Translate

periodisasi puisi 2

Written By iqbal_editing on Rabu, 21 September 2016 | 20.04

Puisi-puisi Periode 1950-an

Periode ini disebut sebagai periode romantik atau kembali ke alam. Adalah W.S. Rendra dan Ramadhan K.H. tokoh utama periode angkatan ini. Mereka banyak menciptakan puisi-puisi yang bersifat romantik. Oleh sebab itu, Prof. Dr. A. Teeuw (1978) menyebut periode ini kembali kepada sifat romantik dan alam. Puisi-puisi romantik telah ditulis pada Periode Angkatan Pujangga Baru (Waluyo, 2002: 79-80). Periode ini sangat dipengaruhi oleh penyair Spanyol Frederico Garcia Lorca yang dibawa oleh Ramadhan K.H. Bahkan sangat terlihat sekali pengaruhnya pada kumpulan puisi Ramadhan K.H. yang berjudul Priangan Si Jelita, sebuah puisi yang mendendangkan alam Priangan. Rendra sangat mengagumi Lorca. Bahkan ia mengidentikan penulisan namanya dengan sama seperti F.G. Lorca. Rendra yang berenama asli Willibrordus Surendra menyingkat namanya menjadi W.S. Rendra. Dalam kepenyairannya, Rendra menorehkan penanya untuk salah satu kumpulan puisinya berjudul Blues Untuk Bonnie (1971). Selain Ramadhan K.H. dan W.S. Rendra, penyair-penyair lainnya yang turut mewarnai puisi Periode Angkatan 1950-an ini antara lain: Ajip Rosidi dengan kumpulan puisinya, Sajak-sajak Anak Matahari (1979), Subagyo Sastrowardoyo dengan salah satu karya kumpulan puisinya, Daerah Perbatasan (1970), Toeti Heraty Noerhadi dengan salah satu kumpulan puisinya, Sajak-Sajak 33 (1973), Wing Karjo dengan kumpulan puisinya, Selembar Daun (1974), Toto Soedarto Bachtiar dengan kumpulan puisinya, Suara (1956), Racmat Djoko Pradopo dengan kumpulan puisinya, Matahari Pagi Tanah Air (1965), dan Soeparwoto Wiraatmadja dengan kumpulan puisinya, Kidung Keramahan (1963).

Ciri-ciri karya puisi Periode Angkatan 1950-an adalah:

  1. Bersifat romantik
  2. Banyak yang bergaya naratif (yang terkenal adalah balada)
  3. Mengambil tema kemiskinan dan protes sosial
  4. Menampaknya corak kedaerahan
Untuk dapat melihat lebih jelas ciri-ciri puisi Periode Angkatan 1950-an, mari kita perhatikan puisi karya W.S. Rendra di bawah ini:
SAJAK SEORANG TUA TENTANG BANDUNG LAUTAN API


Bagaimana mungkin kita bernegara
Bila tidak mampu mempertahankan wilayahnya
Bagaimana mungkin kita berbangsa
Bila tidak mampu mempertahankan kepastian hidup
bersama?
Itulah sebabnya
Kami tidak ikhlas
menyerahkan Bandung kepada tentara Inggris
dan akhirnya kami bumi hanguskan kota tercinta itu
sehingga menjadi lautan api
Kini batinku kembali mengenang
udara panas yang bergetar dan menggelombang,
bau asap, bau keringat
suara ledakan dipantulkan mega yang jingga, dan kaki
langit berwarna kesumba
Kami berlaga
memperjuangkan kelayakan hidup umat manusia.
Kedaulatan hidup bersama adalah sumber keadilan merata
yang bisa dialami dengan nyata
Mana mungkin itu bisa terjadi
di dalam penindasan dan penjajahan
Manusia mana
Akan membiarkan keturunannya hidup
tanpa jaminan kepastian?
Hidup yang disyukuri adalah hidup yang diolah
Hidup yang diperkembangkan
dan hidup yang dipertahankan
Itulah sebabnya kami melawan penindasan
Kota Bandung berkobar menyala-nyala tapi kedaulatan
bangsa tetap terjaga
Kini aku sudah tua
Aku terjaga dari tidurku
di tengah malam di pegunungan
Bau apakah yang tercium olehku?
Apakah ini bau asam medan laga tempo dulu
yang dibawa oleh mimpi kepadaku?
Ataukah ini bau limbah pencemaran?
Gemuruh apakah yang aku dengar ini?
Apakah ini deru perjuangan masa silam
di tanah periangan?
Ataukah gaduh hidup yang rusuh
karena dikhianati dewa keadilan.
Aku terkesiap. Sukmaku gagap. Apakah aku
dibangunkan oleh mimpi?
Apakah aku tersentak
Oleh satu isyarat kehidupan?
Di dalam kesunyian malam
Aku menyeru-nyeru kamu, putera-puteriku!
Apakah yang terjadi?
Darah teman-temanku
Telah tumpah di Sukakarsa
Di Dayeuh Kolot
Di Kiara Condong
Di setiap jejak medan laga. Kini
Kami tersentak,
Terbangun bersama.
Putera-puteriku, apakah yang terjadi?
Apakah kamu bisa menjawab pertanyaan kami?
Wahai teman-teman seperjuanganku yang dulu,
Apakah kita masih sama-sama setia
Membela keadilan hidup bersama
Manusia dari setiap angkatan bangsa
Akan mengalami saat tiba-tiba terjaga
Tersentak dalam kesendirian malam yang sunyi
Dan menghadapi pertanyaan jaman :
Apakah yang terjadi?
Apakah yang telah kamu lakukan?
Apakah yang sedang kamu lakukan?
Dan, ya, hidup kita yang fana akan mempunyai makna
Dari jawaban yang kita berikan.
Pada puisi di atas, salah satu ciri yang paling menonjol adalah banyaknya repetisi kata seperti bagaimana, kami, di-, hidup, dan lain-lain. Tema puisi yang dibawakannya adalah tema sosial.


Puisi Periode 1960-1980

Tahun 1960-an adalah masa yang sangat produktif bagi perpuisian Indonesia. Bahkan pernah berjaya pada tahun 1963-1965 penyair-penyair anggota Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), sebuah lembaga yang didirikan Partai Komunis Indonesia/PKI. Puisi periode angkatan ini lazim disebut sebagai puisi Angkatan 66 (Waluyo, 2002: 107). Menurut H.B. Jassin, para pelopor angkatan ini adalah para penyair demonstran seperti Taufiq Ismail dengan salah satu kumpulan puisinya Tirani (19166), Goenawan Mohamad dengan salah satu kumpulan puisinya Parikesit (1972). Selain itu, penyair lain yang tergolong angkatan ini adalah Sapardi Djoko Damono dengan salah satu kumpulan puisinya Ayat-ayat Api (2000), Hartoyo Andangjaya dengan salah satu kumpulan puisinya Simponi Puisi (bersama D.S. Moeljanto, 1954), Sutardji Calzoum Bachri dengan salah satu kumpulan puisinya O, Amuk, Kapak (1981), Abdul Hadi W.M. dengan salah satu kumpulan puisinya Riwayat (1967), Yudistira Adinugraha Massardi dengan salah satu kumpulan puisinya Omong Kosong (1978), Apip Mustopa dengan salah satu kumpulan puisinya dimuat di antologi sastra karya Ajip Rosidi Laut Biru Langit Biru (1977), Piek Ardiyanto Supriyadi dengan salah satu kumpulan puisinya Biarkan Angin Itu (1996), Linus Suryadi Ag dengan salah satu kumpulan puisinya Langit Kelabu (1976), dan D. Zawawi Imron dengan salah satu kumpulan puisinya Nenek Moyangku Air Mata (1990).

Ciri-ciri puisi Angkatan 66 adalah:
  1. Puisi-puisi bersifat filosofis
  2. Adanya rintisan baru pada puisi, yaitu puisi mantra dan konkret yang dipopulerkan oleh Sutardji Calzoum Bachri
  3. Bersifat naturalis, realis, dan eksistensialis.
Sebagai cerminan karakteristik puisi Periode Angkatan 66, mari kita baca puisi Benteng karya Taufiq Ismail di bawah ini:
BENTENG

Sesudah siang panas yang meletihkan
Sehabis tembakan-tembakan yang tak bisa kita balas
Dan kita kembali ke kampus ini berlindung
Bersandar dan berbaring, ada yang merenung

Di lantai bungkus nasi bertebaran
Dari para dermawan tidak dikenal
Kulit duku dan pecahan kulit rambutan
Lewatlah di samping Kontingen Bandung
Ada yang berjaket Bogor. Mereka dari mana-mana
Semuanya kumal, semuanya tak bicara
Tapi kita tidak akan terpatahkan
Oleh seribu senjata dan seribu tiran

Tak sempat lagi kita pikirkan
Keperluan-keperluan kecil seharian
Studi, kamar-tumpangan dan percintaan
Kita tak tahu apa yang akan terjadi sebentar malam
Kita mesti siap saban waktu, siap saban jam.

1966
Pada puisi di atas, terlihat jelas sekali bagaimana Taufiq Ismail mendeskripsikan realitas yang ia rasakan pada saat ia membuat puisinya.


Puisi Periode 1980-2000

Pada periode ini, penyair besar seperti Rendra, Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, dan Linus Suryadi Ag masih produktif mencipta puisi. Namun, bukan lagi mereka yang kita akan bicarakan di sini. Adalah para penyair yang muncul dan mulai produktif sejak tahun 1980-an yang akan kita bicarakan di sini. Pada periode ini, para penyairnya tidak ada yang menjadi besar. Kebanyakan dari mereka mengiblatkan gaya puisi mereka pada penyair-penyair besar angkatan sebelumnya (Waluyo, 2002: 140). Beberapa penyair pada angkatan ini diantaranya Hamid Jabbar dengan salah satu kumpulan puisinya Dua Warna (bersama Upita Agustine, 1975), Emha Ainun Nadjib dengan salah satu kumpulan puisinya 99 Untuk Tuhanku (1983), Agnes Sri Hartini Arswendo dengan salah satu karya puisinya Sajak di Sembarang Kampung, F. Rahardi dengan salah satu kumpulan puisinya Soempah WTS (1983), Rita Oetoro dengan salah satu kumpulan puisinya Dari Sebuah Album (1986), Dorothea Rosa Herliany dengan salah satu kumpulan puisinya Nyanyian Gaduh (1987), Eka Budianata dengan salah satu kumpulan puisinya Ada (1976), Acep Zamzam Noor dengan salah satu kumpulan puisinya Tamparlah Mukaku (1982), dan K.H. A. Mustofa Bisri dengan salah satu kumpulan puisinya Pahlawan dan Tikus (1995).

Ciri-ciri puisi Periode 1980-2000 adalah:
  1. Puisinya banyak ditulis dengan gaya mantra dan konkret
  2. Mengungkapkan kritik sosial dengan keras
  3. Tema keagamaan mulai dimasukkan pada periode ini
  4. Bermunculan eksperimen-eksperimen baru seperti yang dilakukan Dorothe dengan menggunakan ungkapan-ungkapan yang tajam dan cerdas. Sementara itu, Rita Oetoro membawa puisi lembut dengan gaya konvensional.
Agar lebih mengenal karakteristik puisi Periode 1980-2000, mari kita perhatikan puisi karya K.H. A. Mustofa Bisri di bawah ini:
NEGERIKU

mana ada negeri sesubur negeriku?
sawahnya tak hanya menumbuhkan padi, tebu, dan jagung
tapi juga pabrik, tempat rekreasi, dan gedung
perabot-perabot orang kaya di dunia

dan burung-burung indah piaraan mereka
berasal dari hutanku
ikan-ikan pilihan yang mereka santap
bermula dari lautku
emas dan perhiasan mereka
digali dari tambangku
air bersih yang mereka minum
bersumber dari keringatku

mana ada negeri sekaya negeriku?
majikan-majikan bangsaku memliki buruh mancanegara
brankas-brankas bank ternama di mana-mana
menyimpan harta-hartaku
negeriku menumbuhkan konglomerat
dan mengikis habis kaum melarat
dan handai taulannya
terkaya di dunia

mana ada negeri semakmur negeriku
penganggur-penganggur diberi perumahan
gaji dan pensiunan setiap bulan
rakyat-rakyat kecil menyumbang
negara tanpa imbalan
rampok-rampok diberi rekomendasi
dengan kop sakti instansi
maling-maling diberi konsesi

tikus dan kucing
dengan asyik berkolusi

(Pahlawan dan Tikus, 1995)
Jika kita cermati, jelas sekali terlihat kritik sosial yang K.H. A. Mustofa Bisri bawakan pada puisi di atas. Sebuah kritik ironisme antara pahlawan dan koruptor.


Puisi Periode Tahun 2000 dan Sesudahnya

Adalah Korrie Layun Rampan melalui bukunya mengumumkan adanya Angkatan 2000. Di dalam bukunya ia membahas para pengarang prosa, penyair, dan beberapa kritikus dan penelaah sastra yang relatif masih muda. Diantaranya adalah Afrizal Malna dengan salah satu kumpulan puisinya Abad yang Berlari (1984), Sitok Srengenge dengan salah satu kumpulan puisinya Nonsens, Joko Pinurbo dengan salah satu kumpulan puisinya Sembilu (1991), Omi Intan Naomi dengan salah satu kumpulan puisinya Aku Ingin (1987), dan Wiji Thukul dengan salah satu kumpulan puisinya Aku Ingin Jadi Peluru (2000). Menurut penulis makalah sendiri, agak sulit untuk menentukan siapa yang menjadi tokoh sentral puisi periode ini tidak hanya satu dua penyair yang menjadi sangat populer seperti Afrizal Malna dan Joko Pinurbo.

Ciri-ciri puisi Periode 2000 dan Sesudahnya adalah:
  1. Menggunakan bahasa sehari-hari
  2. Wajah puisi bebas aturan
  3. Penggunaan antropomorfisme
  4. Menampilkan puisi-puisi profetik (puisi-puisi keagamaan atau religius)
  5. Penggunaan citra alam, benda, dan lain-lain.
Mari kita perhatikan puisi karya Afrizal Malna di bawah ini guna melihat karakteristik puisi Periode 2000 dan Sesudahnya.
ABAD YANG BERLARI

palu. waktu tak mau berhenti, palu. waktu tak mau
berhenti. seribu jam
menunjuk waktu yang bedaberbeda, semua berjalan
sendiri-sendiri. palu.
tak satu yang mau berhenti. semua berjalan sendiri-sendiri.
orang-orang nonton televisi, palu. nonton kematian
yang dibuka di jalan-
jalan, telah bernyanyi di bangku-bangku sekolah,
telah bernyanyi di pasar-
pasar, o anak kematian yang mau mengubah sorga,
manusia sunyi
yang disimpan waktu.
palu. peta lariberlarian dari kota datang dari
kota pergi, mengejar waktu.
palu. dari tanah kerja dari laut kerja dari
mesin kerja. kematian yang bekerja
di jalan-jalan, palu. kematian yang bekerja di
jalan-jalan.
o, dada yang bekerja di dalam waktu.
dunia berlari, dunia berlari
seribu manusia dipacu tak habis mengejar.

(Abad yang Berlari, 1984)
Pada puisi di atas, jelas sekali terlihat bagaimana Afrizal Malna menyampaikan pesannya lewat citraan palu. Dapat kita lihat juga bahwa wajah puisinya tidak terikat aturan.

Demikian sedikit catatan tentang sejarah perkembangan puisi Indonesia menurut periodesisasinya yang terdiri dari Puisi Lama, Puisi Angkatan Pujangga Baru, Puisi Angkatan ’45, Puisi Periode Tahun 1950-an, Puisi Periode Tahun 1960-1980, Puisi Periode 1980-2000, dan terakhir adalah Puisi Periode Tahun 2000 dan Sesudahnya. Hal yang perlu diingat adalah bahwa penamaan angkatan pujangga didominasi oleh peran waktu yang menunjukan kapan pujangga seperti yang telah disebutkan di atas mencipta puisi-puisinya.

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik