Translate

cerpen kedai pijat

Written By iqbal_editing on Senin, 31 Juli 2017 | 07.19

Kedai Pijat
“Kok Embah bawa kembang banyak sekali, mau buat apa, Mbah?”
Ratmi, wanita yang hampir genap enam puluh tahun usianya itu tertegun saat kepulangannya diketahui oleh Rini. Cucunya yang masih TK itu baru saja terbangun dari tidurnya.
“Kamu mau kemana?” Ratmi malah balik bertanya. Ia takut rencanya diketahui oleh Rini, juga empat cucunya yang lain. Heri, Lela, Yuni, dan Ani ia yakini sudah pulas dalam mimpi mereka masing-masing.
“Aku mau pipis, Mbah.”
“Ya sudah sana! Lalu tidur lagi. Besok kamu kan harus sekolah...”
Ratmi tak peduli dengan mimik wajah cucunya yang nampak kebingungan dengan tingkahnya. Embahnya itu terlihat beda. Ia nampak sedikit kasar dan kurang menanggapi setiap pertanyaan yang keluar dari bibir cucunya.
Biasanya memang tidak begitu. Meski lima cucunya lah yang melatarbelakangi dirinya harus terus berjuang mencari uang, Ratmi tak pernah mengeluh karena merasa terbebani. Ia sudah menyadari bahwa keberadaan anak-anak itu ditakdirkan Tuhan sebagai amanah yang harus ia emban. Dialah satu-satunya orang yang peduli pada nasib anak-anak itu. Anak-anak yang harus jauh dengan kedua orangtuanya karena mereka malu memiliki anak dari hasil hubungan terlarang sebelum menikah.
Hati Ratmi miris mengingat semua itu. Dengan tekad yang bulat, ia yakin mampu memberikan masa depan cerah bagi mereka, meski hanya dengan menjadi seorang tukang pijat. Satu profesi yang sudah melekat di dirinya selama dua puluh lima tahun lamanya.
Tapi beberapa hari belakangan pikirannya terusik.  Sebulan lalu, sekelompok orang kota datang ke desanya dan meminta ijin kepada aparat untuk mendirikan sebuah usaha yang mereka beri nama Kedai Pijat. Kedai pijat itu nantinya akan menjadi pusat fasilitas pijat tradisional dan modern bagi warga desa dan masyarakat sekitar. Mereka menjanjikan akan ada diskon tertentu di awal pembukaan sebagai sarana promosi. Yang membuat Ratmi keheranan, anehnya aparat desa mengijinkan dengan senang hati rencana pendirian kedai pijat itu. Padahal di desa sudah ada tiga orang yang menjadi tukang pijat, termasuk dirinya. Waktu itu ia sangat khawatir kalau ke depannya banyak langganan pijat yang beralih ke tempat itu.

Benarlah, apa yang ia khawatirkan terjadi juga. Bertempat di rumah mantan Kepala Desa, kedai pijat itu didirikan. Terletak di belakang balai desa, dan dekat dengan kebun singkong milik Pak Haji Rahmat. Rumah dicat ulang, dan di depannya terpasang spanduk yang memberikan informasi bahwa rumah tersebut menerima jasa pemijatan, baik pijat tradisional maupun modern.
Panaslah hati Ratmi kala beberapa langganannya yang kebanyakan bapak-bapak itu mencoba pijat disana. Mereka lalu saling menularkan kepada warga yang lain bahwa pijatnya lebih memuaskan dan memulihkan kondisi tubuh yang lelah dibandingkan pijat yang diberikan oleh Ratmi.
Ratmi lantas menganggap itu sebagai permainan yang sengaja dilakukan orang kota untuk menyingkirkan dirinya. Buktinya, Ronah dan Siti juga diajak orang-orang itu sebagai karyawan yang memijat disana. Kedua wanita yang masih berusia tiga puluhan itu juga menjadi tukan pijat seperti dirinya. Apa karena ia sudah tua sehingga tak direkrut? Ratmi tak tahu. Yang jelas hatinya kian panas kala Pak Haji Rahmat yang tak suka pijat itu terdengar akan pergi kesana.
Sore itu pun Ratmi pergi ke dukun. Lelaki tua berpakaian hitam dengan jenggot yang panjang menyapanya dengan seram tapi langsung menebak apa maksud kedatangannya.
“Tobat saya, Mbah. Orang-orang kota itu mau membunuh saya!” kata Ratmi. “Bantu saya...”
“Hemm...”
Dukun itu menaburkan kembang mawar di atas kemenyran. Ia menelungkupkan kedua tangan lalu mengucap mantera-mantera. Sambil komat-kamit, sesekali matanya melotot ke arah Ratmi yang nampak tegang. Ia berpikir apa yang akan dukun itu katakan padanya. Ia siap lahir batin jika dia meminta dirinya melakukan sesuatu. Yang penting, ia kembali laku dan tak dapat dikalahkan oleh kedai pijat yang mulai menghapus namanya di desa.
“Kurang ajar mereka!” umpat Ratmi.
“Dengarkan!”
Ratmi menyimak setiap kalimat yang keluar dari mulut lelaki itu.
“Aku akan memberikanmu kembang tujuh rupa. Mulai nanti malam, kau harus mandi kembang pada jam dua belas. Lakukan sampai tujuh kali.”
“Tujuh kali?”
“Ya. Lakukan selama tujuh malam. Itu maksudku. Kau paham tidak?”
Ratmi mengangguk. Dukun itu lalu membacakan mantera di hadapan wajah Ratmi.
“Mbah...” panggil Ratmi.
“Apa?!” sang dukun kaget dan menghentikan mantera.
“Cukup dengan mandi kembang apa pijatan saya bisa laku lagi?”
“Sabar dulu! Aku sedang membacakan mantera untukmu. Ada hal lagi yang masih harus kau lakukan.”
Ratmi mengangguk-anggukkan kepala. Wanita itu terlihat kesal karena sang dukun menggertaknya.
Begitu selesai dibacakan mantera, dukun itu memberikan perintah kepada Ratmi agar mengambil tiga siung bawang putih juga garam sebanyak tujuh sendok dari dapurnya. Kedua benda itu harus Ratmi taburkan di sekeliling kedai pijat yang membuatnya geram.
Begitu selesai, sebuah amplop berisi uang seratus ribu rupiah ia berikan kepada dukun tadi. Sang dukun mengintip amplop yang terbuka itu, lalu tersenyum. Ratmi pun membalas senyuman dengan datar. Ia segera pulang karena adzan maghrib telah terdengar.
***
Jarak rumah dukun dan rumahnya tidak jauh. Tapi karena harus memijat dulu di desa sebelah, Ratmi kemalaman sampai rumah. Cucu-cucunya telah tidur, tinggal Rini yang memergoki Embahnya pulang larut. Tiga puluh menit lagi jarum jam menunjukkan angka dua belas. Ratmi khawatir kalau Rini tak segera tidur kembali hingga mengetahui ritual yang akan ia lakukan. Mandi kembang yang menjadi keharusaannya itu tak boleh diketahui oleh semua cucunya. Apalagi jika Heri sampai tahu, ia akan mendapatkan ceramah dadakan karena perbuatan itu termasuk wujud syirik. Cucunya yang sekolah di Madrasah Ibtidaiyah itu sudah kelas lima. Banyak ilmu agama yang ia tahu dan sering disampaikan kepada Ratmi. Jika cucu Ratmi yang lain masih bingung tentang tata cara beribadah, kepada Heri lah mereka bertanya. Dan Ratmi selalu menunjukkan kebanggaannya terhadap Heri dan semuanya yang rajin menjalankan ibadah. Kalau mereka semua tahu, ia akan malu. Ia sholat, namun meminta pertolongan kepada selain Allah.
Akhirnya, karena malam itu Rini minta ditemani tidur, Ratmi pun batal melakukan ritualnya. Sambil mengelus-elus punggung Rini, pikirannya melayang. Teringat ia pada kata-kata seorang pedagang pakaian yang ia pijat tadi di desa sebelah.
“Pak Jono sudah tiga kali kesana, Mak. Dalam seminggu malah. Besok sepulang dari kecamatan katanya mau kesana lagi juga.”
Pak Jono adalah suaminya. Ia merasa kurang suka kalau suaminya sering pijat karena jadi boros.
“Masa’ sekali pijat dua ratus ribu? Pijat macam apa itu! Akhirnya jatah uang belanja saya dikurangi, Mak. Kan mending kalau pijat sama Mak Ratmi saja. Ngirit... sekarang jadi...ngorot.”
“Maaf ini, Bu. Emang fasilitasnya apa saja di sana?” Ratmi beranikan bertanya. Ia sendiri jadi penasaran kalau tarifnya sebesar itu.
“Ya itu lah, Mak. Saya juga tidak tahu. Wong pas ditanya, Pak Jono cuman bilang kalau pijatannya enak dan memuaskan.”
Meski sangat dongkol, pikiran Ratmi mengatakan bahwa mahalnya tarif itu karena Pak Jono mengambil pijat modern yang menggunakan alat-alat modern pula. Ia sendiri tak tahu apa saja alat-alat tersebut.
Sambil terus mengelus punggung Rini, ia menyusun rencana. Besok diam-diam ia akan pergi ke kedai pijat untuk menaburkan garam dan bawang putih. Selain itu, ia akan mencari tahu kenapa di sana begitu diminati orang-orang. Kalau dalam seminggu sampai tiga kali seperti yang dilakukan Pak Jono, rasanya ada aneh. Padahal kalau dengannya, lelaki itu akan memanggilnya ke rumah sebulan sekali. Berbeda dengan istrinya yang dua minggu sekali karena kelelahan berjualan di pasar.
***
Ratmi melewati kebun singkong. Pemiliknya masih di sana bersama dua orang petaninya. Ia lalu bersembunyi di balik pohon pisang. Ratmi tak ingin langkahnya diketahui oleh mereka. Saat dirasa mereka terlena, Ratmi langsung mengambil langkah cepat menuju balai desa, melewati tanah lapang lalu sampailah ia di kedai pijat.
Di belakang rumah, ia siap beraksi. Namun tiba-tiba dari dalam kedai pijat terdengar suara gadis menjerit-jerit. Ratmi kenal suara siapa itu. Ia lantas memasukkan kembali dua benda yang hendak ia taburkan. Plastik hitam itu ia jinjing lagi. Ia memilih mencari sumber suara yang membawanya pada sebuah jendela tak terkunci. Ratmi hendak mengintip, namun tertahan karena ada anak kecil yang melihatnya dari sungai. Ia sedang buang air di sana.
Ratmi meletakkan jari telunjuknya di bibir. Anak itu lalu manggut-manggut. Dibukanya perlahan jendela itu sekitar beberapa senti saja. Alisnya berkerut dengan mata yang menyelidik ke semua sisi. Gelap. Kamar itu gelap, namun suara jeritan itu tetap ada. Ratmi yakin jeritan itu ada di kamar tersebut. Lalu...
BYARR!
Lampu menyala. Ia melihat Siti yang hanya mengenakan pakaian dalam. Janda muda itu bersama seorang laki-laki yang tak lain adalah...Pak Jono! Lelaki itu menciuminya. Apa yang mereka lakukan? Ratmi sungguh terkejut yang membuat dirinya menyembunyikan kepala di balik daun jendela. Ia tak percaya jika ternyata kedai pijat itu digunakan untuk melakukan perbuatan mesum. Dan siti? Kenapa ia sampai mau melakukannya? Padahal perempuan itu terkenal alim dan menutup kepalanya dengan kerudung setiap hari. Tapi ternyata...
Dan Ronah? Apakah perempuan yang suaminya pergi ke Malaysia itu juga menjadi WTS juga di kedai pijat? Tak ada gunanya Ratmi menebak-nebak. Pikirannya lalu tertuju pada seseorang.
Ratmi berlari menuju kebun singkong, berharap Pak Haji Rahmat masih di sana. Ia tak peduli pada anak kecil yang buang air meneriakinya sebagai maling. Nafasnya tersengal-sengal karena mengejar jarak dan waktu. Bertemu Pak Haji Rahmat adalah sesuatu yang langka karena ia sangat sibuk dengan segudang aktifitas.
Tak menyia-nyiakan waktu lagi, Ratmi langsung menemui Pak Haji Rahmat yang masih memanen singkong bersama dua petaninya. Dua orang petani lain tiba-tiba datang menyusul. Pak Haji lalu beranjak.
“Ada apa, Mak?” tanyanya.
“Pak Haji, ini gawat. Gawat sekali, Pak...”
“Gawat kenapa, Mak?
“Pak Haji, kedai pijat itu ternyata...hh...hh...” Ratmi kesusahan mengatur nafas.
“Ternyata apa, Mak. Mak duduklah. Bicara yang tenang.”
Ratmi lalu duduk pada batang pohon pisang. Pak Haji baru tadi mengambil setandan pisang raja.
“Pak Haji tahu kenapa kedai pijat itu ramai dikunjungi penduduk?”
Pak Haji Rahmat menggeleng. “Nanti malam saya mau kesana rencananya.”
“Jangan, Pak! Jangan kesana!”
“Kenapa?”
“Kedai pijat itu adalah tempat untuk...pelacuran! Saya barusan melihat dengan mata kepala saya sendiri, Pak. Siti sedang berhubungan badan dengan...Pak Jono. Pak Jono yang bekerja di kecamatan itu...Pak Haji kenal kan?”
Pak Haji terdiam. Ia teringat pada perkataan beberapa orang yang memanas-manasi dirinya supaya segera mencicipi pijat baru di kedai pijat. Pijitan isterinya pasti kalah jauh. Dari bahasanya saja Pak Haji Rahmat sudah curiga. Rencana kedatangannya nanti malam itu bukan karena ia ingin dipijat. Ia ingin menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi di sana. Kalau hanya pijat biasa, rasanya tidak mungkin.
“Jadi...Pak Haji bukan mau pijat?”
“Masa’ saya minta pijat, Mak? Pijat sama Mak Ratmi saja tidak pernah...” Pak Haji terkekeh. Umurnya yang baru empat puluhan itu membuat Ratmi bangga. Jarang-jarang lelaki jaman sekarang memegang teguh ajaran agama. Pak Haji Rahmat sangat menjaga, apalagi hubungan antar lawan jenis. Ia tak akan mau bersentuhan kulit dengan alasan apapun.
Mendadak Ratmi menyesal dengan perbuatannya yang sudah pergi ke dukun.
“Apa mungkin perangkat desa juga berkaitan, Pak Haji? Mereka gampang sekali memberi ijin...”
“Tidak tahu, Mak. Kita jangan menebak-nebak, tidak baik bersu’udhon...”
Ratmi mengangguk. Ia sangat menghormati lelaki di hadapannya.
“Nanti malam ikutlah bersama saya ke kedai pijat itu, Mak. Saya akan ajak beberapa orang supaya tahu kenyataannya. Terimakasih atas info yang Mak berikan. Kemaksiatan harus dimusnahkan dari desa kita.”
“Benar, Pak.”
Kini Ratmi yang diam. Perbuatan syiriknya terus membayangi pikiran. Ia sangat ketakutan mengingat Heri pernah mengatakan bahwa dosa syirik itu tak akan diampuni Allah karena merupakan salah satu dari tujuh dosa besar. Keringat dinginnya bercucuran di sekujur tubuh. Ia menggigil ketakutan akan dosanya. Bahkan bibirnya tak mampu menjawab saat ditanya Pak Haji.
Ia lalu terbata menanyakan sesuatu padanya.
“Sa..ya pergi ke...dukun kema...rin, Pak karena ta..kut pijatan saya tidak la..ris lagi. Apa saya ma...sih bisa ma...suk surga?”
Pak Haji Rahmat tersenyum.
“Mak, lakukanlah taubat nasuha, taubat yang sebenarnya. Mak Ratmi harus berjanji kepada Allah bahwa tak akan mengulanginya lagi. Alangkah lebih baik jika Mak melakukan sholat taubat.”
“Sholat taubat?”
“Ya, Mak. Sholat dua rakaat sebagai bentuk taubat Mak yang sesungguhnya. Dan...iringilah taubat itu dengan perbuatan baik.”
“Apa saya bisa masuk surga, Pak?”
Pak Haji Rahmat tersenyum lagi. “Insya Allah bisa. Perbanyaklah amal sholeh, Mak.”
Ratmi tergugu. Ia senang mendapatkan kabar gembira itu. Tuhan rupanya telah mencegah perbuatan syiriknya berlebih. Rencananya untuk mandi kembang dan menabur garam dan bawang putih tidak jadi ia lakukan.
“Kalau saya berencana melakukan dosa, apa sudah dicatat sebagai dosa, Pak?” tanya Ratmi lagi.
“Selagi belum dilakukan, dosa belum dicatat. Tapi kebaikan, meski masih dalam rencana Allah sudah mencatatnya sebagai satu kebaikan. Maha pemurahnya Allah...”
Air mata itu kian membasahi pipinya yang nampak keriput. Tak sabar ia ingin sampai ke rumah lalu mengambil air wudhu. Shalat taubat itu sudah menari-nari dalam benaknya. Ia akan memohon ampun kepada Tuhannya.
**Selesai**

1 komentar:

Isnaeni DK mengatakan...

mohon maaf, sepertinya ini tulisan saya

https://www.isnaenidk.com/2012/12/cerpen-kedai-pijat.html

Posting Komentar

 
berita unik