Translate

cerpen selamat tinggal adikku sayang

Written By iqbal_editing on Rabu, 30 November 2016 | 18.06

Selamat Tinggal Adikku Sayang …
oleh Nada Alnafatyc Fithrotunnisa
@CanfarsNada on twitter
“Duh, pusing! Banyak sekali PRnya … Ditambah lagi sekarang aku sedang flu, aduuh …” sahutku mengeluh.
“Nada baru flu begitu saja sudah begitu, itu belum seberapa … Itu kan penyakit yang ringan. Ingat, dulu adikmu menderita sakit yang lebih dari itu … !” nasehat Ibuku.
Deg! Setelah mendengar nasehat ibuku, aku jadi teringat almarhumah adikku, Zahra. Ia menderita penyakit yang lebih sakit daripada aku, tetapi ia selalu berusaha tersenyum manis. Walaupun penyakit yang dideritanya begitu berat.
Saat menjelang tidur, aku menyadari nasehat Ibu. Dalam hati aku berkata,
“Ya Allah, mengapa aku cengeng begini? Beri aku kekuatan agar tegar seperti adikku …”
Aku jadi teringat peristiwa 3 tahun yang lalu,
      Malam itu  aku dan kedua adikku bersiap-siap ke rumah sakit bersama Om dan tante. Kami akan menjenguk ibuku yang baru saja melahirkan. Kami sangat senang sekali. Beberapa menit kemudian kami sampai dirumah sakit. Kami langsung menuju ruangan ibu. Sesampainya disana aku melihat ibuku sedang berbaring bersama bayi perempuan mungil yang lucu.
“Lucu sekali adik bayinya …” komentar Fikri, adik pertamaku.
      Aku melihat adik baruku itu menguap. Mulutnya yang mungil itu lucu sekali. Aku dan kedua adikku senang sekali mendapatkan adik baru.
         Beberapa hari kemudian ibu dan adik baruku itu pulang kerumah. Aku sangat senang bisa berkumpul dengan ibu dan adik baruku.
“Mau dinamakan siapa bu, adiknya?” tanyaku.
“Bagaimana kalau namanya Asma Karima”usul ibuku.
“Kenapa dinamakan Asma Karima?” tanya Isma, adik keduaku.
“Asma itu adalah nama anak perempuan dari Abu Bakar Ash-Shiddiq, sifatnya berani, sedangkan Karima itu artinya mulia …” jawab ibuku.
“Ya sudahlah, nanti kita bicarakan lagi.”  ucap ayahku.
            Keesokan harinya kami sekeluarga pergi kerumah eyang, disana kami silaturahmi dan membicarakan tentang nama adik baruku.
“Diberi nama Zahra Karima saja, artinya bunga mulia …” usul eyangku.
“Baiklah, itu juga bagus…” ucap kedua orangtuaku.
            Akhirnya kita beri nama adik baruku itu Zahra Karima, dengan harapan namanya bisa harum seperti bunga, dan berakhlak mulia.
        Hari berganti hari, minggu berganti minggu. Tiba-tiba di umurnya yang kedua minggu, Zahra batuk-batuk dan sesak nafas. Orangtuaku membawanya ke RS Harapan Bunda, tapi dari Harapan Bunda dirujuk ke RSCM untuk lebih memastikan. Tetapi, di RSCM dirujuk lagi ke RS Harapan Kita karena di RSCM alat-alatnya kurang lengkap. Setelah diperiksa, ternyata Zahra mengalami kelainan jantung. Jantungnya berada disebelah kanan dan hanya memiliki 1 serambi. Kami sangat sedih sekali. Berkali-kali dia harus control kerumah sakit. Ia harus dirawat dirumah sakit selama beberapa hari. Aku sedih sekali karena tidak bisa berkumpul bersama Zahra. Setiap malam aku menangis dan berdoa untuk kesembuhannya. Adik-adikku sering menanyakan tentang kepulangan Zahra.
“Ayah, kapan de Zahra dan Ibu pulang?” tanya Isma.
“Belum tahu, mungkin sebentar lagi.” jawab Ayahku menenangkan.
          Bila Zahra dirawat, aku dan kedua adikku sering diajak ke rumah sakit oleh ayah, tetapi sayangnya waktu itu aku masih kecil, jadi tidak diperbolehkan masuk ke ruang perawatan. Dan bila hari libur, kami menginap di kos-kosan dekat situ.
          Setelah pulih, Zahra diperbolehkan pulang. Kondisinya membaik, sedikit demi sedikit ia sudah mulai menunjukkan responnya. Tetapi bila ia sesak dan batuk-batuk, ia harus segera diberi oksigen. Dan bila bepergian ia juga harus disertai oksigen.
      Beberapa hari kemudian, karena hari libur sekolah dan kondisi Zahra yang mulai membaik, orangtuaku mengajakku liburan di Puncak bersama eyang dan sepupuku. Kami semua berharap akan senang disana. Tetapi, justru disana Zahra batuk-batuk terus menerus
“Ayah, bagaimana keadaan de Zahra? Tidak apa-apa kalau dia batuk-batuk begitu?” tanyaku.
“Insya Allah tidak apa-apa …” jawab ayahku tenang.
     Setiap sore, ayahku mengajak Zahra jalan-jalan ke taman di villa. Bila kami berenang, ibuku juga mengajak Zahra untuk melihat.
    Saat pulang dari Puncak, de Zahra batuk-batuk lagi. Akhirnya setelah pulang kerumah, esoknya orangtuaku membawa Zahra ke rumah sakit lagi.
“Keadaan Zahra semakin buruk, sepertinya dia harus dioperasi.” Kata dokter.
Keluargaku sangat cemas. Kami semua memikirkan keadaan de Zahra.
“Sepertinya harus dilakukan 2 kali operasi, dan membutuhkan biaya 110 juta.” Ucap dokter.
      Kami semua kaget mendengarnya, Karena 110 juta itu bukanlah biaya yang kecil. Gaji orangtuaku hanya sekitar 3 juta per bulan, jadi tidak mungkin bisa mendapatkan uang sebanyak itu.
      Orangtuaku bekerja mati-matian demi Zahra, mencari donator dan bantuan disana-sini.
      Ternyata Allah menunjukkan kebesarannya, rizki itu datang dari arah yang tidak disangka-sangka. Banyak orang dermawan yang memberikan bantuannya kepada kami. Setelah biaya sudah terkumpul, operasi pertama segera dilaksanakan.
“Mba Nada, Mas Fikri, Mba Isma, doakan ya supaya operasi de Zahra berjalan lancar dan de Zahra cepat sembuh …” pinta Ibu.
“Iya, pasti kami doakan supaya Zahra cepat sembuh …”jawabku.
Beberapa jam kemudian,
“Alhamdulillah, operasinya berjalan lancar …”ucap ibuku
“Alhamdulillahirobbilalamin …” ucap kami bersama.
Setelah operasi yang pertama, Zahra sudah mulai menunjukkan peningkatan. Ia sudah mulai meminta bermain dan berteriak. Walaupun terkadang ia sesak nafas, dan harus diberi uap. Yang mengesankan, ia sudah mulai bisa berkomunikasi sedikit demi sedikit, walau dengan bahasanya.
Saat itu, aku sekeluarga sedang berkumpul.
“Zahra, ini namanya siapa?”tanya ayahku (menunjukku) kepada Zahra.
“Mba atta! (Mba Nada)” jawabnya dengan polos.
“Zahra pintar!” sahutku.
Pagi-pagi saat kami sedang berkumpul, ayahku iseng bertanya kepada Zahra.
“Zahra cita-citanya mau jadi apa?” tanya ayahku.
Ia menjawab dengan menunjuk-nunjuk jantungnya.
“Oh, Zahra ingin menjadi dokter jantung?” tanya ayahku.
Ia menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.
“Subhanallah, pintar sekali Zahra” gumamku dalam hati.
Beberapa hari kemudian, Zahra sesak nafas parah, orangtuaku langsung membawanya kerumah sakit. Setelah diperiksa, orangtuaku berbincang-bincang dengan dokter.
“Dokter, kenapa Zahra masih suka sesak? Bukannya sudah dilakukan operasi?”tanya Ayah.
“Iya pak, tetapi itu hanya operasi pencegahan. Saat ini, darah bersih dan darah kotornya bercampur menjadi satu lagi, jadi kemungkinan harus dilakukan operasi kedua, untuk memasang katup penyekat. Juga untuk memasang alat pacu jantung.” jawab dokter dengan rinci.
“Mengapa harus dipasang alat pacu jantung, dok? Kan sudah dipasang katup penyekat?”tanya Ayah lagi.
“Alat pacu jantung dipasang untuk menguatkan kerja jantung. Karena walaupun sudah dipasang katup penyekat, dan tidak dipasang alat pacu jantung, tetap saja tidak bisa normal seperti anak-anak lainnya.”jawab dokter memperinci.
“Oh, baiklah dok,” ucap Ayah.
      Operasi kedua pun segera dilaksanakan, dan berjalan dengan lancar juga. Setelah operasi yang kedua, lebih banyak peningkatan. Setelah operasi yang kedua, Zahra jarang menggunakan oksigen, jadi lebih leluasa untuk bermain. Dia sudah mulai bisa mencoret-coret, berceloteh, dan mulai berjalan. Ia juga sudah suka menonton film kartun, dan suka ikut-ikutan Ibu menyiapkan sahur.
Namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama …
       Pagi itu, (tanggal 13 Februari, sehari sebelum umurnya 2 tahun) saat aku ingin berangkat sekolah, Zahra menangis tanpa henti, ia juga sesak. Pada saat itu, ia juga minta diberi oksigen. Tidak biasanya ia seperti itu.  Lalu, seperti biasa Ayah bertanya kepada Zahra,
“Zahra cita-citanya mau jadi apa?” tanya Ayah.
Ia terus menangis dan menggelengkan kepalanya.
         Saat les di sekolah, Om ku datang dan menyuruh aku pulang saat itu juga. Hatiku tidak tenang. Saat aku sampai dirumah, saya melihat bendera kuning bertuliskan Zahra Karima. Aku sedih sekali menghadapi kenyataan saat itu. Di kamar, aku melihat tumpukan kartu yang pernah dimainkan Zahra, dulu kita memainkannya bersama-sama dengan gembira. Sekarang, semua itu tinggal kenangan. Adikku yang mungil, lucu, sabar dan penuh senyum itu sekarang sudah tiada. Semua keluarga besarku menangis. Eyangku, yang seharusnya membacakan do’a tidak kuat untuk menahan tangisnya. Ia berkata, “Anak ini ulangtahun di surga !” katanya sambil terisak. Kami ikhlas melepas kepergiannya, karena kami tahu itu adalah yang terbaik baginya.
Motivasi Zahra mendorongku untuk meneruskan cita-citanya, yaitu menjadi dokter jantung.  Aku berusaha dan berdoa selalu supaya aku bisa meneruskan cita-cita adikku itu.
Beberapa hari setelah kepergiannya, aku selalu memimpikan de Zahra.  Bahkan, aku bermimpi Zahra digendong oleh tanteku. Ternyata mimpi itu terwujud. Tanteku hamil dan melahirkan seorang bayi yang sangat mirip dengan Zahra.
8 tahun kemudian,  akibat jerih payahku belajar dan berdoa, aku mendapatkan beasiswa di sebuah universitas ternama. Aku mengambil jurusan kedokteran. Usahaku tidak sia-sia. Aku lulus kuliah dengan gelar Cum Laude. Beberapa hari kemudian, aku ditawari bekerja menjadi dokter jantung di sebuah rumah sakit. Aku sangat senang.
Hingga suatu saat aku menangani pasien yang penyakitnya sama persis dengan Zahra, namanya Zahra Nabila, sungguh suatu kebetulan. Aku memberitahukan ini kepada orangtuaku.
“Bu, masa aku menangani pasien yang mirip penyakitnya dengan Almh. Zahra … Namanya juga mirip, nama pasienku Zahra Nabila,” ceritaku kepada Ibu.
“Wah kebetulan sekali ya, bisa sampai mirip begitu. Semoga kamu bisa menanganinya ya!” jawab Ibu.
“Iya bu, Amin.” Jawabku.
Aku berusaha dengan susah payah untuk menyembuhkan penyakit Zahra Nabila, dan ternyata, berkat izin Allah, Zahra sembuh, dan bisa normal kembali seperti anak-anak lainnya.
“Alhamdulillah, terimakasih Ya Allah. Berkat izinmu, Zahra bisa sembuh.”syukurku dalam hati.
Sesampainya dirumah, aku langsung memberitahukannya kepada keluargaku.
“Ibu, Ayah, Alhamdulillah, Zahra pasienku bisa selamat dan kembali normal seperti anak-anak lainnya!” ucapku.
“Alhamdulillah, semoga semua usahamu menangani pasien lainnya juga lancar ya!” jawab orangtuaku.
“Amien …” ucapku.

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik