Tring… tring…
“Selamat sore, selamat datang di Dunkin Donuts. Silahkan mas, mau pesan
apa?” sapa seorang perempuan muda pelayan toko donat yang sore itu
sedang bertugas. Pelanggan yang disapanya adalah seorang lelaki yang
masih lengkap dengan seragam kantornya yang berwarna abu-abu muda dan
celana panjang hitam. Di bahunya 0tersampir tas ransel hitam dan tangan
kirinya menenteng jas berwarna senada.
“Minta triple cocholate-nya satu ya mbak. Dimakan disini.
Minumnya orange juice aja,” pinta lelaki itu. Perempuan pelayan toko
pun mengambilkan pesanan lelaki itu dan meletakkannya didalam nampan.
Setelah semua pesanannya lengkap, lelaki itu pun membawa nampannya ke
sebuah meja yang terletak di sisi jendela. Sebenarnya meja itu sedikit
panas, karena cahaya matahari sore menyinari langsung sisi tersebut.
Tapi dalam ruangan ber-AC ini, rasa panas itu menjadi hangat, sehingga
lelaki itu pun memilih untuk duduk disana.
Tring…. Tring….
“Selamat sore, selamat datang di Dunkin Donuts. Silahkan mbak,
mau pesan apa?’ kembali perempuan pelayan toko itu menyapa pelanggan
yang datang. Kali ini, seorang gadis dengan baju batik warna hijau muda
dan celana panjang hitam, serta tas ransel abu-abu yang dibawa di
pundaknya.
“Mm… saya mau pesan donat Peanut, mbak. Masih ada nggak mbak,
ya?” tanya gadis itu ragu ketika dilihatnya rak donat isinya tinggal
sedikit dan ia tak menemukan donat yang dimintanya disana.
“Maaf mbak, jenis donat yang mbak minta sudah habis. Mungkin yang
lain saja mbak?” tawar perempuan pelayan toko itu. Meskipun gadis tadi
tampak kecewa, akhirnya ia memesan satu buah donat jenis yang lain
beserta ice chocolate. Ia pun membawa nampan berisi pesanannya ke salah
satu meja yang masih kosong. Meskipun meja itu agak panas, tapi menjadi
hangat karena ruangan ini ber-AC.
Saat gadis itu duduk, lelaki tadi memandanginya. Mereka duduk
berhadapan meskipun berpisah meja. Saat gadis itu menyadari
kehadirannya, ia sempat melemparkan sedikit senyum yang dibalas dengan
senyum seadanya oleh lelaki itu. Ia pun melanjutkan memakan donatnya
sendiri yang tinggal sepertiga lagi. Lima menit kemudian, donat di
piringnya habis dan ia pun menyelesaikannya dengan menghabiskan pula
orang juice-nya. Ia pun berdiri dan menyandang kembali tas ransel serta
jas-nya. Seraya melangkah ke pintu keluar, ia menoleh lagi pada gadis
itu lalu tersenyum kecil yang dibalas oleh gadis itu.
Tring… tring…
***
Tring… tring…
“Selamat sore, selamat datang di Dunkin Donuts. Silahkan mbak,
mau pesan apa?” tanya pelayan toko donat, seorang pria berwajah
oriental. Pelanggan yang disapanya yaitu seorang gadis berkemeja ungu
muda dan rok hitam selutut, masih lengkap dengan tas ranselnya.
“Saya mau pesan donat Peanut, mas. Masih ada nggak mas?” tanya gadis itu sambil celingukan melihat ke rak donat.
“Maaf mbak, kalau jenis donat yang itu memang paling cepat
habisnya, apalagi kalau sudah sore begini, mbak. Mungkin donat yang lain
saja mbak?” tawar pria penjaga toko donat itu. Dengan ragu akhirnya
gadis itu menunjuk salah satu jenis donat yang masih tersedia di rak. Ia
pun membawa nampan berisi pesanannya ke meja yang masih kosong.
Dipandanginya sejenak donat yang ada dihadapannya, lalu dengan enggan ia
memotong donat itu dan menyuapkannya sendiri. Sementara itu,
pandangannya menerawang ke lalu lintas jalan raya yang ada diseberang
toko ini.
Tring…tring…
“Selamat sore, selamat datang di Dunkin Donat. Silahkan mas, mau
pesan apa?” tanya pria pelayan toko donat pada seorang lelaki yang baru
saja memasuki toko donat itu. Raut lelah jelas tampak di wajah lelaki
itu, dan ia sempat menghembuskan nafas keras-keras sebelum menyebutkan
pesanannya.
“Saya mau beli donat-nya setengah lusin, mas. Tolong pilihkan
semuanya yang serba cokelat, tapi dikasih satu-satu saja ya setiap
jenisnya,” pesan lelaki itu. Pria oriental pelayan toko pun mengikuti
permintaannya. Sambil menunggu pesanannya lengkap, lelaki itu
mengedarkan pandangannya ke dalam toko. Ketika dilihatnya sesosok gadis
yang duduk di meja di dekat jendela, ia tak mungkin salah kalau gadis
itu adalah gadis yang sama dengan yang kemarin duduk berseberangan
dengannya di toko ini juga. Tapi yang membuatnya heran, ia melihat gadis
itu hanya memain-mainkan garpu dan pisau yang digunakan untuk memotong
donat tanpa sedikitpun menyentuh donat yang ada dipiringnya. Ia tahu
jenis donat itu, double cocholate. Tapi kenapa tak dimakan olehnya? Tak
lama gadis itu pun meraih ranselnya dan melangkah keluar tanpa menyadari
bahawa ia sedang diperhatikan. Saat gadis itu telah menghilang dibalik
pintu, lelaki tadi berjalan mendekati mejanya. Benar tebakan lelaki itu,
donatnya hanya dipotong sedikit dan sisanya tak dimakan. Hanya air
minum saja yang habis.
“Maaf, mas. Saya mau tanya. Gadis yang tadi duduk di meja itu,
dia pesan donat apa ya mas?” tanya lelaki itu pada pria oriental pelayan
toko.
“Ooh… dia tadinya mau pesan donat Peanut, tapi sudah habis mas.
Jadinya dia pesan donat double chocolate,” jelas pria pelayan toko itu.
“Donat Peanut? Masih sama dengan pesanannya waktu itu…,” gumam
lelaki itu dalam hati. Setelah pesanannya selesai diambil, ia pun
membayarnya dan bergegas keluar dari toko itu.
***
“Makasih ya donatnya, sob!” seru Marcel sambil menggigit dalam
potongan besar donat triple chocolate. Yuda, salah satu penghuni
kontrakan K15 komplek Taman Lestari, yang mentraktir donat, membalasnya
dengan senyuman. Setelah meletakkan tasnya dikamar, ia mengganti pakaian
kerjanya dengan celana pendek dan kaus cokelat tanpa lengan.
“Besok giliranku deh traktir burger…,” usul Jimmy yang langsung
diiyakan oleh Marcel. Sebagai satu-satunya penghuni di rumah itu yang
berbadan besar, ia tak pernah menolak segala jenis makanan yang
diberikan padanya, apalagi kalau gratis.
Yuda mengambil air dingin di dalam kulkas lalu menuangkannya
kedalam gelasnya sendiri. Pikirannya masih melayang kepada gadis tadi.
Kenapa hanya donat kacang yang dicarinya? Kenapa dia sebegitu tidak
senangnya dengan jenis donat lain? Kalau memang dia tak ingin makan
donat yang lain, bisa saja dia tidak memesannya kalau ternyata hanya
dimakannya sedikit. Sebagai orang yang paling anti melihat makanan
terbuang, ia sangat tidak setuju dengan ulah gadis tadi yang tidak
menghabiskan donatnya. Terlebih lagi, donat termasuk salah satu makanan
kesukaannya.
“Kok diam, Yud? Nggak mau makan donatnya?” tanya Marcel yang baru
saja menelan donat jatahnya yang terakhir. Yuda tersentak kaget, lalu
mengambil satu donat double chocolate didalam kotak. Ia sempat
memperhatikan donat itu, lalu pikirannya kembali pada gadis tadi. Ini
adalah jenis donat yang tadi dipesan oleh gadis itu dan tidak
dimakannya. Apa yang salah dengan donat ini, gumamnya dalam hati.
“Kalau donatnya ngak mau dimakan, sini biar aku yang makan!” ujar
Marcel sambil pura-pura hendak merebut donat di tangan Yuda. Buru-buru
lelaki itu menghindarkan donatnya dari jangkauan Marcel, dan langsung
menggigitnya hingga mulutnya penuh terisi. Jimmy yang melihat aksi
perebutan donat itu hanya bisa tertawa. Donat jatahnya masih sisa
setengah, tapi ia sudah keburu kenyang karena sebelum pulang tadi ia
sempat singgah di kedai siomay bandung disamping kantornya. Akhirnya ia
pun memberikan donat itu pada Marcel yang langsung disambut pria tambun
itu dengan suka cita.
“Besok Minggu kan? Kalian mau kemana?” tanya Jimmy sambil meneguk air dingin dari gelasnya.
“Mancing yuk! Minggu kemarin kan kita tak jadi pergi,” usul
Marcel kemudian. Yuda masih belum menyahut ajakan kedua temannya, karena
tiba-tiba saja ia telah punya rencana sendiri untuk besok.
“Aku nggak ikutan deh ya. Lagi mau nyelesaikan proposal untuk
ajuan kegiatan kantor bulan ini. Sorry…,” sesal Yuda sambil menatap
kedua temannya. Marcel mendelik sedikit, sedangkan Jimmy hanya
mengangkat bahu.
“Eh, tapi nggak usah aja deh. Dirumah sajalah kita. Besok pagi
kita jogging, terus siangnya kita sewa DVD, nonton dirumah. Bagaimana
menurutmu, Jim?” tanya Marcel meminta persetujuan. Jimmy tampak
menerawang sebentar sebelum akhirnya mengangguk setuju. Wajah Marcel pun
sumringah, dan ia kembali bersemangat mendiskusikan daftar film yang
akan mereka sewa besok. Yuda tersenyum kecil menanggapi obrolan mereka
tanpa minat, karena ia sudah merancang apa yang akan dilakukannya besok.
***
“Sudahlah, Qanita… Setiap hari kamu selalu pergi kesana. Kalau
memang nggak ada, berarti memang nggak ada lagi donat jenis itu jam
segitu. Ngotot banget sih?” gerutu Alya ketika dilihatnya Qanita,
adiknya, sedang bersiap-siap untuk pergi. Qanita yang sudah terbiasa
dengan omelan kakaknya itu hanya tersenyum kecil, lalu sambil menenteng
tas kecilnya ia melewati kakaknya dan menyalaminya sebentar.
“Aku hanya mau makan donat itu sebanyak-banyaknya sebelum aku
kehabisan waktu, kak,” ujarnya pelan. Tubuh Alya membatu, lidahnya kelu
hingga ia hanya bisa menyahut ketika adiknya mengucapkan salam.
Dipandanginya tubuh adiknya yang menjauh seiring dengan sepeda motor
yang dikendarai. Perlahan kesedihan itu kembali menyeruak, meskipun
selama ini ia selalu berusaha untuk menekannya agar ia lupa bahwa telah
ada kenyataan pahit yang menantinya sebentar lagi.
Tring… tring…
“Selamat siang, selamat datang di Dunkin Donuts. Silahkan mas,
mau pesan apa?” tanya seorang pria berlogat jawa kental yang jadi
pelayan toko siang itu.
Tring… tring…
“Selamat siang, selamat datang di Dunkin Donuts. Silahkan mbak,
mau pesan apa?” tanya seorang perempuan hitam manis pelayan toko donat
siang itu.
“Mbak, saya mau pesan donat Peanut. Masih ada nggak mbak?” tanya
Qanita sambil mengamati rak donat. Seketika wajahnya cerah melihat donat
kacang yang selama ini dicarinya masih ada.
“Ada mbak, mau pesan berapa?” tanya perempuan pelayan toko itu.
“Satu aja, mbak. Minumnya chocolate ice ya mbak,” pesan Qanita bersemangat.
“Donat double chocolate-nya satu mas. Minumnya coffee ice aja,”
pinta Yuda. Sesaat kemudian ia menoleh, dan didapatinya gadis yang
kemarin dilihatnya di toko donat ini juga sedang memandangnya. Gadis itu
tersenyum hangat, dengan wajah yang lebih ceria daripada kemarin.
“Hai,” sapa gadis itu. Yuda membalas tersenyum, lalu membawa
nampan pesanannya ke meja yang sama dengan waktu dia datang kesini
beberapa hari yang lalu. Hanya bedanya, kali ini dia datang di siang
hari, sehingga meja itu tidak panas. Gadis yang tadi menyapanya juga
duduk dimeja yang sama, yaitu di meja yang berseberangan dengan mejanya.
Mereka pun duduk berhadapan seperti waktu itu, lalu masing-masing mulai
sibuk memakan donat pesanannya. Yuda sempat melirik kearah gadis itu.
Tampak gadis itu makan donat dengan bersemangat dan wajah yang ceria,
sangat beda sekali dengan wajah yang dijumpainya beberapa hari yang
lalu. Dalam waktu 10 menit, donat dipiringnya sudah habis, dan gadis itu
pun bangun dari duduknya.
