Translate

resensi novel catatan seorang pelajar

Written By iqbal_editing on Kamis, 05 Januari 2017 | 05.18

Mengikis Budaya Tawuran Melalui Novel
Resensi Catatan Seorang Pelajar Jakarta di Kabar Probolinggo 6-25-02-2015
dokumentasi pribadi
Judul                             : Catatan (Seorang) Pelajar Jakarta
Penulis                         : Arif Rahman
Editor                           : Fanti Gemala & Anin Patrajuangga
Penerbit                        : Penerbit Grasindo
Tahun Terbit                 : Pertama, November  2013
Jumlah Halaman            : 256 halaman
ISBN                           :  978-602-251-173-1
Peresensi                      : Muhammad Rasyid Ridho, Pustakawan-Pendiri Klub Buku Booklicious.
Tawuran bagi pelajar Jakarta mungkin bagaikan permainan. Banyak nyawa melayang bukan masalah. Sampai kini masih saja ada berita tentang tawuran pelajar Jakarta. Mulai dulu kala, sampai sekarang tidak ada hentinya. Berbagai upaya sudah dilakukan, termasuk menangkap pelajar yang tawuran dan memberi bimbingan. Bahkan dikenakan pasal-pasal juga, dan ditahan. Namun, karena sudah menjadi budaya, walhasil upaya tersebut masih memberi hasil yang signifikan.
Dengan novel perdananya, Arif Rahman mencoba melakukan upaya untuk mengikis budaya tawuran yang lekat pada pelajar di Jakarta. Novel tersebut berjudul, Catatan (Seorang) Pelajar Jakarta. Sebuah novel yang mengisahkan tentang kisah nyata tawuran pelajar Jakarta kisaran tahun 1995-1996. Dengan mengambil point ov view orang pertama, tokoh bernama Setyo bercerita kepada pembaca.
Novel ini mengisahkan Setyo, Chandra, Agus, dan Luthfi yang bersahabat karib sejak sekolah di SMP Muhammadiyah 33 Tomang. Selepas SMP, mereka melanjutkan studi di sekolah yang berbeda. Agus dan Setyo di STM PGRI 6 (dikenal dengan nama STM Kampung Jawa/CampJava). Lutfi masuk STM PGRI 5 (STM Boedoet/Budi Utomo), Chandra di STM 7 PGRI (STM 1 (satoe) DKI).
Lazimnya saat itu siswa-siswa sekolah-sekolah STM adalah aktor dalam tawuran pelajar di Jakarta. Tanpa disangka, ternyata sekolah Agus, Setyo dan Lutfi saling bermusuhan, begitu juga STM Lutfi dan Chandra. Meskipun, sekolah mereka saling bermusuhan tetapi mereka tetap bersahabat dan saling melindungi satu sama lain. Persahabatan yang telah mereka bina selama SMP tetap berlanjut hingga di STM.
Hal ini dilihat dalam adegan dalam novel, contohnya tanpa disangka basis sekolah Setyo tawuran dengan basis sekolah Chandra. Maka, dengan segala usaha Setyo ataupun Chandra tidak saling tawur. Bahkan, jika salah satu di antara keduanya terluka atau sedang dikeroyok, maka salah satunya akan menolong. Begitu seterusnya di antara mereka berempat. Ini terkadang dianggap aneh juga bumerang bagi mereka secara individu, akan dianggap berkhianat di masing-masing basis.
Jika tidak ada tawuran antar basis, mereka selalu bersama. Nongkrong, memetik gitar dan bernyanyi sembarangan, sampai kadang menginap di rumah Agus. Tidak jarang pula, ada gesekan dan konflik dalam persahabatan mereka. Terutama antara Agus dan Chandra yang sama-sama keras. Mereka tidak mau mengalah ketika sekolah mereka saling serang dan tawur. Salah satu dari mereka ingin ada dari mereka berdua yang mengajak basis sekolahnya agar tidak saling serang. Namun, sungguh itu tidak bisa karena sulit.
Hingga suatu ketika ada pembalasan dendam dari basis musuh kepada basis Agus. Ternyata, Agus yang menjadi sasaran utama, karena dia pentolan basis dan yang paling berani. Akhirnya, Agus yang pemberani meninggal karena dibunuh oleh basis musuh. Chandra yang sekarat pernah ditolong oleh Agus, merasa memiliki hutang nyawa pada Agus. Dia mencari pembunuh Agus dan membalas dendam dengan membunuh pembunuh Agus (halaman 186).
Chandra kabur dari rumah, ingin kembali ke kampung halamannya karena berurusan dengan polisi. Dia mendapat kabar bahwa dia telah diketahui sebagai tersangka pembunuhan. Karena takut dipenjara, dia akhirnya meninggalkan Jakarta. Beberapa setelah itu, Lutfi juga ditangkap oleh Polisi karena merampok dan menusuk orang di dalam bis (halaman 227).
Setyo pun galau, dia kehilangan sahabatnya. Di sisi lain dia akan menghadapi Ebtanas. Dia merasa selama sekolah di STM belum mendapatkan apa-apa. Karena kehidupannya hanya tawuran, tawuran dan tawuran. Kalau tidak tawuran, menghabiskan waktu bersama tiga sahabatnya.
Tawuran menjadi budaya yang sulit dihindari oleh siswa-siswa STM di Jakarta. Tertera dalam novel ini penyebabnya, antara lain rekrutmen yang terus berjalan hingga sekarang. Atas nama sekolah mereka memberanikan diri untuk tawuran, meski nyawa taruhannya. Selain itu karena para alumni basis terus mendampingi serta mengobarkan api tawuran, dan yang paling utama adalah balas dendam. Sebenarnya basis siswa STM ini kompak, namun kekompakannya untuk jalan keburukan, dalam hal ini tawuran dan balas dendam. Jika ada salah seorang dari anggota basis mereka terluka atau bahkan meninggal. Maka, basis tersebut akan membalas dendam dengan membunuh salah satu anggota basis musuh, begitu seterusnya.
Dengan hadirnya buku ini semoga pembaca sadar bahwa para pelajar tersebut harus diketahui apa yang ada dalam kehidupan mereka. Sehingga mampu ditemukan apa solusi yang tepat untuk mereka. Buku yang cocok dibaca anak-anak STM yang bersangkutan, pelajar lainnya, guru dan juga pemerintah. Agar masalah ini segera menemukan titik terang. Semoga dan selamat membaca!
*Resensi Catatan Seorang Pelajar Jakarta dimuat di Kabar Probolinggo 25-02-2015.

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik