Belakangan ini gejala maraknya
fanatisme buta sedang melanda dunia, terutama tumbuh subur di kalangan generasi
muda. Bentuk-bentuk fanatisme buta ini sudah mengarah kepada perilaku yang
membahayakan sehingga perlu dikaji secara seksama. Salah satunya adalah
fanatisme terhadap Korean Wave.
Gelombang Korea/ Demam Korea/
Korean Wave atau yang lebih dikenal dengan sebutan Hallyu merupakan istilah buatan yang memiliki makna pengaruh budaya
modern Korea di negara-negara lain di dunia termasuk salah satunya Indonesia.
Istilah–istilah tersebut bukanlah hal yang asing lagi didengar saat ini. Karena
berbagai media massa dan masyarakat di dunia tengah memperhatikan dan
membicarakan fenomena ini yang tanpa sadar ikut mengkonsumsinya.
Terlebih setelah masuknya K-Pop ke Indonesia membuat pergeseran musik
melayu dan dangdut bahkan music tradisional asli Indonesia semakin terkikis. K-Pop
(Korean Pop) adalah berbagai jenis music yang berasal dari Korea Selatan, mulai dari Pop, Dance, Elctropop, Hip-Hop, Rock, R&B,
juga Electronic. Berawal dari musik dan film, menyebarkan demam kebudayaan
Korea Selatan di seluruh dunia. Masyarakat kini
lebih menyukai Boyband dan Girlband ala Korea.
Banyak anak bangsa yang mengikuti
genre musik Korea seperti banyak dibuatnya Boyband dan Girlband yang mirip
seperti Boyband dan Girlband asal Korea. Contoh Boyband dan Girlband di
Indonesia adalah Smash, Dragon Boys, Hits, XO IX, Cherrybell, 7 Icons, dll. Boyband
dan Girlband asal Indonesia banyak meniru Boyband zdan Girlband asal Korea seperti Super Junior, Beast,
2PM, MBLAQ, Girls Generations, dll. Di Indonesia sudah banyak diadakan audisi Boyband
dan Girlband yang bertujuan untuk mencari bakat anak bangsa. Bukan hanya para
remaja yang mengikuti Boyband dan Girlband tetapi anak kecil juga ikut-ikutan
bahkan orang tuapun juga mengikutinya.
Sedikit sejarah, musik pop Korea pra-moderen pertama kali
muncul pada tahun 1930-an akibat masuknya musik pop Jepang yang juga turut
memengaruhi unsur-unsur awal musik pop di Korea. Penjajahan Jepang atas Korea
juga membuat genre musik Korea tidak bisa berkembang dan hanya mengikuti
perkembangan budaya pop Jepang pada saat itu. Pada tahun 1950-an dan 1960-an,
pengaruh musik pop barat mulai masuk dengan banyaknya pertunjukkan musik yang
diadakan oleh pangkalan militer Amerika Serikat di Korea Selatan. Musik Pop
Korea awalnya terbagi menjadi genre yang berbeda-beda, pertama adalah genre
"oldies" yang dipengaruhi musik barat dan populer di era 60-an. Pada
tahun 1970-an, musik rock diperkenalkan dengan pionirnya adalah Cho Young Pil.
Genre lain yang cukup digemari adalah music Trot yang dipengaruhi gaya musik enka dari Jepang.
Virus budaya kontemporer Hallyu yang mengakibatkan “demam Korea”
sudah menginfeksi remaja Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir. Hal itu
mendorong lahirnya sebuah fenomena fanatisme di mana para tokoh idola dari
negeri ginseng tersebut menjadi kiblat dalam berperilaku bagi remaja dan
generasi muda di tanah air pada proses pembentukan identitas dirinya.
Pada umumnya, remaja
mengidentifikasikan diri pada seseorang yang dianggap sebagai idola. Ketika
remaja mengidolakan seorang tokoh, mereka akan mengidentitaskan dirinya pada
tokoh tersebut, lalu berusaha untuk mewujudkan dirinya seperti tokoh idolanya
itu. Caranya dengan meniru sifat–sifat, kemampuan atau keahlian yang dimiliki
oleh tokoh idola itu.
Karena masa remaja merupakan masa
transisi dari masa anak–anak menuju masa dewasa. Dalam masa ini terjadi
perubahan emosi dan perubahan sosial pada remaja. Masa remaja penuh dengan
gejolak, penuh dengan pengenalan dan petualangan akan hal-hal baru dan masa
pencarian jati diri. Untuk mencari jati diri mereka, seorang remaja merasa
tertantang dan tertarik untuk membuktikan kemampuannya. Remaja dalam masa ini
sangat labil dan menjadi mudah terpengaruh akan hal yang dilihat maupun hal
yang terjadi di sekitarnya.
Indonesia Rasa Korea
Akibat dari adanya fenomena Korean
Wave menimbulkan efek luar biasa yang kian menjalar dan secara perlahan dan
berkelanjutan akan mengikis minat untuk mempelajari kultur budaya di negeri
sendiri. Di Indonesia juga mulai terlihat peningkatan minat mempelajari budaya
Korea lebih jauh dengan bertebarnya kursus-kursus dan minat dalam bahasa Korea
yang ditandai dengan menjamurnya kursus-kursus Korea, setelah sebelumnya
didominasi oleh Jepang dan Mandarin. Menu-menu masakan Korea juga mulai dicari,
begitu juga Hanbok, pakaian tradisional
Korea. Jika hal ini berlangsung secara terus-menerus, tentunya akan dapat
menimbulkan kebingungan identitas diri pada remaja Indonesia (nasionalisme).
Jika awalnya sedikit orang yang berani mengakui suka
mendengarkan lagu-lagu Korea, kini tidak sedikit orang yang bahkan menggunakan
kata-kata berbahasa Korea dasar, yang bisa didapatkan dari mendengarkan lagu
korea maupun melihat drama korea.
Saat ini, dengan mudah kita bisa menemui remaja banyak
menggunakan kata-kata seperti oppa -panggilan
adik perempuan untuk kakak laki-laki-, omo
-ungkapan kasihan atau kekagetan yang biasa diucapkan oleh orang Korea-, gomawo -ucapan terimakasih kepada sesama
teman, ataupun annyeonghaseyo -sapaan
seperti halo atau hai-.
K-pop, telah menjadi trendsetter yang diikuti anak-anak muda,
bukan hanya aliran musiknya, namun juga gayanya berpakaian. Bisa dikatakan,
Korean Wave adalah keberhasilan pemerintah Korea Selatan melakukan penjajahan
budaya di berbagai negara.
Hidup Tanpa K-Pop
Sudah terlintas dengan jelas bagaimana keadaan Indonesia yang
akan datang bila generasi mudanya terus memuja-muja culture negara sebelah (Korea). Bisa dipastikan bahwa Indonesia
tidak akan bisa menjadi dirinya sendiri. Sebagai bahan pertimbangan saja, apakah
penggemar K-Pop sadar dengan dampak yang mereka peroleh dari Idola pujaannya
tersebut.
Yang pertama adalah melupakan Agama dan kebudayaan kita sendiri. Jelas. Telah terungkap fakta
yang telah dirahasiakan bertahun-tahun. Pada umumnya artis-artis K-Pop mereka
memiliki agama. Namun, itu hanyalah pengakuan palsu. Sebab, data menunjukkan
hampir 95% Warga Korea Selatan tidak memiliki agama.
Selain itu pula, efek yang ditimbulkan dari K-Pop ialah
melupakan kebudayaan kita sendiri. Hal ini sudah terlihat sejak awal buktinya,
banyak remaja sekarang ingin jauh lebih memahami gaya Korea. Dan itu sudah
merusak kebudayaan Indonesia. Selain itu, K-Pop dapat menyebabkan kita
seakan-akan melupakan agama kita sendiri. Sekarang ini, produser-produser musik
korea telah menjadikan remaja Indonesia sebagai wadah untuk mempengaruhi agar
mereka melupakan kepentingan agama.
Selanjutnya adalah lahirnya sifat Fanatisme. Namun,
kefanatismean fans K-Pop ini sudah sangat kelewatan. Umumnya, mereka
memperjuangkan hidupnya hanya karena Idol K-Pop nya. Faktanya, ketika konser
Super Junior (SuJu) banyak sekali yang mengantri hanya demi melihat Idol K-Pop
nya sendiri, bahkan adapula yang berani hingga bolos sekolah. Hal ini
menyebabkan kita melupakan kepentingan Pendidikan kita sendiri.
Jika kita menelaah lebih jauh keadaan Indonesia sekarang yang
bisa dibilang dipandang rendah oleh fans K-Pop dari negara lain. bahkan
sampai-sampai Netizen Korea membuat fan page kalo mereka membenci indonesia.
Kronologisnya adalah berawal Mosquito Band yang diklaim memplagiat Boyban asal
Korea TVXQ/DBSK & BIGBANG.
Saking cintanya fans Inkonesia terhadap K-Pop mereka tidak terima jika Boyband Indonesia
ada yang meniru gaya TVXQ/DBSK &
BIGBANG sampai menuliskan berita tersebut di forum Internasional, dan alhasil
inilah yang harus diterima Indonesia atas kecerobohan dan kebodohan fans K-Pop
Indonesia. Dimaki
dan direndahkan negara lain.
Dan yang paling miris, merusak sifat nasionalisme. Ada juga yang berani menjelek-jelekkan nama
Indonesia demi membela negara tercintanya Korea.
Dapat dilihat dari pernyataan diatas, efek dari Korean Wave
ini malah banyak menimbulkan efek yang condong ke arah negatif. Terlebih jika
dilihat dari bagaimana aktivitas para Korean Fanatik. Dimulai dari menghabiskan
dana besar-besaran untuk hal-hal yang tidak cukup berguna, hingga melakukan
tindakan-tindakan irasional.
Rasa fanatik remaja Indonesia akan
K-Pop dapat terlihat dari semakin aktifnya mereka menggunakan internet karena
internet salah satu akses mereka untuk mengetahui perkembangannya, mengingat
masih sedikitnya stasiun televisi yang menyajikan tentang Korea.
Lalu banyak diantara mereka yang
menyisihkan uang jajan mereka hanya untuk membeli sekotak album original Idol
yang mereka senangi meski harus merogoh kantong sedikit dalam, sehingga hal ini
dimanfaatkan oleh banyak orang dengan membuka Online shop (toko yang berbasis internet) untuk mempermudah remaja
Indonesia membelinya.
Terkadang tak hanya album tapi
juga pernak- pernik seperti kaos, gelang, kalung, gantungan handphone dan
lainnya. Yang paling mengejutkan ketika mereka membeli sebuah photobook (buku
dengan kumpulan foto) dengan harga yang tak murah, harganya ada yang mencapai
700 ribu dan tak sedikit yang beli.
Album original, photobook, pernak-pernik,
video hasil unduhan sudah ada ditangan. Namun, rasanya tidak akan lengkap jika
mereka belum bisa melihat secara langsung Idola mereka seperti menonton konser
mereka. Lagi-lagi harga tiketnya pun terbilang cukup mahal, harga termurah
biasanya sekitar 500 ribu rupiah, untuk dua jam full performance Idol tersebut.
Tidak sampai disitu, tindakan para
fans pun sudah diluar nalar. Mereka sengaja menampar idolanya, membuntuti
kemana idolanya pergi, menyelinap masuk ke dalam hotel dimana idolanya menginap
dan mencoba menciumnya dengan paksa. Bahkan tidak sedikit yang menyayat tangan
dan lehernya hanya untuk menuliskan sebuah surat dengan tinta darah pada
idolanya, dan meminta idolanya menikahinya.
Tindakan-tindakan yang berlebihan
dan sangat diluar batas yang dilakukan para fans tersebut merupakan dampak dari
kefanatikan mereka pada Korean Idol akibat menjamurnya Korean Wave secara
global, khususnya di Indonesia.
Belajar Dari Yang Lebih
Tua
Salut dengan negeri Paman Sam,
yang beberapa tahun lalu menutup lebih dari 7 stasiun televisi dan ratusan
website Korea. Mereka lebih peka melihat dampak pengaruh yang ditimbulkan
dengan munculnya Hallyu. Sehingga
mereka bertindak dengan cepat untuk menanggulanginya.
Sedangkan kita, justru malah
menyambut dengan mengalungkan karangan bunga akan hadirnya penghancur masa
depan bangsa tersebut. Terutama para K-Pop Lovers yang hanyawaton menikmati hidangan tanpa
mengetahui efek yang ada, ibarat kata –Manis dimulut sakit di perut–. Itulah
yang sedang kita rasakan saat ini.
Beda hal dengan Negeri Sakura
(Jepang). Mereka mempunyai cara tersendiri untuk menghindar dari tekanan Hallyu. Yaitu dengan menyainginya. Jadi
mengapa Jepang dapat menanggulangi Hallyu dengan menyainginya?Pada dasarnya
adalah, K-Pop mengambil konsep dari gaya anak muda jepang pada kesehariannya
(Harajuku Style). Dimana pakaian serba kombinasi dan berlapis yang ribet serta
menggunakan warna-warna yang mencolok. Namun karena gaya tersebut masih sulit
direalisasikan pada masyarakat Korea, maka mereka (si Korea) ini hanya
mengambil simplenya saja. Pakaian
berlapis dan warna natural.
Sehingga Jepang denga gaya
Harajukunya tersebutlah yang mampu menyaingi Hallyu. Selain itu Jepang juga memiliki cara lain, yaitu dengan
mempercepat pengembangan teknoliginya yang berpengaruh pada reproduksi dunia
hiburan di Jepang. Sehingga masyarakat Jepang akan lebih memilih hasil karya
negaranya sendiri, baik fasilitas maupun budaya.
Memang, tidaklah mudah untuk
menghindari atau menyingkir dari gempuran budaya pop apalagi di era globalisasi
yang tidak mengenal batas ruang dan waktu. Budaya ini bersifat ringan dan mudah
diterima oleh masyarakat banyak, apalagi setelah merangkul media massa yang
berkembang di tengah masyarakat modern.
Hubungannya dengan K-Pop, ia
merupakan budaya yang sangat mudah mempengaruhi sehingga dapat diterima oleh
semua kalangan dan berkembang melampaui batas negara meskipun sebenarnya
bukanlah budaya asli Korea yang bersifat tradisional. K-Pop tidak lain
merupakan budaya yang diciptakan sesuai dengan selera pasar.
Persentase terbesar penerima K-Pop
atau korean wave di Indonesia adalah remaja, generasi muda atau
siswa/peserta didik. Sangat mengkhawatirkan jika penerimaan K-Pop tidak
disertai dengan apresiasi terhadap kebudayaan nasional. Tidak mustahil jika
eksistensi kebudayaan nasional bergeser nilainya menjadi budaya yang terbuang.
Padahal, sangat jelas bahwa
generasi muda merupakan tonggak pembangunan nasional. Jika remaja sekarang
sudah tidak mengenal kebudayaannya sendiri, maka kebudayaan nasional dapat
mengalami kepunahan dan berganti dengan kebudayaan baru yang tidak sepenuhnya
sesuai dengan kepribadian atau karakter bangsa Indonesia.
Pada kondisi inilah, pendidikan
karakter dan penanaman rasa nasionalisme perlu diperkuat. Semua pihak harus
berkomitmen untuk mengembangkan karakter generasi muda berdasarkan nilai-nilai,
mendefinisikannya dalam bentuk perilaku yang dapat diamati dalam kehidupan
sekolah sehari-hari, mencontohkan nilai-nilai itu, mengkaji dan
mendiskusikannya, menggunakannya sebagai dasar dalam hubungan antarmanusia, dan
menghargai nilai-nilai tersebut di sekolah dan masyarakat.
Tidak kalah penting adalah
pembekalan ilmu religius sejak dini. Rumah yang megah akan mudah roboh bila
pondasinya tidak kokoh. Agama layaknya pondasi rumah tersebut, untuk
memperkokoh pendirian manusia dari goncangan pengaruh luar yang bisa merusaknya. Apalagi kita tahu bahwa para pencetus Hallyu sebagian besar mereka tidak beragama.
Kemungkinan besar fans-fans fanatic K-Pop tidak mempermasalahkan hal ini.
Berikutnya. Pemerintah juga tidak
kalah penting dalam situasi seperti ini. Jika tidak segera mengambil tindakan
seperti Amerika atau Jepang, sudah jelas Indonesia akan kehilangan sebagian
generasi mudanya. Inilah mengapa kita perlu merenung sejenak, terutama bagi
fans fanatic K-Pop yang sampai berani menjelek-jelekkan negara Indonesia
tercinta ini.
Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya
sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka. Apakah Kelemahan kita:
Kelemahan kita ialah, kita kurang percaya diri kita sebagai bangsa, sehingga
kita menjadi bangsa pemujabangsa lain, kurang mempercayai satu sama lain,
padahal kita ini berasal dari satu perjuangan yang sama.
0 komentar:
Posting Komentar