Translate

cerpen lelaki pemandang langit

Written By iqbal_editing on Senin, 02 Januari 2017 | 14.26

Judul Cerpen Lelaki Pemandang Langit
Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Islami (Religi), Cerpen Keluarga
Lolos moderasi pada: 20 December 2015
Heru besar tanpa kehadiran Bapak sejak ia baru lahir. Bapaknya meninggal dunia ketika ia berumur 8 bulan. Aku berkeluarga karena Bapaknya berkeluarga dengan Kakekku. Setelah lahir ke dunia tanpa kehadiran Bapak, ia tumbuh menjadi anak yang manja dan banyak keinginan. Ibunya hanya bekerja sebagai tukang jahit. Namun dengan sekuat tenaga ia penuhi apa saja keinginan anak semata wayangnya itu. Pernah suatu ketika Heru sedang memandang ke atas langit dan terlihat pesawat terbang melaju di atasnya.
“Ibuu… aku ingin pesawat terbang..” ujarnya dengan nada masih terlihat polos dan lugu.
Sang Ibu dengan sabar menjelaskan kondisi ekonominya saat ini, namun Ibunya berpikir lagi tentang umur Heru yang masih 7 tahun, baru memasuki bangku SD. Apa pantas ia mengatakan dan menjelaskannya pada seorang anak kecil yang masih tak memiliki apa-apa untuk memahami makna dari perkataan Ibunya. Lalu Ibunya mengajak Heru untuk melihat ke gudang di belakang rumahnya. “ini mainanmu semua nak… ayoo, itu saja yang dipakai main. Ada mobil-mobilan, ada robot-robotan, ada perahu, ada mainan bersusun.”
Tak sempat Ibunya selesai menyebut satu per satu mainan yang dimiliki, Heru segera melanjutkan kata-kata Ibunya.
“ada mainan tentara, pistol-pistolan tapi bu, ini sudah tidak berbunyi lagi. Lalu robot-robotan yang Ibu maksud sudah tidak bergerak lagi. Mobil-mobilannya sudah mati baterainya apalagi perahunya tak bisa bergerak karena tak ada remotnya.”
Ibunya menangis melihat keinginan anaknya yang begitu kuat untuk membeli mainan pesawat terbang yang harganya mungkin tak cukup sampai harga seratus ribu. Apalagi ditambah dengan semakin kurangnya minat orang untuk menjahit baju atau celana di tempat Ibunya Heru. Pesanan semakin berkurang, keinginan anaknya semakin bertambah, dan ditambah lagi dengan biaya sekolah yang belum lunas.
Ibunya segara merunduk di depan Heru kecil yang sedari tadi ingin menunggu Ibunya untuk pergi ke toko mainan yang sangat jauh dari desanya yang begitu terpencil. Apa daya bagi Ibunya yang hanya sebatang kara mengurus dan mendidik Heru di rumah yang jauh dari keluarga. Ia mulai meneteskan air mata saat Heru selesai bicara dan merengek ngotot untuk membeli pesawat terbang mainan.
“nak.. maafkan Ibu.” Sambil merunduk menangis “Ibu tak sanggup membeli pesawat terbang seperti yang engkau mau. Ibu tak punya uang. Sudah habis untuk memenuhi segala keinginan dan keperluanmu yang tak sedikit.” Ibunya langsung memeluk Heru dengan deraian air mata. Di dalam pelukan Ibunya Heru membantah, “tapi Ibu bisa minjam uang di Nenek.”
“Nenek sudah tidak punya uang dan hutang kita sudah numpuk di Nenek nak.”
“pokoknya aku mau pesawat terbang.” Sambil berlari Heru, melepaskan pelukan Ibunya. Tak henti-hentinya Heru berteriak dengan keinginannya itu.
Ibunya seakan ingin berteriak dan memarahi anaknya itu. Namun apa daya bagi Ibunya untuk memberi nasihat pada anaknya yang masih kecil dan tak tahu apa-apa tentang kehidupan. Jika saja Heru sudah besar dan mengerti tentang arti kehidupan saat itu, ia akan berkata sambil menangis pada Heru. Menunduk dan menjelaskan keadaan yang sepatutnya ia mengerti. “duhai putraku, aku tidaklah takut mengalami kematian, meskipun ia datang saat ini. Sungguh aku sudah cukup lama hidup dan banyak sekali memberikan apa yang kau inginkan.”
Ibunya masih meratapi juga kesedihannya dan melanjutkan pengandaian kata yang diucapkan pada Heru yang kiranya sudah dewasa saat ini.
“duhai putraku, terkadang aku tidak dapat membedakan antara mengambil dan memberi. Karena menurut orang mukmin keduanya mempunyai satu haluan. Setiap kali engkau memberi, engkau akan mengambil, bahkan yang engkau ambil lebih besar daripada yang engkau berikan.”
Namun kenyataanya, Heru saat ini masih kecil tak pantas mendengar dan menyimpan kata-katanya tadi di memorinya yang seharusnya penuh kesenangan dengan permainan dan pesawat terbang yang sekarang ia inginkan. Memori otaknya masih tak boleh tertekan dan banyak pikiran berat. Apa jadinya ia jika mengerti kata-kata ini. Bayangkanlah bagi kita yang dewasa! Ibunya bangkit dari ratapan keterpurukannya saat ini. Ia lupa belum masak dan belum menyiapkan baju Heru untuk sekolah besok. Waktu sudah mulai masuk azan ashar. Ternyata Ibunya menemukan Heru menangis di bawah pohon pisang sambil duduk di pohon yang sudah tumbang di atasnya.
“kenapa menangis nak?” kata Ibunya menyapa, “kau masih ingin pesawat terbang? ini Ibu buatkan dari pelapah pisang.”
Ibunya mulai merakit mainan yang terbuat dari pelapah pisang tersebut sambil menangis sembari tangannya bekerja merakit di temani pisau, ia mengatakan pada Heru lagi.
“Ibu ndak punya uang lagi nak,” menyeka air matanya, “Ibu hanya bisa memberi pesawat terbang buatan dari pelapah pisang ini.”
Tapi Heru malah semakin mengeraskan suara tangisnya. Ia semakin meraung-raung. Menyuruh Ibunya untuk berhenti membuat pesawat terbang mainan itu. Seolah-olah ia sudah tahu apa keadaan yang melanda Ibunya sekarang. “Ibuu… udah, udah.. jangan lanjutkan lagi. Aku lapar..” Ibunya kaget mendengar kata Heru yang bilang lapar. Ia langsung memeluk Heru dengan linangan air mata yang terus merebah di pundak Heru yang kecil. “ayoo nak, kita makan” ajak Ibunya ke dapur. Padahal ia belum masak sama sekali. Perlahan Heru diajak ke kamar tidur dahulu oleh Ibunya hingga Heru tertidur pulas.
Malam pun tiba, Ibunya mulai menjahit baju pemberian Adiknya yang memiliki anak seumuran dengan Heru namun baju itu kelihatannya sudah robek di bagian langannya. Terpaksa ia jahit karena baju Heru belum sempat dijahit kancing bajunya karena belum ada kancing sebanyak tiga biji. Ternyata Ibunya Heru memiliki penyakit jantung yang sudah kronis dan pikiran yang lemah menghadapi kenyataan hidup yang ia alami.
Ibunya akhirnya tertidur pulas selamanya sekitar pukul tiga dini hari dengan balutan mukenah yang belum dilepas. Heru kecil akhirnya bangun dari tidurnya yang lelap semalam. Kerena tidak tahu Ibunya tidur untuk selama-lamanya ia berlari menuju kamar mandi dan mengambil baju seragam yang sudah selesai dijahit oleh Ibunya. Tanpa pikir panjang ia sekolah tanpa pamit karena akan mengganggu peristirahatan Ibunya.
Saat Heru kecil sudah berangkat sekolah ternyata Neneknya datang menjenguk setelah sebulan ia tidak datang mengunjunginya. Neneknya pertama menganggap Ibunya Heru tertidur kelelahan. Namun Neneknya ada niat untuk membangunkan Ibunya Heru karena rumah masih berantakan dan ia pun juga belum memasak.
“nak.. bangun!! sudah siang,” belum terbangun.
“nak… bangun, bangun..” hingga akhirnya Nenek Heru terkejut melihat bibir Ibunya Heru yang sudah putih dan terbujur kaku saat membalik di balik badannya.
“Hasanaaaaaah…” teriak Neneknya Heru dengan tangis yang merebah seketika.
Ia menyuruh seorang untuk memanggil Heru di sekolah dan menghubungi seluruh keluarga yang ada di kota. Neneknya sangat erat memeluk anaknya ini (Hasanah). Dengan deraian air mata yang sangat deras mengucur. Neneknya sedih bercampur kagum dengan kematian putrinya itu. Ia meninggal dengan husnul khatimah, tanpa ada luka dan masih berbalut dengan mukenah putih suci. Heru yang tak tahu apa-apa sesampai di rumah langsung menyuruh Ibunya pergi membeli pesawat terbang yang mempunyai remot. “ayoo.. bu, mumpung ada Nenek di sini. Pasti ia memiliki uang untuk memebelikan kita. Nenek bawa uang kan?”
Neneknya menangis dan memeluk Heru dengan eratnya. Tak henti-hentinya Nenek mengeluarkan air mata. Orang-orang yang mendengar dan melihat tingkah laku Heru merasa bersedih. Semuanya terharu melihat Heru yang kini tak lagi memiliki perisai hidup yang lengkap lagi di dunia. Bapaknya telah meninggal dengan penyakit yang dideritanya dan Ibunya juga tiba-tiba terkena penyakit jantung yang sudah kronis setelah melahirkan Heru. Ibunya juga masih tidak terima Bapak Heru meninggalkannya saat ia belum sempat memberi azan di telinga kanan Heru untuk pertama kalinya. Ia sangat terpuruk dan begitu sedih melihat keadaannya yang harus menanggung beban seorang diri. Ditambah Heru semakin besar semakin manja.
Ketika kenaikan kelas tiba. Heru harus menerima dirinya untuk tidak naik kelas seperti teman-teman lainnya. Ia sangat kecewa dan perlahan-lahan pikirannya mulai mengingat Ibunya. Ia berlari pulang ke rumah dan mendapati Neneknya sedang menjahit seperti yang Ibu lakukan dulu. “Ibuuuu… mengapa aku tak naik kelas, aku kecewa sama Ibu.. padahal aku rajin membaca setiap hari.” Neneknya memeluk Heru dengan linangan air mata yang telah luluh. Memang hidup tak selamanya indah dan berjalan tak pernah lurus seperti yang kita inginkan.
Heru yang masih kecil dan tak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi mencoba untuk menerima segala kepahitan dan getir kehidupan sejak dini tanpa perisai hidup dan kehadiran orang yang seharusnya hadir untuk menghiburnya saat ia tidak naik kelas. Ia sempat berhenti untuk sekolah. Namun ia sangat ingin bermain bersama teman-temannya. Dan akhirnya sampai sekarang ia masih bersekolah dan sering sekali memandang langit. Dari masa kecilnya yang kelam penuh dangan getir kehidupan yang sangat menakutkan. Ia coba untuk bangkit dan berjuang untuk bisa hidup bahagia seperti layaknya anak yang lain yang memilki kedua orangtua. Mulai sejak kelas lima SD, ia berpikir tiada gunanya meneteskan air mata.
“lihatlah Heru.. awan itu mendung namun ia akan cerah kembali pada akhirnya. Matahari itu tertutup oleh awan cumulus, namun ia tidak ingin terus menerus ditutupi dan akhirnya ia cerah kembali bahkan melebihi sinarnya yang sebelumnya. Tolong kau pelajari makna yang tersimpan di langit itu Heru.” ujarnya pada bathinnya sendiri. Ia pun segara mengubur kepedihannya itu layaknya awan cumulus datang dan langsung menerjangnya.
Ia segera memiliki motto hidup tanpa hadirnya Ibu dan Bapaknya. “di mana ada kemauan, di situ ada jalan. Jika awan itu ingin cerah lagi, pasti ada cara dan jalannya bahkan matahari itu tertutup awan, segera ia bergerak terus ke barat hingga awan tak lagi menutupinya.” Ia seolah selalu berteman dengan langit. “yaah, usatdz bilang kita harus melihat ke atas yaitu langit (orang yang lebih bisa) dari kita agar kita selalu semangat dan tak lupa melihat ke bawah yaitu tanah (orang yang lebih rendah) agar kita tetap bersabar karena masih banyak orang yang lebih menderita daripada kita.” ujar Heru menambah semangatnya.
Kini ia selalu mendapat juara pertama di kelas. Bahkan hasil UN, ia mendapat sepuluh besar berkat nilainya yang memuaskan. Ia tak bosan-bosannya terus memandang langit. Dan sembari melihat keagungan yang maha kuasa. Dan tak lupa mengingat langit kelabu di masa kecilnya. Kesedihan hanyalah secuil debu yang melayang di bawah langit biru.
Cerpen Karangan: Shollina
Facebook: Sholli.wasallim
Saya mendapat sebuah kisah inspiratif dari kisah Kakak saya tapi bukan Kakak kandung. Namanya Muhammad Khairruhman Hidayat dan kerap dipanggil dengan panggilan Heru.
Cerita Lelaki Pemandang Langit merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik