Sebakul nasi putih beraroma daun pandan selalu
terhidang di meja makan saat sarapan, makan siang, dan makan malam.
Baunya terbawa kepul asap yang menguar-uar, menyebar ke seluruh penjuru
rumah.
Hangat, harum, dan nyaman.
Perasaan itulah yang selalu muncul ketika aku mencium
aroma seperti ini. Perasaan yang mengingatkan aku pada kehangatan
seorang ibu.
“Lapar, Jun?” Tanya Ibu saat memergokiku membuka
tudung saji di meja makan sepulang sekolah. Pertanyaan yang sama setiap
hari. Mulai aku kecil, hingga kini kelas 11 SMA. Reaksiku juga selalu
sama. Cengengesan. Seakan ketahuan akan melakukan sebuah kenakalan.
“Tumben pulang cepat hari ini? Masih jam sebelas.
Lauk dan sayurnya belum matang.” Ibu sibuk mewadahi kerupuk udang yang
baru selesai ditiriskan ke dalam toples plastik besar.
“Guru-guru rapat, Bu. Makan sama kerupuk saja.” Aku mengambil posisi duduk di kursi makan. Lapar!
Ibu datang membawa sebakul nasi. Nasi putih hangat beraroma daun pandan.
Ini dia! Tak masalah lauk apapun, yang penting aktor utamanya sudah matang. Nasi putih yang harum! Sangat cocok untuk memenuhi kebutuhan energi seorang remaja lelaki yang punya banyak kegiatan seperti aku.
“Ini kan yang kamu tunggu?” Ibu tersenyum sambil mengusap-usap kepalaku, membawa sebuah bakul dengan asap putih mengepul.
Langsung saja, aku sambar bakul berisi nasi itu.
Memindahkan sejumlah isinya ke dalam piringku. Disusul dua buah kerupuk
udang yang gurih.
Hmmm… Sempurna!
Melihat aku sudah tenggelam dalam nikmatnya makan
siang, Ibu pun kembali ke dapur. Beliau tidak tahu bahwa sambil
menyuapkan nasi ke dalam mulut, aku mengamati sosoknya yang sedang
memasak dari belakang.
Ibu adalah tipe wanita yang sederhana. Sekilas,
memang tidak ada yang tampak istimewa dari Ibu. Namun siapa yang
menyangka di masa mudanya, sebelum aku lahir, Ibu adalah seorang wanita
karir yang sukses. Bahkan, pernah dipercaya oleh perusahaannya untuk
mengurus beberapa hal di luar negeri. Keren!
Aku baru mengetahui cerita mengenai sisi lain dari Ibu sekitar enam tahun lalu, ketika duduk di bangku kelas lima Sekolah Dasar.
Waktu itu, seperti siang ini. Aku pulang sekolah
dengan wajah bersungut-sungut. Hendak memprotes Ibu yang sedang memasak
di dapur, menyiapkan makan siang.
Mendengar kedatanganku, Ibu menoleh. “Lapar, Jun?”
Aku diam saja. Memandangi tudung saji setengah lingkaran yang mirip atap kubah masjid warna hijau.
“Aduh, itu lho, kenapa mukanya kok ditekuk-tekuk?”
Ibu tertawa geli, lalu berkata. “Jun, tolong bukakan tudung sajinya, ya?
Ibu mau menata makanan.”
Aku menurut saja. Aku singkirkan tudung saji itu ke
kursi yang ada di sebelahku. Ibu pun mulai menata menu makan siang satu
persatu. Sayur bayam, tahu tempe, dan teristimewa, sebakul nasi putih
hangat beraroma khas daun pandan.
“Bu! Kenapa sih Ibu tidak kerja seperti ibunya
teman-teman Jun?” Aku mendengus kesal. Diam-diam, aroma pandan dari nasi
putih itu mulai menyusupi hidungku.
Ibu melirikku. Setelah menutupi hidangan dengan tudung saji, Ibu duduk di sebelahku.
“Ada kejadian apa hari ini?” Ibu menanyaiku pelan.
Aku memandang Ibu. Sebenarnya, gara-gara bau harum nasi tadi, perutku tergelitik rasa lapar. Tapi, aku kan sedang kesal!
Bibirku mengerut. “Di sekolah, ada tugas menulis
tentang Ibu. Lalu, dibaca di depan kelas. Kalau teman-teman Jun, ibunya
ada yang bekerja di bank, di kantor gedung tinggi… uangnya banyak! Kalau
berangkat kerja, pakai baju bagus dan naik mobil! Kalau Ibu kan cuma di
rumah… nggak punya kantor…uangnya sedikit…, terus, kalau ke pasar cuma
naik sepeda kayuh!”
Bola mata Ibu bergerak ke arah kiri. Tampak mengingat-ingat sesuatu, sambil menahan senyum. Lalu, menatapku kembali.
“Ibu punya cerita. Tapi…, mmm, ini rahasia. Jun mau janji tidak akan menceritakannya pada teman-teman?”
Aku langsung mengangguk cepat penuh semangat.
“Dulu, sebelum Jun lahir, Ibu bekerja di kantor yang banyak orang luar negerinya.”
Mataku terbelalak. Semriwing bau nasi putih beraroma pandan perlahan menggoda penciumanku kembali.
“Haaa?? Benar, Bu? Orang bule-bule?” Bayanganku
langsung tertuju pada sosok aktor-aktor film Hollywood yang sering
kutonton di televisi.
“Macam-macam. Ada orang Amerika, orang Inggris, orang Jepang, orang Korea….”
“Terus, bicaranya pakai bahasa apa?” Tanyaku penasaran.
“Mmm….biasanya, sih, pakai bahasa Inggris. Tapi,
kebetulan, Ibu juga bisa sedikit bahasa Jepang dan Korea. ” Ibu
tersenyum simpul.
Aku menggoyang-goyang tangan Ibu. “Ayo, ayo! Jun mau dengar, Bu!”
Bau nasi pandan semakin kuat menggoda selera makanku. Tapi, aku masih ingin mendengar kelanjutan cerita seru Ibu.
“Ibu menyapa teman-teman di kantor dengan cara bermacam-macam. Kalau orang Amerika atau orang Eropa, Ibu bilang: Hello, how are you? Kalau orang Jepang: Konnichiwa! O genki desuka? Kalau orang Korea: Annyong haseyo!”
Mulutku ternganga. Kagum mendengar Ibu berbicara dalam berbagai bahasa asing.
“Tapi, setelah Jun lahir, Ibu memutuskan untuk tidak bekerja lagi.”
Kekecewaan segera menyergap perasaanku. “Yaaah. Kenapa, Bu? Kan sayang…?”
Ibu membuka mata lebar-lebar, mendekatkan wajah
beliau padaku. “Karena, Ibu ingin menjaga Jun, menemani Jun bermain dan
belajar. Juga memasak untuk Jun dan Bapak. Jun suka tidak kalau pulang
sekolah ada Ibu di rumah? Suka kalau Ibu temani belajar?”
Aku mengangguk. “He-eh. Jun suka.”
“Bayangkan kalau Ibu masih bekerja. Ibu tidak akan
punya banyak waktu untuk memperhatikan Jun. Mungkin saja, kalau Jun
pulang sekolah, Ibu belum pulang dari kantor. Atau, saat Jun mengerjakan
tugas sekolah di malam hari, Ibu tidak bisa menemani karena hrus
bertugas ke luar kota. Nah, Jun lebih suka yang mana?”
Aku memeluk Ibu erat-erat. “Aku suka Ibu yang sekarang… Ibu Jun!”
Setelah mendengarkan penuturan Ibu, hatiku menjadi
ringan. Bau nasi putih beraroma pandan yang mengiringi pembicaraan kami
semakin menguat. Harumnya memenuhi rongga hidungku, dan hangatnya
memenuhi dadaku.
Saat itu, aku hanya berpikir pendek; ternyata, ibuku
juga keren seperti ibu teman-temanku. Tapi, semakin tumbuh besar,
pemikiran itu berubah. Ini bukan masalah keren atau tidak keren. Aku mulai mengerti, bahwa Ibu telah mengorbankan karirnya demi membesarkan aku, tanpa bantuan baby sitter atau
siapapun, kecuali Bapak, dan Kakek-Nenek yang terkadang berkunjung ke
rumah. Walaupun, sebenarnya, Ibu mampu menggaji satu atau dua asisten
rumah tangga. Aku mendengar cerita lengkapnya dari Bapak. Ibu ingin membesarkan anak-anak dengan tangannya sendiri. Karena, itulah tugas utama seorang wanita.
“Jun, jadi nggak? Habis magrib?” Seru Doni, temanku, di telepon.
“Iya, jadi. Ini aku lagi siap-siap.” Jawabku sambil
mengira-ngira jam berapakah sekarang tepatnya. Saat kudengar suara ulama
favorit Ibu sedang ber-kultum di televisi, aku bisa memperkirakan bahwa beberapa detik lagi waktu akan memasuki Magrib.
“Beliin nasi pecel enam bungkus ya?” Pesan Doni.
“Siiip!”
Malam ini, malam minggu. Alias, hari Sabtu. Biasanya, jam tujuh malam, aku berlatih karate di dojo. Tapi, hari ini aku berencana bolos. Teman-teman mengajakku untuk…. hmmm…. aku tidak bisa mengatakan ini pada Ibu atau Bapak.
Tapi, apa reaksi mereka seandainya tahu? Mungkin, Bapak akan marah besar. Sedangkan Ibu…
Aku bisa membayangkan wajah sedih dan kecewa Ibu jika beliau tahu.
Ya. Malam ini, teman-temanku mengajakku menonton film dewasa di rumah Doni. Kata mereka, aku harus menonton. Kalau belum menonton, berarti aku bukan laki-laki sejati.
Sebenarnya, aku tidak yakin dengan argumen yang
mereka ungkapkan. Tapi, mereka teman-temanku. Bagaimana bisa aku
menolak? Lagipula, aku penasaran, seperti apa sih film yang sedang ramai
dibicarakan – tak hanya oleh teman-temanku, tapi juga seluruh stasiun
tivi, beserta koran, dan majalah. Film yang katanya dibintangi oleh artis-artis terkenal di Indonesia.
“Bu, Jun pergi ke rumah Doni.” Pamitku, mencium tangan Ibu.
“Nggak ke dojo?” Tanya Ibu heran. Sebab, aku memang paling rajin dan semangat berlatih karate.
“Libur, dulu.” Aku cuma meringis.
“Hati-hati. Ingat jam malam.” Ibu mengetuk-ngetuk pergelangan tangan.
Aku memasang helm teropongku, lalu mengangguk.
Maaf, Bu! Kali ini saja! Seruku dalam hati,
sambil memacu sepeda motorku menembus jalan raya. Begitu sampai di
warung nasi pecel, aku memarkir sepeda motor dan membuka helmku.
Lalu, sekonyong-konyong, angin malam bertiup semilir membawa bau familiar, menelisik indera penciumanku. Dan hatiku.
Bau nasi putih hangat beraroma pandan. Dari warung nasi pecel.
Ibu! Tiba-tiba, bulu kudukku meremang.
Bagaikan trailer film, ingatanku dipenuhi
aliran-aliran kejadian yang dibawa oleh bau nasi putih beraroma pandan.
Senyum Ibu, kehangatan sapa dan candanya, cara Ibu mengelus kepalaku,
cerita Ibu dan Bapak tentang perjuangan mereka membesarkan aku….
Wajah sedih dan kecewa Ibu jelas membayang di pelupuk mataku. Hatiku ikut perih.
“Tiga puluh ribu.” Suara penjual nasi pecel membuyarkan lamunanku.
Aku segera membayar dan mengambil satu tas plastik
hitam yang berisi enam bungkus nasi. Kemudian, memacu sepeda motorku
menuju rumah temanku. Segera. Segera.
Ting tong! Aku memencet bel rumah Doni.
“Hei…Jun! Ma–”
“Don! Nggak bisa lama-lama! Sori! Nih!” Aku buru-buru
mengangsurkan tas plastik yang kubawa. Doni menerimanya dengan
kebingungan.
“Lhoh? Kamu mau kemana?”
“Mau ke dojo! Karate!” Aku tergesa-gesa meninggalkan rumah Doni.
Ah, tak peduli apa kata teman-temanku nanti. Tak peduli mereka akan mengataiku banci. Terserah! Daripada komentar teman-temanku, aku lebih mengkhawatirkan salah satu nasehat Rasulullah yang kudengar sekilas di kultum televisi menjelang Magrib tadi.
Keridhaan Allah tergantung kepada keridhaan kedua orangtua dan murka Allah pun terletak pada murka kedua orangtua.
Jam 18.45.
Aku memacu sepeda motorku. Menembus jalan raya.
Menuju dojo. Bau nasi putih beraroma pandan masih tercium di hidungku,
seolah mengikutiku, mengantarkan wajah Ibu yang sedang tersenyum lega
dan bangga di pelupuk mataku.
Entah bagaimana, aku merasa telah diselamatkan oleh bau itu. Bau nasi putih beraroma pandan.[]
0 komentar:
Posting Komentar