Translate

cerpen AUS

Written By iqbal_editing on Senin, 02 Januari 2017 | 07.43

AUS
By Pena Biru
Bandara Hang Nadim, Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Aku duduk diruang tunggu bandara. Jam di dinding ruang tunggu menunjukkan pukul 8:15. Lima belas menit lagi, aku akan berada di pesawat. Rute yang akan kutempuh cukup jauh. Batam – Kendari, transit di Surabaya dan di Makassar.
Air mineral dan sepotong roti telah kusiapkan. Maskapai lion air tidak menyediakan snack ataupun makan berat gratis di dalam pesawat selama penerbangan. Jadi, lebih baik sedia payung sebelum hujan. Bakal kelaparan dan kehausan di udara bila tidak membawa bekal. Apalagi waktu tempuh Batam – Surabaya sekitar dua jam lima belas menit.
“Perhatian-perhatian, penumpang pesawat lion air dengan nomor penerbangan JT 972 tujuan Surabaya dipersilahkan naik ke pesawat melalui pintu keberangkatan nomor 3, terima kasih”. Suara dari toa bandara menggema memanggil penumpang. Selanjutnya diikuti dengan bahasa Inggrisnya. Maaf saya belum bisa menuliskan versi bahasa Inggrisnya.
***
Beberapa saat kemudian, pesawat telah mengangkasa. Lamunanku kembali pada sehari sebelumnya. Saat aku bersama sahabatku berkendara mengelilingi kota Batam. Terbayang cerita sahabatku tentang Batam masa lalu dan Batam masa kini. Sejak Otorita batam dicabut dan kota Batam dinyatakan bergabung ke Provinsi Kepulauan Riau, Batam tidak segemerlap dahulu, demikian sahabatku mengawali ceritanya. Dahulu di sini ada beberapa casino besar, orang-orang Singapura dan Malaysia datang bermain judi di sini. Hotel-hotel penuh, aktifitas masyarakat 24 jam.
Kami melewati suatu kompleks yang cukup luas. “Tempat apa ini bro?”, aku bertanya pada sahabatku. “Ini rencananya adalah taman hiburan, semacam “ancol” nya batam lah, tetapi tempat ini jadi proyek gagal, terlalu tinggi pasang tarif, akhirnya masyarakat tidak ada yang mau masuk, mendingan ke Singapura”, sahabatku memberi penjelasan.
Kami mengambil jalan memutar, kuperhatikan deretan ruko yang sudah tidak terurus. “Aus sudah tu, tak berguna lagi’, sahabatku menimpali seakan mengerti apa yang akan kutanyakan. “Ruko-ruko tu dahulu ramai, banyak pedagang, jual HP murah, elektronik murah, pokoknya serba miring harganya, kini hanya beberapa yang masih berguna, buat sekolah pelayaran dan perhotelan”.
Tak terasa hari mulai gelap. “Kita sholat Magrib dulu ya”, sahabatku memarkirkan mobilnya di halaman Masjid Raya Kota Batam. Sulit juga mencari parkiran. Akhirnya kami menemukan dibagian belakang sudut halaman masjid. Arsitektur Masjid Raya Batam terlihat modern, dengan desain segitiga piramid membentuk atap dan kubahnya. Di seblahnya ada kantor Walikota Batam yang berdiri dengan megah. “Kantorku yang disana”, sahabatku berkata sambil menunjukkan jarinya ke sebuah gedung perkantoran arah Barat Masjid dan berhadapan dengan kantor Walikota. “Tetapi aku tak punya anak buah, aku bekerja sendiri, rasanya mubazir punya kantor, karena waktuku lebih banyak di lapangan, kerjaku lebih banyak di Palembang-Jakarta-Italia, 14 hari kerja, 14 hari libur”. Sahabatku ini bekerja di perusahan minyak asing, tak kusangka sejak berpisah saat tamat SMA dahulu, kini dia mencapai karier gemilang. Bekerja sebagai konsultan perkapalan untuk perusahaan minyak internasional, tentu saja gajinya berlipat-lipat kali gaji PNS ku.
Setelah sholat Magrib, kami makan malam bersama. Bergabung juga dengan kami seorang sahabatku lainnya. Dia bekerja di galangan kapal. Kami bereruni, bernostalgia, bercerita masa-masa SMA dahulu, saling bertanya kabar teman-teman kami, hal-hal lucu, konyol, sedih bercampur aduk. Kami berpisah sudah lebih dari 16 tahun sejak tamat SMA. Senang sekali bisa berjumpa dengan dua sahabatku ini. Dalam hati aku bersyukur kepada Allah, masih dipertemukan dengan sahabat-sahabatku.
“Kalau kesini lagi, usahakan bawa paspor, biar saya traktir ke Singapura”, sahabatku mengingatkan. Memang keberangkatanku ke Batam sangat mendadak, hingga aku tidak sempat membuat paspor. Padahal tinggal selangkah lagi ke Singapura. Empat jam lamanya kami bersama di Batam, Sahabatku mengantarku ke hotel tempat kumenginap di kawasan Nagoya Kota Batam. Kami bertukar salam. “Selamat jalan kawan, sampaikan salamku sama teman-teman di Sultra”, kami berjabat tangan erat. “Makasih bro, insya Allah saya ke Batam lagi, kalau ke Kendari, kasi kabar na”.
***
“Para penumpang yang terhormat, saat mendarat sudah dekat, harap mengenakan sabuk pengaman, melipat meja dihadapan anda, menegakkan sandaran kursi dan membuka jendela. Terima kasih”, suara pramugari dari speaker pesawat memudarkan lamunanku. Pesawat mendarat mulus di Bandara Internasional Djuanda Surabaya di Sidoarjo. Jam menunjukkan pukul 11:15 WIB.
Pesawat lion air yang ke Makassar akan berangkat jam 12:15 WIB. Jadi masih ada waktu untuk makan siang dulu. Tak lupa pula kubeli sepotong roti dan sebotol air mineral. Perjalanan ke Makassar akan memakan waktu kurang lebih 2 jam. Seperti biasa, sedia makan minum sebelum lapar di udara. Diantara para penumpang, ada beberapa wajah yang sudah sering kulihat, kayaknya mereka akan ke Kendari juga. Kami bertukar senyum saja.
Beberapa saat kemudian, pesawat lion air dengan nomor penerbangan JT 780 mengudara menuju Makassar. Aku tertidur di pesawat. Bug..bug, aku terbangun ketika pesawat terguncang cukup keras. Mungkin karena menabrak awan yang cukup tebal. Kulihat searah jendela, putih keabu-abuan. Nampaknya memang cuaca lagi  tidak bersahabat.
“Para penumpang yang terhormat, keadaan cuaca buruk, harap kembali ke kursi masing-masing dan memasang sabuk pengaman sampai lampu tanda kenakan sabuk pengaman di padamkan, terima kasih”, suara pramugari dari speaker pesawat.
Terasa pesawat berputar dua kali di atas Makassar. Kemudian menukik turun untuk persiapan mendarat di Bandar Udara Internasional Hasanuddin. Kulihar ke luar nampak masih abu-abu dan hujan. Tapi pesawat tetap menukik turun. Tidak lama kemudian terdengar suara dari speaker pesawat. “Para penumpang yang terhormat, saat mendarat sudah dekat, harap mengenakan sabuk pengaman, melipat meja dihadapan anda, menegakkan sandaran kursi dan membuka jendela. Terima kasih”.
Pendaratan kali ini terasa mengguncang bumi istilahnya “hardlanding”. Cuaca di Makassar hujan. Bakal ada delay pikirku. Jam di Makassar menunjukkan pukul 15:15. Ada perbedaan waktu lebih lambat satu jam dari waktu di Surabaya. Menurut informasi, pesawat yang akan ke Kendari berangkat jam 15:40. Masih sempat sholat Ashar dan sholat Dzuhur yang belum sempat kulaksanakan di Surabaya. Dalam ajaran agama Islam, sholat boleh digabung (dijama’) bila seseorang dalam perjalanan (safar). Yang boleh digabung adalah dzuhur dan ashar, magrib dan Isya. Setelah sholat, aku berjalan-jalan di toko-toko di terminal bandara, mau cari roti Boy. Istri dan anakku sangat suka roti Boy. Sebagai ole-oleh, aku beli sepuluh buah. Kuperhatikan, kebanyakan penumpang yang akan ke Kendari juga membeli roti Boy. Semacam “tradisi” kayaknya. Pulang ke Kendari bawa roti Boy. Ada juga yang beli donat.
Cuaca di Makassar semakin gelap. Dan ...benar dugaanku, pesawatnya delay. “Perhatian-perhatian, pesawat lion air dengan nomor penerbangan JT 768 tujuan Kendari mengalami penundaan keberangkat hingga waktu yang belum ditentukan, terima kasih”, suara toa bandara menggema diiringi dengan suara ah..yang hampir bersamaan dari para penumpang tujuan Kendari. Beberapa orang penumpang berinisiatif bertanya kepada para petugas dari Lion Air. Cuaca buruk, demikian kesimpulannya.
Hujan sudah mulai reda. Beberapa maskapai telah menerbangkan pesawatnya. Jam sudah menunjukkan pukul 17:05 WITA. Namun belum ada kabar berita pesawat Lion Air menuju ke Kendari akan diberangkatkan. Para penumpang nampak gelisah. Salah seorang penumpang bertopi merah dan berkumis tebal kesal. Ia mendatangi seorang petugas lion air. Aku mengamati dari kejauhan. Dia marah-marah sama petugas itu. Petugas itu berusaha menenangkannya.
Beberapa saat kemudian...
“Perhatian-perhatian, pesawat lion air dengan nomor penerbangan JT 768 tujuan Kendari akan diberangkatkan kira-kira pukul 20:00, mohon maaf atas ketidaknyamanan ini, terima kasih”, demikian suara dari toa bandara. Lengkap sudah kekecewaan para menumpang. Aku coba mendekati seorang petugas lion air yang pakaiannya berbeda dengan petugas-petugas lainnya. Kupikir dia manajernya atau lebih tinggi pangkatnya dibanding yang lainnya.
“Pak, ada masalah apa hingga penundaan sampai malam baru diberangkatkan?”, aku meminta penjelasannya. “ Begini pak, tadi sewaktu dilakukan pengecekkan pesawat, didapat kerusakan pada landing gir pesawat”. Petugas itu berusaha menjelaskan padaku, kemudian bahasanya sudah sulit kucerna karna penuh dengan istilah-istilah mekanis mesin pesawat. Petugas itu mengerti bahwa aku tidak paham. “Jadi sederhananya begini pak, kampas rem roda pendaratan pesawat sudah Aus, jadi kita lagi penunggu pesawat lion air dari Jakarta untuk membawakan suku cadangnya, Insya Allah pesawat dari Jakarta akan mendarat 10 menit lagi, mudah-mudahan teknisi di sini bisa memasang dan mengatasinya sekitar 15 menit, doakan saja supaya hujannya tidak deras supaya memperlancar pemasangan”, petugas tersebut menjelaskannya panjang lebar padaku. Aku termanggut-mangut.
Kalau penundaan begini, ada konsekwensi dari perusahaan kan pak?”, aku bertanya sekaligus meminta kepastiannya. Petugas itu tersenyum dipaksakan. “Ada pak, kami akan menyediakan snack dan makan malam, juga dengan konsekwensi pengembalian biaya, sesuai peraturan penerbangan”.
Beberapa menit kemudian, para petugas lion air meminta kami berkumpul di ruang tunggu nomor 6. Mereka meminta kami mengeluarkan KTP dan tiket untuk difotocopy. Setelah itu kami diberi snack. Setelah magrib, katanya kami akan diberi makan malam, jadi KTP dan tiket diberikan untuk difotokopi sebagai bukti pertanggungjawaban buat kru lion air Makassar.
Setelah magrib, kami makan malam bersama. Suasana sudah mulai tenang. Penumpang yang beberapa waktu lalu pada mengomel kini khusuk dalam makannya, mungkin karena sudah lapar.
Jam sudah menunjukkan pukul 19:30 WITA, para petugas lion air memanggil kami untuk segera naik pesawat. Ternyata lebih cepat dari jadwal yaitu 20:00 WITA. Didepan pintu pengecekan tiket, setelah merobek potongan tiket, petugas lion air memberikan Rp.300.000 pada setiap penumpang sebagai pengembalian biaya tiket sebagai konsekwensi keterlambatan. Lumayan.
Namun dalam hati masih was-was apakah kampas rem roda pendaratan telah terpasang dengan baik atau tidak. Roti boy yang kubeli tadi siang sudah dingin. Perjalanan dari Makassar ke Kendari memakan waktu 45 menit. Jadi aku tak perlu menyiapkan bekal. Lagipula sudah kenyang habis makan malam.
***
Beberapa waktu kemudian, pesawat lion air telah mengangkasa di atas teluk bone. Sebentar lagi Kolaka akan terlihat. Langit cukup cerah ditandai dengan bintang-bintang terlihat jelas dari jendela pesawat. Aku berdoa semoga cuaca bersahabat sampai di Kendari. Tidak ada suara-suara dari penumpang. Mungkin kelelahan marah atau kekenyangan. Para pramugari pun duduk diam di kursinya. Tidak ada yang beraktifitas. Mungkin perasaanya sama dengan kami para penumpang.
“Para penumpang yang terhormat, saat mendarat sudah dekat, harap mengenakan sabuk pengaman, melipat meja dihadapan anda, menegakkan sandaran kursi dan membuka jendela. Terima kasih”, suara dari speaker pesawat,  kali ini terdengar begitu indah dan dirindukan. Sebentar lagi akan mendarat di Bandara Haluoleo Kendari.
Pesawat mendarat mulus di run way bandara. Dan tidak sampai di ujung landasan pesawat sudah berhenti. Terasa kalau remnya masih baru. Alhamdulilah, alhamdulillah, alhamdulillah. Syukur dan zikir kupanjatkan hingga pesawat berhenti dengan sempurna di tempat parkir bandara.
Istri, anak dan ponakanku menjeputku malam itu. Tergambar dalam wajah mereka kekhawatiran karena keterlambatan pesawat tiba. Begitu melihatku, senyum mereka mengembang dan melambai-lambaikan tangan, kekhawatiran telah berganti wajah kerinduan.
Kerinduan dan cinta yang kuharap tak pernah aus selamanya.....

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik