Selamat Tinggal Adikku Sayang …
oleh Nada Alnafatyc Fithrotunnisa
@CanfarsNada on twitter
“Duh, pusing! Banyak sekali PRnya … Ditambah lagi sekarang aku sedang flu, aduuh …” sahutku mengeluh.
“Nada
baru flu begitu saja sudah begitu, itu belum seberapa … Itu kan
penyakit yang ringan. Ingat, dulu adikmu menderita sakit yang lebih dari
itu … !” nasehat Ibuku.
Deg! Setelah mendengar nasehat ibuku, aku
jadi teringat almarhumah adikku, Zahra. Ia menderita penyakit yang
lebih sakit daripada aku, tetapi ia selalu berusaha tersenyum manis.
Walaupun penyakit yang dideritanya begitu berat.
Saat menjelang tidur, aku menyadari nasehat Ibu. Dalam hati aku berkata,
“Ya Allah, mengapa aku cengeng begini? Beri aku kekuatan agar tegar seperti adikku …”
Aku jadi teringat peristiwa 3 tahun yang lalu,
Malam itu aku dan kedua adikku bersiap-siap ke rumah sakit bersama
Om dan tante. Kami akan menjenguk ibuku yang baru saja melahirkan. Kami
sangat senang sekali. Beberapa menit kemudian kami sampai dirumah sakit.
Kami langsung menuju ruangan ibu. Sesampainya disana aku melihat ibuku
sedang berbaring bersama bayi perempuan mungil yang lucu.
“Lucu sekali adik bayinya …” komentar Fikri, adik pertamaku.
Aku melihat adik baruku itu menguap. Mulutnya yang mungil itu lucu
sekali. Aku dan kedua adikku senang sekali mendapatkan adik baru.
Beberapa hari kemudian ibu dan adik baruku itu pulang kerumah. Aku
sangat senang bisa berkumpul dengan ibu dan adik baruku.
“Mau dinamakan siapa bu, adiknya?” tanyaku.
“Bagaimana kalau namanya Asma Karima”usul ibuku.
“Kenapa dinamakan Asma Karima?” tanya Isma, adik keduaku.
“Asma
itu adalah nama anak perempuan dari Abu Bakar Ash-Shiddiq, sifatnya
berani, sedangkan Karima itu artinya mulia …” jawab ibuku.
“Ya sudahlah, nanti kita bicarakan lagi.” ucap ayahku.
Keesokan harinya kami sekeluarga pergi kerumah eyang, disana
kami silaturahmi dan membicarakan tentang nama adik baruku.
“Diberi nama Zahra Karima saja, artinya bunga mulia …” usul eyangku.
“Baiklah, itu juga bagus…” ucap kedua orangtuaku.
Akhirnya kita beri nama adik baruku itu Zahra Karima, dengan harapan
namanya bisa harum seperti bunga, dan berakhlak mulia.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu. Tiba-tiba di umurnya yang
kedua minggu, Zahra batuk-batuk dan sesak nafas. Orangtuaku membawanya
ke RS Harapan Bunda, tapi dari Harapan Bunda dirujuk ke RSCM untuk lebih
memastikan. Tetapi, di RSCM dirujuk lagi ke RS Harapan Kita karena di
RSCM alat-alatnya kurang lengkap. Setelah diperiksa, ternyata Zahra
mengalami kelainan jantung. Jantungnya berada disebelah kanan dan hanya
memiliki 1 serambi. Kami sangat sedih sekali. Berkali-kali dia harus
control kerumah sakit. Ia harus dirawat dirumah sakit selama beberapa
hari. Aku sedih sekali karena tidak bisa berkumpul bersama Zahra. Setiap
malam aku menangis dan berdoa untuk kesembuhannya. Adik-adikku sering
menanyakan tentang kepulangan Zahra.
“Ayah, kapan de Zahra dan Ibu pulang?” tanya Isma.
“Belum tahu, mungkin sebentar lagi.” jawab Ayahku menenangkan.
Bila Zahra dirawat, aku dan kedua adikku sering diajak ke rumah sakit
oleh ayah, tetapi sayangnya waktu itu aku masih kecil, jadi tidak
diperbolehkan masuk ke ruang perawatan. Dan bila hari libur, kami
menginap di kos-kosan dekat situ.
Setelah pulih, Zahra
diperbolehkan pulang. Kondisinya membaik, sedikit demi sedikit ia sudah
mulai menunjukkan responnya. Tetapi bila ia sesak dan batuk-batuk, ia
harus segera diberi oksigen. Dan bila bepergian ia juga harus disertai
oksigen.
Beberapa hari kemudian, karena hari libur sekolah
dan kondisi Zahra yang mulai membaik, orangtuaku mengajakku liburan di
Puncak bersama eyang dan sepupuku. Kami semua berharap akan senang
disana. Tetapi, justru disana Zahra batuk-batuk terus menerus
“Ayah, bagaimana keadaan de Zahra? Tidak apa-apa kalau dia batuk-batuk begitu?” tanyaku.
“Insya Allah tidak apa-apa …” jawab ayahku tenang.
Setiap sore, ayahku mengajak Zahra jalan-jalan ke taman di villa. Bila
kami berenang, ibuku juga mengajak Zahra untuk melihat.
Saat
pulang dari Puncak, de Zahra batuk-batuk lagi. Akhirnya setelah pulang
kerumah, esoknya orangtuaku membawa Zahra ke rumah sakit lagi.
“Keadaan Zahra semakin buruk, sepertinya dia harus dioperasi.” Kata dokter.
Keluargaku sangat cemas. Kami semua memikirkan keadaan de Zahra.
“Sepertinya harus dilakukan 2 kali operasi, dan membutuhkan biaya 110 juta.” Ucap dokter.
Kami semua kaget mendengarnya, Karena 110 juta itu bukanlah biaya yang
kecil. Gaji orangtuaku hanya sekitar 3 juta per bulan, jadi tidak
mungkin bisa mendapatkan uang sebanyak itu.
Orangtuaku bekerja mati-matian demi Zahra, mencari donator dan bantuan disana-sini.
Ternyata Allah menunjukkan kebesarannya, rizki itu datang dari arah
yang tidak disangka-sangka. Banyak orang dermawan yang memberikan
bantuannya kepada kami. Setelah biaya sudah terkumpul, operasi pertama
segera dilaksanakan.
“Mba Nada, Mas Fikri, Mba Isma, doakan ya supaya operasi de Zahra berjalan lancar dan de Zahra cepat sembuh …” pinta Ibu.
“Iya, pasti kami doakan supaya Zahra cepat sembuh …”jawabku.
Beberapa jam kemudian,
“Alhamdulillah, operasinya berjalan lancar …”ucap ibuku
“Alhamdulillahirobbilalamin …” ucap kami bersama.
Setelah
operasi yang pertama, Zahra sudah mulai menunjukkan peningkatan. Ia
sudah mulai meminta bermain dan berteriak. Walaupun terkadang ia sesak
nafas, dan harus diberi uap. Yang mengesankan, ia sudah mulai bisa
berkomunikasi sedikit demi sedikit, walau dengan bahasanya.
Saat itu, aku sekeluarga sedang berkumpul.
“Zahra, ini namanya siapa?”tanya ayahku (menunjukku) kepada Zahra.
“Mba atta! (Mba Nada)” jawabnya dengan polos.
“Zahra pintar!” sahutku.
Pagi-pagi saat kami sedang berkumpul, ayahku iseng bertanya kepada Zahra.
“Zahra cita-citanya mau jadi apa?” tanya ayahku.
Ia menjawab dengan menunjuk-nunjuk jantungnya.
“Oh, Zahra ingin menjadi dokter jantung?” tanya ayahku.
Ia menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.
“Subhanallah, pintar sekali Zahra” gumamku dalam hati.
Beberapa
hari kemudian, Zahra sesak nafas parah, orangtuaku langsung membawanya
kerumah sakit. Setelah diperiksa, orangtuaku berbincang-bincang dengan
dokter.
“Dokter, kenapa Zahra masih suka sesak? Bukannya sudah dilakukan operasi?”tanya Ayah.
“Iya
pak, tetapi itu hanya operasi pencegahan. Saat ini, darah bersih dan
darah kotornya bercampur menjadi satu lagi, jadi kemungkinan harus
dilakukan operasi kedua, untuk memasang katup penyekat. Juga untuk
memasang alat pacu jantung.” jawab dokter dengan rinci.
“Mengapa harus dipasang alat pacu jantung, dok? Kan sudah dipasang katup penyekat?”tanya Ayah lagi.
“Alat
pacu jantung dipasang untuk menguatkan kerja jantung. Karena walaupun
sudah dipasang katup penyekat, dan tidak dipasang alat pacu jantung,
tetap saja tidak bisa normal seperti anak-anak lainnya.”jawab dokter
memperinci.
“Oh, baiklah dok,” ucap Ayah.
Operasi
kedua pun segera dilaksanakan, dan berjalan dengan lancar juga. Setelah
operasi yang kedua, lebih banyak peningkatan. Setelah operasi yang
kedua, Zahra jarang menggunakan oksigen, jadi lebih leluasa untuk
bermain. Dia sudah mulai bisa mencoret-coret, berceloteh, dan mulai
berjalan. Ia juga sudah suka menonton film kartun, dan suka ikut-ikutan
Ibu menyiapkan sahur.
Namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama …
Pagi itu, (tanggal 13 Februari, sehari sebelum umurnya 2 tahun) saat
aku ingin berangkat sekolah, Zahra menangis tanpa henti, ia juga sesak.
Pada saat itu, ia juga minta diberi oksigen. Tidak biasanya ia seperti
itu. Lalu, seperti biasa Ayah bertanya kepada Zahra,
“Zahra cita-citanya mau jadi apa?” tanya Ayah.
Ia terus menangis dan menggelengkan kepalanya.
Saat les di sekolah, Om ku datang dan menyuruh aku pulang saat itu
juga. Hatiku tidak tenang. Saat aku sampai dirumah, saya melihat bendera
kuning bertuliskan Zahra Karima. Aku sedih sekali menghadapi kenyataan
saat itu. Di kamar, aku melihat tumpukan kartu yang pernah dimainkan
Zahra, dulu kita memainkannya bersama-sama dengan gembira. Sekarang,
semua itu tinggal kenangan. Adikku yang mungil, lucu, sabar dan penuh
senyum itu sekarang sudah tiada. Semua keluarga besarku menangis.
Eyangku, yang seharusnya membacakan do’a tidak kuat untuk menahan
tangisnya. Ia berkata, “Anak ini ulangtahun di surga !” katanya sambil
terisak. Kami ikhlas melepas kepergiannya, karena kami tahu itu adalah
yang terbaik baginya.
Motivasi Zahra mendorongku untuk meneruskan
cita-citanya, yaitu menjadi dokter jantung. Aku berusaha dan berdoa
selalu supaya aku bisa meneruskan cita-cita adikku itu.
Beberapa
hari setelah kepergiannya, aku selalu memimpikan de Zahra. Bahkan, aku
bermimpi Zahra digendong oleh tanteku. Ternyata mimpi itu terwujud.
Tanteku hamil dan melahirkan seorang bayi yang sangat mirip dengan
Zahra.
8 tahun kemudian, akibat jerih payahku belajar dan berdoa,
aku mendapatkan beasiswa di sebuah universitas ternama. Aku mengambil
jurusan kedokteran. Usahaku tidak sia-sia. Aku lulus kuliah dengan gelar
Cum Laude. Beberapa hari kemudian, aku ditawari bekerja menjadi dokter
jantung di sebuah rumah sakit. Aku sangat senang.
Hingga suatu
saat aku menangani pasien yang penyakitnya sama persis dengan Zahra,
namanya Zahra Nabila, sungguh suatu kebetulan. Aku memberitahukan ini
kepada orangtuaku.
“Bu, masa aku menangani pasien yang mirip
penyakitnya dengan Almh. Zahra … Namanya juga mirip, nama pasienku Zahra
Nabila,” ceritaku kepada Ibu.
“Wah kebetulan sekali ya, bisa sampai mirip begitu. Semoga kamu bisa menanganinya ya!” jawab Ibu.
“Iya bu, Amin.” Jawabku.
Aku
berusaha dengan susah payah untuk menyembuhkan penyakit Zahra Nabila,
dan ternyata, berkat izin Allah, Zahra sembuh, dan bisa normal kembali
seperti anak-anak lainnya.
“Alhamdulillah, terimakasih Ya Allah. Berkat izinmu, Zahra bisa sembuh.”syukurku dalam hati.
Sesampainya dirumah, aku langsung memberitahukannya kepada keluargaku.
“Ibu, Ayah, Alhamdulillah, Zahra pasienku bisa selamat dan kembali normal seperti anak-anak lainnya!” ucapku.
“Alhamdulillah, semoga semua usahamu menangani pasien lainnya juga lancar ya!” jawab orangtuaku.
“Amien …” ucapku.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar