Translate

Welcome Guys

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.
Tampilkan postingan dengan label kritik karya sastra. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kritik karya sastra. Tampilkan semua postingan

kritik puisi aku

Written By iqbal_editing on Senin, 22 Agustus 2016 | 00.49

Doa
Tuhanku
Dalam termenung
Aku masih menyebut nama-Mu
Biar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh
Caya-Mu panas suci
Tinggal kerlip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk

Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
Di Pintu-Mu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling
1) Tema
Puisi “Doa” karya Chairil Anwar di atas mengungkapkan tema tentang ketuhanan. Hal ini dapat kita rasakan dari beberapa bukti. Pertama, diksi yang digunakan sangat kental dengan kata-kata bernaka ketuhanan. Kata “dua” yang digunakan sebagai judul menggambarkan sebuah permohonan atau komunikasi seorang penyair dengan Sang Pencipta. Kata-kata lain yang mendukung tema adalah: Tuhanku, nama-Mu, mengingat Kau, caya-Mu, di pintu-Mu. Kedua, dari segi isi puisi tersebut menggambarkan sebuah renungan dirinya yang menyadari tidak bisa terlepas dari Tuhan.
Dari cara penyair memaparkan isi hatinya, puisi”Doa”sangat tepat bila digolongkan pada aliran ekspresionisme, yaitu sebuah aliran yang menekankan segenap perasaan atau jiwanya.. Perhatikan kutipan larik berikut :
(1)        Biar rusah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh
(2)        Aku hilang bentuk
remuk
(3)        Di Pintu-Mu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling                                                                                                              
Puisi yang bertemakan ketuhanan ini memang mengungkapkan dialog dirinya dengan Tuhan. Kata “Tuhan” yang disebutkan beberapa kali memperkuat bukti tersebut, seolah-olah penyair sedang berbicara dengan Tuhan.
2) Nada dan Suasana
Nada berarti sikap penyair terhadap pokok persoalan (feeling) atau sikap penyair terhadap pembaca. Sedangkan suasana berarti keadaan perasaan pembaca sebagai akibat pembacaan puisi.
Nada yang berhubungan dengan tema ketuhanan menggambarkan betapa dekatnya hubungan penyair dengan Tuhannya. Berhubungan dengan pembaca, maka puisi “Doa” tersebut bernada sebuah ajakan agar pembaca menyadari bahwa hidup ini tidak bisa berpaling dari ketentuan Tuhan. Karena itu, dekatkanlah diri kita dengan Tuhan. Hayatilah makna hidup ini sebagai sebuah “pengembaraan di negeri asing”.
3) Perasaan
Perasaan berhubungan dengan suasana hati penyair. Dalam puisi ”Doa” gambaran perasaan penyair adalah perasaan terharu dan rindu. Perasaan tersebut tergambar dari diksi yang digunakan antara lain: termenung, menyebut nama-Mu, Aku hilang bentuk, remuk, Aku tak bisa berpaling.
4) Amanat
Sesuai dengan tema yang diangkatnya, puisi ”Doa” ini berisi amanat kepada pembaca agar menghayati hidup dan selalu merasa dekat dengan Tuhan. Agar bisa melakukan amanat tersebut, pembaca bisa merenung (termenung) seperti yang dicontohkan penyair. Penyair juga mengingatkan pada hakikatnya hidup kita hanyalah sebuah ”pengembaraan di negeri asing” yang suatu saat akan kembali juga. Hal ini dipertegas penyair pada bait terakhir sebagai berikut:
Tuhanku,
Di Puntu-Mu Aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling
00.49 | 0 komentar | Read More

kriitik cerpen bekas luka karyya pratiwi syarif

Mengkritik Karya Sastra Cerpen "Bekas Luka" Karya Pratiwi Syarif

Karya sastra yang saya kritik adalah cerpen yang berjudul ”Bekas Luka” yang diambil dari sebuah Antologi Cerpen karya Pratiwi Syarif. Untuk mudahnya, baiklah di bawah ini akan dikutip kembali Cerpen tersebut secara lengkap. 

Aku adalah seorang perempuan yang untuk pertama kalinya merasakan jatuh cinta pada seorang lelaki yang tidak tepat. Lelaki yang usianya jauh lima tahun di atasku, lelaki yang kuanggap dewasa meski ternyata ia begitu posesif. Bagaimanapun juga setiap orang memiliki masa lalu dalam hidupnya, seburuk apapun itu. Dan masa lalu itu tak bisa diterima oleh Dony, bahkan setiap kali ia melihat kakiku ia selalu merasa bercinta di neraka.

Ini tentang kisahku bersama Gun, meski hanya sebatas pacar pertama, namun kenangan bersama Gun bukan lagi melekat erat dalam benakku, tapi juga membekas dalam ragaku. Perkenalanku dengan Gun biasa saja, bahkan tak ada yang istimewa, kami berjumpa di sebuah pentas seni yang didesak-desaki pengunjung. Lalu semuanya mengalir begitu saja.

Yang menarik, usia kedekatanku dengan Gun hanya seumur jagung, namun membuahkan masalah, saat itu Gun memboncengi aku ke sebuah pasar kaget, kami bersantai di sana sambil menikmati riuh suara pedagang yang memuji dagangannya. Lalu perjalanan pulang saat itu, Gun dan aku mengalami kisah naas. Motor kami tertabrak, lalu kakiku masuk dalam terali ban motor kemudian ikut menyeretku ke dalam sebuah selokan sepanjang 500 meter. Tentu saja kakiku waktu itu patah, berjalan pun tak lagi sesempurna dulu, juga meninggalkan bekas luka, Aku terpaksa memakai tongkat.

Selama berbulan-bulan aku membawa keadaan itu, dalam kondisi kaki yang cacat dan aku terputus dengan pergaulanku yang akrab dan hangat bersama teman-temanku.

Gun saat itu meninggal, tak bisa tertolong nyawanya apalagi saat ia terlempar ke tengah jalan lalu sebuah truk menindasnya. Hancur seluruh raganya, dan aku tak ingin lagi mengingatnya. Mengerikan sekali, bahkan aku menyebut jalan itu jalan korban 40.000 jiwa. Sudah banyak korban yang tak terselamatkan, konon jalan itu sungguh keramat. Setiap kali kita berniat melewati jalan itu, sudah seharusnya mengucapkan salam, membunyikan klakson sebagai pertanda bahwa kita menghormati penunggu jalan atau mungkin sebagai simbol kita permisi untuk melewati jalannya.

Seperti itulah kisah yang terjadi setahun yang lalu, namun Dony tak mau tahu dengan kejadian itu. Baginya kakiku yang meninggalkan bekas luka membuatnya tidak nyaman berada di dekatku, apapun caranya. Dony memaksaku untuk menghilangkan bekas luka itu. Karena semakin ia melihatnya semakin ia merasa bahwa aku masih selalu mengingat Gun. Jujur saja, bekas luka itu sama saja seperti tanda lahir yang tak bisa terelakkan dan kuhindari. Dony, orang yang membuatku tak lagi memikirkan dunia luar tak berhenti mendesakku, apapun caranya bekas lukaku mesti lenyap dari ujung matanya.

Sesungguhnya aku gerah dengan lelaki yang mengekangku itu, namun hatiku terpaut jauh melangkah mencintainya. Bukan hanya jiwa, tapi kesucianku yang direnggut, Dony tak bisa membuatku lari ataupun berkelik menanggapinya. Yang ada di pikiranku, bagaimana bisa membuat Dony bahagia meski ia tak pernah berhenti menyakitiku, bagaimana caranya aku menghentikan pertengkaran dan kekasaran Dony kepadaku, entahlah.

Di ujung sore yang mendung, Dony menjemputku. Mungkin ini batas terakhir kesabarannya menunggu bekas luka yang sungguh tak enak dipandangan dan hatinya segera berlalu. Namun aku tak tahu, dengan cara apa aku harus menghilangkan bekasnya. Jika tak kuhilangkan, satu tamparan akan melayang ke pipiku, kadang juga tendangan ke mata dan pelipisku. Sakit. Baru kali ini aku jatuh cinta, namun cinta yang membuatku terjebak pada orang yang sangat tempramen. Aku sendiri tak pernah merasa kehilangan cintaku untuk Dony hanya karena masa lalunya bersama wanita lain. Karena cintaku untuk hari ini dan esok, bukan untuk yang kemarin.

Pada suatu ketika yang biasa, Dony menghujam mataku dengan kepalan tinju di tangannya, nyaris aku kehilangan penglihatan bahkan putih di mataku kini memerah. Seperti darah itu ingin membuncah dari bola mataku yang sungguh mendung. Aku tenang saja menerima perlakuan yang sudah biasa, sudah menjadi santapanku. Bodohnya aku, namun aku takut tak ada lagi lelaki yang mau menerimaku dalam keadaan kehilangan sari. Akhirnya di ujung deritaku, aku pun mencoba hal terburuk di dunia ini, mungkin tidak dengan mengoperasi bekas luka di kakiku, tapi aku menempelkan sebuah strika panas dengan harapan bekas luka itu bisa tertutupi. Kini di kakiku luka di atas bekas luka, tak tahu lagi harus kulenyapkan dengan apa. Yang aku tahu aku mencintai orang yang salah. Bekas luka itu tak hanya sebatas di kakiku, tapi kini menjalar ke jantung hatiku.

Kritik New Critism

fokus kritikan yang akan saya kaji pada kritik New Critism ini adalah unsur intrinsik cerita pendek (cerpen) yaitu:

1. Tokoh dan karakter tokoh/penokohan

Istilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita, sedangkan watak, perwatakan atau karakter menunjukkan pada sifat dan sikap para tokoh yang menggambarkan kualitas pribadi seseorang tokoh. Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca. Secara umum, kita mengenal tokoh protagonis dan antagonis. Tokoh protagonis yang merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai yang ideal bagi kita. Tokoh protagonis menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan dan harapan pembaca. Adapun tokoh antagonis adalah tokoh yang menyebabkan terjadinya konflik. Tokoh antagonis merupakan penentang tokoh protagonis.

  1. Tokoh protagonis dalam cerpen “Bekas Luka” karya Pratiwi Syarif adalah: Aku
  2. Tokoh antagonis dalam cerpen “Bekas Luka” karya Pratiwi Syarif adalah: Dony
Penokohan/Sifat/Karakter/Perwatakan Tokoh
Ada 2 teknik untuk memperlihatkan penokohan / perwatakan yaitu :

  1. Melalui teknik analitik (menyebutkan secara langsung)
  2. Melalui teknik dramatik (secara tidak langsung)

Penokohan/Sifat “Aku” dalam cerpen “Bekas Luka” karya Pratiwi Syarif di atas adalah: percaya pada hal mistik, setia dan penyayang pada suami, sosok istri yang sabar, walaupun pada akhirnya karena ketakutan yang dibuatnya sendiri, ia mengambil jalan pintas dengan menyetrika bekas lukanya.

Penokohan/Sifat “Dony” dalam cerpen “Bekas Luka” karya Pratiwi Syarif di atas adalah: Seorang suami yang temperamen (pemarah), tidak bertanggung jawab, dan tidak bisa menerima kenyataan hidup sehingga dia memperlakukan istrinya secara tidak manusiawi.


2. Latar (setting)

Latar dalam sebuah cerita menunjuk pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Latar memberikan pijakan cerita secara konkret (nyata) dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi. Latar dapat dibedakan menjadi tiga yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar suasana.

Latar (Setting) dalam cerpen “Bekas Luka” dapat dianalisis berdasarkan kalimat-kalimat dalam cerpen tersebut, yaitu:

  • Latar tempat: di jalan raya (Lalu perjalanan pulang saat itu, Gun dan aku mengalami kisah naas. Motor kami tertabrak), di pasar (Gun memboncengi aku ke sebuah pasar kaget, kami bersantai di sana sambil menikmati riuh suara pedagang yang memuji dagangannya)
  • Latar waktu: Pagi hari (Gun memboncengi aku ke sebuah pasar kaget) pasar kaget biasanya pada pagi hari. Sore hari (Di ujung sore yang mendung, Dony menjemputku)
  • Latar suasana: ramai (kami berjumpa di sebuah pentas seni yang didesak-desaki pengunjung), gerah (Sesungguhnya aku gerah dengan lelaki yang mengekangku itu), mendung (Di ujung sore yang mendung, Dony menjemputku)
3. Alur (plot)  
Alur adalah urutan peristiwa yang berdasarkan hukum sebab akibat. Alur tidak hanya mengemukakan apa yang terjadi, akan tetapi menjelaskan kenapa hal ini bisa terjadi. Kehadiran alur dapat membuat cerita berkesinambungan. Oleh karena itu, alur biasanya disebut juga susunan cerita atau jalan cerita. Ada dua cara yang dapat digunakan dalam menyusun bagian-bagian cerita, yakni sebagai berikut.

a) Pengarang menyusun peristiwa-peristiwa secara berurutan mulai dari perkenalan sampai penyelesaian. Urutan peristiwa tersebut meliputi:

  • Mulai melukiskan keadaan (situation);
  • Peristiwa-peristiwa mulai bergerak (generating circumtanses);
  • Keadaan mulai memuncak (rising action);
  • Mencapai titik puncak (klimaks);
  • Pemecahan masalah/penyelesaian (denouoment);
b) Pengarang menyusun peristiwa secara tidak berurutan. Pengarang dapat memulai dari peristiwa terakhir atau peristiwa yang ada di tengah, kemudian menegok kembali pada peristiwa-peristiwa yang mendahuluinya. Susunan yang demikian disebut alur mundur.

Alur : jalur cerita atau rangkaian jalannya cerita. Pententangan atau konflik.

Ada lima tahapan dalam alur :

  • Perkenalan,
  • Penanjakan,
  • Klimaks
  • Puncak klimaks, dan
  • Anti klimaks atau penyelesaian.
Alur ada 3 yaitu: alur maju, alur mundur, dan alur campuran.

Alur yang digunakan dalam cerpen “Bekas Luka” adalah alur campuran alasannya karena tokoh “Aku” menceritakan kembali (flash back) peristiwa yang pernah dialami ketika jatuh dari motor bersama Gun.

4. Sudut pandang (point of view)
Sudut pandang adalah visi pengarang dalam memandang suatu peristiwa dalam cerita. Untuk mengetahui sudut pandang, kita dapat mengajukan pertanyaan siapakah yang menceritakan kisah tersebut?

Ada beberapa macam sudut pandang, diantaranya sudut pandang orang pertama (gaya bahasa dengan sudut pandang “aku”), sudut pandang peninjau (orang ketiga), dan sudut pandang campuran.

Sudut Pandang yang digunakan dalam cerpen “Bekas Luka” karya Pratiwi Syarif adalah: Sudut Pandang Orang Pertama (SPO1) karena menggunakan kata ganti “Aku

“Aku adalah seorang perempuan yang untuk pertama kalinya merasakan jatuh cinta pada seorang lelaki yang tidak tepat”

5. Gaya bahasa
Gaya bahasa adalah cara khas penyusunan dan penyampaian dalam bentuk tulisan dan lisan. Ruang lingkup dalam tulisan meliputi penggunaan kalimat, pemilihan diksi (pilihan kata), penggunaan majas, dan penghematan kata. Jadi, gaya merupakan seni pengungkapkan seorang pengarang terhadap karyanya.

Gaya bahasa dalam cerpen “Bekas Luka” yaitu: Yang menarik, usia kedekatanku dengan Gun hanya seumur jagung (Perumpamaan)

6. Tema


Tema adalah persoalan pokok sebuah cerita. Tema disebut juga ide cerita. Tema dapat berwujud pengamatan pengarang terhadap berbagai peristiwa dalam kehidupan ini. Kita dapat memahami tema sebuah cerita jika sudah membaca cerita tersebut secara keseluruhan.
 

Tema cerpen “Bekas Luka” karya Pratiwi Syarif adalah: Keluarga tokoh “aku” menceritakan kekerasan yang dialami keluarganya yang dilakukan oleh suaminya, karena suaminya tidak ingin melihat “bekas luka” istrinya akibat jatuh dari motor bersama mantan pacar.

7. Amanat
Melalui amanat, pengarang dapat menyampaikan sesuatu, baik hal yang bersifat positif maupun negatif. Dengan kata lain, amanat adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang berupa pemecahan masalah atau jalan keluar terhadap persoalan yang ada dalam cerita.

Amanat dalam cerpen “Bekas Luka” adalah: Kita harus menerima kenyataan hidup karena semua ini adalah ujian dan cobaan dari Allah Swt.
00.34 | 0 komentar | Read More

kritik historis drama mengapa kau culik kami

Kritik Historis Pada Naskah Drama "Mengapa Kau Culik Anak Kami?"

Kritik Historis Pada Naskah Drama "Mengapa Kau Culik Anak Kami?"
 Karya Seno Gumira Adjidarma




Naskah drama “Mengapa Kau Culik Anak Kami?” karya Seno Gumira Ajidarma merupakan naskah drama tiga babak, yang dikemas dan diangkat dari permasalahan di Jakarta. Kumpulan drama tersebut memaparkan sebuah kisah nyata yang disajikan dalam dunia rekaan. Peristiwa ini menimbulkan penderitaan bagi warga akibat tindak kerusuhan yang terjadi dan konflik sosial antara pemerintah, gerilyawan, pejabat yang ingin berkuasa dan warga Jakarta. Masalah sosial yang terdapat dalam kumpulan naskah drama ini yaitu adanya pemerkosaan, penculikan, penganiayaan masyarakat Jakarta yang dilakukan oleh orang yang ingin menguasai negara Indonesia. Dibuktikan dengan kutipan berikut ini:
IBU
Waktu itu aku tidak tahu kalau sekolah libur. Aku berangkat ke sekolah. Ketika sampai di kelas, aku Cuma mencium bau amis darah. Darah orang-orang yang disiksa menyiprat di tembok, papan tulis dan bangku-bangku. Di mana-mana orang bergerombol, berteriak-teriak, mencari orang-orang yang diburu. (Ajidarma, 2001: 8).
IBU
Habis, perempuan-perempuan itu diperkosa kok menterinya diam saja. (Ajidarma, 2001: 25).
IBU
Jadi mereka dengan sadar melakukan pemaksaan. Menculik. Menanyai sambil menempeleng dan menyetrum. Atau menyuruhnya tidur di atas balok es. Orang-orang yang dilepaskan bercerita seperti itu kan? (Ajidarma, 2001: 26).
Naskah drama ini tokoh yang dimunculkan hanya seorang ibu dan bapak bercerita tentang anaknya yang diculik oleh seorang pemerintah karena kekritisan pemikiran yang dimiliki oleh anaknya, anaknya itu bernama Satria. Naskah ini dikarang pada masa penculikan aktivis sekitar tahun 1997/1998 pada masa Pemerintahan Orde Baru. Satria digambarkan sebagai seorang anak yang manja, dan sangat dekat dengan ibunya. Kemanjaan itu muncul karena Satria adalah anak terakhir dari tiga bersaudara, akan tetapi ia memiliki pemikiran yang kritis dan tajam. Hal ini tergambar dalam kutipan berikut ini :
BAPAK
Kurus dan sakit-sakitan. Tapi pikirannya tajam (Ajidarma, 2001: 24).
BAPAK
Dia kan lebih dekat sama kamu bu!
IBU
Yah, anak itu, sudah segede itu masih suka cerita sambil tidur dipangkuanku.
BAPAK
Anak mami!
IBU
Memang anak mami! Cerita macam-macam hal sambil tiduran. Impian-impiannya, harapan-hrapannya, kekecewaannya, kepahitannya. Dia memang peduli sekali dengan politik. Aku sendiri nggak suka ngerti omongannya. Aku pernah bilang, hati-hati dengan politik. Kubilang “kamu datang dengan pikiran-pikiran hebat, tapi orang bisa menyambut kamu dengan pikiran ingin menyembelih. Dia bilang “politik yang dewasa tidak begitu bu. Setiap orang harus mau mendengar pikiran orang lain. “aku bilang lagi, “pokoknya hati-hati, di negeri ini politik selalu ebrarti kekerasan, bukan pemikiran.” (Ajidarma, 2001: 28).
Latar ceritanya berlangsung di sebuah ruangan di rumah mereka. Pada suatu malam, pasca penculikan aktivis menjelang kejatuhan pemerintahan Soeharto. Mereka memperbincangkan nasib anaknya dan berbagai kondisi lainnya dari pukul 22.00 hingga 01.00 pagi sampai mereka tidak bisa tidur. Dalam drama ini tokoh Bapak digambarkan memakai sandal kulit silang, ibu berselop tutup. Bapak menonton TV, ibu membaca buku. Mereka sudah berusia paruh baya sekitar 50-an, Bapak mengenakan kaos oblong putih dan sarung, sedangkan ibu mengenakan kain dan kebaya Sumatera.
Melalui dialog kedua tokoh utama ini, munculah sejumlah karaker yang dapat dikategorikan sebagai tokoh tambahan dalam drama ini. Tokoh-tokoh tersebut antara lain:
a.      Satria (anak bungsu mereka yang hilang diculik karena pemikirannya yang kritis terhadap penguasa)
b.     Si Mbok (orang tua yang mengalami trauma terhadap peristiwa pembantaian tiga puluh tahun yang lalu)
c.      Para tentara dan komandan (yang melakukan tindak penculikan terhadap para aktivis sebagai bentuk melaksanakan perintah atasan guna mengamankan negara)
d.     Penguasa (yang mengidentikan dirinya sebagai negara)
e.      Saras (pacar Satria)
f.      Ibu Saleha (ibu Saras, calon besan tokoh Ibu dan Bapak)
g.     Yanti (orang yang memberikan kaos Hard Rock Cafe kepada Satria).
Tokoh Ibu dan Bapak dideskripsikan oleh pengarang sebagai mahasiswa yang pernah ikut mogok makan dan demonstrasi. Hal ini dijelaskan pada kutipan berikut.
BAPAK
Apa kamu tidak keras kepala? Siapa dulu yang mogok makan?
IBU
Yah, kan itu masih muda.
BAPAK
Waktu sudah tua juga! Siapa yang bawa poster di depan kantor menteri wanita?
IBU
Habis, perempuan-perempuan itu diperkosa kok menterinya diam saja (Ajidarma, 2001: 25).
            Keadaan keluarga pada naskah drama “Mengapa Kau Culik Anak Kami?” merupakan gambaran sebuah kelurarga yang hangat, harmonis serta penuh kasih sayang. Hal ini dibuktikan pada kutipan dialog berikut ini :
IBU
Kalau satria bisa bertahan, kenapa aku ibunya tidak? Tapi aku merasa seolah-olah ia masih berada di sini. Aku masih selalu menyiapkan sarapannya setiap hari, siapa tahu dia pulang. Kamu tahu pak, dia selalu sarapan roti, pakai telur isi ceplok setengah matang dilapisi beef bacon yang kalau dia iris lantas kuningnya meleler memenuhi piringnya. Lantas ia sapu dengan rotinya itu. Minum kopi susu. Hampir tidak pernah bosan ia dengan telur. Tapi tidak pernah ia jerawatan pak. Tahun belakangan ia sering tidak pulang, tapi paling lama juga dua- tiga hari, itu pun selalu menelpon ke rumah. Sibuk rapat katanya. Atau demo ini-itu. Aku selalu menyediakan vitamin karena tubuhnya kurus begitu. Tapi semangatnya itu pak, kalau sudah ngomong, waduh, matanya berapi-api. Aku tahu dia bisa bertahan dalam penderitaan (Ajidarma, 2001: 24).
Tema drama ini yaitu mengenai kegelisahan kedua orang tua Satria yang menunggu kembalinya Satria putra bungsu mereka yang hilang karena kasus penculikan. Kedua orang Satria itu mempertanyakan apakah negara (penguasa) berhak melakukan pembungkaman para pengkritiknya dengan cara penculikan melalui aparatur negara?. Alur yang terdapat dalam naskah drama ini yaitu menggunakan alur campuran, dimana pada awal cerita ada pada masa sekarang, namun inti dari dialog ibu dan bapak menceritakan pada masa lalu. Sudut pandang yang dipakai pengarang dalam drama ini yaitu menggunakan sudut pandang orang ketiga. Amanat yang disampaikan pada naskah drama ini yaitu bahwa kita harus tetap menegakan keadilan dan kebenaran terutama untuk kepentingan bersama dalam bermasyarakat dan bernegara.
Lewat drama ini, pengarang telah melakukan konstruksi ideologis atau formasi ideologi terhadap kelompok dominan yang dalam konteks kehidupan sosial politik Indonesia yaitu pemerintah Orde Baru, pemerintahan Soeharto yang neo-fasisme militer. Konstruksi yang dibangun atau proses strukturasi yang dilakukan oleh drama ini yaitu berupa counter hegemoni atau resistensi terhadap pihak penguasa.
Meski demikian drama ini tidak mendapat pelarangan atau pembredelan seperti yang terjadi pada sejumlah karya sastra lainnya (seperti yang terjadi pada pengarang Lekra) mengingat Seno Gumira Ajidarama adalah pengarang hegemonik dalam kesusastraan Indonesia. Selain itu, drama bersifat imajinatif bukan berita yang faktual.
Jika dilihat dari segi sosial drama ini menggambarkan keadaan pemerintah yang otoriter, tidak berpihak kepada rakyat hanya mementingkan kekuasaan demi kelompok-kelompok yang merasa dirinya sebagai negara.
Dari segi hukum drama ini tidak mencerminkan dan menerapkan pancasila dan UUD sebagai landasan negara Indonesia. Mereka dipaksa untuk sependapat, jika ada yang memiliki pendapat yang sedikit menentang terhadap kekuasaan pemerintahan maka pemerintah tidak akan segan-segan menangkap ataupun menculik orang tersebut. Bagi pemerintahan orang yang memiliki pemikiran kritis itu sangatlah berbahaya. Berikut kutipan yang menjelaskan tentang hal ini.
BAPAK
Kritis. Kritis itu berbahaya bagi Negara.
IBU
Lho, kritis itu berguna untuk Negara.
IBU
Yang namanya kritis itu, di zaman apapun, di Negara manapun selalu berguna. Kenapa dianggap berbahaya?
BAPAK
Pada dasarnya sikap kritis memang berguna untuk Negara, tapi yang menganggap berbahaya ini sebetulnya bukan Negara, melainkan orang-orang yang me-ra-sa di-ri-nya adalah Negara! (Ajidarma, 2001: 15).
Dari segi moral penculikan tidak mencerminkan keprimanusiaan dan keadilan, karena mereka merenggut kebebasan para aktivis menyuarakan pendapatnya. Selain itu, mereka juga melakukan tindakan kekerasan terhadap para aktivis yang diculik. Hal ini dijelaskan pada kutipan berikut.
BAPAK
Mereka bertanya sambil mengemplang. Bertanya sambil menyetrum. Mereka menginginkan jawaban seperti yang mereka kehendaki. Interogasi kok seperti itu. Maksa! Dan satria itu orangnya ngeyelan. Mana mau dia ngaku meski disakiti
BAPAK
Kamu harus siap dengan penderitaan. Orang-orang yang dilepaskan bercerita bagaimana mereka bukan Cuma ditanyai sambil dikemplang, ditanyai sambil diestrum. Belum bener juga lantas kepalanya dimasukkan ke air sampai mereka megap-megap. Rata-rata pengalamannya hampir sama (Ajidarma, 2001: 25).
IBU
Jadi mereka dengan sadar melakukan pemaksaan. Menculik. Menanyai sambil menempeleng dan menyetrum. Atau menyuruhnya tidur di atas balok es. Orang-orang yang dilepaskan bercerita seperti itu kan? (Ajidarma, 2001: 26).
Dari segi politik drama ini menggambarkan keadaan pemerintahan orde baru yang penuh kekuasaan dibandingkan dengan masa pemerintahan sekarang yang demokratis sehingga orang bebas berpendapat.
Dari segi pendidikan naskah drama ini dapat dijadikan sebagai bahan ajar, karena dalam cerita ini para tokoh merupakan sosok yang pernah mengenyam pendidikan perguruan tinggi sehingga mereka memiliki pemikiran-pemikiran yang kritis terhadap apa yang terjadi. Diharapkan bagi para pembaca dapat melihat segi  positif dari tokoh Satria yang memiliki pemikiran kritis, agar pembaca tidak merasa takut ataupun khawatir jika mereka ingin mengungkapkan pendapat mereka.
Naskah drama “Mengapa Kau Culik Anak Kami” karya Seno Gumira Ajidarma ini dikaji dengan menggunakan jenis kritik historis, yaitu kritik sastra yang mengadakan survei terhadap kegiatan sastra pada suatu periode sejarah tertentu, ataupun menempatkan seorang pengarang dalam kelompoknya serta menunjukkan hubungannya dengan kelompok tersebut, dan sebagainya (Tarigan,1984: 206).
Dalam pengkajiannya kami menyoroti tentang peristiwa-peristiwa pada tahun 1997-1998 yaitu peristiwa penculikan para aktivis ketika akan diadakannya Pemilu (Pemilihan Umum) tahun 1997 dan Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 1998. Bagaiman konflik-konflik terjadi akibat kekuasaan politik. Orang-orang yang berani menentang kekuasaan itu tidak segan-segan dihabisi, mereka diculik dan diasingkan. Hal ini tercantum pada sumber lain, yakni Selama periode 1997/1998, KONTRAS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) mencatat 23 orang telah dihilangkan oleh alat-alat negara. Dari angka itu, 1 orang ditemukan meninggal (Leonardus Gilang), 9 orang dilepaskan penculiknya, dan 13 lainnya masih hilang hingga hari ini (Wikipedia, Penculikaan Aktivis 1997/1998).
Dalam drama ini aktivis yang belum diketahui keberadaannya digambarkan sebagai Satria yaitu anak dari tokoh Bapak dan Ibu. Hal ini tergambar pada kutipan dialog berikut:
BAPAK
Gila! Mereka menculik anak kita! Bagaimana aku bisa lupa? (Ajidarma, 2001: 21).
Penulis mengkaji dengan pendekatan historis karena pengarang pernah menyaksikan baik secara langsung atau tidak terhadap peristiwa pada tahun 1997/1998, dikuatkan dengan latar belakang pengarang yang pernah menjadi seorang waratawan pada salah satu surat kabar di Jakarta. Latar belakang yang menunjang peristiwa ini lah pengarang berhasil menciptakan dan menggarap nasakah drama yang bertajuk tentang kekerasan dan gambaran peristiwa tahun 1997/1998. Meskipun karya sastra bersifat imajinatif, namun hal itu tidak menjadikan pengarang menciptakan karya sastra semata-mata bersifat imajinatif, akan sutau hal kejadian yang dialami atau dirasakan pengarang melalui pengalamannya untuk menciptakan karya sastra tersebut. Naskah drama ini merupakan bentuk kritikan terhadap pemerintahan masa Orde Baru yang dinilai ada yang pro dan kontra. Pengarang menggambarkan kondisi keluarga yang menjadi salah satu korban penculikan pada masa pemerintahan tersebut, agar pemerintah menyadari betapa berharganya sebuah keutuhan dalam berkeluarga.
Mengenai pengarangnya sendiri yaitu Seno Gumira Ajidarma dilahirkan di Boston pada tanggal 19 Juni 1958 dan dibesarkan di Yogyakarta. Puisinya yang pertama dimuat dalam rubrik "Puisi Lugu" majalah Aktuil asuhan Remy Silado, cerpennya yang pertama dimuat di surat kabar Berita Nasional, dan esainya yang pertama, tentang teater, dimuat di surat kabar Kedaulatan Rakyat. Seno kemudian mendirikan "pabrik tulisan" yang menerbitkan buku-buku puisi dan menjadi penyelenggara acara-acara kebudayaan. Pada tahun yang sama Seno mulai bekerja sebagai wartawan lepas pada surat kabar Merdeka. Tidak lama kemudian, ia menerbitkan majalah kampus yang bernama Cikini dan majalah film yang bernama Sinema Indonesia. Setelah itu, ia juga menerbitkan mingguan Zaman, dan terakhir ikut menerbitkan (kembali) majalah berita Jakarta-Jakarta pada tahun 1985. Pekerjaan sebagai wartawan dijalani Seno sambil tetap menulis cerpen dan esai.Selama menganggur, Seno kembali ke kampus, yang ketika itu telah menjadi Fakultas Televisi dan Film, Institut Kesenian Jakarta. Ia menamatkan studinya dua tahun kemudian. Setelah sempat diperbantukan di tabloid Citra, pada akhir tahun 1993 Seno kembali diminta memimpin majalah Jakarta-Jakarta, yang telah berubah menjadi majalah hiburan.
Hingga kini Seno telah menerbitkan belasan buku yang terdiri kumpulan sajak, kumpulan cerpen, kumpulan esai, novel, dan karya nonfiksi.Atas prestasinya di bidang penulisan cerita pendek, Seno Gumira Ajidarma mendapat penghargaan dari Radio Arif Rahman Hakim (ARH) untuk cerpennya Kejadian (1977), dari majalah Zaman untuk cerpennya Dunia Gorda (1980) dan Cermin (1980, dari harian Kompas untuk cerpennya Midnight Express (1990) dan Pelajaran Mengarang (1993), dan dari harian Sinar Harapan untuk cerpennya Segitiga Emas (1991). Selain itu, Seno juga memperoleh Penghargaan Penulisan Karya Sastra dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa untuk kumpulan cerpen Saksi Mata (1995) dan Penghargaan South East Asia (S.E.A.) Write Award untuk kumpulan cerpen Dilarang Mennyanyi di Kamar Mandi (1997)
00.31 | 0 komentar | Read More

kritik drama nyonya-nypnya karya wisran hadi

Keserakahan (Materialisme) Sebagai Lemahnya Jiwa Seseorang
Dalam Naskah Drama Nyonya-Nyonya Karya Wisran Hadi

Naskah drama Nyonya-Nyonya karya Wisran Hadi merupakan sebuah gambaran kondisi kehidupan yang sedang terjadi di dalam masyarakat saat ini yakni, keserakahan dan lemahnya jiwa seseorang. Kondisi masyarakat yang dimaksudkan adalah kondisi di mana banyak orang sudah terpengaruh oleh keserakahan materi dan lemahnya jiwa dalam menjalani kehidupan misalnya, perilaku korupsi yang tak henti-hentinya menghujam negeri ini. Kondisi seperti ini merupakan dampak dari kemrosotan moral yang dirasa sangat memilukan. Wisran Hadi sebagai pengarang mencoba menghadirkan kondisi masyarakat yang mengalami penurunan moral akibat keserakahan dan lemahnya jiwa seseorang dikarenakan materi semata.



Kehidupan sosial dan budaya yang diceritakan dalam naskah drama Nyonya-nyonya berasal dari daerah Minangkabau. Dalam adat Minangkabau, rasa perikemanusiaan tidak pernah diabaikan oleh masyarakatnya sehingga adat yang asli tidak terpengaruh oleh kebendaan (materi). Harta pusaka berupa segala kekayaan yang berwujud (materi) yang nantinya akan diwariskan kepada anak kemenakan merupakan bentuk struktur ekonomi di Minangkabau. Harta pusaka tersebut dinilai sebagai alat pemersatu di dalam keluarga dan sampai sekarang ini masih berfungsi sebagaimana mestinya. Akan tetapi, yang memprihatinkan adalah tidak hanya sebagai alat pemersatu saja, malah terkadang harta pusaka sebagai milik bersama tersebut justru sering menimbulkan perselisihan dan sengketa dalam keluarga di Minangkabau.
Dalam naskah drama Nyonya-nyonya masalah seperti uang, tawar-menawar, dan untung-rugi banyak direpresentasikan dalam dialog. Permasalahan tersebut menjadi pemicu munculnya konflik yakni, masalah motif harga diri, menjaga nama baik, dan mempertahankan nilai-nilai adat budaya. Hal tersebut, membuktikan bahwa betapa serakah dan lemahnya jiwa tokoh utama (Nyonya) hanya karena tawaran uang yang tinggi. Meskipun motif dibalik itu adalah mempertahankan harga diri dan nama baik, semua diabaikan demi kepentingan materi. Hal ini sama persis tergambar jelas dalam kehidupan sehari-hari.
Sifat materialistis sangat ditentang dalam agama dikarenakan akan membawa manusia terpengaruh oleh situasi kebendaan dan non agama dalam kehidupannya. Manusia yang mempunyai sifat materialistik akan menganggap kurang penting persoalan agama dan apa saja yang terkait dengannya termasuk wilayah etika dan aqidah. Padahal, dalam agama sudah jelas melarang manusia untuk menumpuk harta benda karena manusia akan dimintai pertanggung jawaban atas hartanya tersebut.
Budaya dan adat Minangkabau telah melarang masyarakatnya untuk tidak bersifat materialistik. Akan tetapi, untuk sekarang ini di Minangkabau bahkan di daerah manapun, sifat meterialistik telah menjadi sesuatu yang lumrah untuk dikerjakan karena dianggap sebagai kepribadian yang wajar akibat modernisasi. Kesenangan akan beragam kebendaan telah memanjakan hidup seseorang sehingga memicu kekrisisan moral. Apalagi hidup di zaman sekarang yang terpenting adalah mencari uang sebanyak-banyaknya untuk mempermudah hidup meskipun dengan cara yang tidak diperbolehkan. Dengan demikian, kerasnya kehidupan sekarang menciptakan seseorang untuk berbuat segala cara demi mendapatkan materi.
Perilaku materialistis di dalam masyarakat banyak disebabkan oleh faktor ekonomi. Meskipun disatu sisi sifat materialistis tersebut wajar-wajar saja apabila dalam hal persaingan ekonomi. Akan tetapi, disisi yang lain sifat materialistik terkesan terlalu memaksakan keinginan dikarenakan akan memunculkan beragam cara demi mendapatkan apa yang diinginkan tersebut. Apalagi zaman sekarang, pada umumnya semua anggota masyarakat sudah terkontaminasi oleh kepribadian materialistis. Sifat materialistis yang berlebihan itu sangat buruk bagi masyarakat seperti halnya tokoh Nyonya dalam naskah drama Nyonya-nyonya.
Keserakahan dan lemahnya jiwa menjadikan sifat materialistis di dalam diri manusia semakin menjadi-jadi karena ditengarai oleh faktor ekonomi, agama, dan budaya yang tidak berperan baik sebagaimana yang diharapkan. Melalui naskah dramanya, Wisran Hadi berusaha untuk menyadarkan masyarakat agar tidak mengikuti kebiasan-kebiasaan yang kurang baik serta tidak terjebak dalam hidup kebendaan (materialisme).
Bentuk perilaku materialistik itu mengacu kepada dua macam yaitu, orientasi terhadap uang dan orientasi terhadap harta benda (pusaka). Wisran Hadi dalam naskah drama Nyonya-Nyonya menggambarkan bentuk perilaku materialistik melalui tokoh Nyonya. Orientasi terhadap uang tergambar pada tokoh Nyonya yang tidak mampu menjaga nama baiknya dan bahkan tidak sadar telah menjual harga dirinya demi uang. Berikut kutipan dialognya.
Tuan          : Lima ratus ribu. Terserah Nyonya. Nyonya lebih suka memilih penjara atau dimarahi suami?
Nyonya      : Ibuku tentu akan memaki-makiku.
Tuan          : Terserah Nyonya, kata saya. Masuk penjara dan nama baik Nyonya hancur atau…? (MENYERAHKAN UANG DENGAN PAKSA)
Nyonya      : (MENERIMA UANG ITU DENGAN GUGUP) Ya Tuhan. (MENCIUM UANG ITU BEBERAPA KALI) Jadi, tuan tidak mengatakan pada siapa pun juga, bukan?
Selanjutnya, orientasi terhadap harta benda (pusaka) telah membuktikan bahwa tokoh Nyonya merupakan seorang yang berperilaku materialistis. Dilihat dari beberapa harta benda yang sudah Nyonya gadaikan kepada Tuan (penjual barang antik) kerena tergiur akan tawaran uang yang tinggi. Berikut kutipan dialognya.
Nyonya      : Tuan, kenaikan dua puluh lima dari tawarn Tuan memperlambat proses jual beli. Terbukti Tuan bukanlah pedagang yang pintar.
Tuan          : (MENGELUARKAN UANG DARI TASNYA) Ini. Tujuh ratus ribu!
Nyonya      : O, o, Tuan. Apa itu? Uang? Tujuh ratus ribu?
Tuan          : Tidak kurang serupiah pun! (MENYERAHKAN UANG)
Nyonya      : (MENERIMA UANG ITU DENGAN PENUH NAFSU, TAPI PURA-PURA GUGUP) Jadi, tuan membeli sebuah kursi seharga tujuh ratus ribu? Tuan. Tuan. (PURA-PURA MENANGIS) Aku tidak akan menjualnya, Tuan. (MENANGIS)
Perilaku materialistis tokoh Nyonya berdampak terhadap dirinya sendiri dan keluarganya. Dampak terhadap dirinya sendiri terlihat dalam keseharian Nyonya yang tidak merdeka hati dan selalu resah ketika menghadapi Tuan dan ketiga keponakannya. Nyonya tidak merasa tenang karena persoalan-persoalan yang berdatangan terhadap dirinya. Dilihat dari tokoh Nyonya yang tidak bisa menjaga nama baik karena selalu tergiur tawaran tinggi demi mendapatkan uang. Tidak hanya berupa benda mati seperti pekarang rumah, empat petak marmer teras rumah, kursi tamu, kursi makan, dan tempat tidur yang tergadai demi kepentingan untuk mendapatkan uang, sampai-sampai harga diri Nyonya terbeli oleh Tuan. Berikut kutipan dialognya.
Ponakan A       : Kamu takut kan? Syukurlah. Aku akan takut, kalau kamu tidak `takut. Ayo, serahkan uang itu, kalau tidak…. (MENIKAM-NIKAM PISAU ITU KE LANTAI)
Nyonya             : Jadi,… jadi… kamu… perlu… uang. Baik. (MENGELUARKAN UANG DARI DALAM TAS) Ini.
Sedangkan, dampak terhadap keluarga Nyonya yaitu semua perselisihan yang terjadi di dalam keluarga Nyonya diawali dari penjualan harta pusaka yang dilakukan oleh suami Nyonya (Datuk). Pertengkaran, perselisihan, dan kepura-puraan yang dilakukan demi mendapatkan uang, baik itu oleh Nyonya maupun ketiga keponakannya. Sifat materialistis yang tertanam di dalam diri tokoh Nyonya dan ketiga ponakannya merupakan gambaran hidup yang terjadi di dalam masyarakat saat ini. Demi mendapatkan uang apapun akan dilakukan dan tidak jadi persoalan apa yang akan terjadi selanjutnya. Berikut kutipan dialognya.
Nyonya        : Soal datukmu dapat bicara atau tidak, itu urusan lain. Tapi, perlu kujelaskan padamu bahwa aku sebagai isrinya telah berbuat lebih dari segalanya. Kalau suamiku itu punya banyak kemenakan, coba mana kemenakannya yang datang atau ikut membantu biaya perawatannya? Tidak seorang pun! Hanya kamu sendirilah yang datang, itu pun untuk urusan tentang uang tanah pusakamu! Tapi benar juga, suamiku menganggap bahwa kemenakannya yang banyak itu hanya tahu pada hak tapi tidak pada kewajiban. Sudah begitu besarnya pengorbananku, aku malah dicurigai. Ekornya nanti. Ekor persoalan begini tidak baik.
Ponakan A  : mungkin uang itu di bank.

Nyonya        : Kamu boleh bongkar seluruh isi rumahku ini. Tidak akan kamu temui surat-surat bank di sini. Jangankan surat bank, surat kabar saja aku tidak pernah suka!
00.14 | 0 komentar | Read More

kritik karya sastra novel ayat-ayat cinta

Written By iqbal_editing on Rabu, 10 Agustus 2016 | 01.08


Kritik Sastra Novel Teenlit “Me Vs High Heels” Karya Maria Ardelia

Novel Teenlit yang kali ini adalah karya dari seorang mahasiswi di Universitas Kristen Indonesia fakultas Kedokteran yang berjudul “Me Vs High Heels”. Maria Ardelia ini juga penulis yang cukup terkenal. Novel ini telah terjual hingga cetakan ke delapan. Novel yang berjudul “Me Vs High Heels” ini dapat dikategorikan sebagai novel fiksi. Novel ini di nilai cukup sukses sehingga diangkat ke layar lebar dengan judul dan sebagian alur cerita yang sama. Film tersebut di sutradarai oleh Pingkan Utari. Naskah filmnya pun ditulis sendiri oleh Maria Ardelia. Karena filmnya ini banyak di gemari oleh para remaja, maka dibuatlah serial TV dengan pemeran yang sama. Maria Ardelia juga pernah mengeluarkan kumpulan cerpen Teenlit berjudul “Idolamu ? Itu Aku!” pada tahun 2006.

Alur cerita pada novel “Me Vs High Heels” cukup sederhana. Alur cerita yang ada pun tidak bertele-tele sehingga pembaca yang memang ditujukan untuk kalangan remaja dapat dengan mudah memahami pesan moral yang ingin disampaikan oleh penulis. Kekuatan cerita ada pada karakter Sasha yang mudah terpengaruh dan berubah 180 derajat setelah bertemu dengan pria tampan sehingga kemudian menjadi sosok gadis yang feminim. Namun, pada tokoh Ronald tidak memiliki porsi yang cukup atau kurang menonjol sebagai tokoh pria kedua dalam cerita. Selain itu, pada bagian akhir cerita kurang dramatis diceritakan kisah antara Sasha dan Ronald. Dalam novel ini, Maria Ardelia ingin menyampaikan kepada para pembacanya, bahwa walaupun cinta itu dapat merubah segalanya tetapi dengan mencintai seseorang bukan berarti harus merubah orang itu sepenuhnya. Kita harus mencintai orang dengan apa ada nya.

Bahasa yang digunakan oleh Maria Ardelia dalam menulis novel ini mudah dimengerti karena menggunakan bahasa yang sederhana dan bercirikan anak remaja. Kata-kata ganti orang yang digunakan dalam “Me Vs High Heels” adalah gue-loe “Santai, Mbak. Gue yang dihukum, kok loe yang stres? Udah, tenang aja,” balas Sasha cuek. Pada halaman 13. Kata ganti orang ini tidak baku sebagaimana mestinya bahasa Indonesia yang baik dan benar. Walaupun, kata ganti orang ini mudah dipahami oleh para remaja tetapi tidak baik jika diucapkan kepada orang yang lebih tua. Banyak juga kata-kata yang nonformal, seperti dalam kalimat ini “Iya, Don, kita-kita juga laper, ayo dong, kan udah lama nih nggak makan bareng. Sekalian merayakan pertemuan kita!” Ricko membantu. Pada halaman 25. Ada kata-kata baku yang mencolok, yaitu kata-kata berafiks meng- yang dalam dialog nonformal biasa diganti dengan afiks nge-,-i, dan -in. Seperti, “Tuhkan mana! Mana bisa dapet cowok kalau kayak gitu ...” Dondon menasihati. Pada halaman 24. Kata-kata tidak baku pun juga ada, seperti “Sha! Ditanya kok malah mesen makanan! Ngapain si Dondon ke sini?”. Pada halaman 19. Terdapat banyak ungkapan fatis, seperti “Don, traktir makan dong! Laper!” Sasha memohon. Pada halaman 25. Dalam novel ini juga banyak menggunakan tanda baca “...” atau “...!”. Hal tersebut dapat menghambat proses pembacaan sehingga membuat pembaca merasa kurang nyaman. Novel ini juga sering menggunakan kata-kata dalam bahasa inggris (hampir semuanya dicetak miring), terutama dalam istilah-istilah fesyen. Seperti, Selain creambath, Lola berdiri dan berjalan menuju tangga, rambutnya masih basah. Pada halaman 141. Selain itu, masih banyak istilah-istilah lain yang menggunakan kata-kata dalam bahasa Inggris. Seperti, Tak lama, mereka sampai di restoran buffet terkemuka. Pada halaman 25. Ungkapan-ungkapan singkat juga kadang-kadang digunakan oleh Maria Ardelia selayaknya para remaja biasa digunakan. Biasanya, kata-kata ini muncul dalam dialog tokoh-tokoh remaja. Seperti, “Iya, udah, makasih. Tapi ngobrolnya ntar aja ya, takut dihukum lagi. Bye!” Sasha melewati Roland, kembali berlari menuju kelasnya. Pada halaman 29. Sejumlah kata-kata bahasa Inggris mendapat afiks tapi tetap dicetak miring. Kata-kata ini juga biasanya muncul dalam dialog tokoh-tokoh remaja. Seperti, Rambut cewek itu rapi banget, kelihatan haluuus, nah rambut loe kan diiket mulu, kalaupun dilepas pasti di-gel acak-acakan!. Pada halaman 24. Dan tokoh Roland dalam novel ini pernah mengucapkan satu kalimat panjang (sepertinya ini sebuah kutipan, tapi Maria Ardelia tidak mengungkapkan nya) dalam bahasa Inggris. Seperti, You don't love a woman because she is beautiful, but she is beautiful because you love her ... Pada Halaman 292.

Kritik saya ini disampaikan bukan karena saya ingin menunjukkan si penulis. Karena kan setiap manusia tak luput dari kesalahan, kekurangan, dan dosa. Dan kesalahan, kekurangan, serta dosa itulah yang dapat memperbaiki diri seseorang. Tapi saya hanya bingung dengan gaya bahasa dan penulisan di novel ini. Semoga dengan kebingungan saya ini dapat di jawab setelah saya membuat sebuah kritik sastra novel Me Vs High Heels ini yang ditulis oleh Maria Ardelia.
01.08 | 0 komentar | Read More
 
berita unik