“Yuk,” pamit gadis itu seraya melemparkan senyuman. Ia pun
melangkah keluar. Sementara itu, Yuda memperhatikan piring bekas makan
gadis itu yang kini telah kosong. Sepertinya ia sangat menyukai donat
itu, gumam hati Yuda.
“Mas, saya bisa pesan sesuatu nggak?” kata Yuda pada pria berlogat jawa pelayan toko itu.
“Iya, mas. Ada apa ya mas?” tanya pria pelayan toko itu heran.
“Kalau gadis yang tadi datang lagi besok atau hari-hari
berikutnya, tolong sisakan satu donat peanut seperti pesanan gadis itu
ya mas. Dia biasanya datang sore, makanya suka kehabisan donat peanut.
Sisakan saja satu ya mas, kalau dia datang, langsung saja dikasih donat
itu. Bisa kan mas?” pinta Yuda. Pria pelayan toko itu akhirnya
mengangguk setuju meskipun masih bingung juga dengan pesan Yuda.
“Memangnya mbak yang tadi itu saudaranya mas ya?” tanya pria
pelayan toko itu penasaran. Yuda tertawa kecil sambil membenarkan letak
jaket dibadannya.
“Bukan, dia teman saya,” kata Yuda singkat, lalu meninggalkan toko itu.
***
“Tinggal dua minggu lagi, Nita,” ujar Om Baskoro, adik ibunya
sekaligus dokter yang merawatnya selama lima bulan ini. Nita tersenyum
lalu menyentuh tangan pamannya dengan lembut.
“Aku nggak apa-apa, om. Aku juga sudah siap,” ujar Qanita pelan
seraya tersenyum. Om Baskoro mengamati wajah anak tunggal kakaknya itu,
dan seperti sebuah siluet bayangan masa kecil ketika Qanita baru lahir
di suatu musim dingin di negeri Sakura saat itu, lalu ketika gadis itu
melalui masa anak-anak, remaja hingga ia mencapai usianya yang sekarang
nyaris membuat lelaki itu menangis. Tapi dia tak akan menangis didepan
anak ini, karena sejak Qanita divonis penyakit mematikan ini pun sama
sekali ia tak pernah melihat Qanita meneteskan air mata. Anak ini memang
tegar seperti ayahnya, yang memang telah meninggal oleh penyakit yang
sama dengan Qanita.
“Om mau makan donat?” ajak Qanita kemudian. Tanpa berpikir
panjang lagi, Om Baskoro mengiyakan ajakan keponakannya itu. Qanita
menggelayutkan tangannya di lengan lelaki itu dan mereka berjalan
beriringan keluar ruangan.
Tring… tring…
“Selamat siang, selamat datang di Dunkin Donuts. Silahkan mbak,
mau pesan apa?” tanya perempuan pelayan toko donat siang itu. Tapi
sedetik kemudian ia langsung meralat kata-katanya, “Mbak pasti mau pesan
donat kacang ‘kan? Kebetulan masih ada mbak!” seru pelayan toko itu dan
cepat-cepat mengambilkan donat kacang yang disimpannya di rak bertutup
paling bawah. Qanita sempat heran ketika mendapati donat kesukaannya
masih ada pada jam ini.
“Makasih ya mbak. Om mau pesan apa?” tanya Qanita pada Om
Baskoro. Lelaki itu pun memilih sebuah donat almond. Untuk minum, mereka
sama-sama memesan cappucino.
“Qanita suka makan disini?” tanya Om Baskoro sambil mengunyah
donat-nya sendiri. Qanita mengangguk sambil menyendok serpihan kacang
yang bertaburan di piringnya.
“Iya om, suka banget. Dan aku suka sama donat peanut ini. Tapi
karena aku suka datang sore, jadi biasanya keburu kehabisan. Makanya aku
kaget aja begitu si mbak tadi bilang kalau donat ini masih ada. Mm… apa
dia sampai hapal ya karena aku sering banget pesan donat ini? Hehehe…,”
tawa Qanita kemudian. Om Baskoro tersenyum mendengar penuturan
keponakannya itu. Ia pun tampak sangat menikmati donat yang dipesannya.
“Papa dulu pernah bilang, makan donat ini seperti satu dari
sekian banyak kisah hidup kita. Kalau donat ini manis, jadi donat itu
seperti kisah hidup kita yang menyenangkan. Kalau menurutku, donat
kacang ini punya arti tersendiri. Kacang yang ditaburin diatasnya ini
adalah kita, manusia. Kita hidup menyebar dimana aja, diseluruh dunia.
Hidup dengan kisah yang berbeda-beda. Impian paling sederhana yang kita
punya adalah hidup senang dan bahagia dari awal sampai akhir, makanya
kita memilih untuk hidup diatas cokelat ini, karena dengan makan cokelat
sedikit aja kita bisa merasa senang dan mood kita yang awalnya jelek
jadi bagus lagi. Sebegitu sederhananya keinginan kita, sama dengan
sederhananya tepung yang dipakai untuk adonan donat ini. So, it’s very
complete, like a package with full of happines. Dan…,” ucap Qanita
tertahan. Ia tampak merenung sejenak sambil memandangi donat miliknya
yang tinggal setengah. Om Baskoro menatap dengan pandangan menyelidik.
Ada perasaan tak enak menggelayut tiba-tiba dihatinya.
“Dan, kalau dengan makan donat peanut ini aku bisa merasa bahagia
sampai akhir hidupku, aku hanya ingin makan donat peanut ini sebanyak
mungkin tanpa merasa sedih,” lanjut Qanita kemudian. Lalu ia tersenyum
sambil menatap Om Baskoro, sementara lelaki itu hanya bisa terdiam. Ia
tahu, Qanita sedang berjuang pula menahan rasa sakitnya, mencoba untuk
merelakan semua yang ia punya untuk ditinggalkannya lebih awal dari
waktu yang dikiranya masih panjang. Memang kita tak bisa memilih kapan
waktunya untuk kita akan pergi, tapi kita hanya bisa berharap ketika
kita pergi tak akan ada lagi beban yang tak kita lepaskan disini.
***
Tring… tring…
“Selamat siang, Mas Yuda,” sapa pria berwajah oriental pelayan
toko donat sore itu. Hampir semua pelayan toko donat telah mengenalnya
karena kini ia termasuk pelanggan tetap di toko itu.
“Hai, Pram. Panas banget cuaca diluar. Pas masuk kesini jadinya
adem, bikin betah,” canda Yuda yang disambut Pram, pria pelayan toko itu
dengan tawa kecil.
“Mau makan donat mas? Oya, tapi ada titipan untuk mas. Baru aja
tadi pagi diantar kesini. Dan… dia minta dikasih donat ini untuk mas,”
kata Pram sambil menyerahkan sebuah amplop kecil berwarna kuning dan
sebuah donat kacang. Mendadak perasaan Yuda menjadi kacau. Dengan ragu
diambilnya amplop itu, lalu dibaliknya. Sebuah nama “Qanita” tertulis di
amplop itu.
“Namanya Qanita, mas. Gadis yang suka pesan donat peanut itu,”
kata Pram kemudian. Yuda melirihkan kata terima kasih, lalu duduk di
meja yang selalu ditempatinya setiap kali datang kesana. Dipandanginya
amplop kuning ditangannya, antara ragu dengan tidak akhirnya ia
memutuskan untuk membacanya.
Untukmu…
Terima kasih sudah menyediakan donat kacang ini setiap hari. Inginnya
setiap hari aku mencicipi nikmatnya, tapi maaf… Kali ini kembali
kutitipkan donat kacang ini padamu. Karena aku tak lagi bisa merasanya.
Jika aku selalu merasa bahagia setiap memakan donat kacang ini, maka
kini kebahagiaan itu kuberikan padamu. Anggaplah sebagai ucapan terima
kasih yang tak akan pernah kusampaikan dalam nyata. Sampai bertemu di
dunia lain, dan aku masih berharap di dunia itu nanti,
kita bisa makan donat peanut ini berdua.
Thankyou ^_^
Yuda tersenyum membaca isi surat itu. Meskipun ia tak akan pernah
menemui gadis itu lagi, tapi dengan mengetahui bahwa gadis itu bahagia
dengan donat kacang yang selalu tersedia di toko ini setiap hari, ia pun
yakin kalau gadis itu akan terus bahagia hingga ia telah tinggal di
dunia lain.
Masih banyak cara untuk menemukan kebahagiaan di dunia ini.
Bahkan hanya dengan hal-hal kecil dan sederhana saja kita bersyukur
karena bisa merasakan bahagia itu. Yang perlu kita lakukan hanyalah
membuka mata dan hati kita untuk melakukan kebaikan sebanyak-banyaknya,
karena itu akan berdampak positif dan memberikan kebahagiaan yang
berkelanjutan untuk semua orang di bumi ini.***
Cerpen Cinta Sepotong Donat merupakan cerita pendek karangan Asih Perwita Dewi, kamu dapa
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar