Tangan
lembutnya menyentuh kepalaku. Lama. Aku ingin menangis di pelukannya. Tapi
kuurungkan. Karena beberapa pasang mata tak lepas mengawasi kami. “Jaga dirimu
baik-baik, Ayu.” Itu pesan terakhir yang keluar dari bibirnya. Aku hanya
mengangguk. Tanpa mampu berucap sepatah katapun. Bahkan untuk sekedar
menyampaikan selamat tinggal, bibirku kaku. Ia pergi bersama orang-orang itu.
Orang-orang berseragam dengan senjata api di pinggangnya. Kedua tangannya
terborgol. Langkahnya terlihat gontai. Kebebasannya terenggut sudah. Kini aku
benar-benar sendiri. Hanya ditemani seekor kucing kecil, kurus, dekil, yang
mengeong manja di ujung kakiku. “Manis, jangan pergi yah...” aku meraih kucing
kecil itu dan menggendongnya menuju ruang dalam. Di luar senja mulai bergulir. Desau
angin perlahan menyibak tirai yang berjuntai. Kuulurkan tangan meraih gagang
jendela. Kututup daunnya hati-hati. Samar, peristiwa beberapa saat lalu
berkelebat muncul kembali. *** Malam yang cerah. Ibu mengajakku bicara. Tentang
laki-laki itu. “Ayu, dia lelaki yang baik.” “Sebaik apa, Bu?” ‘Sebaik ayah
kandungmu.” “Jadi Ibu telah menjatuhkan pilihan padanya?” “Apakah kau
keberatan?” Aku terdiam. “Ibu mencintainya?” tanyaku menelisik. Kulihat Ibu
mengangguk. “Baiklah. Jika Ibu yakin ia bisa menggantikan ayah, Ayu terserah
Ibu.” Ibu tersenyum. Memeluk pundak ringkihku seraya berbisik,"Kuharap ia
menyanyangimu seperti anak kandungnya sendiri.” Malam itu aku sulit memejamkan
mata. Memikirkan rencana Ibu yang hendak menikah lagi. Ah, sudah berapa lama
Ibu hidup menyendiri? Cukup lama. Hampir lima tahun semenjak ayah tiada. Dan
selama itu Ibu mampu bertahan hidup hanya berdua bersamaku. Aku menyayangi Ibu.
Sangat. Karena hanya dia satu-satunya yang kumiliki. “Happy sweet seventeen,
Ayu,” tiba-tiba satu kecupan mendarat di keningku. “Ibu belum tidur juga?” aku
terperanjat. Kulihat Ibu sudah duduk di tepi ranjangku. “Jadi, aku sudah boleh
jatuh cinta, kan, Bu?” selorohku. Ibu tertawa. Lalu ia merapikan selimutku.
Mencium sekali lagi keningku dan menyuruhku untuk segera tidur. *** Huft, Ibu
akhirnya menikah juga. Ia tampak begitu bahagia. Meski tanpa pesta meriah,
hanya mengundang kerabat dekat dan tetangga kanan kiri, sama sekali tidak
mengurangi kesakralan perhelatan suci itu. Ibu mengenakan kebaya brokat berwarna
putih. Cantik sekali. Sedang lelaki di sampingnya, yang kini resmi sebagai
suaminya, sekaligus ayah baruku, tampil gagah dengan stelan jas hitam dan peci.
Ijab kabul telah usai. Beberapa tamu satu persatu mulai meninggalkan rumah. Ibu
memanggilku. Mengajakku duduk bertiga. “Ayu, mulai sekarang Ayahmu akan tinggal
bersama kita,” Ibu berbisik di telingaku. Aku mengangguk. Melirik sekilas pada
lelaki gagah yang berdiri di samping Ibu. Kebetulan lelaki itupun sedang
melirik ke arahku. Membuatku--- salah tingkah. “Anggaplah rumah sendiri, Ayah,”
ujarku menutupi kegugupan. “Terima kasih Ayu telah menerima kehadiran Ayah,”
lelaki itu menyahut seraya menyungging senyum. Ibu mengulurkan tangannya.
Meraih jemariku dan menumpangkannya di atas punggung tangan lelaki itu. Dadaku
berdesir. Punggung tangan lelaki itu terasa hangat. Membuat wajahku seketika
memerah. Buru-buru kutarik kembali jemariku. “Boleh aku istirahat di kamar?”
aku berdiri. Menatap Ibu sejenak. Ibu mengangguk. Lelaki di samping Ibu juga
ikut mengangguk. Di dalam kamar kuhempas tubuhku. Kupeluk bantal erat-erat. Ya,
Tuhan...ada apa dengan perasaanku? *** Di depan cermin aku mengumpat diriku
sendiri. Sungguh memalukan! Di hadapan ayah baru, mengapa aku begitu salah
tingkah? Seperti yang baru saja terjadi. Ketika Ibu memintaku untuk menyuguhkan
kopi, tanganku gemetar. Dan cangkir kopi terguling di atas meja. Isinya tumpah
ke mana-mana. Hanya gegara senyum pria itu! Untunglah Ibu tidak mencurigaiku.
“Ayu, kamu lelah, ya? Istirahatlah,” Ibu mengelus lembut pundakku. Terpaksa aku
mengangguk. Sementara, lelaki gagah itu terlihat asyik membaca koran. Tapi aku
tahu, ia mendengarkan percakapan kami. “Bu, Ayu pamit mengerjakan tugas
sekolah, ya....Besok dikumpulkan,” aku berusaha mencari alasan. Tanpa menunggu
jawaban aku bergegas menuju kamarku. Kukira lebih baik berada di dalam kamar
ketimbang bertemu pandang dengan lelaki itu. *** Meski sudah hampir sebulan
kami tinggal bersama, kecanggungan masih melandaku. Kau tahu apa sebabnya?
Lelaki yang menjadi suami Ibuku, usianya terpaut jauh. Ia lebih muda beberapa
tahun dari usia Ibu. Ia---lebih pantas menjadi kakakku. Tapi aku tahu, Ibu
sangat mencintai lelaki itu. Jika tidak, mana mungkin Ibu bersedia menikah
dengannya? Bukankah landasan utama seseorang memutuskan untuk hidup bersama
adalah saling mencintai? Tunggu! Tentang hati Ibu, aku sama sekali tak
meragukannya. Tapi bagaimana dengan hati lelaki itu? Apakah ia benar-benar
mencintai Ibu? Duh, kenapa timbul pikiran norak seperti itu dalam benakku?
Entahlah. *** Suatu siang, sepulang sekolah, kulihat rumah dalam keadaan sepi.
Aku masuk begitu saja karena kukira tak ada orang di rumah. Ternyata aku salah.
Aku mendengar suara desah di kamar depan. Ibu dan suaminya, mereka sedang
memadu cinta. Huft, siang-siang begini. Ah, sudahlah. Itu urusan mereka. Meski
aku berusaha mengabaikan suara-suara itu, tetap saja telingaku tergelitik. Tawa
manja Ibu, ah. “Ayu?” tetiba terdengar seseorang memanggilku. Lelaki itu! Ia
membuka pintu kamar dan tampak terkejut melihat aku berdiri di ruang tamu. “Oh,
maaf,” aku bergegas mengayun langkah menuju kamarku. Tapi tangan kekar lelaki
itu berhasil menghalangiku. “Tunggu, Ayu. Mari kita bicara.” Aku gemetar.
Benar-benar gemetar. Bukan gemetar karena takut, bukan. Lelaki itu tersenyum.
“A-yah, lepaskan....” “Kenapa?” ia menatapku nakal. “Takut sama Ibumu?
Tenanglah, ia baru saja tertidur.” Aku terdiam. Membiarkan tangan kekar itu
mencengkeram lenganku. Dan entah bagaimana mulanya, tahu-tahu lelaki itu sudah
mendaratkan satu ciuman di bibirku. *** Semenjak kejadian siang itu, ia kerap
melakukannya padaku. Lelaki itu. ia suka mencuri-curi ciuman saat Ibu tidak ada
atau sedang lengah. Awal mula aku merasa amat ketakutan, bagaimana jika Ibu
memergoki kami? Tapi lelaki itu berulang kali menegaskan, Ibu tak akan
mengetahuinya. Dan entah setan apa yang telah merasukiku, aku menjadi begitu
penurut padanya. Yang lebih memuakkan, aku menjadi ketagihan oleh ciumannya.
Suatu siang, Ibu berpamitan menjenguk kerabat yang sedang dirawat di Rumah
Sakit. "Mungkin Ibu pulang agak sore, Ayu," Ibu berkata. Aku
mengangguk. Sebenarnya aku ingin menemani Ibu. Tapi pekerjaan sekolahku
menumpuk dan harus segera kuselesaikan. Beberapa menit usai kepergian Ibu, aku
segera menutup pintu rumah. Beranjak menuju kamar dan bermaksud mulai
mengerjakan tugas-tugas sekolah. Tiba-tiba muncul dia. Lelaki yang menjadi
suami Ibu dan telah beberapa kali berhasil mencuri ciuman dariku. "A-yah
di rumah? Sedang libur?" tanyaku gugup. Seperti biasa lelaki itu
tersenyum. "Kebetulan agak tidak enak badan. Jadi izin bolos."
"Mengapa tidak menemani Ibu ke Rumah Sakit? Kan bisa sekalian periksa
kesehatan di sana." "Aku ingin berdua dengan Ayu...." Seketika
wajahku memerah. Lelaki itu mendekat. Tangan kekarnya terulur. Seperti yang
sudah bisa diduga, ia memelukku erat dan mendaratkan satu ciuman. Hangat. Aku
meronta sejenak. Tapi kemudian--- menikmati. Beberapa detik jiwaku melayang.
Melayang jauh hingga melupakan sesuatu. Aku telah melupakan perasaan Ibu. Ibu?
Deg. Teringat akan hal itu seketika kesadaranku kembali. Oh, Ibu, apa yang
telah aku lakukan? "Lepaskan!" aku menepis tangan kekar Ayah. Tapi
lelaki itu terlanjur dirasuki birahi. Ia mencengkeram erat pundakku.
"Lepaskan!!!" Aku berusaha meronta kembali. Kami jatuh bergulingan di
atas karpet. Sementara wajah Ibu semakin nyata menari-nari di pelupuk mataku.
"Hentikan!!!" suaraku melolong parau. Lelaki itu mulai terganggu dan
membekap mulutku. Ia semakin binal memperlakukan aku. Antara sadar dan tidak
tanganku menggapai, meraba-raba sesuatu. Oh, beruntungnya aku. Sebuah benda
dingin dan berat terbuat dari gelas berhasil kuraih. Braaaak!!! Asbak terbuat
dari gelas itu menghantam tepat di pelipisnya. Lelaki yang sedang dirasuki
setan itu menggelinjang sejenak. Pelukannya terlepas. Lalu tubuhnya menggelosoh
diam. Lama ia tak bergerak. Aku menunggu. Menunggu bagai patung hingga Ibu
pulang. Ibu berhambur memelukku. "Jangan katakan apa-apa, Ayu.
Diamlah...Ibu sudah tahu," bisiknya di telingaku. Aku ingin menangis. Tapi
tak ada air mata yang keluar. Beberapa jam kemudian serombongan Polisi
mendatangi rumah kami. Ibu menyongsong mereka seraya menyerahkan kedua
tangannya. "Penjarakan aku. Akulah yang membunuh lelaki biadab itu."
*** Malang, 28 Maret 2017 Lilik Fatimah Azzahra
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar