Translate

cerpen kejutan 2

Written By iqbal_editing on Rabu, 10 Mei 2017 | 18.32

Kejutan Karya Ghina Jatsiah

KEJUTAN
Cerpen Karya Ghina Jatsiah

“Selamat pagi! Ini dia bekal makanmu.” Ucapku pada Rama.
“Selamat pagi! Terima kasih, kamu selalu tahu kebutuhanku di saat nggak ada sarapan.” Jawabnya.

Namaku Nadine. Rama adalah sahabatku, setidaknya mungkin itu yang pantas kusebut. Meskipun teman-teman kami selalu meledek dengan menggantungnya kedekatan kami. Sebenarnya, lebih meledek kepadaku. Setahun ini kami dekat, karena selain berada dalam kampus yang sama, kami juga sama-sama bekerja paruh waktu di sebuah distro. Maka dari itu, sepertinya munafik jika sedikitpun aku tidak menyimpan perasaan padanya.

Aku tahu kebiasaannya yang jarang sekali makan pagi karena tidak ada yang menyiapkannya. Dia tinggal sendiri di Bandung dan dia memang malas memasak. Jadi, ada hari tertentu aku akan dengan senang hati memasak untuknya. Aku juga tidak jago memasak, tapi makanan yang kubuat juga masih bisa dikatakan layak untuk dimakan.
“Semoga suka sandwich-nya, ya. Aku masuk kelas dulu, ada presentasi. Nanti ketemu jam 2 di sini, oke?” kataku sambil berlalu dan disertai anggukan dan ucapan terima kasihnya sekali lagi.
---

“Kok, telat? Ada apa?” tanyanya saat aku datang pukul setengah 3.
“Ada sesuatu, tapi semuanya baik-baik saja.” Jawabku.
“Ada sesuatu apa? Kali ini aku nggak boleh tahu apa itu?” tanyanya lagi sambil berjalan menuju area parkir motor.
“Hmm, kurasa kali ini nggak.” Jawabku tersenyum, ingin membuatnya penasaran.
“Kalau gitu aku juga nggak akan cerita sesuatu yang tadinya ingin kuceritakan.” Katanya tidak mau kalah ingin membuatku penasaran. Tapi aku berusaha tidak terpengaruh dengan apa yang dia katakan, meskipun dalam hati aku sangat ingin tahu apa yang ingin dia ceritakan.
“Ngomong-ngomong, hari ini aku nggak akan kerja. Aku sudah izin dan aku diizinkan untuk menggantinya di hari liburku. Boleh, nggak, aku diantarkan pulang saja?” kataku lagi.
“Ada apa, Nad? Kamu sakit?” tanyanya, sedikit khawatir.
“Aku nggak apa-apa, Ram. Jadi kamu nggak perlu khawatir. Ada sesuatu yang harus kulakukan, jadi aku mau pulang.”
“Baiklah, aku akan mengantarkanmu.”

Sepanjang perjalanan pulang, aku tidak banyak mengobrol seperti biasanya dengan Rama. Rama sempat bertanya, tapi aku tetap memberi jawaban yang sama. “Aku baik-baik saja, Ram.” Dan dia berhenti bertanya lagi sampai tiba di rumahku.
“Kamu akan memberiku kabar jika ada sesuatu, kan?” katanya saat aku turun dari motornya.
“Ya, itu pasti. Karena kamu juga hutang satu cerita seperti yang tadi kamu katakan, kan?” jawabku.
“Kalau begitu sampai jumpa besok, ya.”
“Oke, hati-hati di jalan.” Senyumku bertemu dengan senyumnya sambil berlalu dan segera masuk rumah.

Aku sudah tidak sabar ingin cepat masuk rumah dan membuat kue. Semangatku hari ini benar-benar sangat memuncak. Di rumahku sudah ada dua sahabatku yang akan membantu. Kebetulan, orang tuaku sedang ke luar kota dan pembantu di rumahku juga sedang pulang kampung. Jadi mereka bersedia mengulurkan tangannya untukku.
“Rama nggak curiga?” tanya Livia saat mengolesi loyang dengan mentega.
“Nggak, seperti biasa, Rama cuek-cuek saja.” Jawabku.
“Jadi, kita ke rumah Rama tengah malam atau gimana?” kata Sherin.
“Pagi-pagi. Rama hari ini pulang jam 10 dan besok dia kuliah jam 8. Kita masih harus menghargai waktu tidur sahabat kita.”
“Nad, kayaknya ada sesuatu yang harus kamu kasih tahu sama Rama, deh.” Ucap Livia serius. “Kita semua jelas tahu perasaan kamu sama Rama. Meskipun kamu menyangkal, tapi kami lihat semua bentuk perhatian kamu. Rama selama ini juga dingin dan memang sepertinya dia harus diberi tahu. Kalau nggak, kita yang akan merasa gemas karena sikapnya yang seakan buta dengan perhatianmu.”
“Besok? Kayaknya besok kalian harus punya waktu berdua saja.” Tambah Sherin. “Rama itu contoh laki-laki yang harus ditegasi, Nad.”
“Kalian ini kenapa? Aku baik-baik saja dengan keadaan ini. Aku juga nggak mau banyak menuntut. Dekat dengan Rama sudah menjadi kesenangan untukku.” Jawabku santai. “Justru karena Rama sangat tertutup, aku malah jadi nggak mau tahu apa yang dia rasakan.”
“Semua orang memang sulit menebak Rama, tapi kami rasa yang seharusnya lebih pandai menebaknya itu kamu.” Ucap Livia lagi.

Aku hanya tersenyum mendengar ucapannya. Karena sesungguhnya kedekatanku dengan Rama juga tidak menjamin apa-apa. Rama sangat datar. Aku juga tidak akan bertanya jika dia tidak memulai menceritakan sesuatu. Hanya dengan dekat saja tidak berarti orang sediam Rama akan secara terang-terangan menceritakan segala sesuatunya. Hanya itu yang aku pahami darinya.

Aku juga tidak bisa menyangkal untuk tidak menyukai Rama. Diantara mereka, hanya aku yang lebih banyak memperhatikan Rama. Ya, seperti membuatkannya makan tentu saja. Meski kadang aku juga membuatkan makanan untuk sahabatku yang lain. Atau contohnya untuk kejutan ulang tahunnya. Aku rela mempelajari resep yang kupelajari di internet dan mau bersusah payah membuatkan tart coklat kesukaan Rama.

Aldi, Ryan, Tiar, dan Jonathan akan menjemput kami jam 5 pagi di rumahku. Livia dan Sherin menginap di rumahku malam ini. Sedangkan Aldi, Ryan, dan Jonathan menginap di rumah Tiar. Inilah yang menyebabkanku tadi siang telat menghampiri Rama di kampus saat akan pergi ke distro. Aku dan mereka sedang menyiapkan kejutan ulang tahun untuk sahabat kami, Rama.
---

“BANGUN!! JAM 4, NIH!!” teriak Sherin membangunkanku dan Livia yang masih mengantuk.

Kami langsung terburu-buru untuk bersiap-siap. Aku langsung menuju kamar mandi di kamar orang tuaku dan Sherin berburu kamar mandi di bawah. Livia yang masih mengantuk malah kembali tertidur menunggu salah satu pintu kamar mandi diantara kami terbuka.

Dering telepon di handphone-ku berbunyi. Aldi. “Kami di depan pagar. Ayolah, kalian nggak mau dia bangun lebih cepat, kan?”
“10 menit lagi!” jawabku sambil mematikan teleponnya.

Aku, Livia, dan Sherin benar-benar sangat terburu-buru. Aku mengeluarkan tart dari kulkas dan mengeceknya. Sherin memasukkan beberapa roti untuk kami sarapan di mobil. Dan Livia masih berdandan.
“Lama sekali. Kesiangan?” tanya Jonathan saat kami masuk ke mobil.
“Setidaknya kami siap jam 5 tepat, kan?” jawab Livia.
“Rumah Rama juga dekat, kan. Kita datang sepagi ini 10 menit juga sampai.” Tambahku sambil makan roti yang disiapkan Sherin tadi.

Dan benar saja perkiraanku, 10 menit tepat kami sampai di rumah Rama. Tiar sangat rapi dengan rencana ini. Dia mengambil kunci duplikat di dalam tas laptop Rama kemarin di kampus. Jadi kami akan mudah masuk ke dalam rumahnya. Lampu masih dalam keadaan padam, itu pertanda penghuni rumah itu masih dalam keadaan tertidur. Sambil berjalan menuju kamarnya yang tidak dikunci, aku menyalakan lilin ulang tahun yang kutaruh berhamburan di sekeliling kue.
“KEBAKARAN!!!” teriak Ryan di telinga Rama yang masih tertidur. Dan saat itu juga Rama terlonjak kaget dengan teriakan kami. “HAPPY BIRTHDAY!!!” Rama masih setengah sadar dan tamparan Jonathan membuat Rama benar-benar tersadar.
“Wah, terima kasih banyak. Kalian niat sekali datang sepagi ini. Jam berapa sekarang?” ucapnya masih setengah menutup matanya.
“5.20. Ayolah buat permohonan dan tiup saja dulu lilinnya.” Kataku. Rama kembali menutup matanya lalu meniup lilinnya.
“Biar kujelaskan, ini semua adalah rencana Nadine. Termasuk kuenya, Nadine yang buat.” Ucap Livia.
“Apa? Kemarin kamu mengganti hari kerja karena ini?” jawabnya tidak menyangka, lalu memelukku. Aku hanya tersenyum. Sebenarnya tidak tahu harus menunjukkan ekspresi bagaimana.

Kami membuat kehebohan di kamarnya pagi itu dan mengambil beberapa foto dari iPad Sherin. Rama tidak keberatan dengan suasana tersebut, karena di rumahnya yang sepi menjadi hiburan tersendiri, apalagi di ulang tahunnya yang ke-21 ini. Rama mengambil handphone-nya dan kembali direbut oleh Aldi. Aku menyimpan tart coklat di meja belajarnya yang cukup berantakan. Namun ada sesuatu yang rapi tersimpan di sana. Tawaku saat itu mendadak terhenti. Aku melihat sesuatu yang rapi itu adalah foto yang tersimpan dalam frame hitam. Sebagian dari mereka juga melihat, karena kudengar tawa mereka juga mendadak berkurang volume suaranya.
“Ah, iya. Aku masih berhutang cerita pada kalian. Apalagi sama Nadine. Sahabat paling pengertian yang aku punya.” Ucap Rama tiba-tiba.

Rasanya semakin sakit sekali mendengarnya berkata seperti itu. Dia bilang kami adalah sahabat terbaiknya. Aku adalah sahabat terbaiknya yang paling pengertian. Dalam suasana kejutan itu, rasanya aku yang merasa paling terkejut.
“Ngomong-ngomong, 4 hari yang lalu aku balikan dengan Risya. Kami sepakat untuk hubungan long distance relationship.” Sambungnya sambil tersenyum bangga.

Aku tahu Risya. Risya yang berada dalam foto itu bersama Rama. Rama pernah menyebut namanya waktu dulu. Ya, dulu. Karena sudah lama sekali mereka putus. Tapi aku, bahkan kami, benar-benar tidak tahu bagaimana kelanjutan Rama dengan Risya. Karena yang kami lihat Rama memang tidak pernah menceritakan Risya lagi. Dia memang sangat tertutup. Seperti yang kubilang, Rama memang sulit ditebak.
“Nad!” Aku masih memunggungi mereka dan tersentak saat Tiar memanggilku. Aku berbalik dan tersenyum.
“Wah, kabar baik, Ram. Selamat, ya! Jadi, hari ini kita makan besar dua kali, dong.” Masih dengan tersenyum yang sangat kupaksakan aku kembali bicara. “Aku ambil pisau di dapur, ya, kalian harus coba kue yang kubuat bersama Livia dan Sherin.”

Saat berlalu, Jonathan dan Sherin mengikutiku. Aku tahu mereka akan menenangkanku. Aku tahu semuanya yang berada di dalam kamar, kecuali Rama, menyadari kesedihanku yang mendadak.
“Nad, baik-baik saja, kan?” tanya Jonathan. Sherin yang mendahuluiku kaget melihatku menangis dan memelukku.
“Nad, seandainya kita tahu, kita pasti sudah beri tahu kamu tentang ini.” Ucap Jonathan lagi.
“Aku baik-baik saja. Sudah kubilang aku nggak mau banyak menuntut karena kedekatanku dengan Rama. Kita sudah tahu Rama sangat tertutup.” Ucapku sambil melonggarkan pelukan Sherin. “Tapi.. sakit sekali rasanya mendengar kabar bahagianya.”
“Sekarang mau bagaimana lagi...” ucap Sherin dan kupotong.
“Ayo ke kamarnya lagi. Kita tidak boleh berlama-lama di sini. Kita harus membolos kuliah hari ini untuk merayakan ulang tahun Rama dan hari jadi Rama.” Aku menghapus air mataku sampai benar-benar terhapus lalu mengambil pisau dan kembali ke kamar.

Jonathan dan Sherin saling berpandang. Tapi aku tidak peduli, aku melewati mereka untuk berjalan lebih dulu. Sesampainya di kamar, aku seolah merasa sangat senang atas hari bahagia Rama. Sahabatku yang lain mengikuti rasa senang itu, meskipun ada sedikit rasa canggung. Tapi aku tidak boleh seperti itu, aku harus benar-benar merasa bahagia karena sahabat kami. Ya, karena sahabatku. Sahabatku yang paling kucintai. Rama.

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik