BUNYI kecipak ombak yang menampar-nampar lambung perahu tidak pernah
membangunkanku dari tidur siang sebelumnya. Namun kali ini lain. Suara
itu lebih dekat, lebih keras, dan aku terusik untuk mencari tahu. Pelan,
kubuka kedua mata yang masih ingin terlelap, sampai akhirnya mendapati
sosok Bapak sedang berjongkok di haluan. Badan dan rambutnya kuyup,
berkilauan disengat matahari siang. Seekor kakap merah besar
menggelepar-gelepar di depannya. Pasti suara ekor ikan yang menghantam
geladak itulah yang membangunkanku.
“Selamat ulang tahun, Bujang,” katanya menyapaku.
Aku terdiam sejenak sebab belum paham apa itu ulang tahun. Namun
senyum Bapak yang mengembang mengisyaratkan bahwa itu adalah sesuatu
yang menyenangkan. Terbukti dengan adanya kakap merah yang merupakan
ikan kesukaanku. Bapak bilang, tepat pada hari ini enam tahun yang lalu,
aku hadir di dunia. Maka itu sudah selayaknya kami rayakan, walau hanya
dengan kakap merah bakar. Tak apalah.
Konsep ulang tahun betul-betul membuatku bingung. Apa itu tahun? Ada
di mana aku dulu sebelum hadir di dunia? Dan —yang paling sering
kutanyakan— di mana ibu dan rumah kita? Pertanyaan-pertanyaan itu
kulancarkan kepada Bapak sehabis santap siang. Awalnya, ia hanya terdiam
sambil memandang jauh ke cakrawala. Aku tahu ia sedang berpikir keras
untuk menjawab.
“Kau lihat cakalang itu, Bujang?” Bapak menunjuk kawanan ikan
cakalang yang berlalu-lalang di dekat perahu kami. “Kalau kau melihat
cakalang beramai-ramai berenang ke selatan, itu artinya umur kau
bertambah satu tahun.”
Mendengar jawaban Bapak, aku langsung mengangguk, walau muncul
pertanyaan baru di kepala: kenapa perilaku ikan bisa menentukan umur
manusia? Tetapi buru-buru aku kunci mulut cerewetku begitu melihat Bapak
yang tampak bangga setelah mampu memuaskan rasa ingin tahu anak semata
wayangnya. Aku tak ingin dia tepekur memandangi lautan lagi.
“Dulu kau tinggal bersama ibumu di surga, Bujang. Di sanalah rumah
kita. Sampai suatu hari Dara-laut menjemput kau untuk turun ke dunia,
hingga ke perahu ini,” sambung Bapak yang lagi-lagi bersambut anggukan
dari anaknya. Bapak memang serba tahu, begitu aku membatin.
Hari beranjak gelap dan kami pun bersiap untuk tidur. Tikar bambu
yang sudah kecokelatan tergelar rapi di buritan. Tangan Bapak mengalasi
kepalaku, sedangkan kepalanya berbantalkan jala penjaring ikan. Bila
langit sedang cerah seperti malam ini, biasanya Bapak akan bercerita
tentang susunan bintang-bintang dan nama-nama mereka yang unik. Ini
adalah saat yang paling kutunggu.
“Rasi bintang pari,” cetus Bapak.
Telunjuknya menuliskan dua garis yang saling menyilang antara empat
bintang cemerlang di langit selatan. Aku terpukau pada kemiripan formasi
bintang-bintang itu dengan ikan Pari. Bapak bilang, kalau empat bintang
itu sedang benderang, maka ikan-ikan Pari akan keluar dari
persembunyiannya di balik karang dan pasir dasar laut untuk mencari
pasangan. Menarik bukan buatan. Khayalanku langsung menyelam ke dasar
samudera untuk menyaksikan bagaimana tuan dan nyonya pari berjumpa.
Namun Bapak belum berhenti di situ.
Ujung jarinya bergerak ke barat, mengacung ke arah sekumpulan bintang yang terlihat acak. “Rasi Pemburu,” katanya lagi.
Aku mengerutkan dahi, mencoba menangkap bentuk si pemburu yang Bapak
bilang. Lamat-lamat, ia menampakan dirinya. Seorang lelaki tangguh
sedang mengangkat perisai dan menghunus pedang. Gagah bukan main. Mataku
tak berkedip memandangnya. Lekas saja aku berfantasi menjadi pemburu
gagah berani yang sedang bertarung dengan Macan Kumbang. Alangkah
perkasanya diriku di sana.
Sayangnya, tak berapa lama kemudian, awan kelabu mulai menyelimuti.
Seperti tirai yang menyudahi pentas di panggung langit. Bapak juga sudah
mendengkur di sebelahku, pertanda cerita malam ini telah berakhir.
Meninggalkan aku yang masih terjaga memandangi arakan awan dengan senyum
masih mengembang di wajah. Ternyata bahagia itu sederhana. Aku hanya
butuh Bapak, langit dan samudera. Itu saja.
Cahaya mentari pagi lembut menyapa wajahku yang masih mengantuk.
Seperti biasa, begitu mata terbuka aku langsung mencari sosok Bapak di
atas perahu. Akan tetapi dia tak kutemukan kali ini. Panik, aku langsung
bangkit berdiri mencari Bapak. Setelah mataku berhasil menyesuaikan
diri dengan terang, aku mendapati hamparan pasir dan deretan pohon
kelapa terbentang di hadapan. Ternyata kami terdampar di sebuah pulau,
entah pulau apa ini. Sepertinya hampir tak berpenghuni. Kukatakan
“hampir” karena di bibir pantai aku melihat Bapak sedang bercakap-cakap
dengan seseorang. Mungkin dia satu-satunya penduduk pulau ini. Lawan
bicara Bapak itu berbadan gemuk dan kulitnya cokelat kusam. Kepalanya
tidak seperti kepala manusia pada umumnya, tidak seperti kepalaku dan
Bapak. Jungurnya yang panjang ditenggeri beberapa helai kumis yang tak
kalah panjangnya. Mirip moncong binatang. Telinganya pun lebar-lebar.
Aku penasaran. Apa yang Bapak bicarakan dengan orang itu? Tak berapa
lama, orang asing itu menoleh ke arahku. Sontak ada rasa tak suka yang
tumbuh di dada. Tak tahu mengapa.
Aku baru paham kalau orang itu hendak ikut naik ke perahu kami
setelah ia dan Bapak berjalan mendekat. Dari dekat, aku makin tak
menyukai orang itu. Lirikan matanya yang mencoba ramah seperti sedang
berpura-pura. Buru-buru aku merapat ke arah Bapak, memeluk kakinya
erat-erat.
“Tak usah takut, Bujang. Abang ini cuma mau menumpang sampai pulau
seberang.” Begitu Bapak menenangkanku. Namun tetap saja aku tak
melepaskan pelukan, malah semakin kencang aku merangkul kaki Bapak. Bola
mataku mengawasi lekat lelaki aneh itu. Aku tahu ada sesuatu yang tak
beres dengannya. Mengapa Bapak tidak curiga?
Kami menunggu malam turun untuk berangkat. Waktu seharian itu Bapak
pakai untuk memanen buah kelapa segar dan mengangkutnya ke perahu.
Sedangkan aku sibuk mengumpulkan berbagai macam cangkang kerang dengan
motif warna-warni di pesisir pantai. Sepanjang hari pula, orang asing
yang hendak ikut perahu kami hanya bersantai-santai di bawah pohon
kelapa. Sesekali kulihat ia mengawasi keberadaan Bapak dan aku. Namun
tak terlalu kuacuhkan.
Malamnya, tak butuh waktu lama bagi perahu kami untuk kembali
mencapai tengah lautan begitu layarnya mengembang. Angin darat yang
bertiup cukup kencang sangat membantu kelancaran pelayaran kami. Orang
berkepala janggal itu duduk di dekat kemudi sambil menyulut lintingan
daun enau dan menghisapnya dalam-dalam. Matanya mengawasi Bapak yang
sedang menyiapkan pukat dari antara kepulan asap tembakau. Dia tak
berbicara sepatah kata pun semenjak naik ke perahu.
Rupanya laut sedang bermurah hati pada Bapak malam itu. Dalam tempo
singkat, jaring jalanya sudah terisi oleh berbagai macam jenis ikan.
Kakap, kembung, cakalang, kuwe melimpah ruah di geladak.
“Ini hari baik, Bujang,” kata Bapak singkat.
Ya, hanya dengan kalimat sependek itu aku langsung tahu betapa
girangnya hati Bapak. Hasil penjualan panenan kelapa dan berkilo-kilo
ikan segar pastilah cukup untuk bekal kami melanjutkan petualangan ke
pulau-pulau lain. Melihat tempat-tempat baru sampai ke ujung dunia.
Itulah janji Bapak kepadaku dulu. Malam itu aku tidur pulas, tak sabar
menunggu pagi. Malang, ternyata nasib bermaksud lain. Begitu fajar
merekah, aku merasa ada sesuatu yang janggal.
Perahu kami telah bersandar dan terikat pada sebuah tonggak tambatan.
Barisan pohon kelapa lagi-lagi menjadi hal pertama yang kulihat.
Geladak yang semalam penuh sesak dengan keranjang ikan dan buah kelapa
sekarang kosong. Orang asing yang menumpang perahu kami pun tak tahu
kemana rimbanya. Menyisakan aku dan Bapak yang masih tertidur nyenyak.
Lekas aku menggoyang-goyangkan tubuh Bapak agar ia terbangun. Namun
ia tidur terlalu dalam. Sangat dalam sampai-sampai tak tahu kalau ia
telah ditipu mentah-mentah.
Bapak akhirnya terbangun setelah aku berteriak di dekat telinganya.
Secepat kilat ia berdiri dan melihat ke sekeliling. Keranjang-keranjang
penuh ikan hasil tangkapan semalam telah lenyap, dan ia segera sadar apa
yang telah menimpanya. Air mukanya berubah murung dirundung mendung.
Aku memeluk pundak Bapak yang sekarang duduk tercenung. Pastilah
memikirkan bagaimana kami bisa melanjutkan perjalanan tanpa bekal. Bapak
adalah orang yang selalu melihat sisi terbaik dari kehidupan, dari
manusia-manusia yang ia temui sehari-hari. Tak peduli seburuk apa pun
penampilan dan riwayat manusia itu. Sayangnya, sifat Bapak membuatnya
jadi sasaran empuk para penipu.
Perlahan, ia menoleh ke arahku. Ada ketenangan yang mendamaikan di
sorot matanya. Bapak kemudian mengusap-usap rambutku sambil berkata,
“Perkara kita menolong orang yang kesusahan adalah urusan kita dan
Tuhan. Perkara orang mencuri juga urusan pencuri itu dengan Tuhan.
Manusia hanya menjatuhkan pilihan. Tuhanlah yang membuat penilaian. Kau
harus ingat itu, Bujang.”
Lalu ia berdiri, mendayung perahu kami ke lautan lepas dan kembali menebarkan pukatnya ke air.
ROMBONGAN cakalang sudah berkali-kali hilir-mudik ke perairan
selatan. Kalau hitunganku benar, sudah lima belas kali mereka migrasi,
artinya umurku juga memiliki jumlah tahun yang sama.
Namun hidup tak banyak berubah. Cuma ada aku, Bapak dan laut yang
membentang. Tiga hal yang masih menjadi kunci kebahagiaanku. Kami telah
jauh merantau. Berbagai macam perairan telah kami lewati. Berpuluh-puluh
teluk dan semenanjung telah kami sisir. Serta beratus-ratus pulau telah
kami singgahi. Bapak telah menua. Uban dan guratan keriput telah
menguasai kepala dan wajahnya. Alih-alih bertambah lemah, fisiknya malah
masih belum mampu dikalahkan usia. Otot-otot di lengannya masih liat.
Dan ia masih mampu berlama-lama menahan napas di air saat berenang.
Bagiku, Bapak masih sama seperti dulu.
Aku pun telah tumbuh dewasa. Bapak telah banyak memberiku tugas yang
biasanya hanya boleh aku tonton. Seperti menaikkan layar, melemparkan
pukat ke air, memanjat pohon kelapa, bernegosiasi dengan juragan ikan di
pasar dan tugas-tugas lainnya. Tetapi tugas yang paling kusukai adalah
mengemudikan perahu, seperti yang kulakukan hari ini.
“Jangan melawan ombak, Bujang. Ikuti saja ke mana angin bertiup.”
Bapak yang duduk di haluan memberikan arahan. Berlayar mengikuti arah
angin memang menyenangkan. Perahu kami meluncur dengan kecepatan tinggi
tanpa hambatan. Dengan angin seperti ini, seharusnya kami mampu mencapai
perairan utara sebelum malam tiba. Sayang, manusia hanya bisa berharap.
Angin kencang yang tadi menemani kami perlahan menghilang, dan perahu
kami pun melambat.
Samar, aku menangkap sebuah garis hitam mengambang di kaki langit
sebelah timur. Pastilah itu daratan. Kulihat Bapak pun sedang
menimbang-nimbang untuk mengarahkan perahu ke sana. Tubuhnya naik-turun,
berdenyut bersama perahu yang dimanja riak samudera. Bayangan di ufuk
terlihat seperti kawanan pulau-pulau tak berpenghuni. Kecil kemungkinan
kami bisa berdagang di sana. Lagi pula hari masih siang dan belum
waktunya kami merapat ke daratan. Namun Bapak akhirnya menyuruhku
membelokkan kemudi ke timur. Jika saja udara tidak pengap seperti
sekarang dan angin tiba-tiba menghilang —pertanda badai akan datang—
bisa kupastikan Bapak takkan memilih untuk berlabuh di kepulauan itu.
Gugusan pulau kecil itu membujur dari utara ke tenggara. Pasirnya
masih putih bersih seperti belum tersentuh peradaban. Batu-batu apung
yang tak kalah putihnya bertebaran di sepanjang pantai. Dan deretan
pepohonan hijau yang rimbun berkerumun di kedalamannya. Perairan dangkal
di sekitarnya pun sangat jernih, bening layaknya kaca. Aku bisa melihat
ikan-ikan cantik yang berwarna-warni sedang bermain di balik bunga
koral yang tak kalah menawan. Beberapa ekor cumi-cumi dan kuda laut pun
tertangkap mata sedang asyik bercumbu dengan terumbu karang. Pulau-pulau
kecil ini seperti surga, indah tak terperikan.
Perahu kami mengambang pelan menyusuri selat-selat kecil yang
terbentuk di antara masing-masing pulau. Beruntung laut sedang pasang
hingga kami bisa mengayuh dengan lancar. Kedalaman air yang agak dangkal
memang hanya memungkinkan perahu kecil untuk menjelajah hingga pulau
terdalam. Bahkan mungkin kami adalah manusia pertama yang menemukan
nirwana ini. Kulihat Bapak menebarkan pandangan ke segala arah untuk
mencari petunjuk kehidupan. Sejauh ini yang kudapati hanya koloni camar
dan bermacam-macam serangga yang beterbangan dari daun ke daun. Rantai
makanan terpendek yang pernah kutahu. Sampai akhirnya kami mendengar
bunyi gemeresak di kanan-kiri.
Sosok-sosok berambut hitam panjang mulai bermunculan dari balik
bayang-bayang pohon. Menyeruak di antara cabang-cabang ketapang dan
cemara laut. Walaupun awan mendung sudah dekat, namun kami masih bisa
melihat mereka dengan jelas. Penunggu pulau-pulau ini adalah para
perempuan. Tua, muda, hingga anak-anak perempuan berjejer di bibir
pantai, memperhatikan dua orang asing yang tanpa permisi memasuki
teritorial rumah mereka.
Napasku tercekat. Gerakan Bapak pun melambat, seolah ada sesuatu yang
menahannya di tempat. Hanya bola mata kami yang berputar-putar dalam
rongganya, berusaha menangkap sinyal-sinyal bahaya yang mungkin sedang
mengintai. Namun sejauh ini, tak kulihat adanya ancaman. Kenapa hanya
ada perempuan di sini? Ke mana para lelakinya? Suami-suami mereka?
Serbuan pertanyaanku akhirnya menguap tak terjawab.
Kaum hawa penghuni pulau-pulau ini pastilah belum pernah menemui
orang asing sebelumnya. Terlihat jelas di sorot mata mereka yang polos
sekaligus menyelidik. Kebanyakan dari mereka pun telanjang tanpa
mengenakan apa-apa dari ujung kepala sampai ujung kaki. Aku menelan
ludah. Ini adalah pertama kalinya aku melihat wanita tampil tanpa
penutup badan sehelai pun. Menyadari hal yang sama, Bapak langsung
melemparkan sarungnya ke arahku. Matanya mendelik, menyuruhku meringkuk
di balik terpal yang menutupi bagian buritan perahu. Ia tak mau sesuatu
mengejang di balik celana si bujang, dan aku menurut.
Masih dengan perlahan dan dengan gerakan yang teratur, Bapak
mendayung perahu kami terus masuk ke pulau terdalam. Setelah air menjadi
tenang dan deburan ombak tak terdengar lagi, barulah Bapak memanggilku
keluar dari buritan. Sekarang di sekeliling kami hanya ada batu-batu
karang. Tak kulihat lagi perempuan-perempuan penasaran yang tadi
menyambut kami. Aku lantas mengambil tangkai dayung yang lain dan ikut
mengayuh bersama Bapak.
Jika pengamatanku tepat, maka pulau-pulau kecil tadi fungsinya hanya
sebagai pelindung pulau terbesar yang ada di tengahnya, pulau yang
sekarang ada di depan mataku. Barisan bakau menyesaki sisi sebelah
baratnya, membuat kami harus sedikit berputar untuk mencari pantai yang
agak landai buat perahu kami bersandar.
Ketika kami berputar menyusuri tebing selatan, tiba-tiba aku melihat
sesuatu yang berkilau di balik tebing sana. Bapak yang ikut penasaran
mulai mempercepat kayuhannya, begitu juga aku. Lambat laun,
tebing-tebing karang curam yang menutupi pandangan kami mulai
menyingkir, dan sesuatu yang berkilauan di bibir pantai itu sontak
membuat aku dan Bapak terkesiap.
Gundukan emas dan batu permata yang melimpah ruah terhampar di atas
lusinan peti-peti kayu. Aku dan Bapak terpukau melihat kilauan logam
mulia dan segala macam perhiasan yang menyilaukan. Zamrud, safir,
mutiara, berlian, emas koin dan batangan teronggok tak terjaga. Lama
kami memandangi harta karun itu tanpa berkedip. Tanpa berkata-kata.
Barulah setelah lambung perahu menyentuh pasir yang dangkal, aku
melompat turun, hendak mendekati kekayaan tak bertuan itu.
Bapak terlihat masih ragu dan memandang ke sekeliling. Kehati-hatian
Bapak sekonyong-konyong membuatku bimbang untuk melangkah lebih jauh.
Takut kalau-kalau ada pemiliknya yang sedang bersembunyi di balik
pepohonan, menunggu makhluk-makhluk tamak yang ingin mengambil hartanya
masuk perangkap, walau sejauh ini aku tak melihat siapa pun. Biarpun
begitu, tetap saja Bapak tak mau menapakkan kaki ke pulau ini.
“Kembali ke sini Bujang! Kita angkat sauh,” perintah Bapak.
Perhatian yang masih terpecah antara Bapak dan tumpukan harta karun
di depan mata membuatku terlambat mencerna perintahnya. Apa aku tak
salah dengar? Bapak mau pergi dari tempat ini tanpa membawa emas permata
sedikit pun?
Aku mendapatkan jawabannya begitu melihat lagi wajah Bapak. Bola
matanya bulat hitam, menandakan ia tak main-main dengan perkataannya.
Namun aku masih tak mengerti. Dengan segenggam emas ini, hidup kami akan
jauh lebih mudah. Bapak tak perlu bersusah-susah menjala ikan atau
memanjat pohon kelapa hanya demi memenuhi kebutuhan kami. Bahkan kami
bisa membeli perahu baru untuk mengganti perahu kami yang lapuk. Kenapa
Bapak malah mau pergi dari sini tanpa membawa apa pun?
Bapak sudah mulai memutar perahu untuk kembali menyusuri selat tempat
kami datang. Sementara aku masih saja mendebat perintahnya yang tidak
masuk logika itu. Hanya orang bodoh yang meninggalkan harta karun tak
terjaga dan pergi begitu saja. Apa yang Bapak pikirkan? Segala macam
alasan dan sanggahan aku utarakan pada Bapak. Namun ia tak bergeming dan
tetap mengayuh perahunya dalam diam. Sedangkan aku hanya bisa memendam
kesal melihat kilauan emas dan batu mulia kembali menghilang di balik
tebing.
Sepanjang perjalanan menuju ke lautan lepas, aku dan Bapak tak saling
bicara. Ia mendayung perahu sendirian di buritan dan aku masih meratapi
keberuntungan yang hilang dari genggaman. Emosi yang memuncak membuatku
tak acuh pada para perempuan telanjang yang tadi menyambut kami. Hanya
segelintir dari mereka yang masih berdiri di antara semak belukar.
“Samudera adalah hidup, dan daratan hanya godaan. Kau harus ingat
itu, Bujang,” kata Bapak tiba-tiba. Aku tak menggubris ucapannya. Hati
ini masih terlalu marah dan kecewa untuk menafsirkan maksud dari
kata-katanya. Memasuki perairan lepas, Bapak mulai menaikkan layar dan
perahu kami melaju ke arah pilar-pilar awan yang semakin hitam.
Selama belasan tahun hidup mengarungi lautan, aku dan Bapak telah
mengalami berpuluh-puluh badai, dari yang kecil hingga yang dahsyat
seperti ini. Pilihan pertama bagi para pelaut jika menghadapi badai
adalah segera mencari daratan untuk bersandar sambil menunggu angin
kencang reda. Akan tetapi keputusan Bapak sudah bulat. Ia tak mau
berlama-lama tinggal di kepulauan tadi. Baginya, menghadapi badai di
laut masih lebih baik dibanding menghadapi godaan di darat.
Gelombang setinggi rumah mulai bermunculan, sambung-menyambung
menghempaskan perahu kami ke udara. Aku langsung membantu Bapak untuk
menurunkan layar agar perahu kami tidak dihempaskan angin. Yang bisa
kami lakukan sekarang hanya membiarkan diri terombang-ambing ombak
sambil berharap badai segera berakhir. Harapan yang masih jauh dari
kenyataan melihat awan semakin gelap dan hujan bertambah deras. Amukan
badai pun semakin berkobar-kobar diselingi petir yang menyalak. Tak
kulihat lagi daratan yang tadi begitu dekat. Kami dikepung riak air dan
gelombang yang meradang.
Sebuah suara keras mengagetkan aku dan Bapak. Seperti bunyi kayu
berderak. Dan dalam hitungan detik air mulai membanjiri geladak.
Ternyata ada batang kayu sebesar tiang layar yang menghantam lambung
perahu, membuatnya limbung. Tanpa banyak berpikir, Bapak langsung
mengambil palu dan beberapa pilah kayu untuk menambal kebocoran.
Sementara aku mengambil beledi dan membuang air yang berhasil menyusup
masuk dari lubang itu. Sialnya, tak peduli seberapa banyak air yang
kubuang, air yang menggenangi perahu tetap makin banyak. Belum lagi
ditambah guyuran hujan yang tak reda-reda.
Di sela-sela kepanikan kami berdua, tanpa sadar sebuah gelombang
setinggi rumah dua lantai mulai menggunung, menderu menuju arah kami.
Beberapa meter sebelum menghantam perahu, ia pecah dan bergalon-galon
air menghujani perahu. Aku yang tak siap langsung terlempar ke buritan.
Kepalaku membentur tangkai kemudi. Sakit yang luar biasa langsung
menyerbu, bertubi-tubi sampai kesadaranku hilang. Kegelapan yang pekat
segera menyelimuti, dan aku tak ingat apa-apa lagi.
Aku terbangun dengan kepala yang berdarah. Pusing yang luar biasa
langsung menyergap begitu mata terbuka. Tertatih-tatih, aku mencoba
berdiri melihat ke sekeliling. Laut sudah tenang. Gelap malam meluruh
sejauh pandang. Tak ada bekas amukan badai sama sekali di sana. Beda
dengan keadaan perahu yang carut-marut. Air masih menggenang di geladak,
namun hanya semata kaki. Lubang akibat benturan dengan batang pohon
tadi rupanya sudah cukup tertutup, membuat keadaan perahu jadi
setimbang. Hanya ada satu keanehan. Aku tak melihat Bapak di mana-mana.
Spontan, aku berteriak sekencang-kencangnya ke segala arah,
memanggil-manggil Bapak. Kepalaku kembali berdentam-dentam seiring
denyut jantung yang terpacu. Namun tak ada jawaban ataupun tanda
keberadaannya. Gelombang besar yang menghempaskanku tadi pasti juga ikut
menghempaskan Bapak ke air. Dan aku tak bisa menolongnya. Bapak telah
hilang ditelan samudera.
Menyadari itu, air mata langsung meleleh tanpa henti beriringan
dengan ratapanku. Aku terhuyung dan jatuh terduduk di atas geladak.
Penyesalan akan pertengkaranku dan Bapak siang tadi langsung datang
menghantui. Satu-satunya orang yang kusayangi telah pergi dan aku tak
sempat mengucapkan selamat tinggal, mengucapkan maaf. Sekarang hanya ada
aku dan samudera. Aku tak akan pernah bahagia lagi.
Rasi bintang pari bersinar terang di selatan, mengantar kenanganku
kembali datang. Dadaku sesak mengingat bagaimana sayangnya Bapak padaku,
anak semata wayangnya. Kami telah menjelajahi banyak lautan dan
samudera. Melihat segala macam keunikan dunia dari ujung barat sampai
ujung timur. Sekarang, aku tak tahu harus ke mana.
Emosi yang hanya bisa tersalurkan lewat ratap tangis membuatku lelah
dan tertidur pulas. Sampai suara berisik di haluan membangunkanku
keesokan paginya.
Aku mendapati empat ekor dara-laut berketak-ketuk di atas kayu ketika
membuka mata. Mereka membawa sesuatu, sebuah keranjang rotan yang
dilapisi kain putih dengan corak kotak-kotak. Tak lama setelah aku
mencoba duduk, mereka lantas terbang satu persatu, meninggalkan perahu
dan keranjang itu. Dari tempatku berbaring, aku bisa melihat ada tangan
mungil yang bergerak-gerak di dalam keranjang. Tangan seorang anak
manusia. Terkejut, aku lekas berdiri dan menemukan seorang bayi
laki-laki dengan warna mata sebiru lautan menatapku dari peraduannya.
Bibirnya yang kecil terbuka, tertawa selebar-lebarnya begitu melihatku.
Aku mematung karena tak percaya pada apa yang kulihat. Kenangan akan
Bapak mulai muncul lagi. Kata-katanya yang menemaniku tumbuh besar
kuputar lagi di kepala. Lalu tanpa sadar, mulutku membuka, menyebutkan
satu kata yang selalu terucap dari mulut Bapak.
“Bujang?”
Cerpen Karangan: Dan Iswanda