"Ke mana kau pergi, Sirius?"
Dari ribuan bintang,
kau memang sangat menyukai yang satu itu. Bintang yang bersinar paling
terang di langit malam ini, bertahun-tahun telah menemanimu untuk
melewati malam dengan tenang. Kau bahkan menunggunya ketika ia belum
datang. Dan mengantar kepulangannya ketika fajar menjelang.
Namun
kini dahimu berkerut ketika Sirius tak juga datang. Waktu menunjukan
pukul 01.00 pagi. Di waktu inilah moment terbaikmu dengan si ratu
bintang. Selimut di kasurmu sudah terabaikan. Bantal dan gulingmu pun
sudah berhamburan.
"Sirius, kau tidak sedang bermain petak umpet bukan?" tanyamu. Sambil mengetuk-ngetuk tiang jendela.
"Capella juga menghilang."
"Cap,ini bukan waktumu untuk bermain-main."
Kau
mulai kehilangan kesadaran. Tanganmu mulai menggeretakan ujung-ujung
ranjang. Satu-dua orang wanita berbaju putih akhirnya menerobos masuk ke
kamarmu. Menyuntikan senjata rahasia sampai akhirnya kau kembali
tertidur.
Namun tidurmu tak pulas. Berkali-kali kau mengigau tentang Sirius dan Capella yang menghilang. Lalu kemudian kau memaki dirimu, menjambaki rambutmu, memukul-mukul kepalamu. Kau terus-terusan memanggil Sirius dan Capella kembali. Namun kedua bintang itu terletak begitu jauh, hingga tak dapat mendengar suaramu.
Satu
jam mengigau, kau kembali terbangun. Lukisan langit malam masih berada
tepat di ranjang tidurmu. Lengkap dengan kuas beserta catnya. Tanganmu
gemetar untuk kembali memulai. Tujuh tahun perpisahan membuat jarakmu
dengan lukisan menjadi begitu jauh. Kanvas telah angkuh. Kuas-kuas tak
sudi disentuh. Bahkan, warna kini tak lagi menggambarkan isi hatimu.
Pekerjaan
telah mengambil alih dirimu. Kau tak lagi suka memerhatikan langit
malam. Kau jarang memerhatikan bintang-bintang. Bahkan kau sudah tak
peduli kemana perginya bintang paling terang di altar malam.
Setelah
sekian lama, hari ini kau kembali ke dalam wujud dirimu. Senyummu
mengembang ketika disapa orang. Pipimu memerah ketika tertawa. Hatimu
terenyuh ketika ada orang yang berduka.
Setelah sekian lama,
akhirnya kini kau kembali memerhatikan langit malam. Memetakan satu
persatu gugus bintang yang kau hapal. Namun, kau memang penghapal andal.
Bukan hanya berhasil memetakan 88 rasi bintang, kau juga menyebutkan
bintang apa saja yang membentuk garis imajinernya. Hanya saja...
"Dimana Sirius dan Capella?"
Kau kembali bertanya. Sambil mengetuk-ngetuk tiang jendela.
Foto istri dan anakmu tampak begitu kecil di atas meja. Namun kenangan tentang mereka tampak begitu nyata terekam dalam kepala.
5 Juni 2002
- Kau menemukan bidadari tercantik di dunia. Entah sejak kapan kau
mulai menandainya dengan nama Sirius. Bukan karena kau tak tahu namanya,
namun karena bidadari itu mengingatkanmu pada bintang terterang sejagat
raya.
7 Juli 2004 - Kau bertandang ke rumah Sirius.
Meminta restu ayahanda dan ibu untuk melaksanakan janji suci yang
bersumpah tak akan kau khianati. Mereka menyetujui, kau tersenyum lega
dalam hati.
9 Agustus 2006 - Putri pertamamu lahir.
Cantik seperti ibunya. Manis seperti kembang gula. Kau langsung teringat
dengan bintang dengan nama tercantik di altar malam-Capella. Sejak saat
itu keluarga kecilmu terasa amat lengkap. Sirius dan Capella, dua bintang yang akan membuat dirimu bahagia.
10 September 2007
- Kau mulai frustasi akibat keuanganmu yang kian menipis. Dunia mulai
mempermainkanmu. Uang mulai menjerat kaki, tangan, dan waktumu. Kau
mulai lupa tentang dongeng-dongeng bintang yang biasa kau ceritakan
kepada Capella kecilmu sebelum ia pergi tidur. Kau mulai lupa
untuk mengecup kening kedua bintangmu di pagi dan malam. Bahkan kau tak
sempat lagi menyempatkan diri untuk duduk bersama sambil menonton
televisi atau menyantap sarapan pagi.
5 Juni 2017 - "Dimana Sirius dan Capella?"
Setelah
sekian lama, kau kembali bergadang hingga fajar menjelang. Memerhatikan
jutaan bintang hingga matamu memerah, tanganmu kaku memohon, dan
bibirmu lelah merapal.
"Kumohon kembalilah Sirius, Capella.. Kembalilah..."
Dua
orang berbaju putih kembali masuk ke kamarmu. Mereka menyuntikan
sesuatu ke tangan kirimu. Dan keinginanmu untuk bunuh diri dengan
membenturkan kepalamu ke dindingpun dapat teredam. Kau duduk terhenyak
di atas ranjang rumah sakit setelah dipaksa menelan sepuluh butir obat
yang membuat kepalamu pusing.
Kau terus merintih memanggil kedua
bintangmu. Tanganmu hendak merobohkan jeruji ranjang, meski tak
bertenaga. Kakimu hendak berlari mengelilingi semesta, merenangi
samudra, memanjati pegunungan, demi kembali melihat dua bintang yang
telah lama ini tak lagi kau perhatikan.
Namun kau tahu hukum alamnya: supernova yang meledak di angkasa, tak akan kembali membentuk menjadi bintang yang sama.
Tutut Setyorinie, 7 Juni 2017.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar