anak, kelompok “Ali Baba” ia tinggalkan untuk mulai mendongeng di beberapa yayasan sosial di Jakarta sepanjang 2000-2004, diantaranya Yayasan Bunda Yessy (dikelola Yessy Gusman), Yayasan Darussalam (di bantaran sungai Ciliwung) dan KKS Melati (di lokalisasi liar ‘Bongkaran’ Tanah Abang).
Suatu saat di akhir 2004, usai mendongeng dalam pembukaan Rumah Cahaya-Penjaringan yang dikelola Forum Lingkar Pena/FLP, ia ditemui Tim Gramedia Pustaka Utama. Mereka mengundangnya menjadi praktisi dongeng dalam Semiloka Dongeng di Hotel Santika-Jakarta (Maret 2005) dan juri dalam Lomba Dongeng Nasional yang digelar di Bentara Budaya (Juni 2005). Walau sempat ragu, ternyata dua acara itu sukses besar. Hikmahnya, nama Kak Ucon mulai dikenal masyarakat dan pengalaman itu membuatnya ketagihan mendongeng.
Kini disela kesibukannya sebagai copywriter di SPOT Corporate Communication (unit usaha Majalah SWA), sampai sekarang ia rutin membina “Komunitas Kajian Dongeng” Psikologi UI (sejak 2005), komunitas “Dongeng Untuk Semua”/DUS (sejak 2007) dan tukar pengalaman di komunitas “Dongeng Minggu” TB. Gramedia Matraman (sejak 2007).
Melalui perjalanan panjangnya di dunia dongeng --baik melalui media televisi, radio, live show, termasuk menjadi instruktur mendongeng-- Kak Ucon berhasil meramu metode dongeng yang lengkap. Gabungan antara kelucuan, dinamis, imajinatif, edukatif, ekspresif, juga interaktif, enerjik, sekaligus komunikatif. Cara ini mampu menghadirkan pertunjukan dongeng yang sangat menghibur, berkesan dan mengandung sarat pesan.
Bagi pria berkacamata ini pengalaman mendengarkan dongeng dari orangtua sangat membekas dihatinya. Terutama saat didongengi ibu menjelang tidur, atau saat bulan purnama di halaman rumah oleh ayah. Saat itu Ucon kecil tahunya mendapat hiburan. Tanpa sadar pesan moral dari ungkapan kasih sayang itu seolah menjadi kompas hidupnya. Inilah yang membuat si-Ucon bertekad melakukan hal yang sama, menghibur dan menularkan dongeng kepada siapa saja.
Di luar pendidikan formal, ia juga ditempa dalam komunitas teater, diantaranya Sena Didi Mime-Jakarta, asuhan Didi Petet, Teater Satu Merah Panggung-Jakarta, yang dibesut Ratna Sarumpaet, dan Terisda (Teater Islam Darussalam). Di dunia seni peran itulah ia belajar akting, pantomime dan menemukan cara menirukan ratusan suara, dari aneka binatang, manusia, alat transportasi, suara senjata, hingga instrumen musik. Ia pun sempat mendirikan kelompok peniru suara “Varia Vocalia, The Magic Voice”, sebuah wadah bagi para penggemar tiru suara. Pengalaman itu dikemudian hari sangat mendukungnya dalam menggeluti hobi mendongeng.
Ketika merantau ke Jakarta (1993), ia tampil di acara televisi Salam Canda yang di bawakan Ebet Kadarusman. Di luar acara on air di RCTI itu, Kang Ebet juga sering mengajaknya ‘mengamen’ di hotel, kafe, dan beberapa tempat hiburan lain. Saat itu ia bersama beberapa peniru suara juga mendirikan kelompok parodi tiru suara “Ali Baba”, yang rutin mengisi acara di Pasar Seni, Taman Impian Jaya Ancol.
Dengan kelompok barunya ia terpilih sebagai finalis Senimania Republika yang di gelar Harian Republika di Taman Ismail Marzuki (TIM). Juga sering pentas atas undangan perusahaan swasta maupun pemerintah. Selain itu “Ali Baba” acap kali mengisi acara-acara di televisi, mulai dari PESTA (Indosiar), Keren Beken (TPI), Dian Rana (TVRI), Bumbata (RCTI), dan puluhan acara lain. Bahkan mempunyai acara parodi “Wartegs” (Warung Tegur Sapa) di TPI. Sayang, akibat krismon 1998 acara itu hanya bertahan 24 episode.
Di luar kesibukan pentas dan menjadi penyiar di Radio Attahiriyah tahun 2002, rumahnya di Jatijajar II Rt.02/09 No.62 Tapos-Depok, kala itu selalu didatangi anak-anak tetangga minta didongengi. Itulah awalnya ia mendongeng. Kebiasaan baru itu terus berlanjut ketika ia menjadi wartawan di Harian Bandung Post dan Harian Pelita. Pengetahuannya dalam mendongeng semakin terasah ketika bertemu pendongeng Kak WeEs Ibnu Say (Rumah Dongeng Indonesia).
Lebih dari itu, pergaulannya dengan anak-anak menjadikan kemampuannya dalam mendongeng semakin mumpuni. Karena kecintaannya pada anak-anak, kelompok “Ali Baba” ia tinggalkan untuk mulai mendongeng di beberapa yayasan sosial di Jakarta sepanjang 2000-2004, diantaranya Yayasan Bunda Yessy (dikelola Yessy Gusman), Yayasan Darussalam (di bantaran sungai Ciliwung) dan KKS Melati (di lokalisasi liar ‘Bongkaran’ Tanah Abang).
Suatu saat di akhir 2004, usai mendongeng dalam pembukaan Rumah Cahaya-Penjaringan yang dikelola Forum Lingkar Pena/FLP, ia ditemui Tim Gramedia Pustaka Utama. Mereka mengundangnya menjadi praktisi dongeng dalam Semiloka Dongeng di Hotel Santika-Jakarta (Maret 2005) dan juri dalam Lomba Dongeng Nasional yang digelar di Bentara Budaya (Juni 2005). Walau sempat ragu, ternyata dua acara itu sukses besar. Hikmahnya, nama Kak Ucon mulai dikenal masyarakat dan pengalaman itu membuatnya ketagihan mendongeng.
Kini disela kesibukannya sebagai copywriter di SPOT Corporate Communication (unit usaha Majalah SWA), sampai sekarang ia rutin membina “Komunitas Kajian Dongeng” Psikologi UI (sejak 2005), komunitas “Dongeng Untuk Semua”/DUS (sejak 2007) dan tukar pengalaman di komunitas “Dongeng Minggu” TB. Gramedia Matraman (sejak 2007).
Melalui perjalanan panjangnya di dunia dongeng --baik melalui media televisi, radio, live show, termasuk menjadi instruktur mendongeng-- Kak Ucon berhasil meramu metode dongeng yang lengkap. Gabungan antara kelucuan, dinamis, imajinatif, edukatif, ekspresif, juga interaktif, enerjik, sekaligus komunikatif. Cara ini mampu menghadirkan pertunjukan dongeng yang sangat menghibur, berkesan dan mengandung sarat pesan.
Langganan:
Entri (Atom)
Tidak ada komentar:
Poskan Komentar