Ketika Aku Menyentuh Awan
Pengarang: Damien Dematra
Tebal: 250 hlm; 14 x 21 cm
Cetakan: 1, Mei 2010
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tiara Savitri, pendiri dan Ketua Yayasan Lupus Indonesia, mengenal penyakit lupus atau SLE (Systemic Lupus Erythematosus) tahun 1987, ketika dokter memvonisnya mengidap lupus. Saat itu lupus belum dikenal luas di Indonesia, sehingga Tiara tidak langsung mendapatkan terapi yang sesuai. Sebelum diagnosis lupus ditegakkan, Tiara sempat didiagnosis berbagai penyakit seperti tifus, demam berdarah, batu ginjal, rematik, bahkan sifilis. Hal ini tidak mengherankan, karena lupus yang disebut-sebut sebagai penyakit seribu wajah bisa menyerang seluruh organ di dalam tubuh manusia. Lupus sebetulnya disebabkan oleh kelebihan antibodi dalam tubuh manusia. Antibodi yang seharusnya melakukan proteksi atas serangan kuman berbalik menyerang tubuh manusia. Akibatnya, dugaan terserang berbagai penyakit bisa muncul dan terapi yang dilakukan tidak pernah efektif. Umumnya, orang yang terserang lupus akan mengalami hal-hal seperti demam tinggi hilang-timbul yang berkepanjangan, kerontokan rambut, sariawan yang juga hilang-timbul, sakit pada persendian, dan timbulnya ruam-ruam pada kulit seperti demam berdarah atau pada wajah yang disebut butterfly rash.
Lupus mengubah
kehidupan Tiara. Sebagai remaja, ia adalah pribadi yang aktif dan
mudah bergaul; salah satunya ia dikenal sebagai mayoret drum band sekolahnya. Pada 1987, Tiara sempat mengikuti ajang pemilihan Abang dan None Jakarte
dan terpilih sebagai juara harapan dua. Namun lupus nyaris merampok
keindahan masa belianya. Wajahnya yang cantik berubah aneh karena
mengalami pembengkakan; kulitnya mengelupas, dan rambutnya
rontok hingga botak. Penampilan seperti itu membuatnya dijauhi
sebagian teman dan ditinggalkan kekasih yang telah menjalin hubungan
selama empat tahun.
Dalam keadaan tak
berdaya karena sakit, Tiara sempat mengalami koma. Semua anggota
keluarga telah dikumpulkan, sang ayah –almarhum Poernomo Kismosoedirjo-
telah mengalunkan kalimat Syahadat. Tiara tiba-tiba sadar dari koma.
Perempuan kelahiran Beograd (ketika ayahnya bertugas sebagai atase
militer di bekas negara Yugoslavia) 5 Agustus 1968 ini mengaku sempat
bertemu dengan sosok pria berjubah putih yang mengajaknya pergi.
Menurutnya pula, ia menolak karena ingin minum obat dan sembuh.
Kehidupan dan
perjuangan Tiara Savitri -yang adalah adik aktor Donny Damara- sebagai
odapus (orang yang hidup dengan lupus) menggugah Damien Dematra untuk
kembali menulis novel yang mengangkat kisah penderita lupus.
Sebelumnya, ia telah menulis novel tentang pasien lupus berjudul "Tuhan
Jangan Pisahkan Kami". Novel ini didedikasikannya kepada Tiara
Savitri dan semua odapus di Indonesia. Dengan penyesuaian berbagai
hal untuk keperluan cerita, kisah Tiara Savitri mengejawantah dalam
novel inspirasi bertajuk "Ketika Aku Menyentuh Awan". Novel ini belum
tamat, kelanjutannya akan dihadirkan dalam buku kedua yang diberi
judul "Aku Ingin Hidup 68 Tahun Lagi".
Sejatinya, novel ini
adalah perjalanan hidup Tiara Savitri, maka Damien pun memberi nama
Tiara pada karakter sentralnya. Kisah kehidupan Tiara dimulai dengan
sebuah prolog berseting Jakarta 1987 ketika ia berada dalam keadaan
koma dan bertemu pria berjubah putih dan bersorban. Setelah menolak
ajakan pria itu karena ingin sembuh, Tiara menapak tilas kehidupannya
yang telah lewat. Tiara dilahirkan di Beograd sebagai anak bungsu
dari tiga bersaudara pada waktu ayahnya, Hartono Puntadewa, sedang
bertugas sebagai atase militer. Keluarga Puntadewa kembali ke
Indonesia tiga tahun setelah kelahiran Tiara.
Sejak kecil Tiara
telah dikenal sebagai anak yang pintar dan energik. Ia menunjukkan
minat dan bakat dalam kegiatan seperti basket, menari, dan drum band.
Tidak heran, dalam usia sangat belia, Tiara telah mencuri perhatian
anak-anak lelaki teman sekolah. Tercatat nama-nama seperti Catur,
Darma, dan Fatur. Tiara tidak menggubriskan mereka. Ia hanya tertarik
pada Arkansas, teman SD yang pernah mengajarinya bermain basket.
Arkansas sempat menghilang lalu muncul lagi setelah Tiara memasuki SMA.
Rupanya, setelah perceraian orangtuanya, Arkansas dibawa ayahnya ke
Amerika. Ia pulang ke Indonesia saat ibunya meninggal dan memutuskan
bersekolah di tanah air.
Arkansas sangat
mencintai Tiara, dan tidak ingin berpisah dengan gadis itu. Bahkan
ketika Tiara harus dirawat di rumah sakit, mengalami deformasi
berkepanjangan, ia berusaha mendampingi Tiara. Penyakitnya memang
membuat Tiara rapuh. Apalagi penyakitnya berhasil merampok
kecantikannya. Tiara yang pernah menjadi rebutan pria malihrupa monster
yang mengerikan. Rambut rontok, kulit bersisik, ruam di sekujur
tubuh, sariawan tanpa henti, dan pembengkakan tubuh menghancurkan
penampilannya. Padahal dirinya pernah menjadi idola, pernah dielukan
pada ajang Abang dan None Jakarte. Ada saat, manakala kerapuhan
menghantam, Tiara tidak ingin bertemu orang lain, termasuk Arkansas. Ia
tidak sadar, kerapuhannya membuat Arkansas terpuruk putus asa.
Setelah diagnosis
lupus berhasil ditegakkan, Tiara akhirnya mendapatkan terapi yang
mendatangkan perbaikan. Hanya, penyakitnya tidak akan sepenuhnya
hilang. Banyak hal yang harus ia lakukan untuk mempertahankan
kesehatannya. Tidak boleh kelelahan dan tidak boleh terpapar matahari. "Hiduplah dengan damai dengan diri kamu sendiri, dengan sesama, dengan Tuhan, dan juga dengan lupus,"
kata Dokter Arwana yang merawatnya (hlm. 209). Tiara boleh keluar
rumah sakit, melanjutkan kehidupannya, meneruskan kuliahnya yang
terbengkalai. Sewaktu muncul kembali di kampus, ia menemukan kenyataan
getir: dijauhi teman-teman dekatnya dan ditinggalkan Arkansas,
kekasihnya.
Hidup memang tidak
gampang, tetapi keajaiban selalu datang. Mengisi waktu senggangnya,
Tiara bekerja. Di tempat kerja, ia bertemu lelaki yang mencintainya,
lelaki yang tidak pergi meskipun tahu seumur hidup, Tiara akan bersama
dengan lupus.
"Ketika Aku Menyentuh
Awan" adalah bentuk simpati Damien Dematra terhadap kehidupan dan
perjuangan odapus. Lewat Tiara, Damien membantu mengepakkan sayap
kepercayaan para odapus. Bahwa, sekalipun mengidap lupus, mereka tetap
bisa hidup normal. Semangat yang digelontor Damien sama sekali tidak
bertendensi mengecilkan penyakit lupus. Karena di dalam novel ini,
Damien tetap menyuguhkan dampak mengenaskan yang disebabkan penyakit
ini. Bahkan, dikisahkan, karena hampir tidak bisa menahan sakit, Tiara
hampir menyangsikan keadilan Tuhan. Kemenangan Tiara dimulai saat ia
meminta ayahnya membuat foto-fotonya dalam keadaan sakit.
Tidak pelak lagi,
novel ini menjadi sarana sosialisasi penyakit lupus. Secara langsung,
hasil kerja Damien akan membantu upaya Yayasan Lupus Indonesia dalam
membangkitkan kesadaran masyarakat mengenai lupus. Pengungkapan
gejala-gejala yang menyertai lupus digambarkan secara gamblang,
sehingga bisa menjadi perhatian masyarakat jika menemukan hal yang
sama, dalam dirinya atau keluarganya. Setidaknya, dengan mengetahui
secara dini, kebingungan bisa diredam dan penyakit bisa lebih cepat
ditanggulangi. Memang, sampai saat ini terapi yang tepat belum
ditemukan, tetapi pengalaman Tiara pasti akan memberikan harapan pada
kehidupan. Tidak terlupakan tentu saja, dukungan moral keluarga dalam
perjuangan anggotanya yang mengidap lupus.
Saya tidak setuju dengan pemikiran Damien yang diembuskan melalui Tiara yang menyatakan bahwa: "Kalaupun
Sang Pencipta ingin membuat sebuah tubuh yang sakit untuk memberi
contoh agar orang-orang sehat dapat bersyukur, haruskah ia
mempertanyakannya?" (hlm. 184). Pernyataan ini tampak indah dan
mendalam, tetapi menyesatkan. Seolah-olah hendak menyatakan bahwa
penyakit bisa menjadi metode yang dipakai Tuhan dalam mengedukasi
manusia. Tuhan yang saya pahami tidak menciptakan penyakit, dan kalaupun
manusia telanjur sakit, Tuhan kerap memanfaatkan situasi tersebut
untuk mendatangkan kebaikan pada manusia.
Sebagaimana gaya
penulisan Damien pada novel-novelnya yang lain, novel ini juga ditulis
tanpa bertele-tele. Kendati tidak ada konflik antar karakter yang
meruncingkan plot, sesungguhnya cerita mengalir lancar. Kisah cinta
yang hampir dominan memang tidak punya daya sengat yang signifikan.
Bahkan, pada bagian tertentu terkesan berlebihan sehingga karakter
Arkansas menjadi sangat menyebalkan. Perjuangan Tiara mengatasi lupus,
sejak penyakitnya belum dikenal hingga kondisi tubuhnya mengalami
perbaikan, itulah yang menjadikan novel ini signifikan dan amat
berharga.
Novel ini masih
membutuhkan sentuhan editor lagi. Masih tersisa kalimat-kalimat yang
tidak sedap dibaca, seperti ditemukan dalam novel-novel Damien terbitan
Gramedia lainnya. Masih terselip inkonsistensi. Pada halaman 85,
Tiara yang masih SMP disebut kapten tim bola basket SMA. Inkonsistensi
yang paling menyebalkan terjadi seputar Darma, teman Tiara sejak SD
hingga SMA. Sebelumnya, disebutkan, "Darma akhirnya memilih sekolah di Bandung, karena ia ingin masuk fakultas teknik
(hlm. 156), mendadak ia muncul sebagai teman sekampus Tiara (baca
mulai hlm. 215). Saya curiga semua retakan ini disebabkan oleh
penulisan novel yang digegas. Dalam bagian "Catatan Penulis" novel
"Ternyata Aku Sudah Islam" (Januari, 2010l), Damien menulis bahwa novel
yang terinspirasi kisah nyata grup musik "Debu" ini" ditulis dalam waktu yang relatif lama", dan ternyata, waktu yang relatif lama itu adalah "tujuh hari".
0 komentar:
Posting Komentar