Cerpen Karangan: Naufal Mohammad Hogantara
Kategori: Cerpen Fantasi (Fiksi)
Lolos moderasi pada: 16 November 2016
“Maka kembalilah ke sini lewat atas pelangi, seperti yang kau bilang kau lakukan untuk pergi ke sana!” hardik warga desa yang sudah kepalang kesal menghadapi pembual yang tak masuk akal.
Pengakuannya kemudian dilupakan selaksana kerikil yang berserakan. Orang-orang merasakannya sekejap menggelitik kaki mereka, lalu mengabaikannya, dan menendangnya jauh-jauh.
Waktu bergulir dan Desa Cemara kini mengenalnya sebagai Si Pendongeng Tua.
Mencari ujung pelangi telah lama melegenda di Desa Cemara. Mereka percaya bahwa di ujung pelangi menanti gelimangan karunia yang berharga tinggi. Lintasilah pelangi, ujar para sesepuh desa, dengan berjalan di atasnya; niscaya kau akan temukan emas dan berlian di ujungnya.
Masalahnya, pelangi tidak selalu hadir mengiringi redanya hujan. Yang paling sering, awan yang menyirami bumi dengan hujan itu tidak semuanya terjun bebas menjadi air. Sebagian bersisa di langit dan bersekongkol untuk menutup-nutupi teriknya Matahari. Alhasil, tiada titik air yang sanggup lengkungkan cahaya jadi pelangi.
Cerita tentang ujung pelangi memang dikisahkan turun temurun oleh para orang tua di Desa Cemara. Emas berkendi-kendi serta berlian berpeti-peti bukan lagi rahasia bagi anak-anak mereka. Ratusan tahun sudah mereka hidup sembari percaya bahwa ada harta yang meruah di ujung pelangi. Namun, selama itu juga mereka hanya menduga dan mengekor buta pada para leluhur tentang kebenarannya.
Lambat laun, misteri kendi emas di ujung pelangi itu pun hanyut diseret waktu. Tidak ada yang pernah melihatnya, tidak ada yang pernah menyentuhnya, tidak ada yang pernah menggondolnya -dan membagikannya kepada segenap warga desa. Legenda tersebut pun berubah menjadi mitos yang hanya diceritakan sebagai pengantar tidur bagi anak-anak. Tiada lagi keyakinan atasnya.
Akan tetapi, dahulu para warga desa pernah menjadi saksi atas seorang pemuda yang mengaku pernah menyeberangi pelangi dan melihat kendi emas itu dengan mata kepalanya sendiri. Aku melangkahkan kakiku sendiri di atas pelangi, telah kutemukan pangkalnya di hulu Sungai Menez dan ujungnya di seberang pulau, dia bilang. Ia juga bertutur tentang bongkahan emas sebesar sapi dan berlian secerah purnama yang ia saksikan sendiri di sana. Tidak pernah ada saksi bahwa hal ini benar-benar terjadi, sayangnya, selain mata kepalanya seorang diri.
Pemuda itu adalah Si Pendongeng Tua, kala belum direnggut uban dan keriput.
“Apa maksudmu kau harus membawa pulang emas-emas itu dengan perahu? Bukankah kau tinggal menapaki pelangi yang sama?” tanya Ben, meminta kejelasan atas cerita yang baru didengarnya.
“Ya, mudah jika ada pelangi. Aku bisa membawanya dengan gerobak. Atau apapun yang memiliki roda,” Si Pendongeng Tua menerawang ke lapang pandang kosong di hadapannya, dan berucap, “Tapi pelanginya hilang ketika aku hendak pulang.”
Ia lalu mengaduk kopi yang sedari tadi mengepul di atas meja yang melintang di antara mereka berdua. Setelah menyeruput kopi itu dengan pelan, bibirnya kembali melontarkan alasan lain, “Sementara itu, aku tak tahu kapan hujan berikutnya turun. Tidak pula aku menguasai ilmu pangan apapun yang dapat memperpanjang umurku di sana.”
“Maka kau memutuskan untuk segera pulang dengan perahu yang ada,” pungkas Ben.
Si Pendongeng Tua mengangkat alisnya dan sedikit mengangguk setuju. “Kau bilang kau ingin mencari ujung pelangi juga?”
“Ya, itu yang membawaku padamu,” sahut Ben dengan riang. “Dari mana harus kumulai pencarian ujung pelangi itu?”
Si Pendongeng Tua mulai memaparkan pengalamannya ketika ia mencari ujung pelangi. Ben mendengarkannya dengan saksama. Telapak tangan putihnya saling memeluk satu sama lain. Kedua telunjuknya menjulang ke atas mematuk-matuk dagunya. Bola matanya yang keabu-abuan sesekali berputar menjauh dari wajah Si Pendongeng Tua, seolah menatap peta yang melayang-layang di udara. Kedua alisnya terus menerus mendekat seakan hampir-hampir bertemu. Sinar mentari dan cangkir-cangkir penuh kopi pun tak sanggup menyaingi kesetiaannya terhadap cerita Si Pendongeng Tua. Ia dan kedua telinganya, seperti jangkar yang menghunjam karang, telah menancap mantap pada lantunan kata yang mengalir dari lisan yang tidak lagi banyak dipagari gigi tersebut.
“Jadi, aku harus menunggu hujan dulu?” Ben mencoba merangkum dari rangkaian cerita yang baru saja ia dengar.
“Benar. Dan berharaplah agar Matahari menampakkan diri sesegera mungkin setelahnya,” tutur Si Pendongeng Tua sekaligus meraih cangkir kopi keempatnya.
“Apakah Matahari kerap tak muncul dengan segera?”
“Matahari tetap pada tempatnya,” tandas Si Pendongeng Tua sambil melempar punggungnya pada sandaran kursinya, “Namun, awan seringkali mampu menghalangi sinarnya dari penglihatan kita yang berbatas,”
“Lantas mengapa aku harus berharap akan munculnya Matahari alih-alih berdoa supaya awan menyingkir?”
“Sebab, yang aku perhatikan, hanyalah satu dari sejuta ruang di langit yang dinaungi awan. Maka berserulah kepada Tuhan supaya Ia rela untuk menggerakkan Matahari untukmu di sisa permukaan langit yang masih begitu luas,”
Hembusan nafas panjang lalu menyelingi kalam Si Pendongeng Tua. “Setelah itu, barulah cari di mana pelangi berujung. Sedini mungkin sebelum petang menjelang.”
Beberapa bulan berselang, Ben kembali pergi ke kediaman Si Pendongeng Tua.
“Kau tidak terlihat seperti hartawan yang gemar menggosoki emas-emasnya,” tanya Si Pendongeng Tua.
“Aku memang tidak menemukan apa-apa di ujung pelangi pada pulau seberang,” ungkap Ben, yang memang tampil kumuh seperti biasanya. Celana katun coklat bututnya masih berlubang. Kaus putih favoritnya juga tetap tak benderang. “Bahkan tidak sekalipun kudapat mencapai ke pulau seberang.”
“Lalu apa yang membawamu kembali ke sini? Bukankah hujan telah turun kemarin?” cecar Si Pendongeng Tua sambil merebahkan diri dan meletakkan tongkatnya di sisi kursi.
Ben tidak langsung menjawabnya. “Sebelum aku menceritakan semuanya, aku ingin bertanya padamu. Apakah kau benar-benar telah berjalan di atas pelangi?”
“Kurasa kau pun telah mengerti apakah benar pendongeng ini telah melintasi pelangi.”
Ben menatap matanya lekat-lekat dan berujar, “Karena aku menemukan hal berharga lainnya di ujung pelangi pada hulu Sungai Menez.”
Kedua ujung bibir Si Pendongeng Tua saling menjauh satu sama lain. Ada senyum yang tersamarkan di sana. “Apa yang kau temukan, Anak Muda?”
“Ketika hujan turun kemarin sore,” Ben mengawali ceritanya, “aku langsung bergegas menuju hulu Sungai Menez. Aku bahkan tidak menunggu hujannya reda. Seakan-akan ada bidadari yang tengah mandi di sana, aku rela tubuh kurusku menggigil diguyur hujan. Basah kuyup badanku karena bersimpuh di bibir sungai kemarin. Sesaat sebelum hujan mereda, aku juga tidak lupa atas pesanmu untuk berseru kepada Tuhan agar Matahari bersedia menunjukkan dirinya. Beruntunglah aku, Matahari tak lama segera menyembul dari balik awan.
“Berkat Matahari, pelangi pun tanpa sungkan hadir menyambutku. Hulu Sungai Menez yang dingin seketika berubah menjadi indah karena diliputi pelangi yang berwarna-warni. Tanpa ragu, aku pun langsung menghampiri tempat pelangi itu berujung. Bergeraklah aku selangkah demi selangkah menuju pelangi yang akan mengantarku kepada kendi emas dan peti berlian. Setiap jengkal tanah yang kujejaki adalah saksi bagi detik-detik terakhir kefakiranku. Dengan setengah melompat, kutapakkan kakiku ke arah pelangi tersebut.
“Namun, kakiku hanya menerpa udara hampa saat aku mencoba mendakinya. Rasanya seperti melangkah di atas air, bahkan lebih fana. Biasanya ambisi yang gagal adalah ambisi yang terbentur, tapi ambisiku gagal karena tidak membentur apa-apa sama sekali. Aku tak dapat menyentuh pelangi itu. Tapi hal yang aneh kemudian terjadi.”
Ben terdiam sesaat dan menenggak segelas air yang ada di hadapannya. Kerongkonganku butuh dilumasi untuk menceritakan semua ini, pikirnya.
“Sebuah gelegar suara lalu menghajar gendang telingaku. Jantungku mungkin berhenti sebentar saat itu, sebab suara yang kudengar bukan seperti suara apapun yang pernah kudengar sebelumnya seumur hidupku. Aku tak tahu apakah kaget atau takut yang menjalari tubuhku. Yang jelas, nafasku tercekat. Aku mencoba menoleh untuk mencari tahu, tapi tiada siapapun di sana.”
“Aku tidak mengerti suara apa yang kau maksud,” sela Si Pendongeng Tua. “Gelegar seperti guntur…”
“Bukan. Ini bukan seperti suara yang sering diperdengarkan di alam.”
“…atau seperti berdehem?”
“Tepat sekali! Hanya saja suara berdehem ini jauh lebih keras dibanding suara berdehem manusia,” Ben lalu sejenak membisu. Dengan agak heran ia bertanya, “Bagaimana kau bisa tahu?”
“Lanjutkan saja,” ujar Si Pendongeng Tua, masih dengan senyum di wajahnya.
“Akhirnya, aku mendongak ke atas. Lalu aku mendapati bahwa, walau kau mungkin tak percaya ini, itu adalah suara Matahari.”
Senyum Si Pendongeng Tua terlihat semakin melebar.
“Aku merasa Matahari sedang mencoba menarik perhatianku —dengan pura-pura batuk. Maka aku bersahut padanya, “Apakah itu tadi suaramu, Matahari?” kataku, bergetar.
“Kalian, manusia, memang makhluk yang tamak,” jawab Matahari, dengan tidak menjawab. Saat itu aku merasa harus mencari batu untuk kutelan agar bisa kubedakan mimpi dan kenyataan.
“Matahari lalu melanjutkan bicaranya, “Tidak hanya itu, kalian pun begitu suka mengeluh.”
“Apa maksudmu?” kubilang. Di momen ini aku yakin bahwa Matahari bukanlah teman berbincang yang akrab.
“Tuanku mengizinkanku untuk meliputi kalian semua. Dia menjadikan bumi dan segala isinya tunduk di bawah pergerakanku,” tegas Matahari, “Dan dengan itulah aku pun bisa mendikte hidup kalian.”
“Aku masih belum bisa memahami perkataannya. Aku mulai mempertanyakan kecerdasanku sekaligus juga meragukan kemampuan berbicara sebuah matahari. Maka aku pun diam dan menunggu apa yang akan dia katakan selanjutnya.
“Hai, Pemuda, pernahkah kau pergi ke belahan utara atau selatan bumi?” dia pun melanjutkan pidatonya dengan sebuah pertanyaan. Aku menggeleng.
“Pada saat-saat tertentu dalam setahun, Tuanku mengizinkanku untuk menguasai hari dengan lebih lama di sana. Pernahkah kau berada di bawah naunganku selama 20 jam? Mereka selalu mengalaminya setiap tahun.”
Aku masih diam.
“Aku mengiringi mereka dalam malam-malamnya. Bahkan aku singgah selama 6 bulan di ujung utara dan selatan bumi. Hari-hari mereka ditaklukkan untukku.”
Diamku akhirnya membuahkan tanya, “Jadi apa yang ingin kau sebenarnya utarakan?”
“Seperti dengung nyamuk, pertanyaanku berlalu tak dihiraukannya. Dia kemudian berkata, “Ketahuilah bahwa bukan siang yang mengundangku untuk berada di dalamnya. Tapi kehadirankulah yang menyebabkan adanya siang.” Kemudian, tiba-tiba dia bersinar sangat terik hingga membelalak mataku dengan amat menyengat. Memaksaku menutup mata secepat mungkin. Walaupun begitu, ketika terpejam pun, asal kau tahu, binar cahayanya masih jelas berbekas dalam pandanganku.
Matahari lantas bertanya, “Paham maksudku?”
Sambil mengusap kelopak mata yang gagal menyelamatkanku dari silaunya, aku menjawab, “Ya, sekarang aku paham.”
“Tapi aku berbohong.”
“Setelah itu rupanya dia masih belum bosan berbicara. Makhluk ini jarang bersuara namun cerewet ketika diberi kesempatan, bisikku dalam hati. “Beritakanlah pada seluruh warga desa bahwa ada kendi penuh emas serta peti berisi berlian di ujung pelangi di seberang pulau. Niscaya mereka akan datang ke sini dan bisa bertatap muka denganku untuk mendengar risalah penting tadi. Beritakanlah demikian. Sebab hanya dengan emas dan berlianlah kalian, manusia, bisa tertarik mendekat ke sini,” pungkasnya.
“Lalu dia terbenam di tempat biasanya ia terbenam. Membawa serta pelangi dan juga tentunya kendi emas dan peti berlian bersamanya. Tenggelam di garis laut terjauh yang bisa kulihat.”
Si Pendongeng Tua selesai menyimak cerita Ben dengan pipi yang diwarnai bekas jalur air mata. Setiap air mata yang mengalir tampak berpamitan dengan bibirnya yang masih juga tersenyum. Dia lalu berkata, “Dulu senja menjemputnya lebih awal ketika bertemu denganku. Maka ia langsung memotong risalahnya dan berpesan bahwa aku harus memberitakan pada warga desa tentang emas yang ada di ujung pelangi. Kini risalah itu tuntas di telingamu.”
Ben mengernyitkan dahinya sedikit dan bertanya, “Apa yang dia maksud sebenarnya?”
“Selami hatimu sendiri,” pertanyaan Ben lagi-lagi kandas oleh sebuah perintah. “Pernahkah kau mendengar tentang midnight sun yang sering terjadi di negara-negara Skandinavia?”
“Tidak.”
“Apabila midnight sun terjadi, kau akan masih bisa menyaksikan Matahari walaupun waktu setempat telah masuk pukul 11 malam.”
Keheningan menyergap pikiran Ben. Tanpa suara, otaknya berputar mencoba memecahkan teka-teki itu. Sekejap kemudian, dia teringat akan sesuatu.
Ketahuilah bahwa bukan siang yang mengundang Matahari untuk berada di dalamnya. Tapi kehadiran Mataharilah yang menyebabkan adanya siang, gumam Ben kepada dirinya sendiri.
“Carilah cara supaya kebahagiaan dapat bersinar di hatimu sebagaimana bersinarnya midnight sun; tetap terang meskipun telah tiba waktu bagi malam untuk ambil bagian,” sambung Si Pendongeng Tua.
“Pergilah, Anak Muda, dan bahagiakanlah warga desa dengan kabar bahwa kau telah membawa pulang emas berkendi-kendi serta berlian berpeti-peti.”
Cerpen Karangan: Naufal Mohammad Hogantara
Blog: seperciknoda.blogspot.com
Seorang mahasiswa psikologi. Depok, Jawa Barat
Cerita Emas di Ujung Pelangi merupakan cerita pendek karangan Naufal Mohammad Hogantara, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.
"
0 komentar:
Posting Komentar