Hampir setiap malam yang cerah, Joko
selalu menengadahkan wajahnya ke langit, atau tiduran telentang di alam
bebas. Ditatapnya bulan dan bintang bagaikan ia memandang gadis impian.
Ia menatap lekat. Kosentrasi penuh. Melontarkan jiwanya ke sana. Dan
hanyut. Ia nikmati dengan kenikmatan teramat sangat. Begitu terjadi
berulang-ulang. Dan ia tergila-gila karenanya.
Setiap siang jadinya adalah penantian.
Penantian adalah siksaan. Waktu terasa berjalan lambat. Pekerjaan yang
dilakukan menjadi buyar karena hilang konsentrasinya. Ia menjadi
pelamun. Wajahnya baru akan berubah cerah, langkahnya akant erasa
lincah, kepalanya akan terasa ringan, bila malam telah datang. Itupun
bila malam dengan cuaca cerah. Bila tidak? Ia akan dirundung kesedihan
teramat mendalam. Penantian seharian menjadi sia-sia. Bulan dan bintang
tak terlihat, tenggelam dalam awan hitam. Penantian yang menjadi
berkepanjangan.
Ketika ia mendapatkan seorang gadis yang
menjadi kekasihnya, sang gadis ternyata adalah pengagum bulan dan
bintang pula. Maka mereka bersama-sama menikmati malam-malam cerah.
Sekarang Joko merasa mendapat kawan. Mendapat seseorang untuk
mendialogkan perasaannya. Bulan dan bintang berganti-ganti rasanya
sesuai hati. Mereka menikamti kegilaan bersama-sama. Ah, pasangan yang
serasi.
“Kang Mas Joko, lihatlah! Wajahku dalam wajah bulan, tersenyum kepadaku,”
“Aku tahu, aku tahu, aku tengah berlompatan di antara bintang-bintang,”
“Mampirlah kau di bulan,”
“Aku di bintang dahulu,”
Sang kekasih cemberut. Joko terbahak,
sang kekasih melayangkan cubitan. Joko tetap saja terbahak, meskipun
meringis kesakitan. Joko lalu mendekati kekasihnya dan menjatuhkan
bibirnya ke bibir sang kekasih. Gelepar hati bagaikan ikan kekurangan
air. Terasa menyiksa namun bisa menjadi candu yang menggairahkan. Panas.
Gelora jiwa. Tapi cukuplah sampai di situ saja. Kelaklah untuk yang
lainnya.
“Aku menjadi sangat tersiksa,” demikian kilah sang kekasih kepada Joko suatu hari.
“Mengapa?” pertanyaan yang terlontar dengan mesra.
“Mengapa kita harus membuat penantian?”
“Apa yang sebenarnya kau bicarakan?” Tanya Joko heran.
“Bulan dan bintang-bintang,”
“Hm,”
Sang kekasih diam. Kepalanya ditumpangkan
ke kedua tangannya. Matanya menerawang jauh ke depan. Menembus ruang
dan waktu. Wajahnya menjadi cerah. Matanya berbinar-binar. Senyuman
manis tersungging di bibirnya. Dalam suasana seperti itu, wajah
kekasihnya terasa amat cantik. Joko memuji dalam hatinya. Namun
keheranan muncul atas sikap kekasihnya. Ia ingin bertanya, tapi takut
mengganggu. Biarlah ia larut dalam kenikmatan imajinasinya. Demikian
piker Joko. Dan ia menikmati wajah cantik sang kekasih yang terasa
bagaikan dewi yang menyiramkan keteduhan.
“Seandainya bulan dan bintang bisa
tinggal di Rumah ini, rasanya bagaikan sorga,” ia mendesah. “Kang Mas
Joko,” ujarnya tiba-tiba. “Benarkah kau mencintaiku?”
Joko menangkap kedua bola mata yang indah berbinar mendesakkan sesuatu hasrat kepadanya.
“Ya,” jawab Joko mantap.
“Mencintaiku dengan tulus?”
“Ya,”
“Rela berkorban demi diriku?”
“Maksudmu?”
“Jawab ya atau tidak saja,”
“Ya,”
“Bawalah bulan dan bintang ke Rumah ini.”
Joko tercekat. Tubuhnya bergetar menahan gejolak perasaan yang muncul bagaikan kawah mendesak keluar.
“Biarkan saja ia di atas sana. Bukankah akan banyak orang dapat menikamtinya,” Joko mengelak seraya memberikan alas an.
Sang kekasih cemberut.
“Bawalah bulan dan bintang ke Rumah ini sebagai bukti kecintaanmu padaku!” sang kekasih dengan tegas dan mimic serius.
“Aa…” apa yang ada di kepala Joko tak
dapat keluar menjadi kata. Joko termenung. Susah. “Bila kepalamu
tertanam kepemilikan, maka keserakahan akan menguasai pikiranmu,”
katanya pelan hampir tak terdengar.
Sang kekasih hanya menatap sekilas. Lalu
hanyut dalam pikirannya sendiri. Membayangkan tidur dikelilingi
bintang-bintang sambil memeluk bulan.
Joko pamit. Dan hari-hari setelah itu
adalah keresahan. Ia menatap bulan dan bintang-bintang di langit.
Lukisan sempurna yang tak tertandingi dari Sang Maha Pencipta.
Bayang-bayang di Kepalanya membuat hatinya menangis.
“Tak mungkin, tak mungkin ia menjaring
bulan dan bintang-bintang. Biarkanlah ia di langit. Dinikmati berjuta
manusia. Biarkan ia milik semua umat manusia,”
Pada suatu malam. Awan hitam sama sekali
tak ada di langit. Tapi kemana bulan dan bintang-bintang? Langit menjadi
kosong. Sama sekali tak mengenakkan dipandang mata. Joko menatap langit
dan batinnya teriris. Air matanya tumpah. Wahai, manusia mana tega
mencurinya?
Sedangkan pada saat bersamaan, sang
kekasih menatap langit dan hatinya berbunga-bunga. Impiannya terwujud.
Sang kekasih telah berjuang, telah membuktikan cintanya. Entah dengan
apa menjaring, itu bukan persoalan. Yang jelas, kini ia menanti Joko.
Menanti persembahan cinta. Menanti bulan dan bintang-bintang. Ia
menanti. Terus menanti Joko yang tak kunjunga datang.
“Jangan kamu membuatku marah!” Sang
kekasih menghardik kesal kepada Joko yang muncul setelah ia mengetuk
pintu rumahnya. “Mana bulan dan bintang-bintangyang kupinta.? Bukankah
kau telah berhasil menjaringnya?”
Joko menatapo kedua bola mata kekasihnya yang merah membara. Teramat mengerikan. Bagaikan bola api yang siap membakar.
“Masuklah dulu,” pinta Joko lembut.
“Mana bulan dan bintang-bintangnya?” sang kekasih tak beranjak.
“Entah,”
“Kau bohong!” mengalir kata-kata kemarahan yang membangkitkan emosi Joko.
“Masuklah dan geledahlah isi Rumah ini.
Aku tak tahu sama sekali bulan dan bintang-bintang kita. Seseorang telah
mencurinya lebih dahulu daripada aku,”
Sang kekasih tak mau peduli, pergi dengan marah. Joko merasa ditinggali luka.
Sang kekasih tak mau peduli, pergi dengan marah. Joko merasa ditinggali luka.
Esoknya, ia dikejutkan oleh iklan
Koran-koran. Seorang konglomerat menawarkan bointang-bintangnya dengan
harga sangat tinggi. Sedangkan bulan bersinar di atas gedungnya, terekam
dalam foto. Joko pun menangis tersedu-sedu.
Yogyakarta, 7 – 12 Januari 1994
0 komentar:
Posting Komentar