Kedai Pijat
“Kok
Embah bawa kembang banyak sekali, mau buat apa, Mbah?”
Ratmi,
wanita yang hampir genap enam puluh tahun usianya itu tertegun saat
kepulangannya diketahui oleh Rini. Cucunya yang masih TK itu baru saja
terbangun dari tidurnya.
“Kamu
mau kemana?” Ratmi malah balik bertanya. Ia takut rencanya diketahui oleh Rini,
juga empat cucunya yang lain. Heri, Lela, Yuni, dan Ani ia yakini sudah pulas
dalam mimpi mereka masing-masing.
“Aku
mau pipis, Mbah.”
“Ya
sudah sana! Lalu tidur lagi. Besok kamu kan harus sekolah...”
Ratmi
tak peduli dengan mimik wajah cucunya yang nampak kebingungan dengan
tingkahnya. Embahnya itu terlihat beda. Ia nampak sedikit kasar dan kurang
menanggapi setiap pertanyaan yang keluar dari bibir cucunya.
Biasanya
memang tidak begitu. Meski lima cucunya lah yang melatarbelakangi dirinya harus
terus berjuang mencari uang, Ratmi tak pernah mengeluh karena merasa terbebani.
Ia sudah menyadari bahwa keberadaan anak-anak itu ditakdirkan Tuhan sebagai
amanah yang harus ia emban. Dialah satu-satunya orang yang peduli pada nasib
anak-anak itu. Anak-anak yang harus jauh dengan kedua orangtuanya karena mereka
malu memiliki anak dari hasil hubungan terlarang sebelum menikah.
Hati
Ratmi miris mengingat semua itu. Dengan tekad yang bulat, ia yakin mampu
memberikan masa depan cerah bagi mereka, meski hanya dengan menjadi seorang
tukang pijat. Satu profesi yang sudah melekat di dirinya selama dua puluh lima
tahun lamanya.
Tapi
beberapa hari belakangan pikirannya terusik.
Sebulan lalu, sekelompok orang kota datang ke desanya dan meminta ijin
kepada aparat untuk mendirikan sebuah usaha yang mereka beri nama Kedai Pijat.
Kedai pijat itu nantinya akan menjadi pusat fasilitas pijat tradisional dan modern
bagi warga desa dan masyarakat sekitar. Mereka menjanjikan akan ada diskon
tertentu di awal pembukaan sebagai sarana promosi. Yang membuat Ratmi
keheranan, anehnya aparat desa mengijinkan dengan senang hati rencana pendirian
kedai pijat itu. Padahal di desa sudah ada tiga orang yang menjadi tukang pijat,
termasuk dirinya. Waktu itu ia sangat khawatir kalau ke depannya banyak
langganan pijat yang beralih ke tempat itu.
Benarlah,
apa yang ia khawatirkan terjadi juga. Bertempat di rumah mantan Kepala Desa,
kedai pijat itu didirikan. Terletak di belakang balai desa, dan dekat dengan
kebun singkong milik Pak Haji Rahmat. Rumah dicat ulang, dan di depannya
terpasang spanduk yang memberikan informasi bahwa rumah tersebut menerima jasa
pemijatan, baik pijat tradisional maupun modern.
Panaslah
hati Ratmi kala beberapa langganannya yang kebanyakan bapak-bapak itu mencoba
pijat disana. Mereka lalu saling menularkan kepada warga yang lain bahwa
pijatnya lebih memuaskan dan memulihkan kondisi tubuh yang lelah dibandingkan
pijat yang diberikan oleh Ratmi.
Ratmi
lantas menganggap itu sebagai permainan yang sengaja dilakukan orang kota untuk
menyingkirkan dirinya. Buktinya, Ronah dan Siti juga diajak orang-orang itu
sebagai karyawan yang memijat disana. Kedua wanita yang masih berusia tiga
puluhan itu juga menjadi tukan pijat seperti dirinya. Apa karena ia sudah tua
sehingga tak direkrut? Ratmi tak tahu. Yang jelas hatinya kian panas kala Pak Haji
Rahmat yang tak suka pijat itu terdengar akan pergi kesana.
Sore
itu pun Ratmi pergi ke dukun. Lelaki tua berpakaian hitam dengan jenggot yang
panjang menyapanya dengan seram tapi langsung menebak apa maksud kedatangannya.
“Tobat
saya, Mbah. Orang-orang kota itu mau membunuh saya!” kata Ratmi. “Bantu
saya...”
“Hemm...”
Dukun
itu menaburkan kembang mawar di atas kemenyran. Ia menelungkupkan kedua tangan
lalu mengucap mantera-mantera. Sambil komat-kamit, sesekali matanya melotot ke
arah Ratmi yang nampak tegang. Ia berpikir apa yang akan dukun itu katakan
padanya. Ia siap lahir batin jika dia meminta dirinya melakukan sesuatu. Yang penting,
ia kembali laku dan tak dapat dikalahkan oleh kedai pijat yang mulai menghapus
namanya di desa.
“Kurang
ajar mereka!” umpat Ratmi.
“Dengarkan!”
Ratmi
menyimak setiap kalimat yang keluar dari mulut lelaki itu.
“Aku
akan memberikanmu kembang tujuh rupa. Mulai nanti malam, kau harus mandi
kembang pada jam dua belas. Lakukan sampai tujuh kali.”
“Tujuh
kali?”
“Ya.
Lakukan selama tujuh malam. Itu maksudku. Kau paham tidak?”
Ratmi
mengangguk. Dukun itu lalu membacakan mantera di hadapan wajah Ratmi.
“Mbah...”
panggil Ratmi.
“Apa?!”
sang dukun kaget dan menghentikan mantera.
“Cukup
dengan mandi kembang apa pijatan saya bisa laku lagi?”
“Sabar
dulu! Aku sedang membacakan mantera untukmu. Ada hal lagi yang masih harus kau
lakukan.”
Ratmi
mengangguk-anggukkan kepala. Wanita itu terlihat kesal karena sang dukun
menggertaknya.
Begitu
selesai dibacakan mantera, dukun itu memberikan perintah kepada Ratmi agar
mengambil tiga siung bawang putih juga garam sebanyak tujuh sendok dari
dapurnya. Kedua benda itu harus Ratmi taburkan di sekeliling kedai pijat yang
membuatnya geram.
Begitu
selesai, sebuah amplop berisi uang seratus ribu rupiah ia berikan kepada dukun
tadi. Sang dukun mengintip amplop yang terbuka itu, lalu tersenyum. Ratmi pun
membalas senyuman dengan datar. Ia segera pulang karena adzan maghrib telah
terdengar.
***
Jarak
rumah dukun dan rumahnya tidak jauh. Tapi karena harus memijat dulu di desa
sebelah, Ratmi kemalaman sampai rumah. Cucu-cucunya telah tidur, tinggal Rini
yang memergoki Embahnya pulang larut. Tiga puluh menit lagi jarum jam
menunjukkan angka dua belas. Ratmi khawatir kalau Rini tak segera tidur kembali
hingga mengetahui ritual yang akan ia lakukan. Mandi kembang yang menjadi
keharusaannya itu tak boleh diketahui oleh semua cucunya. Apalagi jika Heri
sampai tahu, ia akan mendapatkan ceramah dadakan karena perbuatan itu termasuk
wujud syirik. Cucunya yang sekolah di Madrasah Ibtidaiyah itu sudah kelas lima.
Banyak ilmu agama yang ia tahu dan sering disampaikan kepada Ratmi. Jika cucu
Ratmi yang lain masih bingung tentang tata cara beribadah, kepada Heri lah
mereka bertanya. Dan Ratmi selalu menunjukkan kebanggaannya terhadap Heri dan
semuanya yang rajin menjalankan ibadah. Kalau mereka semua tahu, ia akan malu.
Ia sholat, namun meminta pertolongan kepada selain Allah.
Akhirnya,
karena malam itu Rini minta ditemani tidur, Ratmi pun batal melakukan
ritualnya. Sambil mengelus-elus punggung Rini, pikirannya melayang. Teringat ia
pada kata-kata seorang pedagang pakaian yang ia pijat tadi di desa sebelah.
“Pak
Jono sudah tiga kali kesana, Mak. Dalam seminggu malah. Besok sepulang dari
kecamatan katanya mau kesana lagi juga.”
Pak
Jono adalah suaminya. Ia merasa kurang suka kalau suaminya sering pijat karena
jadi boros.
“Masa’
sekali pijat dua ratus ribu? Pijat macam apa itu! Akhirnya jatah uang belanja
saya dikurangi, Mak. Kan mending kalau pijat sama Mak Ratmi saja. Ngirit...
sekarang jadi...ngorot.”
“Maaf
ini, Bu. Emang fasilitasnya apa saja di sana?” Ratmi beranikan bertanya. Ia
sendiri jadi penasaran kalau tarifnya sebesar itu.
“Ya
itu lah, Mak. Saya juga tidak tahu. Wong
pas ditanya, Pak Jono cuman bilang kalau pijatannya enak dan memuaskan.”
Meski
sangat dongkol, pikiran Ratmi mengatakan bahwa mahalnya tarif itu karena Pak
Jono mengambil pijat modern yang menggunakan alat-alat modern pula. Ia sendiri
tak tahu apa saja alat-alat tersebut.
Sambil
terus mengelus punggung Rini, ia menyusun rencana. Besok diam-diam ia akan
pergi ke kedai pijat untuk menaburkan garam dan bawang putih. Selain itu, ia
akan mencari tahu kenapa di sana begitu diminati orang-orang. Kalau dalam
seminggu sampai tiga kali seperti yang dilakukan Pak Jono, rasanya ada aneh.
Padahal kalau dengannya, lelaki itu akan memanggilnya ke rumah sebulan sekali.
Berbeda dengan istrinya yang dua minggu sekali karena kelelahan berjualan di
pasar.
***
Ratmi
melewati kebun singkong. Pemiliknya masih di sana bersama dua orang petaninya.
Ia lalu bersembunyi di balik pohon pisang. Ratmi tak ingin langkahnya diketahui
oleh mereka. Saat dirasa mereka terlena, Ratmi langsung mengambil langkah cepat
menuju balai desa, melewati tanah lapang lalu sampailah ia di kedai pijat.
Di
belakang rumah, ia siap beraksi. Namun tiba-tiba dari dalam kedai pijat
terdengar suara gadis menjerit-jerit. Ratmi kenal suara siapa itu. Ia lantas
memasukkan kembali dua benda yang hendak ia taburkan. Plastik hitam itu ia
jinjing lagi. Ia memilih mencari sumber suara yang membawanya pada sebuah
jendela tak terkunci. Ratmi hendak mengintip, namun tertahan karena ada anak
kecil yang melihatnya dari sungai. Ia sedang buang air di sana.
Ratmi
meletakkan jari telunjuknya di bibir. Anak itu lalu manggut-manggut. Dibukanya
perlahan jendela itu sekitar beberapa senti saja. Alisnya berkerut dengan mata
yang menyelidik ke semua sisi. Gelap. Kamar itu gelap, namun suara jeritan itu
tetap ada. Ratmi yakin jeritan itu ada di kamar tersebut. Lalu...
BYARR!
Lampu
menyala. Ia melihat Siti yang hanya mengenakan pakaian dalam. Janda muda itu
bersama seorang laki-laki yang tak lain adalah...Pak Jono! Lelaki itu
menciuminya. Apa yang mereka lakukan? Ratmi sungguh terkejut yang membuat
dirinya menyembunyikan kepala di balik daun jendela. Ia tak percaya jika
ternyata kedai pijat itu digunakan untuk melakukan perbuatan mesum. Dan siti?
Kenapa ia sampai mau melakukannya? Padahal perempuan itu terkenal alim dan
menutup kepalanya dengan kerudung setiap hari. Tapi ternyata...
Dan
Ronah? Apakah perempuan yang suaminya pergi ke Malaysia itu juga menjadi WTS
juga di kedai pijat? Tak ada gunanya Ratmi menebak-nebak. Pikirannya lalu
tertuju pada seseorang.
Ratmi
berlari menuju kebun singkong, berharap Pak Haji Rahmat masih di sana. Ia tak
peduli pada anak kecil yang buang air meneriakinya sebagai maling. Nafasnya
tersengal-sengal karena mengejar jarak dan waktu. Bertemu Pak Haji Rahmat
adalah sesuatu yang langka karena ia sangat sibuk dengan segudang aktifitas.
Tak
menyia-nyiakan waktu lagi, Ratmi langsung menemui Pak Haji Rahmat yang masih
memanen singkong bersama dua petaninya. Dua orang petani lain tiba-tiba datang
menyusul. Pak Haji lalu beranjak.
“Ada
apa, Mak?” tanyanya.
“Pak
Haji, ini gawat. Gawat sekali, Pak...”
“Gawat
kenapa, Mak?
“Pak
Haji, kedai pijat itu ternyata...hh...hh...” Ratmi kesusahan mengatur nafas.
“Ternyata
apa, Mak. Mak duduklah. Bicara yang tenang.”
Ratmi
lalu duduk pada batang pohon pisang. Pak Haji baru tadi mengambil setandan
pisang raja.
“Pak
Haji tahu kenapa kedai pijat itu ramai dikunjungi penduduk?”
Pak
Haji Rahmat menggeleng. “Nanti malam saya mau kesana rencananya.”
“Jangan,
Pak! Jangan kesana!”
“Kenapa?”
“Kedai
pijat itu adalah tempat untuk...pelacuran! Saya barusan melihat dengan mata
kepala saya sendiri, Pak. Siti sedang berhubungan badan dengan...Pak Jono. Pak
Jono yang bekerja di kecamatan itu...Pak Haji kenal kan?”
Pak
Haji terdiam. Ia teringat pada perkataan beberapa orang yang memanas-manasi
dirinya supaya segera mencicipi pijat baru di kedai pijat. Pijitan isterinya
pasti kalah jauh. Dari bahasanya saja Pak Haji Rahmat sudah curiga. Rencana
kedatangannya nanti malam itu bukan karena ia ingin dipijat. Ia ingin
menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi di sana. Kalau hanya pijat biasa,
rasanya tidak mungkin.
“Jadi...Pak
Haji bukan mau pijat?”
“Masa’
saya minta pijat, Mak? Pijat sama Mak Ratmi saja tidak pernah...” Pak Haji
terkekeh. Umurnya yang baru empat puluhan itu membuat Ratmi bangga.
Jarang-jarang lelaki jaman sekarang memegang teguh ajaran agama. Pak Haji
Rahmat sangat menjaga, apalagi hubungan antar lawan jenis. Ia tak akan mau
bersentuhan kulit dengan alasan apapun.
Mendadak
Ratmi menyesal dengan perbuatannya yang sudah pergi ke dukun.
“Apa
mungkin perangkat desa juga berkaitan, Pak Haji? Mereka gampang sekali memberi
ijin...”
“Tidak
tahu, Mak. Kita jangan menebak-nebak, tidak baik bersu’udhon...”
Ratmi
mengangguk. Ia sangat menghormati lelaki di hadapannya.
“Nanti
malam ikutlah bersama saya ke kedai pijat itu, Mak. Saya akan ajak beberapa
orang supaya tahu kenyataannya. Terimakasih atas info yang Mak berikan.
Kemaksiatan harus dimusnahkan dari desa kita.”
“Benar,
Pak.”
Kini
Ratmi yang diam. Perbuatan syiriknya terus membayangi pikiran. Ia sangat
ketakutan mengingat Heri pernah mengatakan bahwa dosa syirik itu tak akan
diampuni Allah karena merupakan salah satu dari tujuh dosa besar. Keringat
dinginnya bercucuran di sekujur tubuh. Ia menggigil ketakutan akan dosanya.
Bahkan bibirnya tak mampu menjawab saat ditanya Pak Haji.
Ia
lalu terbata menanyakan sesuatu padanya.
“Sa..ya
pergi ke...dukun kema...rin, Pak karena ta..kut pijatan saya tidak la..ris
lagi. Apa saya ma...sih bisa ma...suk surga?”
Pak
Haji Rahmat tersenyum.
“Mak,
lakukanlah taubat nasuha, taubat yang sebenarnya. Mak Ratmi harus berjanji
kepada Allah bahwa tak akan mengulanginya lagi. Alangkah lebih baik jika Mak
melakukan sholat taubat.”
“Sholat
taubat?”
“Ya,
Mak. Sholat dua rakaat sebagai bentuk taubat Mak yang sesungguhnya.
Dan...iringilah taubat itu dengan perbuatan baik.”
“Apa
saya bisa masuk surga, Pak?”
Pak
Haji Rahmat tersenyum lagi. “Insya Allah bisa. Perbanyaklah amal sholeh, Mak.”
Ratmi
tergugu. Ia senang mendapatkan kabar gembira itu. Tuhan rupanya telah mencegah
perbuatan syiriknya berlebih. Rencananya untuk mandi kembang dan menabur garam
dan bawang putih tidak jadi ia lakukan.
“Kalau
saya berencana melakukan dosa, apa sudah dicatat sebagai dosa, Pak?” tanya
Ratmi lagi.
“Selagi
belum dilakukan, dosa belum dicatat. Tapi kebaikan, meski masih dalam rencana
Allah sudah mencatatnya sebagai satu kebaikan. Maha pemurahnya Allah...”
Air
mata itu kian membasahi pipinya yang nampak keriput. Tak sabar ia ingin sampai
ke rumah lalu mengambil air wudhu. Shalat taubat itu sudah menari-nari dalam
benaknya. Ia akan memohon ampun kepada Tuhannya.
**Selesai**
1 komentar:
mohon maaf, sepertinya ini tulisan saya
https://www.isnaenidk.com/2012/12/cerpen-kedai-pijat.html
Posting Komentar