LAMPU KRISTAL
Karya : Ratna Indraswari
Martini
melihat dengan nanap serpihan lampu kristal itu. Napasnya memburu.
Butir-butir keringat berhamburan pada wajah dan matanya. Bibirnya
gemetar. Sementara itu, lagu gembira untuk senam pagi berkumandang.
Martini duduk seperti tersudut. Riwayat lampu kristal itu melompat.
Konon
lampu itu adalah hadiah dari susuhunan buat keluarga besar suaminya.
Martini,menghapus matanya yang basah, kemudian berdiri,canggung dan
tidak yakin mengapa hal itu mesti,terjadi. la bisa membayangkan
kemarahan suamimbeserta anak anaknya. Dulu, perkawinan di bawah lampu
kristal ini menjadikan Martini gamang. Sesungguhnya dia mencintai suami
dan anak-anaknya. Di sini dia merasa terikat.
Namun,
dia tidak mau bertukar tempat dan tetap mengeluh dalam perkawinannya.
Kemudian kakinya menyentuh serpihan kristal. Di tengah keluarga besar
yang memiliki lampu kristal ini Martini berdiri canggung. Meskipun
demikian, suaminya selalu berkata bahwa Martini yang canggung ini adalah
seorang perempuan yang sulit disejajarkan dengan perempuan lain.
Dia
merasa dipuji kala itu. Keberaniannya mencengangkan seluruh
kerabatnya. Jalinan tahun sudah dijalani, tetapi kecanggungan ini tidak
kunjung berhenti, bahkan selalu berkelebat dalam angannya. Perempuan
yang berdiri canggung itu adalah bekas karyawati sebuah toko.
Tanpa
terasa kakinya tersentuh lagi oleh serpihan lampu kristal. Martini
melompat dan segera mengambil baju renangnya. Di kolam renang, Martini
betah tinggal berjamjam sekalipun anak-anaknya sering bilang bahwa gaya
renang dia tidak ubahnya seperti perenang sungai. la menyelam
dalam-dalam. la gembira bahwa lampu kristallah yang jadi serpihan, bukan
dirinya. Seorang lelaki tengah memperhatikannya dengan saksama
sehingga ia menepi. Dalam pikirannya terlontar harapan, seharusnya
Suseno berada di sini. Martini bergegas pulang. Dari jauh sudah tampak
rumahnya. Pasti suami dan anak-anaknya dengan sedih akan membicarakan
lampu kristal yang telah pecah itu.
Padahal
biasanya pada jam-jam begini Suseno selalu bercerita kepada anak-anak
tentang kejayaan keluarga besar mereka. Lantas seusai bercerita, dengan
bangga suami dan anakanaknya menengadahkan kepala untuk memandangi lampu
kristal itu. Martini selalu tersodok. Ingin sekali dia bercerita lain,
tentang dirinya, di mana dia dulu menjadi karyawati di sebuah toko
karena himpitan ekonomi. Namun, keinginan ini selalu saja tenggelam,
terbalut oleh kebesaran lampu kristal itu. Semakin dekat Martini dengan
rumahnya, semakin ia merasa tercekam. Masa kini dan kemarin berhamburan
dan saling menyodok dirinya. Matanya melebar. Sekarang semakin jelas
bayangan suami dan anak-anaknya.
Kini
dia berada di tengah-tengah suami dan anak-anak yang amat dicintainya.
Mereka memandanginya dengan mata terbelalak dan napas tertahan. Martini
berdiri di sebuah sudut dan mulai berbicara dengan kalimat-kalimat yang
sepertinya sudah dihafal dengan baik terlebih dahulu. “Maaf, saya
sangat menyesal. Lampu itu terjatuh sendiri ketika saya senam pagi….”
Kalimatnya terpotong. Kemudian ia menghambur ke kamar. la menunggu
suaminya masuk ke kamar. “Saya menyesal,” kata Martini lagi, mencoba
menekan perasaannya sampai waj’ahnya basah bergetar menahan gejolak.
Sesaat keheningan melayang sangat tajam. Kemudian terdengar suara Suseno
yang dingin penuh kepercayaan.
“Peristiwa
ini tidak usah diributkan, bukan?” Martini jadi kagok. Bayangan lampu
kristal bergoyang. la merasa tercekam. “Maaf, saya tahu hal ini bukanlah
sepele. Bukankah lampu itu lambang kebesaran keluarga besarmu?”
Suaminya tertawa ganjil. “Kamu jangan aneh, Tin. Buat saya, yang sudah
lewat, sudah habis. Kebesaran itu ada pada kita sekarang.” Kemudian
suaminya melanjutkan membaca koran. Martini betul-betul tidak tahan dan
akhirnya keluar dari kamar. l
a
duduk di bawah bekas tempat lampu kristal. Mendadak terlompat dari
pikirian Martini tentang kesedihan yang diderita oleh kerabatnya,
orang-orang yang menjadi sebagian dari dirinya, tempat dia terlibat di
dalamnya. Di bawah tempat lampu kristal itu Martini jadi merasa aneh.
Tidak ada lagi gairah, seolah ada sesuatu yang tercabut dari dalam
dirinya. Padahal suami dan anak-anaknya bersikap biasa saja dan
tampaknya mereka tidak memedulikan peristiwa pecahnya lampu kristal
itu. Malam semakin merayap. Martini tidak berani menoleh ke pecahan
lampu kristal itu. Seandainya lampu kristal itu bisa utuh kembali, pasti
dia akan bisa sangat menikmati kebersamaan dengan anakanaknya.
Omong
kosong kalau dia tidak melahap kebahagiaan di sini. Bukankah tanpa
sadar waktu telah bergeser dan terhimpun menjadi jalinan tahun ke
tahun? Matanya basah. Entah mengapa dia tidak ingin tidur malam itu.
Seharusnya tidak ada lagi yang mesti diubah dalam kehidupannya. Bukankah
dia sudah melekat dan terikat erat di sini? Martini merasa ingin
meremukkan seluruhnya. Dia terhenyak di kursi. Suaminya menatapnya
dengan aneh dan mulai berkata, “Percayalah, Tin, yang sudah biarlah
berlalu.” Martini jadi meledak.
“Kamu
sama sekali tidak jujur. Jangan berpurapura. Kesedihan itu sangat
tampak oleh mata saya.” Kembali suaminya menjadi heran. “Ma, saya punya
gagasan baru yang cemerlang. Saya pernah melihat lampu kristal di pasar
barang antik, kita bisa membelinya.” Air mata Martini mengalir deras.
“Tanpa lampu itu …, tanpa lampu itu hidup kita tidak berarti, kan?”
“Ma!” Martini menghapus air matanya, sekarang dengan berani ia melihat
pecahan lampu kristal itu. “Tapi saya kira, tanpa lampu kristal itu,
hidup kita bisa jalan terus ….” Martini menyetop omongannya sendiri dan
berdiri dengan canggung. Suseno memeluk Martini. Sementara itu, di luar
udara semakin dingin, malam kian larut.
0 komentar:
Posting Komentar