Translate

ccerpen lampu taman

Written By iqbal_editing on Jumat, 23 Juni 2017 | 18.57

Lampu taman di pojok jalan itu belakangan ini mengganggu pikiranku. Memang sudah hampir beberapa minggu lalu taman sepanjang jalan kompleks dihiasi lampu-lampu taman yang seragam. Taman-taman itu sendiri adalah hasil iuran warga kompleks. Indah sekali jika dipandang mata. Sepanjang jalan beraspal, ada taman-taman menghijau sepanjang tepi jalan, tepat di depan rumah-rumah. Tak kalah dengan taman yang ada di pusat-pusat kota, kantor-kantor, atau kampus-kampus, dan sekolah.
Bunga dan tanaman yang tumbuh di taman-taman itu juga beragam, sebab selain dari bawaan paket taman, setiap warga juga boleh menanam apa yang disukai. Sehingga dari tiap rumah terlihat macam taman yang berbeda-beda. Ada yang dipenuhi rumpun bambu kecil, ada pula tanaman kebutuhan dapur seperti jahe, lengkuas, atau cabai. Diam-diam ada persaingan tanaman taman dari beberapa orang. Ada yang sengaja menanam tanaman yang mahal, ada pula yang memesan bunga-bunga khusus dari para pengrajin tanaman hias. Namun bagiku, itu semua bukan masalah. Taman-taman baru itu selain membuat lingkungan kompleks jadi terlihat rapi dan bersih, juga menimbulkan perasaan damai dan tenang. Jika siang hari kehijauan dan warna-warni bunga menyambut mata, maka di malam hari sejak ada lampu taman, taman-taman mini ini akan diterangi cahaya lampu taman.
Cahaya lampu taman ini berubah-ubah warnanya. Misalnya dari warna merah ke ungu, dari ungu ke biru, dari biru ke kuning, dari kuning ke hijau, dan semacamnya. Mirip dengan mainan-mainan lampu anak balita. Lampu-lampu taman itu seolah menyimpan sinar keakraban antar warga. Kecuali, ah ya, kecuali satu. Yaitu, lampu taman yang ada di pojok jalan. Lampu taman di pojok jalan itu milik Pak Purwa. Rumahnya berada tepat di antara pertigaan jalan. Warga sekitar -termasuk aku- sangat menghormati beliau, karena kewibawaan pensiunan tua itu. Namun.. belakangan, ia jadi pusat pembicaraan gara-gara lampu tamannya itu.

“Dik, bayangkan saja, mengapa Pak Purwa sengaja memilih lampu kuning yang warnanya cetar itu? Yang lain saja manut pakai lampu standar yang netral-netral saja kok,” kata Mas Pri padaku. Aku tersenyum kecil, karena mendengar kata ‘cetar’ dari Mas Pri yang menandakan ia termasuk korban televisi.
“Iya, Pri. Betul kata kamu. Itu kan memicu konflik. Apa Pak Purwa ingin tampil beda? Dia ingin lampunya paling terang? Begitu?! Waduh..waduh.. saya tak habis pikir,” Mbah Sami ikut-ikutan. Pos ronda malam itu kian ramai membicarakan lampu taman Pak Purwa.
“Memangnya ada aturan untuk memasang lampu yang sama, Mas?” tanyaku pada Mas Pri.
“Walah, pertanyaanmu ini terlihat mengandung pembelaan terselubung, Dik,” kata Mas Pri sambil mendengus. Aku tertawa seraya menggaruk kepala berlagak naif.
“Memang tak ada aturan. Tapi, tiap-tiap kita kan sudah diberi lampu standar warna-warni yang kayak mainan anak-anak itu. Ya, sudah sepantasnya kita menjaga kekompakan warga kompleks ini,” jawab Mas Pri tak mau kalah.
“Iya. Tidak pantas kalau yang lain sudah adem ayem, eh, ada satu yang ngejreng sendirian,” sahut Lik Jono.
“Pak Purwa sih boleh saja disegani, tapi kalau sudah mulai ‘sok’ begitu, ya sudah kelewatan. Dia mulai mau mendominasi,” kata Mbah Sami, entah pada siapa. Yang jelas malam itu pos ronda jadi panas, berlawanan dengan teh, kopi, dan camilan yang kian mendingin.

Hanya bermula dari kasak-kusuk dan pembicaraan di pos ronda, kini pembicaraan tentang lampu taman Pak Purwa kian meluas. Istriku bilang, hampir seluruh penghuni kompleks membicarakannya. Bahkan perubahan sikap pada Pak Purwa juga kian kentara. Hanya saja istriku berkomentar, “Tapi, Pak Purwa tenang-tenang saja, Mas. Dia mungkin belum tahu kalau sudah jadi pusat pembicaraan, gara-gara lampunya itu. Aduh, kasihan Pak Purwa, Mas..,” kata istriku sambil memotong-motong ketela.
“Lha, menurutmu sendiri bagaimana?” aku ganti bertanya.
“Aku sendiri, meski sebel juga melihat lampu yang paling terang itu, tapi, kasihan pada Pak Purwa. Dia orang yang baik, Mas. Ketela ini diberi Pak Purwa, loh, Mas. Katanya dia ingat Esa yang suka keripik ketela,” jelasnya.
“Oh.. jadi, gara-gara kamu diberi ketela, lalu kamu jadi kasihan pada Pak Purwa?” kataku bernada canda. Istriku cemberut.

Kendati awalnya aku tak ingin ikut-ikutan masalah lampu taman pojok jalan milik Pak Purwa itu, tapi, akhirnya aku tercebur tak sengaja. Sore itu, aku pulang dari lari-lari sore bersama anakku, Esa. “Yah, Esa ingin lihat kolam ikan hias Mbah Purwa dulu..,” rengek Esa, begitu akan sampai di dekat rumah Pak Purwa. Aku melirik Esa. Tiba-tiba ingat provokasi Mas Pri, Mbah Sami, dan sebagainya, tentang Pak Purwa. “Yah?!” panggilan itu membuyarkan anganku.
Belum sempat aku memutuskan jawaban, teriakan anak-anak kecil sudah menarik perhatian Esa. Anak-anak itu berkumpul di depan rumah Pak Purwa, mengerumuni kolam hias Pak Purwa yang memang jadi kesenangan anak-anak. Kontan saja Esa berlari ikut mengerumuninya. Mau tak mau, aku mengikuti Esa ke sana. Lampu taman Pak Purwa memancar terang. Sore sudah terlampau renta. Lampu kuning terang itu seolah memancarkan kekuasaan dibanding lampu warna-warni lain, yang redup-redup saja. Ah, pantas saja, warga lain seolah merasa tersaingi. Memang kesendirian lampu itu terlalu mencolok mata. Apalagi letaknya tepat di antara pertigaan jalan.
“Loh? Mampir dulu, Dik!” sapa sebuah suara. Aku tergagap. Mataku langsung lepas dari lampu taman. Dengan kikuk aku menoleh pada wajah Pak Purwa yang tersenyum. Aku membalas senyumnya. “Sekarang kompleks kita jadi lebih asri, ya Dik?” Pak Purwa membuka basa-basi.
“Hehehe. Begitulah Pak. Kekompakan memang membuat kompleks lebih damai,” aku memberi jawaban biasa.
“Benar, Dik! Apalagi sejak dipasangi lampu taman!” ucapnya bersemangat. Sontak aku tersenyum kecut. Lha! Rupanya benar dugaan Mas Pri dan kawan-kawan, bahwa Pak Purwa ingin dominasi dari lampunya itu.
“Sa! Ayo pulang! Sudah hampir magrib,” Esa jadi alasanku untuk pamit. Esa menghampiri kami. Pak Purwa mengelus-elus kepala Esa, seperti cucunya.
“Mbah, makasih ya, sudah dengerin Esa..,” kata Esa pada Pak Purwa. Aku bertanya-tanya.
“Dengerin apa Sa?” tanyaku.
“Oh, begini, Dik. Waktu itu, Esa minta saya buat ganti lampu taman di depan rumah, biar diganti yang lebih terang. Kata Esa, Dik Gunawan dulu hampir tabrakan di pertigaan ini pas malam hari, gara-gara terlalu gelap. Jadi Esa minta saya, agar lampu di depan rumah saya diganti lebih terang,” kata Pak Purwa.
Aku tertegun. Tiga minggu lalu memang aku dan Esa hampir terserempet di pertigaan kompleks, karena Mas Pri yang kala itu mengendarai sepeda motor, tidak melihat ada aku dan Esa yang hendak menyeberang ke arah berlawanan.
Cerpen Karangan: Bunga Hening Maulidina

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik