ia berkata dengan lantang. Seperti setengah memerintah. "Tunjuk satu bintang yang paling terang."
Aku tak sanggup menahan diri untuk tidak mengerutkan kening. Kutatap wajahnya dari samping kiri. "Untuk apa?" tanyaku.
Dia
tidak membalas mataku. Wajahnya masih saja mendongak mengamati angkasa.
"Anggap saja untuk penunjuk jalan. Atau pedoman. Atau penuntun. Atau
penghilang gelap. Atau teman. Atau mungkin... cita-cita."
Aku tersenyum tipis lalu mengikuti gelagatnya untuk menatap langit gelap. "Sekarang?"
"Kapan lagi?"
Aku
menghembuskan napas panjang sembari melebarkan ekor mataku untuk
mencari sesuatu yang juga ia coba untuk temukan. "Tidak ada," ucapku.
Dia seketika menoleh ke arahku. Aku memandangnya hanya dari sudut mata. "Benarkah?" tanyanya tak percaya.
Aku mengangguk tanpa memandangnya. "Untuk saat ini tidak ada."
Lamat-lamat,
kulihat dia kembali menyebarkan pandangan ke langit. Ditunjuknya sebuah
sudut angkasa dengan telunjuk kanannya. "Itu? Apa itu bukan yang paling
terang?" tanyanya sedikit antusias, mencoba menunggu kesepakatan
dariku.
Aku mencari apa yang ia maksud. Memang ada sebuah cahaya
yang paling terang di antara cahaya-cahaya yang lain. Tapi aku tetap
menggelengkan kepala. "Kurasa bukan."
Dia mulai mencibirkan bibirnya. "Memang ada yang lebih terang dari itu, huh?" Kalimatnya terdengar sedikit kesal.
Aku
terkekeh pelan. Kupandang sekali lagi langit beserta para bintangnya
dengan hanya pandangan sederhana. "Bagaimana dengan matahari?" usulku.
"Bukankah matahari juga sebuah bintang?"
Dia lalu bergeming. Wajahnya mengendur perlahan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar