Karena Aku Benci Hujan Februari
Diambil dari cerpen : Hujan Februari
Karya : Tary
Alifa selalu membenci hujan di bulan Februari. Banyak hal yang terenggut darinya pada hujan di bulan Februari.
Alifa : (menangis) “Dulu, kelinciku mati. Lalu, sahabatku tenggelam di
laut. Sekarang, Bara merebut Papa dan Mama dariku! Apa yang harus aku
lakukan, Ruru?” (mendekap boneka kelincinya)
Mama : “Alifa! Jangan bermain dengan bonekamu terus. Sana, temani Bara main!”
Alifa : (cemberut) “Alifa tidak mau, Ma! Alifa mau main sama Ruru dulu!”
Mama : (membentak) “Kenapa kamu menentang Mama! Boneka itu tidak bisa memberi kamu pengetahuan Alifa!”
Alifa : “Alifa benci Mama! Mama cuma sayang sama Bara! Mama nggak sayang lagi sama Alifa!” (membanting pintu)
Mama : “Alifa! Bara itu adikmu!”
Di kamar, Alifa menangis. Ia menumpahkan kekesalannya pada Ruru, boneka beruangnya.
Alifa : “Alifa benci sama Bara! Sejak ada Bara, tidak ada yang peduli
lagi sama Alifa! Semua hanya bisa menyuruh-nyuruh Alifa! Alifa benci
Bara! Alifa benci hujan bulan Februari!” (menangis)
Bara pun tumbuh besar. Bocah laki-laki yang lahir di di tengah hujan
Februari itu semakin menarik perhatian semua orang dan Alifa pun semakin
tersisihkan dan dia pun berubah menjadi anak yang nakal untuk menarik
perhatian. Namun bukannya semakin diperhatikan, ia justru semakin
diabaikan.
Bara : “Kak Alifa…?”
Alifa : “APA..! (membentak )
Bara : “Kak, Bara dapet nilai 100 ulangan matematikanya lho.”
Alifa : “Penting ya?”
Bara : “Yah, Kakak, Bara kan cuma pengin kasih tau Kakak. Nanti aku traktir deh.”
Alifa : “Emang uang dari mana mau traktir Kakak?” (sinis)
Bara : “Ah, pokoknya Kakak keluar dulu dari kamar, cepetan.”
Alifa : “Apaan sih?”
Bara : (tiba-tiba) “Doorrr!!! Kakak kena, weeek!” (menyemprotkan air dari pistol mainannya sambil menjulurkan lidah)
Alifa : “Bara! Main-main ya kamu sama Kakak! Sini kamu!” (menjewer telinga Bara)
Bara : “Aduh..aduh..ampun Kakak! ‘Kan Bara Cuma bercanda…” (mulai menangis)
Bara pun menangis dan berlari ke kamarnya. Dalam hati kecil Alifa, ia
sebenarnya tidak tega. Ia merasa bersalah telah menyakiti adiknya. Namun
gejolak kemarahannya karena merasa Bara merebut segalanya darinya tak
terbendung.
Alifa : “Duh bosen nich.. (celingukan) eh, itu kan bukunya Bara, si anak
yang sok pintar dan menyebalkan itu. Daripada bengong, aku ambil aja ah
.. “ (mengambil buku Bara yang tergeletak di meja)
Alifa mengambil buku Bara dan ia segera menyembunyikan buku Bara di
kamarnya. Tidak lama setelah itu, terdengar suara tangisan Bara dan Mama
pun pergi ke kamar Alifa sementara Alifa sedang tidur.
Mama : “Loh! itu kan buku Bara! ALIFAAA … kenapa buku Bara ada di
kamarmu ?! jelaskan semua kepada Mama! ” (menggoncangkan tubuh Alifa)
Alifa : “Apa sih ma?! Alifa kan lagi tidur.. kok diganggu!”
Mama : “Ini apa?! ini buku Bara kan? Kenapa buku Bara bisa dikamarmu? Jelaskan semua sama Mama! “
Alifa : “Alifa nggak tau soal buku itu Ma! Dari tadi Alifa tidur”
Mama : “Ah..! bohong kamu, udahlah jujur aja sama Mama!”
Alifa : “Kenapa sih Mama nggak pernah percaya sama Alifa?! Kenapa sih
selalu Alifa yang Mama salahin?! “ (keluar kamar dan membanting pintu)
Mama : “Alifa, dengarkan Mama. Bara itu adik kamu. Harusnya kamu
bersikap baik. Kamu malah membuat adikmu menangis seperti itu! ”
Alifa : “Ih Mama…. Udah udah Ma, Alifa capek begini terus Ma, semenjak
Bara lahir sampai detik ini, Bara terus yang mama sayang. Lha aku…? “
Mama : “Pokoknya sekarang ikut Mama dulu!” (sambil menarik tangan Alifa)
Mama menarik Alifa dengan paksa ke kamar Bara.
Mama : “Sekarang Alifa harus minta maaf sama Bara!”
Alifa : (cemberut) “Bara, Kak Alifa minta maaf.” (melemparkan buku Bara)
Bara : “Kak Alifa, ayo temani Bara main!” (mengajak Alifa keluar bermain dengan riang)
Alifa : “Ah, Kak Alifa malas. Main sendiri sana, atau ajak teman-temanmu!” (sambil berbalik pergi)
Papa : “Ada apa sih kok ribut-ribut?” (sambil menenteng koran)
Bara : “Ini lho Pa, aku ingin main sama Kak Alifa!”
Papa : “Sudahlah Alifa, bermainlah keluar. Kamu sudah terlalu sering mengurung dirimu di kamar.”
Alifa : “Tapi, Pa…” (merengek)
Bara mengajak Alifa bermain di luar. Alifa pasrah, daripada harus
mendengar omelan kedua orang tuanya. Ia pun mengawasi Bara dari kejauhan
dengan bermalas-malasan.
Bara : “Kak, ayo ke sini!”
Alifa : “Malas, ah!”
Hujan pun mulai deras. Alifa masih menunggui adiknya dari kejauhan.
Anak-anak lain sudah pulang, namun Bara masih bermain. Hujan semakin
deras. Air pun datang bergulung-gulung. Alifa hanya diam. Entah gejolak
apa yang ada di dadanya saat itu. Seharusnya ia masih sempat
menyelamatkan adiknya. Seharusnya ia menarik adiknya pergi dari bahaya
itu. Seharusnya…
Bara : “Kakaaaaaaaaaak!” (tangan menggapai-gapai ke udara)
Alifa : “Baraaaaaaa! Tidaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaak…”
Beberapa hari kemudian, jasad Bara ditemukan di pinggir selokan. Alifa
benar-benar terpukul, terlebih melihat kondisi ibunya sepeninggal Bara.
Papa : “Ma, makan dulu yuk…” (menghampiri istrinya yang sedang melamun)
Mama : “Nggak, Pa…Mama nggak mau makan kalau tanpa Bara! Mamau Cuma mau Bara!”
Papa : “Sudah Ma, makan dulu sana… Ada mi ayam spesial tuh, kesukaan Mama lho!”
Mama : “Mama cuma mau makan sama Bara! Titik!”
Alifa : “Ma, Bara udah pergi. Bara udah ninggalin kita semua…” (terisak sambil mengelus bahu Mamanya)
Mama : “Diam, Alifa! Bukannya kamu yang selama ini tidak pernah
menginginkan Bara? Bukankah hanya kamu yang tidak menyukai Bara?
Sekarang kamu puas, hah?! Kamu puas Bara sudah pergi selamanya?!”
(membentak Alifa sambil menangis sesenggukan)
Papa : “Ma, itu sudah suratan takdir, bukan salah Alifa…” (menenangkan istrinya)
Alifa : “Semua memang salah Alifa! Semua karena Alifa!” (menangis sambil berlari ke kamar)
Setahun setelah kepergian Bara, ibunya pun menyusul. Rasa sedih karena
kehilangan putra satu-satunya lambat laun membunuhnya. Kini tinggal
Alifa dan ayahnya. Alifa pun memutuskan untuk sekolah di tempat yang
jauh untuk menghapus kenangan pahit itu.
Beberapa tahun kemudian…
Alifa menyusuri jalanan kota itu yang penuh sesak dengan orang-orang
yang lalu-lalang di tengah guyuran hujan. Ia menuju ke sebuah kafe di
sebuah mal yang baru dibangun menggantikan pemukiman penduduk. Ia pernah
tinggal di seberang mal itu, bersama keluarga dan luka yang masih
tersimpan. Ia sudah kembali ke Aceh, menghadapi sesal yang sudah lama ia
coba hindari. Tiba-tiba ada seorang bocah kecil yang menawarkan payung
padanya.
Bocah : “Payungnya, Mbak?” (menyodorkan payung)
Alifa terdiam sejenak. Kenangannya mengembara ke tahun-tahun silam. Ia
tidak menjawab, kemudian berlalu. Sesampainya di kafe, ia segera memesan
makanan. Di sana ia bertemu seorang teman lamanya.
Tari : “Hai Alifa! Masih ingat aku, teman SMPmu?”
Alifa : “Hai, Tari. Aku baru saja pulang dari Jakarta. Bagaimana keadaan di sini?”
Tari : “Ah, semuanya berubah. Pemukiman kita mungkin sebentar lagi juga akan bernasib sama seperti pemukiman ini.”
Alifa : (tersenyum) “Yah, namanya juga perkembangan zaman. Bagaimana keluargamu?”
Tari : “Baik. Kau sudah mengunjungi Ayahmu? Semenjak kepergian Bara, disusul Ibumu, kau malah…”
Alifa : “Sudahlah Tari! Jangan memaksaku untuk mengingat semua itu. Aku sudah cukup terluka!”
Tari : “Maafkan aku, Alifa…”
Pelayan : “Mbak, tolong segera meninggalkan lokasi ini dan mengamankan diri. Banjir datang lagi!” (panik)
Tari : “Ayo Alifa, kita pergi dari sini!” (menarik tangan Alifa)
Alifa : “Sebentar, Tari, ada yang harus kulakukan…” (menepis tangan Tari)
Tari : “Cepatlah pergi ke tempat yang lebih tinggi!” (berlari meninggalkan Alifa)
Alifa tidak menggubris peringatan itu. Di dalam lift, ia memencet tombol
turun, bukannya naik seperti orang-orang lain. Ia menyongsong sang
banjir.
Alifa : “Bara…tunggulah Kakak sebentar lagi!” (tersenyum)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar