CATATAN KEMATIAN
Sam terbangun tengah malam dan mendapati
jendela kamarnya sudah terbuka lebar. Padahal, ia ingat sekali sudah
menguncinya sebelum tidur. Angin menerbangkan tirai, menyibak dan menariknya
seperti gerai rambut panjang yang terayun-ayun. Bayangan ranting pohon layaknya
tangan yang hendak mencengkeram, menggapai-gapai dalam warna gelap. Semilir
angin bertiup pelan, membelai atap dan tembok rumah. Tiba-tiba saja hati Sam
tak tenang. Perasaan seperti ini sering muncul dan biasanya ada sesuatu yang
terjadi pada adiknya, Maya.
Sam bergegas keluar dari kamarnya. Dia
semakin cemas setelah mengetahui kamar Maya kosong.
“Maya…” teriaknya. Sam memeriksa semua
ruangan, tapi Maya tidak ada di sana. Lalu dia melihat pintu samping terbuka.
Ada bercak-bercak darah di lantai teras. Sam mengikuti tetesan-tetesan darah
itu dengan perasaan yang tidak menentu.
“Apa yang telah dilakukan Maya kali ini?” batinnya.
Bercak darah itu berhenti di sebuah lorong
sempit, perbatasan antara sebuah kampus tua dan sekolah tinggi kesehatan. Sam
melihat gadis mengenakan masker penutup mulut berdiri di sana. Jeans dan kaos
oblong dikenakannya sedikit sobek-sobek. Sam sulit mengenalinya karena udara
tampak berkabut.
“Maya?” gumamnya pelan, “Apakah itu Maya?” lanjutnya
dalam hati.
“Maya? Kamu di sini?” Sam akhirnya
memberanikan diri untuk berteriak. Gadis itu menoleh. Dia tampak kaget dengan
kehadiran Sam dan terburu-buru memalingkan mukanya.
“Maya, tunggu!!” Sam menghampiri gadis itu.
Tapi ternyata itu bukan Maya. Sam terlihat kikuk karena telah mengira gadis itu
adiknya, Maya.
“Maaf,” kata Sam. Gadis itu hanya tersenyum,
tapi Sam tidak bisa melihat senyumnya karena tertutup masker.
“Kamu mau kemana?” tanya Sam kemudian.
“Aku mau ke kampus,” jawab gadis itu pelan.
Sam mengerutkan keningnya, “ke kampus
semalam ini?”
“Aku ingin menyelamatkan kucing-kucingku.”
Gadis itu melangkah pergi.
“Tunggu!” Gadis itu tidak menghiraukan Sam.
Dia berjalan lebih cepat. Sam mengikutinya dari belakang tanpa sepengetahuan
gadis itu. Rasa penasaran merasuki pikiran Sam.
“Meeoooonggg…meeoooonnnngg….”
****
Suara anak kucing berwarna kecoklatan
tadi malam masih terngiang-ngiang di benak Sam. Sam melihat anak kucing
itu meratapi ibunya yang telah terkapar tak berdaya. Mulut induk kucing itu
terbelah dari satu kuping ke kuping. Begitu juga dengan perutnya yang robek. Ususnya
beruraian di lantai aula kampus. Sepertinya ada orang yang sengaja melakukan
pembedahan pada induk kucing milik gadis itu.
Sam juga melihat gadis itu memasukkan induk
kucing ke dalam kantong plastik hitam sambil menangis dan membelai lembut anak
kucingnya yang terus mengeong tanpa henti. Gadis itu terlihat sangat menyayangi
kucing-kucingnya. Dia memeluk anak kucingnya erat. Lalu menembus pekatnya
malam.
Alunan musik di kamar Maya menyadarkan Sam
dari lamunannya. Maya sudah bangun, pikirnya. Semalam, sepulang dari kampus dan
melihat pembantaian kucing gadis bermasker itu, Sam pulang dan mendapati Maya
sedang menonton televisi. Sam menanyakan darimana Maya dari tadi dia cari tapi
tidak ada.
“Dari rumah berbukit,” jawab Maya santai.
Fiuuhh, Sam tampak kecewa. Dia lupa mencari Maya di rumah yang ia sebut rumah
berbukit. Rumah itu terletak di pinggir sungai Musi namun datarannya terlihat
sangat tinggi, tampak berbukit daripada rumah di sekitarnya. Rumah berbukit
adalah rumah peninggalan almarhum kakeknya. Tidak ada yang tinggal di sana,
hanya Maya yang dengan senang hati merawat rumah itu. Setiap hari ia selalu
mengelap berbagai perabot yang tersisa, terutama sebuah senapan dan keris tua
milik kakek. Dia rawat dengan hati-hati tanpa ada yang boleh menyentuhnya,
termasuk Sam.
“Ngapain?” tanya Sam.
“Mencari inspirasi. Lihat, Maya baru saja
menyelesaikan cerpen tentang pembantaian kucing.” Maya menunjukkan buku kecil
di tangannya. Buku itu selalu di bawahnya kemanapun dia pergi.
“Pembantaian kucing?” Sam kembali teringat
kejadian di kampus dan perempuan bermasker.
“Iya. Ini cerita yang sangat mengharukan.
Kucing-kucing dibantai dengan kejam oleh majikannya sendiri,” Maya bercerita
dengan antusias. Sam memandang adiknya dengan curiga. Bagaimana bisa sama
persis, batin Sam.
“Tapi anehnya, majikannya malah menangisi
kematian kucingnya. Dia seolah merasa kehilangan, namun sebenarnya dia
menyukai pembantaian itu. Dia menikmatinya, seperti saat dia membelah perut
ikan patin untuk dia masak pindang.” lanjut Maya. Sam kembali ingat peristiwa
yang baru dilihatnya tadi, pembantaian kucing, dan gadis itu menangis.
“Apakah mungkin gadis bermasker itu sendiri
yang membunuh kucingnya?” batin Sam. Perutnya terasa mual membayangkan perut si
kucing dibelah hidup-hidup. Sungguh kejam, gumam Sam dalam hati.
“Kakak kenapa?” tanya Maya. Sam mengelap
hidungnya, hal yang biasa dia lakukan bila salah tingkah. Sam terlihat kikuk.
“Oh, tidak. Kakak hanya sedikit kaget dengan
cerita kamu. Nice story,” Sam menjawab asal.
Maya tersenyum malu-malu. Ini bukan
pertama kalinya Sam memuji tulisannya. Beberapa bulan yang lalu Sam memuji
tulisannya yang berjudul “Misteri Satpam Pasar” yang menceritakan tentang
seorang satpam pasar yang mati bergelantungan di atas kelenteng tua terletak
tepat di pinggiran sungai Musi. Memang terdengar sangat kriminal, tapi itulah
Maya. Dia bisa membuat cerita menjadi seolah-olah nyata. Bahkan menjadi nyata.
Sam memeluk adik semata wayangnya itu. Dalam hati ia berharap adiknya akan
baik-baik saja.
****
Sam kembali terbangun dari tidurnya dan
langsung memeriksa kamar adiknya. Kebiasaan ini seolah menjadi ritual yang amat
penting dalam hidupnya semenjak Maya sering menghilang di malam hari beberapa
tahun belakangan. Kamar Maya kosong, Sam berlarian keluar rumah. Di benak Sam
hanya ada satu tempat, rumah berbukit!
Rumah panggung tua itu tampak sunyi. Tidak
ada temaram lampu di terasnya. Yang ada hanya alunan pelan musik-musik klasik
kesukaan Maya. Sam mencoba untuk masuk. Pintu tidak dikunci. Dilihatnya
bercak-bercak darah berhamburan seperti tetesan tinta. Bau anyirnya menyengat.
Sam mulai galau. Apa yang terjadi denganmu, Maya, batinnya. Sam masuk ke dalam
rumah.
“Maya?” Sam berteriak kaget ketika melihat gadis
yang berdiri membelakanginya sedang memegang pisau yang berlumur darah. Dia
terlihat sangat ketakutan. Gadis itu berbalik, ternyata dia bukan Maya. Dia
gadis bermasker itu!
“Apa yang kamu lakukan? Dimana Maya?” teriak
Sam penuh amarah. Sam membuka semua pintu ruangan mencari adiknya. Sam terlihat
seperti kerasukan. Dia sangat mengkhawatirkan adiknya. Seluruh ruangan kosong.
Tak dia dapati adiknya di sana. Kemana Maya? Sam masuk ke ruang
perpustakaan milik Maya. Buku-buku berserakan di sana sini padahal Sam tahu,
Maya sangat menyukai buku-bukunya tersusun rapi. Apa tadi Maya terbangun
dan menulis di sini, tapi dimana dia sekarang? Sam menemukan buku catatan
yang sering Maya bawa terbuka. Buku itu mengundang perhatian. Pelan-pelan dia
dekati buku itu, meraihnya. Matanya tiba-tiba perih. Cerita itu, cerita yang
ditulis Maya tentang gadis bermasker, namun belum selesai.
Sam berbalik ke arah gadis bermasker. Gadis
itu menyeret Maya yang berlumur darah dari bawah meja besar. Sepertinya dia
hendak membuang Maya. Darah segar membekas seperti jalan setapak.
“Maya?” lutut Sam langsung lemas melihat
adiknya yang sudah terkapar tak berdaya. Sam memeriksa nadinya. Maya sudah
tidak bernyawa. Wajahnya pucat, ketakutan.
“Apa yang kamu lakukan dengan Maya?” Sam
menatap gadis bermasker dengan sinis. Kesabaran Sam telah menguap entah kemana.
Baginya Maya adalah segalanya dalam hidup Sam.
Gadis itu menangis. Dia benar-benar menangis
seolah kehilangan. Gadis itu menutupi kedua matanya dengan telapak tangan yang
berlumur darah segar. Tetesan air mata yang bercampur darah segar terlihat
seperti hujan darah yang sangat memilukan. Sam tampak kebingungan.
“Aku telah membunuhnya….hiks,” gadis itu
kembali menangis. Sam menamparnya, hendak memukulnya habis-habisan, tapi dia
sadar gadis itu adalah seorang perempuan. Dia tidak boleh melakukan itu. Dia
tidak ingin seperti ayahnya yang berperilaku kasar terhadap ibunya, memukulnya,
menamparnya, menendangnya dan menembaknya. Maya dan Sam menyaksikan ibunya
terkapar dan berlumur darah di hadapan ayahnya. Saat itu Sam tidak bisa berbuat
apa-apa. Dia hanya bisa memeluk erat adiknya Maya yang mematung memandangi
Ayahnya yang ketakutan. Dadanya berguncang hebat, tapi Maya tidak menangis.
Maya tidak terlihat mengeluarkan air matanya.
“Maafkan aku, Sam,” gadis itu kembali
berbicara.
“Aku sudah muak dengan cerita-cerita adikmu.
Dia membunuh semua kucing dan kelinciku. Dia membunuh ayahku dan menggantungnya
di atas kelenteng. Dan kau lihat ini, Sam,” gadis itu membuka maskernya. Mulut
gadis itu terlihat sangat lebar, terbelah dari kuping ke kuping. Sam sangat
kaget melihatnya.
“Ini semua ulah adikmu, hiks….” gadis itu
kembali menangis. Kali ini dia menangis histeris. Mengobrak-abrik semua yang
ada di sekitarnya. Sam ketakutan, tapi dia tidak percaya dengan apa yang gadis
itu katakan. Sam kembali ingat cerita Maya. Majikan itu membunuh kucingnya
dengan kejam. Tapi majikan itu menangis, seolah dia merasa kehilangan…
“Tidak! Kamu bohong! Maya tidak mungkin
melakukan itu,” Sam berteriak. Suaranya parau.
“Kau perlu bukti?” gadis itu bergegas
mengambil buku catatan milik Maya di dalam perpustakaan. Dia membuka
lembar-lembarnya dengan paksa.
“Adikmu yang psikopat itu ingin
menyelesaikan ceritanya tentang aku, Sam. Kamu lihat ini, Sam!” gadis itu
menunjukkan sebuah judul “Kuchisake-onna (Wanita Bermulut Robek)” kepada Sam.
****
Sam kembali membaca lembar demi lembar
cerita yang adiknya tulis. Buku catatan itu semua berisi cerita-cerita yang
menyeramkan, pembunuhan, pembantaian, dan pembedahan. Maya memerankan Silvi,
gadis bermasker itu sebagai kuchisake-onna (wanita bermulut robek) sejenis
siluman dalam mitologi dalam legenda urban Jepang.
Sam tergugu, dia gagal mendidik adiknya. Dia
sama gagalnya dengan ayahnya yang gagal mendidik anak-anaknya. Namun hari ini,
matahari tampak cerah. Seolah menyinari relung-relung hati Sam. Menghapus semua
kekhawatirannya bila malam tiba.
0 komentar:
Posting Komentar