Senin.
Aku bangun memunguti sisa-sisa kesadaranku yang masih berserakan. Setetes di balik selimut, sepotong di tepi ranjang, seraup di dekat saklar lampu. Tidak pernah lengkap terkumpul rasanya, entah kenapa.
Kuraih collectible berikutnya di seberang ruangan. Tidak ada notifikasi. Tidak ku-scroll linimasa-linimasa di dalamnya. Tidak mood. Paling isinya kutipan-kutipan penyemangat awal minggu atau foto orang-orang yang kepagian datang ke kantor.
“Kamu tahu bedanya semu sama sementara?”
“Yang sementara belum tentu semu? Yang semu belum tentu sementara?”
“Menurutmu ada kemungkinan bahwa keabadian itu semu?”
“Tahu ngga sih, ketika relatif adalah benar, maka relatif kehilangan kerelatifannya.”
“Kita ngomongin apa sih? Hahahaha.”
Bus yang kunaiki sepi penumpang. Kupilih tempat duduk di pojok dan kukeluarkan bukuku. Biar orang ingat kalau tulisan juga ada di atas kertas, tidak hanya di layar gawai.
Kucari halaman terakhir yang kubaca. Tepatnya, kucari halaman terakhir yang kuingat sudah kubaca. Aku tidak mau pakai pembatas buku. Kalau aku tidak ingat cerita di halaman yang terakhir kubaca, ya mungkin memang harus kubaca ulang.
Namanya bukan melanjutkan kalau tidak tahu bagian mana yang dilanjutkan.
“Kamu percaya kalau sejarah itu punya rekaman tersendiri?”
“Maksudmu catatan sejarah?”
“Bukan. Beda. Catatan sejarah itu ditulis oleh yang menang.”
“Hmm.. Atau yang membagikan versinya.”
“Ya. Versi yang kalah atau diam akan tenggelam.”
“Subjektif dong?”
“Catatan sejarah memang subjektif.
Kan pencatatan itu sudah lewat tangan manusia. Belum lagi yang sudah
disupervisi. Tapi itu catatan sejarah. Bukan sejarah itu sendiri.”
“Tapi kan sejarah juga bentuknya memori. Memory is prone to subjectivity.”
“Nah, makanya. Yang kumaksud ya
rekaman sejarah yang.. rekaman sejarah. Rekaman pengalaman persis, tanpa
campur tangan subjektivitas.”
“Memang bisa? Kalau atom bisa merekam, mungkin bisa.”
“Tahu dari mana kamu kalau atom tidak akan subjektif?”
“Hih! Kalaupun kamu bisa lihat
kembali rekaman sejarah seobjektif apapun, tetap saja akan kamu
persepsikan secara subjektif. Kecuali kamu lihatnya bukan sebagai orang.
Kamu tunggu jadi Tuhan dulu sana!”
“Atau.. tunggu naik kasta jadi makhluk dengan dimensi lebih tinggi! Nanti lihat rekaman sejarah semudah memilih folder, seperti di Interstellar. Nanti aku akan kembali menonton, hmm, atau mereka ulang percakapan ini.”
“Kamu yakin percakapan ini tidak terlalu semu untuk masuk sejarah?”
Kerja. Ini yang orang bilang kerja. Aku duduk, tanpa kesadaran penuh, berinteraksi dengan komputer, berinteraksi dengan manusia. Produktif sekali, puji mereka. Lihat berapa banyak dokumen yang sudah berubah bentuk. Mereka sudah kukerjakan.
Cangkang kosong ini menghasilkan sesuatu. Ada sesuatu yang berubah. Aku membuat perubahan dalam dokumen-dokumen ini. Ada kata-kata yang tadinya tidak ada, jadi ada. Entah apa signifikansinya.
“Manusia bukan vending machine!”
“Terus apa?”
“Apa ya? Ya.. Manusia!”
“Memang apa itu manusia?”
Aku pulang. Tidur. Cangkang kosong ini perlu diisi mimpi. Atau apapun itu.
Mungkin di pagi yang lain akan muncul sisa keping kesadaranku yang lain. Puzzle kesadaranku akan tersusun lengkap, dan aku akan beralih ke babak selanjutnya.
Kenapa hidupku membosankan sekali? Apa ada glitch?
Ah, ini kan hidup, bukan game, mana ad a
gl i
t c h-- a 212 1 not found *
Se n i n .Senin.
Aku bangun memunguti sisa-sisa kesadaranku yang masih berserakan. Setetes di balik selimut, sepotong di tepi ranjang, seraup di dekat saklar lampu. Tidak pernah lengkap terkumpul rasanya, entah kenapa.
0 komentar:
Posting Komentar