From Korea With Love
“Joheun achimieyo (selamat pagi). Annyeonghaseyo (apa kabar?). Naneun
Miranda Adilla-imnida (saya Miranda Adilla). I’m from Indonesia. Nice to
meet you.” Hari ini aku mulai bersekolah di salah satu Senior High
School di kota Seoul. Aku mengikuti pertukaran pelajar dan Korea
merupakan negara tujuanku. Dengan bahasa Korea ditambah bahasa Inggris
yang sedikit kacau, aku mulai membuka lembaran baru di negeri Ginseng
ini.
Aku duduk di tempat dudukku setelah berkenalan tadi. Rupanya teman
sebangkuku seorang namja. Aku memutuskan untuk berkenalan dengannya
karena aku tidak mengenal satu pun siswa di kelas ini.
“Annyeonghaseyo, my name is Miranda. And you?” Dengan sopan aku bertanya
kepadanya sambil mengulurkan tanganku. Ia pun menoleh padaku dan
menerima uluran tanganku.
“Annyeong, I’m Kang Jun-ha. You can call me Jun-ha. Nice to meet you.”
Nama yang indah menurutku. Kang Jun-ha, teman sebangkuku yang ku harap
menyenangkan.
Tanpa ku sadari bel istirahat berbunyi. Kulihat Jun-ha keluar kelas
bersama teman-temannya. Aku tidak tahu harus bagaimana sekarang. Aku
buta arah dalam masalah suasana baru.
“Hai, Miranda. Ada apa? Sepertinya kamu sedang bingung.” Seorang anak perempuan seumuranku menyapaku.
“Ah, aniyo (tidak). Aku hanya bingung akibat masalah kecil saja. Dimana
letak kantin disini? Bisakah kau menemaniku kesana?” Aku bertanya
padanya. Sepertinya hanya dia yang perhatian padaku.
“Oh, arasseo (baiklah). Kajja (ayo).” Dia menarik tanganku dan kami pun berjalan beriringan menuju kantin.
“Oh, ya. Nama kamu siapa? Aku lupa menanyakan namamu. Makasih ya atas
bantuannya. Jeongmal gamsahamnida (terima kasih banyak).” Aku berterima
kasih padanya sesampainya kami di kantin. Ia memilih bangku yang bagus
di dekat jendela.
“Nde (iya). Naneun Han Hye-rin imnida.” Ia mengulurkan namanya. “What a beautiful name.” Dia tersenyum mendengar pujianku.
“Kamu dari Indonesia, ya? Udah pernah kesini sebelumnya?” Hye-rin bertanya sembari mengaduk cola pesanannya.
“Belum. Ini pertama kalinya aku ke Korea. Rasanya masih tidak percaya
bisa terpilih dalam pertukaran pelajar ini,” jawabku. Iya, aku
benar-benar tidak percaya. Kupikir masih banyak siswa-siswa terbaik di
Indonesia selain aku. Tapi, aku sangat bersyukur karena aku yang
terpilih.
“Oh, iya. Disini juga ada siswa dari Indonesia. Itu dia, Miran.” Hye-rin
menunjuk ke arah salah satu siswa laki-laki di kantin. Kulihat ia
berjalan menuju kami.
“Tapi, Hye-rin. Kenapa dia menuju ke arah sini?” tanyaku. Belum sempat
Hye-rin menjawab pertanyaanku, anak laki-laki itu sudah bergabung dengan
kami.
“Ah, senangnya punya teman dari satu negara yang sama. Halo, aku Fandy.
Nama kamu siapa?” Tanpa basa-basi ia bertanya padaku sambil mengulurkan
tangannya.
“Aku Miranda. Kamu dari Indonesia, ya? Kok kamu tahu kalau aku juga dari Indonesia?” tanyaku sambil membalas uluran tangannya.
“Ya, aku tahu saja. Soalnya disini baru pertama kali menerima siswa
pertukaran pelajar. Apalagi dari Indonesia. Orang-orang disini sebagian
besar sudah tahu tentang negara kita. Jadi, tentu saja kabarnya beredar
dengan cepat,” jawab Fandy. Oh, pantas saja. Semenjak tadi aku merasa
seolah-olah sedang diperhatikan. Sepertinya mereka penasaran dengan
orang Indonesia seperti aku dan Fandy.
“Ya, sudah. Senang berkenalan denganmu, Miranda. Kalau kamu kesulitan
disini, kamu bisa panggil aku di kelas sebelah. Aku pergi dulu, ya.
Masih ada urusan dengan teman.” Kulihat Fandy beranjak pergi
meninggalkan kantin. Hmm, aku merasa senang karena bisa menggunakan
bahasa Indonesia. Walaupun hanya dengan Fandy saja.
“Miran. By the way, teman sebangkumu itu, Jun-ha, juga memiliki darah
Indonesia.” Hye-rin yang sedari tadi diam mengejutkanku. Benarkah?
Pantas saja ada yang berbeda dari Jun-ha. Walaupun aku belum sadar apa
itu.
“Jeongmalyo (benarkah?). Apakah orangtuanya dari Indonesia?” tanyaku
kepada Hye-rin. “Bukan, orang tuanya asli penduduk sini. Tapi, kakek
dari pihak ibunya orang Indonesia. Jadi, ia mendapat darah Indonesia
dari kakeknya melalui ibunya,” jawab Hye-rin.
“Oh, begitu. Ya, sudah. Nanti aku mau bertanya kepadanya menggunakan
bahasa Indonesia. Mungkin dia bisa mengerti sedikit,” balasku. “Ide
bagus, Miran. Haebbwa (coba saja).” Hye-rin menyemangatiku.
“Gamsahamnida (terima kasih). Temani aku ke perpus, ya?” Kulihat Hye-rin menganggukkan kepalanya sambil menarik tanganku.
Tidak terasa sudah hampir seminggu aku berada di Seoul. Hari ini aku
sengaja berangkat lebih pagi karena ingin menikmati awal musin semi.
Harum bunga sakura tercium semenjak aku meninggalkan flatku. Aku lebih
senang berjalan kaki daripada naik bis. Selain menghemat uang, aku juga
ingin sedikit berolahraga.
Aku menghentikan langkahku ketika kulihat seorang kakek tua sedang
terduduk di pinngir jalan. Naluriku mengatakan ada yang tidak beres
dengan kakek itu.
“Permisi, kek. Kakek kenapa? Ada yang bisa saya bantu?” Aku keceplosan
menggunakan bahasa Indonesia. Kakek itu menatapku sebentar sambil
mengernyitkan dahinya. Mungkin ia tidak mengerti dengan ucapanku tadi.
“Kamu dari Indonesia, ya? Kebetulan, kaki kakek kram sehingga kakek
tidak bisa berjalan. Kamu mau kan menghentikan bis itu. Kakek ingin
pulang sekarang.” Aku terkejut ketika kakek itu bisa berbicara
menggunakan bahasa Indonesia. Mungkinkah dia kakeknya Jun-ha?
Ku hapus jauh-jauh pikiranku tentang hal itu. Tenang, Ran. Masih banyak
orang Indonesia disini. Bukan hanya keluarganya Jun-ha saja.
“Terima kasih, nak. Apa kamu tidak keberatan mengantarkan kakek sampai
rumah? Kamu kan sedang berangkat sekolah?” Kakek itu bertanya padaku.
Aku sedang berada di dalam bis yang menuju rumahnya.
“Tidak apa-apa, kek. Lagipula masih lama sebelum jam masuk. Tidak usah
dipikirkan. Saya ikhlas kok membantu kakek. Kan kita sama-sama dari
Indonesia.” Kulihat kakek itu tersenyum.
“Jadi, kamu dari Indonesia, ya? Kamu tinggal disini bersama orangtuamu,
nak?” tanya kakek. “Tidak, kek,” jawabku. “Saya berada disini untuk
sebentar saja. Saya ikut pertukaran pelajar selama tiga bulan,”
sambungku.
“Oh, begitu. Kakek kira kamu tinggal disini bersama orangtuamu. Kita
sudah sampai, nak. Ayo, mampir dulu ke rumah kakek,” pinta kakek. Aku
tidak bisa menolak karena kulihat kaki kakek itu masih sakit. Aku
berjalan menuju rumah kakek sambil memapah kakek.
“Ya, ampun. Ayah, darimana saja? Kenapa tidak meninggalkan pesan kalau
mau ke luar rumah. Kami semua bingung mencari keberadaan Ayah.” Ku lihat
seorang wanita paruh baya tergopoh-gopoh turun dari tangga menuju ke
arah kami. Mungkin dia putri kakek ini.
“Sudahlah, Ji-soo. Kamu kan tahu kalau setiap pagi ayah selalu berjalan
keliling kompleks. Sudahlah, ayah tidak apa-apa.” Kakek itu berbicara
dalam bahasa Indonesia kepada putrinya. Wanita itu hanya manggut-manggut
saja.
“Oh, ya. Gadis ini yang menolong ayah tadi. Kebetulan kaki ayah kram
jadi tidak bisa berjalan. Dia juga dari Indonesia,” sambung kakek itu
lagi.
“Benarkah? Terima kasih, nak.” Wanita itu tersenyum padaku. “Iya, Bi.
Sama-sama. Kalau begitu saya pamit dulu. Nanti terlambat pergi ke
sekolah,” sahutku.
“Tunggu dulu, nak. Mungkin kamu akan terlambat karena membantu kakek
tadi. Lebih baik kamu berangkat bersama cucu kakek saja.” Kakek
menawariku. Sebenarnya aku tidak mau tapi daripada aku terlambat, aku
terima saja.
“Betul, nak. Sepertinya Jun-ha sudah selesai sarapan. Jun-ha, kamu antar
gadis ini, ya. Dia mungkin terlambat berangkat sekolah karena sudah
mengantarkan kakek.” Wanita itu berbicara kepada seorang anak laki-laki
dan itu Jun-ha. Ya, Tuhan. Jadi kakek ini kakeknya Jun-ha.
“Arasseo, eomma (baiklah, ibu),” jawab Jun-ha. Kulihat ia melangkah
menghampiriku. “Ya, ampun. Miranda, jadi kamu yang membantu kakekku.
Terima kasih banyak, ya” Aku hanya menganggukkan kepalaku sambil
tersenyum.
“Kamu kenal dia, Jun-ha?” tanya kakek. Ibu Jun-ha juga terkejut ketika
Jun-ha memanggil namaku. “Nde, harabeoji (iya, kek). Dia satu kelas
denganku. Ya, sudah kami berangkat dulu, kek.” Jun-ha menjawab sambil
memberi isyarat untuk mengikutinya.
“Terima kasih Miran karena sudah membantu kakekku.” Lagi-lagi Jun-ha
berterima kasih padaku ketika kami dalam perjalanan menuju sekolah.
“Iya, Jun-ha. Sama-sama.” Mengetahui kalau kakek itu adalah kakeknya
Jun-ha, aku merasa begitu senang. Entahlah, aku juga tidak tahu kenapa.
—
“Hai, Miran. Pulang sekolah nanti kamu mau tidak temani aku jalan-jalan.
Kamu mungkin belum sempat mengunjungi tempat wisata di Seoul.
Bagaimana?” Fandy mengejutkanku. Aku bingung mau ikut bersamanya atau
tidak. Kulirik Jun-ha dan ia masih asyik sendiri.
“Tidak bisa. Dia sudah ada janji denganku. Dia mau menemaniku pergi ke
tepi sungai Han.” Tanpa kuduga Jun-ha menjawab pertanyaan Fandy.
Sepertinya ia serius dengan ucapannya.
“Benarkah, Miran? Kamu memang punya janji ya dengannya?” Fandy bertanya
lagi. “Tidak. Aku tidak punya janji dengan Jun-ha. Ya, sudah. Aku ikut
kamu.” Entah kenapa aku menuruti permintaan Fandy. Jun-ha menatapku
tajam dan aku tak sanggup membalas tatapan matanya.
“Aku tunggu kamu di gerbang sekolah setelah pulang sekolah. Sampai jumpa
disana.” Fandy ke luar kelas dan aku hanya bisa menarik nafas.
Buk. Jantungku serasa mau copot. Jun-ha menggebrak mejanya sembari
menatapku tajam. Ya, Tuhan. Ada apa ini? Apa dia marah kepadaku? Kulihat
ia keluar kelas tanpa menoleh ke arahku.
“Miran, kamu tidak apa-apa?” Hye-rin mengejutkanku. “Aku baik-baik saja.
Aku hanya bingung dengan sikap Jun-ha saja. Dia kenapa?” tanyaku
padanya. Aku benar-benar tidak mengerti dengan sikap Jun-ha.
“Sebenarnya, Jun-ha sangat membenci Fandy. Bagi Jun-ha, Fandy adalah
saingannya semenjak kelas X. Ditambah lagi gadis yang Jun-ha sukai lebih
memilih Fandy daripada Jun-ha.” Aku bisa membayangkan bagaimana
ketidaksukaan Jun-ha kepada Fandy. Tapi, tetap saja hal itu tidak ada
hubungannya denganku.
“Kemudian, Fandy tidak membalas cinta gadis itu. Aku juga tidak tahu
kenapa. Tapi, gadis itu masih tetap menyukai Fandy dan akhirnya ia
meninggal.” Apa? Gadis yang Jun-ha sukai sudah meninggal. Kenapa?
“Kenapa gadis itu meninggal, Hye-rin?” tanyaku. “Gadis itu memang
sakit-sakitan. Tapi, ia tetap mengejar Fandy. Mungkin karena kelelahan
atau tekanan batin, sakitnya menjadi bertambah parah dan akhirnya ia
meninggal. Aku kurang tahu tentang masalah itu,” jawab Hye-rin.
“Begitu, ya. Kalau begitu aku bisa menanyakan hal itu pada Jun-ha.”
Sebuah ide bagus muncul di otakku. Aku hanya ingin labih tahu tentang
hal itu.
“Andwae (jangan).” Hye-rin menghentikanku. “Kamu bisa membuat Jun-ha
lebih marah lagi. Jun-ha selalu menganggap kalau penyebab kematian gadis
itu karena Fandy. Sudahlah, Miran. Jangan kau pikirkan masalah itu.”
Iya, aku tidak memikirkan hal itu. Aku hanya kasihan dengan Junha.
“Kasihan Jun-ha. Pasti semua itu berat baginya,” gumamku. Sepertinya
Hye-rin tidak mendengarkanku. Bukankah akan lebih baik jika gadis itu
masih ada disini. Sekalipun ia menyukai Fandy. Dibanding ia meninggal
dan Jun-ha tidak bisa melihatnya lagi. Aku merasa kasihan dengan Jun-ha.
Mungkin lebih dari itu. Aku tidak bisa membayangkan kalau aku berada di
posisi Jun-ha.
“Hei, Miran. Itu Jun-ha sudah kembali. Kau sapa saja dia. Aku mau keluar dulu.” Hye-rin pergi meninggalkan aku dan Jun-ha.
“Jun-ha. Maaf, tadi aku tidak mengiyakan perkataanmu. Kita kan memang
tidak ada janji sebelumnya. Aku tidak mau berbohong. Maafkan aku,
Jun-ha. Mianhae (maaf).” Aku meminta maaf kepadanya ketika ia sudah
duduk kembali. Ia hanya melihatku sekilas.
“Jun-ha, besok kamu mau kan menemaniku pergi. Kamu kan udah janji.”
Tiba-tiba seorang gadis datang dan langsung mengajak Jun-ha bicara.
Siapa dia?
“Mianhae, Na-young (maaf). Aku tidak bisa,” jawab Jun-ha. Aku hanya mendengarkan pembicaraan mereka saja.
“Tapi, besok adalah hari peringatan satu tahun kematian Ah-yeon. Kamu
harus mengunjunginya,” balas gadis itu. Jadi, gadis yang disukai Jun-ha
adalah Ah-yeon dan besok hari peringatan kematiannya. Aku baru
mengetahui hal itu sekarang.
“Aku tidak bisa. Aku tidak mau terkekang dengan dengan masa lalu tentang
dia. Jangan paksa aku, Na-young.” Jun-ha menatap Na-young tajam.
Seperti ketika ia menatapku.
“Tapi, Jun-ha.” Belum selesai Na-young bicara kulihat Jun-ha sudah
bergabung dengan teman laki-lakinya. Aku hanya bisa menatap Na-young
dengan iba. Jun-ha, kenapa ia tidak mau pergi? Bukankah ia sangat
mencintai gadis itu? Entahlah, itu bukan urusanku. Sadarlah, Miran.
Jun-ha hanya menganggapmu sebagai temannya.
“Karena Ah-yeon adalah sahabatku. Karena aku menyukai kamu, aku terpaksa
melakukan hal ini. Karena aku tahu jika Ah-yeon adalah seluruh
duniamu.” Na-young melanjutkan kalimatnya. Dan aku hanya terdiam
mendengarnya. Jadi, dia menyukai Jun-ha. Tiba-tiba sebuah peluru
menghantam hatiku.
—
“Kita kemana, Jun-ha?” Aku benar-benar terkejut pagi ini. Jun-ha datang
ke flatku dan mengajakku pergi entah kemana. Dia hanya diam tanpa
menjelaskan apapun padaku.
“Kita sudah sampai. Aku hanya ingin mengajakmu ke tempat ini. Maaf jika
itu menyusahkanmu.” Jun-ha membawaku ke sebuah makam. Ku tebak itu pasti
makam Ah-yeon.
Aku tidak mengerti dengan jalan pikirannya. Untuk apa dia membawaku
kesini? Dan benarkah ini makam Ah-yeon? Tapi, untuk apa?
Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk di dalam pikiranku. Ingin ku
bertanya padanya. Tapi, ketika kulihat ia sedang khusyuk berdoa, ku
urungkan niatku.
“Miran, apa yang kau lakukan disini?” Kulihat Fandy juga ada disini. Mungkinkah, mungkinkah ini memang makam Ah-yeon?
“Aku yang membawanya kesini. Ada masalah dengan itu?” Belum sempat aku
menjawab pertanyaan Fandy, Jun-ha sudah menjawabnya. Aku takut kejadian
kemarin terulang lagi.
“Tidak apa-apa. Tapi, untuk apa kamu membawa gadis lain ke makam orang
yang kau cintai? Apa kau sudah memutuskan untuk melupakan dia?” balas
Fandy. Kulihat wajah Jun-ha kian memerah.
“Sudah cukup. Kalian jangan bertengkar disini.” Aku mencoba memisahkan
mereka. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan kehadiran Na-young.
“Jun-ha, kau keterlaluan. Kau bilang tidak ingin menemaniku kesini, tapi
kau malah datang bersama gadis ini.” Na-young langsung menyudutkan
Jun-ha.
“Apa kau menyukai gadis ini? Kau sudah melupakan Ah-yeon, begitu?” kata
Na-young lagi. Jun-ha tidak menjawab pertanyaan Na-young. Ia hanya
terdiam.
“Sudahlah, Na-young. Jangan kau sudutkan Jun-ha.” Fandy berusaha menenangkan Na-young.
“Sebenarnya, aku tidak menyukai Miran. Aku hanya ingin membawanya ke
makam Ah-yeon supaya Ah-yeon tahu kalau aku sudah melupakan dia. Gadis
ini hanya pelarianku saja.” Aku terkejut. Jadi, ia baik padaku,
mati-matian membelaku hanya karena itu. Hanya karena hal itu dia
bersikap baik padaku. Padahal aku sudah berharap lebih padanya.
“Apa yang kau bicarakan, Jun-ha? Apa maksudmu? Jadi selama ini kau hanya
berpura-pura baik padaku hanya untuk ini. Kau jahat sekali.” Aku
berlari pergi meninggalkan mereka. Terbayang di benakku bagaimana Jun-ha
membantuku memahami pelajaran, meminjamiku buku, menemaniku jalan-jalan
keliling kota Seoul. Ia yang membelaku ketika aku diganggu siswa lain,
membelikanku makanan di kantin. Semuanya tentang Jun-ha berkelabat di
pikiranku.
Aku tidak tahu harus kemana. Pikiranku kalut. Aku tidak tahu kenapa aku
seperti ini. Hatiku terasa sakit. Mungkin tanpa aku sadari, aku sudah
menyayangi Jun-ha. Lebih dari seorang teman ataupun sahabat. Entahlah,
aku merasakan rasa teramat sakit di lubuk hatiku. Karena Jun-ha.
Mungkinkah aku sudah jatuh padanya dan aku terluka karena dia hanya
menjadikanku pelampiasan cintanya.
—
Aku tersenyum membaca surat Fandy. Sudah sebulan aku kembali ke
Indonesia. Semenjak kejadian di makam itu, aku tidak pernah bertegur
sapa dengan Jun-ha lagi. Sampai aku pulang pun, ia tidak mengantar
kepergianku. Hanya Fandy dan Hye-rin saja yang mengantarku ke bandara.
Di dalam suratnya Fandy mengatakan kalau ia sedang dekat dengan Hye-rin.
Syukurlah, aku senang karena dia sudah melupakan Ah-yeon. Fandy sendiri
yang bilang jika ia juga menyukai Ah-yeon. Tapi karena ia merasa tidak
nyaman dengan Jun-ha, ia mengacuhkan Ah-yeon.
Ah-yeon beruntung, batinku. Ia dicintai dua orang yang sangat
menyayanginya. Tapi, kupikir ia juga tidak terlalu beruntung karena ia
sudah tidak ada disini.
“Miran, lonceng sudah berbunyi. Pulang yuk?” Ana mengajakku pulang.
Rasanya masih belum pukul 14.00. Ku iyakan saja ajakannya sembari
berjalan ke luar kelas.
“Tadi surat dari temanmu di Seoul, ya? Senangnya. Aku iri deh.” Ana
memang sahabatku yang paling lucu. Ia selalu saja berhasil menarik
perhatianku.
“Ya, sudah. Nanti aku suruh dia mengenalkan kamu dengan teman-temannya disana,” sahutku. Ana hanya tersenyum simpul.
“Oh, ya. Ran, ada murid baru di sekolah kita. Anak cowok, sepertinya
ganteng sih,” kata Ana lagi. “Lalu apa hubungannya denganku?” tanyaku
padanya.
“Tidak ada sih. Aku cuma takut saja kalau kamu tidak tahu info terbaru.
Kamu kan kudet, hehe.” Ana menggodaku. Tega sekali dia julukin aku
kurang update.
“Miran, itu tuh anak barunya.” Kulihat Ana menunjuk ke arah sampingku.
Aku kemudian berbalik dan kulihat seseorang yang sudah tidak asing lagi.
“Halo, Ran. Annyeonghaseyo. Maaf untuk semuanya. Mianhae. Aku tidak
bermaksud seperti itu. Kamu mau kan memaafkan aku?” Kulihat Jun-ha
berdiri di depanku. Jadi, dia sekarang sekolah disini. Untuk apa?
“Aku tidak bermaksud untuk mempermainkan kamu. Aku tidak menjadikanmu
pelampiasan semata. Sepertinya aku benar-benar jatuh hati padamu,
Miran.” Sebuah pelangi tiba-tiba muncul di hatiku. Apa? Jadi, dia
benar-benar menyukaiku. Mungkinkah?
“Geojitmal (jangan bebohong). Kamu cuma jadikan aku pelampiasanmu saja,
kan?” Aku tetap keras kepala. Aku tidak sepenuhnya percaya padanya.
“Aniyo (tidak). Saranghamnida, Miran. Aku benar-benar suka kamu.
Percayalah padaku. Aku jauh-jauh pindah kesini dan sekolah disini karena
aku ingin melihatmu lagi. Aku benar-benar rindu kamu ketika kau tidak
ada di sampingku lagi. Mianhae. Aku cinta kamu.” Dia mengucapkan kalimat
terakhirnya dalam bahasa Indonesia. Aku cinta kamu. Benarkah seperti
itu yang sekarang ia rasakan padaku? Aku benar-benar ingin percaya
padanya sekarang.
Aku, tanpa pernah aku sadari aku telah jatuh hati padanya. Orang yang
hanya bisa mengucapkan aku cinta kamu. Ternyata cinta yang jauh-jauh
kubawa dari Korea akhirnya menghampiriku disini.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar