Translate

Cintaku Bersemi (Lagi) di Latihan Paskibra

Written By iqbal_editing on Jumat, 08 September 2017 | 18.46

ri pertama, 12 Agustus 2013
“Ya, ampun. Mi, kita nomor dua lho. Nomor dua yang datang buat latihan.” Aku hanya tersenyum mendengar omelan Triana. Ya, hari ini kami disuruh berkumpul di kantor kecamatan untuk latihan paskibra. Kulihat hanya ada adik kelasku saja. Padahal sudah lewat pukul 08.00.
“Biasa, Tri. Kan jam karet semua.” Triana tersenyum mendengar kalimatku barusan.
“Oh, ya. Yang itu ikut latihan juga, ya? Sepertinya bakal ada yang bahagia hari ini.” Tri mengalihkan pembicaraan kami. “Siapa yang kamu maksud, Tri? Aku nggak ngerti.” Aku membalas kalimatnya. Walaupun aku tahu siapa yang dimaksud oleh Tri. Aku enggan membicarakan orang itu.
“Siapa lagi kalau bukan Roby. Ya, ampun. Panjang umur deh tuh anak. Dia baru saja datang, Mi.” Aku mengarahkan pandanganku ke tempat parkir. Kulihat Roby dan Putra memarkirkan kendaraan mereka. Hanya sekilas. Aku langsung berpaling menghadap Triana.
“Biasa aja, Tri. Aku udah lupa tentang dia,” sambungku. Aku benar-benar lupa tentang Roby. Orang yang tak perlu aku ingat.
“Kamu yakin? Tapi, kamu bahagia kan sudah melihat dia?” Tri bertanya padaku. Sejujurnya aku bahagia. Aku bahagia hanya karena melihat wajahnya saja. Meskipun ia tak memiliki perasaan yang sama denganku.
“Kenapa kalian berpisah? Padahal menurutku kalian itu cocok deh.” Tri bertanya lagi. Aku malas mengungkit masalah itu. Aku sudah hampir lupa tentang dia selama sebulan ini. Tapi, kenapa sekarang takdir mempertemukan kami lagi?
“Entahlah. Aku sendiri sudah lupa, Tri. Sebulan ini aku sudah bisa melupakan dia. Tapi, aku tidak tahu lagi apakah sekarang aku akan mengingatnya lagi jika aku selalu melihatnya, seperti saat ini.” Aku bercerita padanya. Aku rasa hatiku tak bisa berkompromi seperti beberapa bulan lalu saat setiap hari aku melihatnya.
“Hmm, yang sabar aja, Mi. Mereka kesini, Mi,” kata Triana. “Siapa, Tri?” tanyaku. “Siapa lagi kalau bukan Roby dan Putra,” jawab Triana.
Aku menunduk ketika Roby lewat di depanku. Aku tidak berani melihat ke arahnya. Aku tahu dia tidak begitu suka dengan kehadiranku. Hubungan kami benar-benar sudah berakhir. Tak ada cerita lagi setelahnya. Itu yang kuyakini sampai saat ini.
“Kenapa kamu menunduk, Mi? Tadi Roby melihat ke arahmu. Kenapa kamu tidak tersenyum kepadanya?” Triana mengejutkanku. Aku hanya bisa menghela nafas.
“Aku takut. Aku takut kalau dia tidak mau melihat ke arahku. Kamu tahu kan bagaimana hubungan kami sekarang. Dingin. Tidak ada apa-apa lagi.” Aku menyesali sikapku. Padahal aku ingin menatap matanya sekali saja.
“Ya, sudah. Mungkin belum saatnya, Mi.” Tri menghiburku. “Mungkin nanti hubungan kalian akan membaik.” Triana mendoakanku. Aku tidak pernah berharap lebih padanya. Seperti maunya, aku hanya ingin berteman dengannya. Tapi, ia tidak menganggapku sebagai temannya. Hanya orang asing yang tak memiliki arti apa-apa untuknya.
Mungkin semua ini salahku karena tidak bisa memperlakukannya dengan baik. Tapi, bukan hal ini yang aku inginkan. Disaat aku sudah mulai melupakannya, dia datang lagi dengan kahangatan yang membuatku ingin meraihnya lagi. Apakah aku terlalu naif? Mengharapkan orang yang tidak mengharapkanku.
“Mia, jangan melamun. Kita kesana, yuk! Semuanya dipanggil untuk berkumpul.” Triana membuyarkan lamunanku. Aku hanya menganggukkan kepalaku sambil mengiringi langkah kakinya.
Hari kedua, 13 Agustus 2013
Kami sedang beristirahat setelah latihan. Latihan hari ini cukup menguras tenaga dan fisikku. Untung hanya latihan PBB saja, bukan lari dan latihan fisik lainnya.
Aku duduk bersama Triana, Vita dan Lidya. Seperti biasa jika kami sudah bersama, terdengar canda tawa dan guyonan khas kami yang hanya dimengerti oleh kami sendiri.
“Eh, Mia. Kamu tahu gak kalau disini ada rumput lho?” Vita mulai membuka percakapan. Kali ini aku tidak mengerti dengan arah pembicaraannya.
“Siapa, Ta. Disini kan hanya ada tanah ditambah pasir saja. Tidak ada rerumputan,” jawabku. Kulihat Lidya hanya diam sedangkan Triana memasang muka serius.
“Itu. Si Tri. Kemarin ketika aku mau motong rumput di halaman rumahku, Tri bilang jangan potong aku. Secara tidak langsung dia sudah mengakui kalau dia itu rumput.” Aku dan Lidya tergelak mendengar ucapan Vita. Kulihat muka Triana berubah menjadi manyun.
“Eh, Vita jahat banget sih. Itu kan rahasia kita saja. Tidak perlu disebarluaskan. Aku mau nangis aja kalau begitu.” Triana membela diri. Vita tersenyum penuh kemenangan.
“Tidak ada rumput yang bisa menangis. Iya kan, Mia? Aduh, ada rumput menangis. Tolong.” Triana makin manyun, sedangkan Vita makin tersenyum senang. Aku dan Lidya hanya menikmati perdebatan mereka berdua.
“Siapa yang jadi rumput, Vit? Ini, diambil kuenya. Udah capek-capek lho aku mengantarkan ini sama kalian.” Ku lihat Roby berdiri di hadapan kami. Aku terkejut dan hanya bisa merubah posisi dudukku.
“Aku mau kuenya.” Triana dan Vita mengambil kue mereka masing-masing. Kulihat Lidya tidak mengambil kue tersebut dan aku hanya menggelengkan kepalaku.
“Kenapa kamu tidak mengambil kuenya, Mi? Kasihan Roby keberatan bawa kuenya kesini.” Vita mulai kembali dengan bacotannya setelah Roby menjauh. Aku hanya terdiam.
“Harusnya kamu terima, Mi. Kan kami ingin melihat ekspresi kalian.” Triana menambahi. Aku kalah suara sekarang.
Kulihat Roby kembali mendekati kami. Tersisa satu potong kue di piring. Dan, ia menawarkannya padaku.
“Tidak, terima kasih.” Aku menolaknya dengan halus. Bukan karena aku tidak menghargai dia. Tapi, aku benar-benar tidak bisa memakan kue itu. Kue lapis pisang tak pernah masuk ke perutku. Kulihat ia berlalu meninggalkan kami.
Aku senang karena ia mau melihatku. Mau menyapaku meskipun itu hanya hal sepele. Tapi, tidak untukku. Aku merindukan sapaannya. Aku merindukan perhatiannya. Mungkin ia tidak tahu hal itu.
Aku tidak tahu seperti apa aku di matanya. Hatiku mulai dipenuhi namanya lagi. Pikiranku dirasuki akan semua hal tentangnya. Disaat aku hampir lupa. Disaat aku mulai terbiasa tanpanya. Harapan-harapan itu kembali hadir. Apakah aku salah? Ia tidak lagi seperti bulan-bulan sebelumnya. Ia sudah menyapaku lagi. Apakah aku tidak boleh berharap lebih?
Hari ketiga, 14 Agustus 2013
Hujan turun ketika aku dan Triana tiba di tempat latihan. Kemarin sudah diadakan seleksi dan syukurlah aku dan Triana terpilih. Ditambah Vita. Dan Roby, ia juga terpilih.
Mulai hari ini kami latihan dua kali sehari. Pagi dan sore. Sore ini hujan turun. Cuaca tidak bersahabat, batinku. Kulihat hanya ada beberapa siswa lain yang datang. Sambil menunggu hujan reda, kami berteduh di tempat parkir.
“Mia, ada yang bahagia nih. Aku ingin menghentikan waktu saat itu. Saat ketika kita saling memandang satu sama lain tanpa ada perasaan benci. Buat siapa itu, Mia sayang?” Triana mengulang kalimat yang kutulis di status jejaring sosialku. Ia sepertinya ingin meledekku saja.
“Apa sih, Tri. Siapa yang bilang seperti itu?” Aku melotot padanya. Ia malah membalas tatapanku.
“Mia, tidak usah pura-pura. Pagi tadi siapa yang saling melempar pandang. Mengaku saja!” kata Triana. Aku mengingat kejadian tadi pagi. Ketika istirahat setelah latihan, aku duduk di samping Triana dan Roby duduk di depanku sambil menghadap ke arahku. Teman-temanku yang lain juga duduk bergerombol di dekat kami.
Aku sesekali melempar pandang ke arah Roby. Tiap aku melihatnya, dia asyik bercanda dengan temannya. Aku hanya bisa menatapnya sebentar. Aku tidak ingin jika temanku yang lain menyadari tingkah lakuku. Aku bahagia saat itu. Detik itu aku ingin agar waktu berhenti. Agar aku bisa menatapnya untuk selamanya.
Ketika aku sibuk memandangnya, ia tanpa sengaja melihat kepadaku. Aku hanya bisa tertunduk malu. Aku betul-betul tidak bisa menatap mata elangnya. Mata yang dulu selalu berbinar-binar ketika menatapku.
“Mi, ketahuan lagi asyik mikirin Roby.” Triana mengagetkanku. Padahal aku sedang menyusun perasaanku yang kacau.
“Tidak. Aku hanya memikirkan masalah latihan saja. Bagaimana kita latihan kalau harinya masih hujan?” Aku terpaksa berbohong. Aku tidak mau jika Triana melihat pipiku yang bersemu merah ketika berbicara tentang Roby.
“Iya juga. Kalau begitu tidak usah latihan saja. Kita pulang saja, yuk?” Triana mengajakku pulang. Tentu saja aku menolaknya karena aku masih ingin disini.
Tiba-tiba aku dikejutkan deru motor yang memasuki tempat parkir ini. Kulihat Roby datang bersama Putra. Baju Roby lumayan basah. Aku takut ia kedinginan.
Triana tidak mengajakku bicara lagi. Mungkin ia tahu jika aku menikmati saat-saat seperti ini. Roby berjalan menuju bangku di pojok dan duduk bersama Putra. Sedangkan aku masih mengamati dia dari sini.
Ini hujan yang ketiga yang ku lalui bersama Roby. Itu sebabnya aku suka hujan. Selalu ada kenangan indah antara aku dan dia ketika hujan turun. Aku hanya berharap agar hujan tidak berhenti sekarang.
“Mi, pelatih bilang kita tidak bisa latihan hari ini. Jadi kita bisa pulang sekarang,” kata Triana. Aku tidak ingin pulang. Aku masih ingin melihat Roby.
“Tapi, masih hujan, Tri. Kamu tidak sibuk, kan? Kita tunggu sampai hujannya reda, ya?” Ajakku pada Triana. Kulihat ia mengangguk sambil tersenyum.
Beberapa temanku yang lain sudah pulang. Kulihat Roby masih duduk di bangku. Ia belum pulang, batinku. Aku akan pulang ketika ia sudah pulang.
Hujan sudah mulai berhenti. Tapi, Roby belum beranjak dari tempat duduknya. Triana masih menikmati suasana. Aku memutuskan untuk bertahan sebentar lagi.
“Mi, pulang yuk.” Vita mengajakku pulang. Karena hanya tersisa aku dan Triana, aku terpaksa pulang. Di tempat parkir tidak ada lagi teman perempuanku. Hanya ada beberapa teman laki-lakiku dan juga Roby.
“Baiklah. Ayo, Tri.” Kuhidupkan motorku. Aku meninggalkan tempat parkir sembari membonceng Triana. Kulihat Roby dan Putra juga menghidupkan motornya dan Putra memacu motornya sambil membonceng Roby.
Aku bingung. Apakah Roby menungguku pulang sehingga ketika aku pulang dia juga ikut pulang? Entahlah. Aku menyerah jika harus disuruh melupakan Roby.
Hari keempat, 15 Agustus 2013
“Nanti, setelah upacara penurunan bendera kita makan bakso ditraktir Pak Camat. Setuju?” Pelatih memberi kami kabar gembira hari ini. Sontak saja semua temanku bersorak gembira. Aku hanya tersenyum melihat kelakuan mereka.
“Mi, dimakan kuenya. Tehnya juga diminum.” Triana menawarkan minuman padaku. Kuambil segelas dan duduk di sampingnya.
“Bagaimana kalau hanya harapan palsu? Bisa saja Pak Camat hanya ingin menyenangkan kita saja. Kemudian tidak ditepati.” Aku mulai menduga-duga. Kebiasaan negative thinkingku kumat lagi.
“Berdoa saja semoga bukan sekedar harapan palsu. Tapi benar-benar terjadi. Kan kita udah capek latihan semingguan ini.” Triana membesarkan hatiku. Ya, semoga saja, harapku.
“Pak, nanti baksonya enam mangkok, ya? Kita latihannya lima hari ditambah satu hari upacara. Jadi, pas enam mangkok.” Vita menimpali ucapan pelatih kami. Sontak saja teman-temanku yang setuju makin berteriak riuh.
Di tengah suasana yang sedikit ribut ini, aku baru sadar jika aku duduk di dekat Roby. Ia duduk di belakangku menghadap temannya. Ketika aku menoleh ke belakang, ia melihatku. Aku cepat membuang muka ke arah lain. Beberapa menit berlalu, tetapi ia belum beranjak pergi. Aku tidak tahu kenapa. Padahal kupikir ia membenciku. Ia selalu saja menghindariku dulu. Tapi, kenapa sekarang seperti ini?
Aku bukan orang yang bisa membaca isi hati orang lain, terlebih Roby. Aku tidak mengerti dengan jalan pikirannya. Apakah ia sudah mengubah pandangannya tentang aku. Apakah ia mau memperbaiki hubungan kami yang sedingin es ini? Hanya ia yang tahu. Aku tidak berani menduga-duga. Tapi, hal ini membuatku berharap lebih. Bukannya malah bisa melupakan dia, tapi sepertinya cinta itu datang lagi. Cinta yang dulu pernah meredup kini bersinar terang lagi di hatiku.
Hari kelima, 16 Agustus 2013
Hujan turun dengan deras sore ini. Syukurlah pagi tadi kami sudah melakukan gladi resik dengan paduan suara dari sekolah lain. Rencananya kami akan melakukan latihan terakhir sore ini sekaligus mengambil baju dan perlengkapan lainnya untuk upacara besok.
Aku datang setelah hujan reda bersama Triana. Kabar buruk datang karena lokasi upacara dipindah ke kantor Polsek. Terpaksa kami berlatih lagi dari awal untuk menentukan formasi barisan
Kulihat Roby tidak datang. Kemana dia? Bisikku. Sepertinya hujan lebat turun di sekitar rumahnya. Hanya itu dugaanku. Aku mencoba berpikir positif.
Dari hari ke hari, aku semakin sering memikirkan Roby. Aku tahu hanya aku yang merasakan hal ini. Tapi, kuharap ia juga sepertiku. Tidak melihatnya saat ini membuatku merindukan kehadirannya. Sekalipun ia sering membuatku meneteskan airmata, tapi ia juga yang mampu menghapusnya tanpa pernah ia sadari.
Aku tidak berharap banyak padanya. Hanya ingin agar ia peduli padaku. Hanya itu. Tidak lebih menurutku. Tapi aku sadar jika itu terlalu sulit baginya. Yang ku tahu ia mencintai orang lain. Meskipun hal itu sudah lama, aku tidak tahu apakah ia masih menyimpan orang itu di hatinya atau tidak. Sedangkan aku hanya bagian dari masa lalunya yang mungkin sangat ingin ia lupakan.
Hari terakhir, 17 Agustus 2013
“Tri, apa kamu melihat pita yang dipasang di topi?” Pagi-pagi sekali kami sudah bersiap untuk upacara penaikan bendera. Hampir semua teman-temanku sibuk memasang atribut yang harus dipakai. Termasuk aku.
“Aku gak lihat, Mi. Tanya sama yang lain saja!” Triana menyahut sambil merapikan selempang Vita. Aku tidak tahu dimana tadi Rifa meletakkan pita yang sudah ia buat. Kulihat semua orang asyik dengan kesibukannya masing-masing.
“Ada yang lihat pita tidak?” Aku bertanya kepada beberapa anak laki-laki di hadapanku. Mereka juga terlihat sibuk mengenakan selempang. “Ini!” Seorang anak laki-laki mengambilkan bungkusan pita yang terjatuh dan memberikannya padaku.
“Terima kasih.” Aku mengambil satu dan berbalik. Aku baru menyadari jika yang mengambilkan pita itu adalah Roby. Ya, Tuhan. Aku melihat ke arahnya dan ia malah membalas tatapanku. Aku hanya bisa berbalik sambil menjauh.
“Udah banyak yang datang, Mi. Dikira yang pertama seperti tadi pagi. Syukurlah upacara penaikan bendera tadi pagi sukses ya.” Triana membuka percakapan setelah kami tiba di lapangan upacara. Kami sedang bersiap-siap untuk upacara penurunan bendera.
“Iya. Semoga upacara penurunan bendera juga berjalan lancar.” Aku berdoa dalam hati. Mungkin ini saat-saat terakhir aku bisa dekat dengan Roby. Mungkin.
Setelah upacara selesai, sesuai janji kami ditraktir makan bakso. Semua teman-temanku senang. Aku juga gembira kerena perutku lumayan lapar. Segera saja kami menyerbu warung bakso di dekat lapangan upacara tadi.
“Jangan melamun, Mi. Apa yang kamu pikirkan?” Triana membuyarkan lamunanku. Sebelum upacara penurunan tadi, aku sempat berbicara dengan Roby dan hal itu yang masih aku pikirkan hingga saat ini. Dia bertanya padaku apakah ada pita yang berlebih karena pitanya tertukar dan hilang. Aku hanya menyuruhnya bertanya kepada Rifa. Dan ia hanya menganggukkan kepalanya.
“Kamu masih memikirkan percakapan tadi?” Triana bertanya lagi padaku. Sepertinya dia benar-benar ingin tahu tentang apa yang sedang aku pikirkan.
“Iya. Suatu kemajuan untukku karena dia sudah mau menyapaku dan bicara padaku. Meskipun hanya hal kecil seperti itu. Tapi, hal itu berharga bagiku, Tri.” Aku mengaduk baksoku. Triana serius mendengarkanku sambil meminum es tehnya. Kurasa Triana akan mengerti dengan perasaanku.
“Apa kamu masih mencintai dia, Mi? Kamu masih sayang sama dia, ya?” Triana bertanya untuk kesekian kalinya. “Iya, sepertinya begitu. Padahal kemarin-kemarin aku sudah bisa melupakan dia. Tapi, kebersamaan kita selama seminggu ini membuatku berharap lebih. Aku tidak tahu apakah hanya aku yang merasa seperti ini. Aku juga tidak tahu apakah aku harus berhenti atau tetap disini. Aku bingung.” Aku bercerita panjang lebar padanya. Ya, seperti itulah perasaanku yang sebenarnya. Tapi, Roby takkan pernah tahu. Tentang aku yang sudah hampir berhasil melupakannya. Tentang dia yang kembali memenuhi hati dan pikiranku.
“Mia, coba lihat disana!” Aku melihat ke arah yang ditunjuk Triana. Kulihat Roby lewat di depan kami. Ia pulang, bisikku. Tak ada kesempatan untuk membuat satu cerita yang indah lagi.
Tapi, aku salah. Ia menatapku. Dan aku sekarang mengerti apa yang harus aku lakukan. Aku tidak harus berhenti, setidaknya aku melihat ada yang berbeda dari tatapan matanya untukku. Aku tidak harus berhenti sekarang.
Aku sadar, jika cintaku memang bersemi lagi untuknya. Sekalipun begitu, aku tahu belum saatnya bagi cinta itu untuk mekar. Seiring berjalannya waktu, aku yakin cintaku yang masih bersemi akan mekar bersama cintanya. Aku harap seperti itu. Karena di matanya aku melihat harapan itu. “Tunggu aku, Mia.” Itu yang bisa ku baca dari matanya.
THE END
Cerpen Karangan: Rahmi Pratiwi

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik