Sinopsis Novel Angkatan 20-30an
Novel angkatan 20-30an atau disebut juga Novel Angkatan Balai Pustaka
menjadi salah satu materi yang dibahas di kelas 9 semester 2 (kalo gak
salah sih..).
langsung aja aku share beberapa sinopsisnya ya...
1. Anak dan Kemenakan
Judul Novel : Anak dan Kemenakan
Pengarang : Marah Rusli
Penerbit : Balai Pustaka
Cetakan : Cetakan Pertama Tahun 1956
Tebal Buku : 332 Halaman
Mr. Muhammad Yatim, dr.Aziz, Puti Bidasari, dan Sitti Nurmala adalah
empat orang yang sudah menjalin persahabatan dari kecil, mereka semua
berasal dari keluarga bangsawan. Selain hubungan persahabtan, diantara
kedua pasangan anak muda itu juga terjalin hubungan antara kekasih. Mr.
Muhammad Yatim mencintai Puti Bidasari, yang merupakan adik angkatnya
dan dibesarkan dalam satu keluarga yaitu keluarga Sutan Alamsyah dan
istrinya Sitti Maryam. Sedangkan Sitti Nurmala menjalin hubungan dengan
dr.Aziz. Sitti Nurmala merupakan putri dari saudagar kaya di Padang
yaitu Baginda Mais dan istinya Upik Bunngsu.
Sutan Alamsyah Hopjaksa sangat bahagia atas kedatangan anaknya Mr. Yatim
dari negeri Belanda yang sudah menyelesaikan sekolahnya sebagai Hakim
Tinggi sehingga dia mendapat gelar Master Doktor, yang pada saat itu
adalah gelar tertinggi di Padang, dan hanya Mr. Yatim yang mendapat
gelar tersebut.
Sutan Alamsyah Hopjaksa ingin mempersandingkan anaknya Mr. yatim dengan
keponakannya Puti Bidasari yang merupakan anak kakak perempuannya yaitu
Putri Renosari dan Sutan Baheram, tapi lamaran Sutan Alamsyah ditolak,
karena mereka tahu asal-usul Mr. Yatim yang bukan anak kandung Sutan
Alamsyah. Mereka kira Mr. Yatim adalah anak tukang pedati yang miskin,
meskipun dibesarkan dan diangkat anak oleh Sutan Alamsyah bahkan sampai
disekolahkan dan mendapat gelar Mester Doktor di Negeri Belanda.
Adat tetap adat dan selalu membelenggu, mengukung dan membagi dalam
tingkat kehidupan masyarakat, seperti halnya Putri Renosari yang ingin
menikahkan anaknya dengan seorang bangsawan lagi. Bidasari akan
dikawinkan dengan turunan bangsawan tinggi Sutan Malik, kemenakan Sutan
Pamenan yang gemar berjudi dan menyabung ayam.
Biaya pernikahan Puti Bidasari dengan Sutan Malik ditanggung oleh
Baginda Mais yang merasa diuntungkan dengan pernikahan Puti Bidasari dan
Sutan Malik, karena kesempatan untuk menikahkan putrinya Sitti Nurmala
dengan Mr. Yatim terbuka lebar.
Akankah Mr. Yatim menikah dengan Bidasari ataukah akan bersanding dengan
Sitti Nurmala sebagaimana permintaan ayah angkatnya Sutan Alamsyah,
sedangkan Sitti Nurmala adalah kekasih dr. Aziz yang merupakan sahabat
karibnya dari kecil.
2. Azab dan Sengsara
Judul Novel : Azab dan Sengsara
Penulis : Merari Siregar
Di kota Siporok, hidup seorang bangsawan kaya raya yg memiliki seorang anak laki-laki dan seorang perempuan . Anaknya
yg laki2 bernama Sutan Baringin. Dia sangat dimanja oleh ibunya. Segala
kehendaknya selalu dituruti dan segala kesalahannya pun selalu dibela
ibunya. Akibatnya, setelah dewasa, Baringin tumbuh menjadi seorang
pemuda yg angkuh, berperangai jelek, serta suka berfoya-foya.
Oleh kedua orangtuanya, Sutan Baringin dinikahkan dengan Nuria, seorang
perempuan baik-baik pilihan ibunya. Walaupun telah berkeluarga, Sutan
Baringin masih tetap suka berfoya-foya menghabiskan harta benda kedua
orangtuanya. Dia berjudi dg Marah Said, seorang prokol bambu sahabat
karibnya. Sewaktu ayahnya meninggal, sifat Sutan Baringin semakin
menjadi, maskin suka berfoya-foya menghabiskan harta warisan
orangtuanya. Akhirnya, dia bangkrut dan utangnya sangat banyak.
Dari perkawinannya dengan Nuria, Sutan Baringin mempunyai dua orang
anak. Yang satu perempuan bernama Mariamin, sedangkan yg satunya lagi
laki-laki (yg laki2 tidak diceritakan pengarang). Akibat tingkah laku
ayahnya, Mariamin selalu dihina oleh warga kampungnya akibat kemiskinan
orangtuanya. Cinta kasih perempuan yg berbudi luhur ini dengan pemuda
bernama Aminuddin terhalang oleh dinding kemiskinan orangtuanya.
Aminuddin adalah anak Bagianda Diatas, yaitu seorang bangsawan kaya-raya
yg sangat disegani di daerah Siporok. Sebenarnya Baginda Diatas masih
mempunyai hubungan sepupu dengan Sutan Baringin, ayah Mariamin. Ayah
Baginda keduanya adalah kakak beradik.
Sejak kecil, Aminuddin bersahabat dg Mariamin. Setelah keduanya beranjak
dewasa, mereka saling jatuh hati. Aminuddin sangat mencintai Mariamin.
Dia berjanji untuk melamar Mariamin bila dia telah mendapatkan
pekerjaan. Keadaan Mariamin yg miskin tidak menjadi masalah bagi
Aminuddin.
Aminuddin memberitahukan niatnya utk menikahi Mariamin kepada kedua
orangtuanya. Ibunya tidak merasa keberatan dengan niat tersebut. Dia
benar2 mengenal pula keluarganya. Keluarga Mariamin masih keluarga
mereka juga sebab ayah Baginda Diatas, suami ibu Aminuddin, dengan Sutan
Baringin, ayah Mariamin, adalah kakak beradik. Selain itu, dia juga
merasa iba terhadap keluarga Mariamin yg miskin. Bila menikah dg
anaknya, dia mengharapkan agar keadaan ekonomi Mariamin bisa terangkat
lagi.
Ayah Aminuddin, Baginda Diatas, tidak setuju dg niat anaknya menikahi
Mariamin. Jika pernikahan itu terjadi, dia merasa malu sebab dia
merupakan keluarga terpandang dan kaya-raya, sedangkan keluarga Mariamin
hanya keluarga miskin. Namun, ketidaksetujuannya tsb tidak
diperlihatkan kepada istri dan anaknya.
Dengan cara halus, Baginda Diatas berusaha menggagalkan pernikahan
anaknya. Salah satu usahanya adalah mengajak istrinya menemui seorang
peramal. Sebelumnya dia telah menitipkan pesan kepada peramal agar
memberikan jawaban yg merugikan pihak Mariamin. Jelasnya, sang peramal
memberikan jawaban bahwa Aminuddin tidak akan beruntung jika menikah dg
Mariamin.
Setelah mendengar jawaban dr peramal tersebut, ibu Aminuddin tdk bs
berbuat banyak. Dg terpaksa, dia menuruti kehendak suaminya utk
menvarikan jodoh yg sesuai utk Aminuddin. Mereka langsung melamar
seorang perempuan dari keluarga berada. Oleh karena Aminuddin sedang
berada di Medan, mencari pekerjaan, Baginda Diatas mengirim telegram yg
isinya meminta Aminuddin menjemput calon istri dan keluarganya di
stasiun kereta api Medan.
Menerima telegram tsb, Aminuddin mersasa sangat gembira. Dlm hatinya
telah terbayang wajah Mariamin. Ia mengira bahwa calon istri yg akan dia
jemput adalah Mariamin. Namun setelah mengetahui bahwa calon istrinya
itu bukanlah Mariamin, hatinya menjadi hancur. Tapi sebagai anak yg
berbakti terhadap orangtuanya, dengan terpaksa ia menikahi perempuan
pilihan orangtuanya itu. Aminuddin segera memberitahukan kenyataan itu
kepada Mariamin.
Mendengar berita itu, Mariamin sangat sedih dan menderita. Dia langsung
pingsan tak sadarkan diri. Tak lama kemudian, dia pun jatuh sakit.
Stahun setelah kejadian itu, Mariamindan ibunya terpaksa menerima
lamaran Kasibun, seorang kerani di Medan. Pada waktu itu, Kasibun
mengaku belum mempunyai istri. Mariamin pun akhirnya diboyong ke Medan.
Sesampainya di Medan, terbuktilah siapa sebenarnya Kasibun. Dia hanyalah
seorang lelaki hidung belang. Sebelum menikah dg Mariamin, dia telah
mempunyai istri, yg dia ceraikan karena hendak menikah dg Mariamin. Hati
Mariamin sangat terpukul mengetahui kenyataan itu. Namun, sebagai istri
yg taat beragama, walaupun dia membenci dan tidak mencintai suaminya,
dia tetap berbakti kepada suaminya.
Perlakuan kasar Kasibun terhadap Mariamin semakin menjadi setelah
Aminuddin mengunjungi rumah mereka. Dia sangat cemburu pada Aminuddin.
Menurutnya, penyambutan istrinya terhadap Aminuddin sangat di luar
batas. Padahal, Mariamin menyambut Aminuddin dg cara yg wajar. Namun,
karena cemburunya yg sangat berlebihan, Kasibun menganggap Mariamin
telah memperlakukan Aminuddin secara berlebih-lebihan. Akibatnya, dia
terus-menerus menyiksa Mariamin.Perlakuan Kasibun yg kasar kepadanya,
membuat Mariamin hilang kesabaran. Dia tidak tahan lagi hidup menderita
serta disiksa setiap hari. Akhirnya, dia melaporkan perbuatan suaminya
kepada kepolisian Medan. Dia langsung meminta cerai. Permintaan cerainya
dikabulkan oleh pengadilan agama di Padang.
Setelah resmi bercerai dg Kasibun, dia kembali ke kampung halamnannya
dengan penuh kehancuran. Hancurlah jiwa dan raganya. Kesengsaraan dan
penderitaan secara batin maupun fisiknya terus mendera dirinya dari
kecil hingga dia meninggal dunia. Sungguh tragis nasibnya.
3. Katak Hendak jadi Lembu
Judul : Katak Hendak Jadi Lembu
Pengarang : N. St. Iskandar
Terbitan : 1935
Halaman : 176 halaman
Cetakan : Kesebelas, 1995
Suria adalah seorang Manteri Kabupaten yang sangat angkuh. Ia sangat
sombong dan gila hormat. Istirinya, Zubaidah sudah tak tahan tinggal
dengan suaminya itu. Suria senang berfoya-foya. Itu pun dari uang
Ayahnya Zubaidah, Hj. Hasbulah. Sebenarnya, Hj.Hasbulah ingin menikahkan
anaknya itu kepada Raden Prawira, anak jaksa kepala. Tetapi, tiba-tiba
Hj. Zakaria, ayah Suria memohon untuk menikahkan anaknya dengan anak Hj.
Hasbulah. Karena Hj. Zakaria adalah sahabatnya, ia tak ingin membuat
sahabatnya putus harapan, lalu ia kabulkan permintaan Hj. Zakaria.
Zubaidah dulu, hanyalah gadis penurut. Ia menurut untuk di nikahkan oleh
Suria.
Tetapi, pernikahan itu tidak membawakan kebahagiaan untuk Zubaidah.
Setelah menikah, mereka di karuniai anak laki-laki bernama Abdulhalim,
tetapi Suria meninggalkannya begitu saja. Ia meninggalakan mereka berdua
selama 3 tahun. Setelah 3 tahun lamanya itu, Suria kembali kepada
Zubaidah, hanya untuk meminta hartanya Hj. Hasbulah. Hingga kini,
kehidupan rumah tangga Suria dan Zubaidah selalu di bantu oleh ayah
Zubaidah. Walaupun Suria sudah berpenghasilan, dan menjabat Manteri
Kabupaten.
Kini Suria sudah di karuniai 3 anak. Tetapi, ia sama sekali tidak punya
perhatian kepada keluarganya tersebut. Gajinya saja di pakai untuk hal
yang tidak perlu. Urusan rumah tangganya pun di serahkan kepada
Zubaidah. Suria hanya mengandalkan uang kiriman mertuanya. Zubaidah malu
dengan hal itu, dan mulai berhemat dengan hanya mempergunakan gaji
suaminya itu. Tetapi, Suria tidak peduli dengan perbuatan istrinya, ia
tetap berfoya-foya.
Di kantornya, ia pun angkuh dan sombong. Ia senang memerintah para
pesuruh dengan seenaknya. Semua orang menghormati dia. Patih, Raden
Atmadi Nata pun tau akan hal ini. Walaupun ia tau akan hal ini, tetapi
ia tidak terlalu memikirkannya, karena Suria bekerja dengan baik. Di
kantornya, Suria tidak pernah suka dengan anak emasnya patih, yang
magang menjadi juru tulis. Raden Muhamad Kosim. Ia sering berlaku tidak
sepatutnya kepada Kosim itu.
Suria pernah di undang oleh Hj.Junaedi ke rumahnya yang besar.
Hj.Junaedi menyambutnya penuh sukacita. Tapi, setelah ia tahu bahwa
Suria yang gila hormat itu, dan sering menjelekan Kosim. Ia pun menjadi
sebal dengan Suria.
Karena Suria senang berfoya-foya. Akhirnya kebutuhan rumah tangga
menjadi semakin tidak terpenuhi. Zubaidah telah memperingatkan Suria
untuk berlaku, hemat. Tetapi, tetap saja tidak di hiraukannya. Ia
mengatakan, bahwa kebutuhan rumah tangga bisa di dapat dari mertuanya,
tapi sayang. Mertuanya itu sedang dalam keadaan tak punya uang. Walaupun
sudah di paksa, tetap saja ia tak mau, dan akhirnya Suria memilih untuk
menjadi Klerk yang gajinya lebih besar.
Ia pun merayakan, jabatannya yang akan berubah dari Manteri Kabupaten,
menjadi Klerk. Ia membeli barang yang tidak perlu, karena ia berpikir.
Bahwa gaji Klerk nant i akan memenuhi kebutuhannya.
Setelah menunggu beberapa minggu tentang hasil surat yang di berikan
Suria untuk mengubah pekerjaannya, ternyata hasilnya adalah nihil. Suria
tidak menjadi Klerk, dan yang menjadi Klerk adalah Kosim. Betapa
malunya ia saat itu.
Setelah tahu, bahwa ia tak menjadi Klerk. Hutangnya semakin bertumpuk.
Karena barang-barang yang tidak di perlukan itu adalah barang kreditan.
Para penagih hutang terus menerornya. Akhirnya ia menyerah, dan meminta
bantuan kepada sahabat-sahabatnya. Tetapi, tak ada yang mau menolongnya.
Akhirnya, ia memakai uang kas pemerintah untuk menutupi hutangnya.
Karena hal itu, Suria memberhentikan diri.
Suria memilih tinggal bersama Abdulhalim, yang sudah menjadi amtenar di
Bandung. Padahal Zubaidah tidak ingin menyusahkan anak sulungnya itu. Ia
lebih baik tinggal bersama orang tuanya di Tasik. Tetapi, keras kepala
Suria yang sudah di berhentikan dari jabatannya tetap saja tak mau
mengalah. Akhirnya mereka pindah dari Sumedang ke Bandung tanpa
meninggalkan hutang sedikit pun.
Walaupun sudah tinggal menumpang, Suria tetap saja bersikap angkuh dan
merasa ia berada di rumahnya sendiri. Seenaknya menyuruh orang, dan
mendapat uang pula. Itu pun uang anaknya sendiri, yang sudah berumah
tangga bersama anak kepala jaksa, Sutilah.
Kelakuan Suria semakin menjadi-jadi, hingga akhirnya istirnya meninggal.
Abdulhalim yang tak tahan dengan kelakuan ayahnya itupun, mengusir
Suria. Suria pun yang merasa sudah terhina, meninggalkan anaknya itu. Ia
merantau ke Jakarta, dan akhirnya ia kembali pulang ke rumah orang
tuanya di desa Rajapolah. Disana ia tinggal bersama Mak Iyah, ibunya.
Tetapi, setelah beberapa hari ia tinggal. Ia pergi dan tak kembali lagi.
Ia pergi entah kemana.
4. La Hami
Judul buku : La Hami
Pengarang : Marah Rusli
Penerbit : Balai Pustaka
La Hami
La Hami merupakan novel angkatan Balai Pustaka, terbit pada tahun 1953
oleh Balai Pustaka, dan dikarang Marah Rusli. Marah Rusli lahir pada
tanggal 7 Agustus 1889 di Padang, Sumatra barat dengan nama lengkap
Marah Halim bin Sutan Abu Bakar. Buku ini merupakan karya sastra lama
yang menceritakan tentang kehidupan di Pulau Sumbawa.
Resensi ini ditulis untuk mendalami budaya Indonesia dari novel-novel
karya sastra. dalam buku ini terkisah seorang anak Raja yang diculik dan
di buang oleh Juru Bicara Kerajaan yang masih memiliki hubungan
keluarga dengan Sang Raja; dengan tujuan jika sang raja tidak memiliki
putra mahkota maka kedudukan raja akan di serahkan pada Juru Bicara Raja
tersebut.
“Dua puluh empat tahun lalu, yang menjadi datu rangga di Negeri Sumbawa,
ialah RAJA Anjong, sedang Garahanya bernama Putri Nakia. Keduanya
dipandang dan dimalui, disegani dan disayangi orang seluruh kerajaan
Sumbawa, sampai kepada Rajanya Sultan Badrunsyah. Sebabnya bukan saja
karena bangsawan tinggi, tetapi juga karena Raja Anjong seorang yang
pandai memangku bumi, adil dan bijaksana dalam putusannya, serta
mempunyai kepandaian yang dalam.
Datu Kalibela yang bernama Daeng Matita, adalah seorang bangsawan yang
berasal dari pulau selayar. Datu Kalibela ini adalah seorang yang loba
dan tamak kepada harta dan pangkat serta kekuasaan.
Pada suatu hari, datanglah seorang nelayan yang bernama Genang kepada
Raja Anjong, membawa kabar, bawha Ponto Wanike hendak menyerang kota
Sumbawa, karena hendak menangkap Raja Anjong. Kabar ini didengar sendiri
oleh oleh Genang dari seorang kaum bajak Ponto Wanike, yang dikenalnya
benar, tatkala ia memancing ikan di Teluk Saleh.
Beberapa hari sebelum Sumbawa akan diserang, ditinggalkannyalah kota ini
dengan Garahanya dan dua orang bujangnya yang sangat setia kepadanya,
dengan membawa apa yang sangat perlu saja baginya, dalam perahu kecil.
Berangkatlah mereka jam sepuluh malam dengan penerangan cukup dari sinar
bintang. Dua hari dua malam mereka berlayar; siang hari memakai layar
kecil dan malam hari berdayung, jika tak ada angin turutan. Akhirnya
sampailah mereka di panti sanggar ini, di mana mereka telah dua puluh
tahun hidup tersekat dari manusia dan masyarakat ramai. Supaya rahasia
ini jangan diketahui orang, ditukar merekalah namanya dengan Ompu Keli
dan Ina Rinda.” Terang Ompu Keli pada La Hami.
Di sini Ompu Keli terdiam beberapa lamanya, sebagai melintas kembali
sekalian peristiwa yang menyedihkan itu, pun Ina Rinda mengenangkan
nasibnya yang malang.
“Jika demikian, dewalah Raja Anjong, datu Rangga Sumbawa itu dan dewa,
Putri Nakia, Garaha Mangkubumi kerajaan Sumbawa,” kata La Hami kepada
Kedua orang tuanya, “Alangkah malangnya dewa Kedua, karena fitnah dan
kejahatan Daeng Matita.”
“Belum lama kami ada di sini, pada suatu pagi tatkala aku ke pantai
hendak mengail ikan, tiba-tiba terdengar oleh ku suara anak mengeak.
Hatiku berdebar, karena suara yang sedemikian, sekali-kali tidak
kusangka akan kudengar di sini. Selayang timbul takhyulku, yang
menyangka suara itu bukan suara manusia, tetapi suara jin laut, yang
hendak memperdayakan daku. Tetapi setelah teringat pula olehku, bahwa
takhyul hanya ada dalam pikiran dan perasaan yang samar, kuperiksalah
tempat itu dengan seksamanya. Ya, dalam suatu teluk kecil, kelihatan
sebuah rakit yang terapung di atas air dan di atasnya ada seorang bayi,
yang sedang menangis. Ia terbaring di atas sehelai tikar Jontal yang
baik anyamannya dan diselimuti kain sutera bertekad emas, buatan Bima.
Tatkala kuangkat bayi ini, nyatalah ia seorang anak laki-laki, yang baik
parasnya dan tegap tubuhnya. Dokoh yang tergantung pada lehernya,
terbuat dari emas yang sangat halus tempanya. Dokoh, selimut dan tilam
ini, yang baik buatannya dan mahal harganya, menimbulkan keyakinan dalam
hatiku, bahwa kanak-kanak ini bukan anak sembarang orang, tetapi anak
orang baik juga; kalau bukan anak orang yang berpangkat tinggi, mungkin
anak Raja-Raja. Lalu kubawa bayi ini kepada Ibumu, yang menerimanya
dengan berlinang-linang air matanya, karena kesukaan dan kepiluan.
Sekali.” terang Ompu Keli hal ihwal asal La Hami.
“Dan tahukah engkau siapa nama yang kami berikan kepada anak ini?” Tanya
Ina Rinda kepada anaknya dengan tersenyum, “La Hami,” lalu dipeluknya
anak ini.
-------------------
Di tengah-tengah keramaian dan kesukaan ini, duduklah Putri Nila
Kanti dengan gundah-gulana rupanya, sedang ingatannya tiada di sana.
“Mengapakah Ruma tiada bersiram?” tanya Wila.
“Tak ingin lagi,” sahutnya dengan pendek, lalu termenung pula.
“Sakitkah Ruma?” tanya Wila pula, yang mulai kuatir akan tuannya.
“Sesudah beta melihat wajah muka anak muda tadi, seakan-akan hilanglah
sekalian kesukaan dan keinginan hati beta. Siapakah anak muda ini? Di
mana tempatnya? Dan mengapa ia ke Dompo ini?” kata Putri Nila Kanti pula
kepada dayangnya yang dipercayai dan dikasihinya.
-------------------
Mengapa anak Raja Sanggar ini dengan orang-orangnya tidak dibunuh saja,
Kepala? Apa gunanya mereka dipelihara di sini? Banyak kerja mengurusnya
dan mereka menghabiskan makanan, sedang rahasia kita diketahuinya.
Bukankah lebih baik kalau mereka tadi dibunuh saja di luar,” kata Karaka
kepada Manderu.
“Aku hendak mencoba mendapat hasil daripadanya,” jawab Manderu
“Bagaimana jalannya? Dijual sebagai budak ke pulau lain?
“Mungkin. Atau kepada Ponto Wanike, bajak laut yang mudah membawanya ke
pulau lain. Tetapi lebih dahulu akan kucoba mendapat uang tebusan dan
bapaknya, Sultan Sanggar.”
“He, aturan baru,” sahut Karaka dengan berpikir.
“Dibunuh, takkan mendatang keuntungan, hanya kecapaian. Sedang sesudah
kita terima uang tebusan dan ayahnya, masih dapat kita jual dia kepada
Ponto Wanike. Dua kali untung, dengan tak rugi.”
“Memang benar,” sahut Karaka. “Tak sampai ke sana pikiranku.”
“Dan ada yang akan lebih menguntungkan lagi dan Lalu Jala ini’
‘Apa itu?” tanya Karaka pula dengan agak heran.
‘‘Putri Nila Kanti.’’
“Hah! Ia pun akan engkau jual?”
‘Mengapa tidak? Harganya akan lebih banyak dani harga Lalu Jala, sebab Ia perempuan cantik.”
‘Tetapi putri ini belum ada dalam tangan kita.’
“Mustahilkah akan mendapatnya?”
“Jangan kaulupakan, ia ada dalam istananya, yang letaknya di tengah-tengah negerinya, dijaga oleh laskarnya.”
“Engkau bukan Karaka, kalau engkau tak dapat mencari akal, untuk mengambilnya dan pangkuan ibunya sekalipun.”
deru.
-------------------
“Ya, aku Nila Kanti, Putri Dompo. Tuan siapa?” kedengaran suara perlahan-lahan dan dalam.
“Patik La Hami dan Sanggar, hendak melepaskan Tuanku.” Suara jeritan
yang lekas dapat ditutup, kedengaran di dalam, yang diikuti suara sedu
.... Sudah itu barulah ke luar perkataan Putri Nila Kanti, “La Hami,
tolong aku!”
“Segera Tuanku. Sabar dan diam!”
Dengan segera Lalu Hami dan Maliki menggagahi pintu penjara mi, sehingga
tiada berapa lama kemudian, terbukalah pintu mi, yang dikunci dan luar
dan ke!uarlah Putri Nila Kanti.
Di luar, Putri Nila Kanti lalu memeluk Lalu Hami dan dengan air mata
yang bercucuran Ia berkata, “Terima kasih Lalu Hami, terima kasih
kekasihku,” lalu pingsanlah ia dalam pelukan Lalu Hami.
Sekejap mata Lalu Hami tiada berkata-kata, karena pelukan kekasihnya,
yang sangat dicintainya ini dan karena perkataan Putri Nila Kanti yang
menamainya “kekasihku,” sehingga tahulah ia bahwa Putri Nila Kanti pun
cinta kepadanya. Dengan tiada diinsyafinya kedua belah tangannya memeluk
putri Dompo pula, sedang pipinya mendapat pipi Nila Kanti, yang
kepalanya tersandar di bahu Lalu Hami.
Berapa lamanya ia di dalam Surga Janah i, tiada diketahuinya, tetapi
tiba-tiba didengarnya suara Maliki, “Hamba bermohon mencari Ruma Lalu
Jala, Dewa.”
Di situ barulah Ia ingat, bahwa kekasihnya yang ada dalam tangannya,
sekali-kali belum terlepas dan bahaya pembegal yang jahat itu. Bahkan ia
ada dalam sarang harimau yang ganas, yang pada waktu itu sedang tidur
Tetapi apabila Ia bangun kembali, niscaya ia dengan kekasihnya akan
masuk ke dalam neraka jahanam. Oleh sebab itu dengan segera Ia menjawab,
“Ruma Lalu Jala serahkan kepadaku! Engkau segera membawa Putri Nila
Kanti ke luar dan tempat ini dan langsung ke Kempo. Minta pertolongan
Jenali Kempo, mengantarkan Putri Nila Kanti ke Dompo dengan pengantar
yang kuat’
“Dan Dewa?” tanya Maliki dengan kuatir, “Aku tinggal di sini menolong Ruma Lalu Jala.”“Sendiri saja?”
“Ceritakanlah! Beta ingin mendengarnya,” kata permaisuri.
Kedua bentara ini lalu bercerita, bahwa mereka telah menghadap Toreli
Lalu Abdul Hamid, yang kebenaran sedang menilik Raja Anjong, yang mulai
sembuh dan lukanya, sedang gahara beliau, Putri Nakia pun
ada pula bersama-sama.
“Setelah patik persembahkan, bahwa patik keduanya diutus oleh Puma
Permaisuri Bima, untuk memohonkan beberapa keterangan tentang La Hami
yang telah datang ke Bima dahulu dan ayah bunda beliau Ompu Keli dan Ina
Rinda, lalu dipastikanlah oleh ketiga Ruma itu, bahwa Toreli Lalu Abdul
Hamid, memanglah La Hami, yang telah datang ke Bima ini waktu perayaan
sirih puan yang baru lalu. Beliau tiada tenggelam di Selat Sape, tetapi
terdampar di Teluk Warorada dan ditolong oleh orang Sondo, lalu kembali
ke Sanggar, sedang Ruma Raja Anjong, memanglah Datu Rangga Sumbawa
dahulu yang melarikan diri ke Pantai Sanggar, lalu menukar nama beliau
di sana dengan Ompu Keli, sedang gahara beliau yang bernama Putri Nakia,
memakai nama Ina Rinda.
Toreli Lalu Abdul Hamid bukanlah putra kandung Ruma Raja Anjong, tetapi
putra angkat beliau, yang bertemu di pantai taut Sanggar, kira-kira 24
tahun yang lalu, tatkala Ruma itu masih berusia kira-kira sebulan.”
Permaisuri Cahya Amin pucat mukanya mendengar kepastian ini, sedang baginda dan Putri Sari Langkas berdebar-debar jantungnya
sehingga seakan-akan gemetar tubuhnya.
“Adakah konon suatu tanda yang didapat Raja Anjong bersamaan dengan kanak-kanak itu?” tanya permaisuri dengan gemetar suaranya.
“Ada Ruma, patik bawa, yaitu sehelai tilam daun Jontal, buatan Bima yang
amat baik anyamannya, sehelai selimut buatan Bima pula, yang amat
permai tenunannya dan sebuah Dokoh mas, pun buatan Bima pula, yang amat
elok tempaannya.”
“Mana, mana? Segera perlihatkan kepadaku!” kata permaisuri tergesa-gesa dengan suara yang gugup, karena tak sabar.
Kedua utusan mempersembahkan dengan segera ketiga tanda-tanda yang
dibawanya kepada permaisuri, yang seakan-akan merebut barang-barang ini
dan tangan kedua bentaranya, lalu diperhatikannya beberapa lamanya dan
diperiksanya benar-benar.
Setelah itu tiba-tiba menjeritlah ia, “Anakku!” katanya, lalu rebah pingsan, tiada khabarkan dirinya.
5. Layar Terkembang
Judul Novel : Layar Terkembang
Penulis : S. Takdir Alisjahbana
Tuti
adalah putri sulung Raden Wiriatmadja. Dia dikenal sebagai seorang
gadis yang pendiam teguh dan aktif dalam berbagai kegiatan organisasi
wanita. Watak Tuti yang selalu serius dan cenderung pendiam sangat
berbeda dengan adiknya Maria. Ia seorang gadis yang lincah dan periang.
Suatu
hari, keduanya pergi ke pasar ikan. Ketika sedang asyik melihat-lihat
akuarium, mereka bertemu dengan seorang pemuda. Pertemuan itu berlanjut
dengan perkenalan. Pemuda itu bernama Yusuf, seorang Mahasiswa Sekolah
Tinggi Kedokteran di Jakarta. Ayahnya adalah Demang Munaf, tinggap di
Martapura, Sumatra Selatan.
Perkenalan
yang tiba-tiba itu menjadi semakin akrab dengan diantarnya Tuti dan
Maria pulang. Bagi yusuf, perteman itu ternyata berkesan cukup mendalam.
Ia selal teringat kepada kedua gadis itu, dan terutama Maria. Kepada
gadis lincah inilah perhatian Yusuf lebih banyak tertumpah. Menurutnya
wajah Maria yang cerah dan berseri-seri serta bibirnya yang selalu
tersenyum itu, memancarkan semangat hidup yang dinamis.
Esok
harinya, ketika Yusuf pergi ke sekolah, tanpa disangka-sangka ia
bertemu lagi dengan Tuti dan Maria di depan Hotel Des Indes. Yusuf pun
kemudian dengan senang hati menemani keduanya berjalan-jalan. Cukup
hangat mereka bercakap-cakap mengenai berbagai hal.
Sejak
itu, pertemuan antara Yusuf dan Maria berlangsung lebih kerap.
Sementara itu Tuti dan ayahnya melihat hubungan kedua remaja itu tampak
sudah bukan lagi hubungan persahabatan biasa.
Tuti
sendiri terus disibuki oleh berbagai kegiatannya. Dalam kongres Putri
Sedar yang berlangsung di Jakarta, ia sempat berpidato yang isinya
membicarakan emansipasi wanita. Suatu petunjuk yang memperlihatkan
cita-cita Tuti untuk memajukan kaumnya.
Pada
masa liburan, Yusuf pulang ke rumah orang tuanya di Martapura.
Sesungguhnya ia bermaksud menghabiskan masa liburannya bersama keindahan
tanah leluhurnya, namun ternyata ia tak dapat menghilangkan rasa
rindunya kepada Maria. Dalam keadaan demikian, datang pula kartu pos
dari Maria yang justru membuatnya makin diserbu rindu. Berikutnya, surat
Maria datang lagi. Kali ini mengabarkan perihal perjalannya bersama
Rukamah, saudara sepupunya yang tinggal di Bandung. Setelah membaca
surat itu, Yusuf memutuskan untuk kembali ke Jakarta, kemudian menyusul
sang kekasih ke Bandung. Setelah mendapat restu ibunya, pemuda itu pun
segera meninggalkan Martapura.
Kedatangan
Yusuf tentu saja disambut hangat oleh Maria dan Tuti. Kedua sejoli itu
pun melepas rindu masing-masing dengan berjalan-jalan di sekitar air
terjun di Dago. Dalam kesempatan itulah, Yusuf menyatakan cintanya
kepada Maria.
Sementara
hari-hari Maria penuh dengan kehangatan bersama Yusuf, Tuti sendiri
lebih banyak menghabiskan waktunya dengan membaca buku. Sesungguhpun
demikian pikiran Tuti tidak urung diganggu oleh keinginannya untuk
merasakan kemesraan cinta. Ingat pula ia pada teman sejawatnya, Supomo.
Lelaki itu pernah mengirimkan surat cintanya kepada Tuti.
Ketika
Maria mendadak terkena demam malaria, Tuti menjaganya dengan sabar.
Saat itulah tiba adik Supomo yang ternyata disuruh Supomo untuk meminta
jawaban Tuti perihal keinginandsnya untuk menjalin cinta dengannya.
Sesungguhpun gadis itu sebenarnya sedang merindukan cinta kasih seorang,
Supomo dipandangnya sebagai bukan lelaki idamannya. Maka segera ia
menulis surat penolakannya.
Sementara
itu, keadaan Maria makin bertambah parah. Kemudian diputuskan untuk
merawatnya di rumah sakit. Ternyata menurut keterangan dokter, Maria
mengidap penyakit TBC. Dokter yang merawatnya menyarankan agar Maria
dibawa ke rumah sakit TBC di Pacet, Sindanglaya Jawa Barat.
Perawatan terhadap Maria sudah berjalan sebulan lebih lamanya. Namun
keadaannya tidak juga mengalami perubahan. Lebih daripada itu, Maria
mulai merasakan kondisi kesehatan yang makin lemah. Tampaknya ia sudah
pasrah menerima kenyataan.
Pada
suatu kesempatan, disaat Tuti dan Yusuf berlibur di rumah Ratna dan
Saleh di Sindanglaya, disitulah mata Tuti mulai terbuka dalam memandang
kehidupan di pedesaan. Kehidupan suami istri yang melewati hari-harinya
dengan bercocok tanam itu, ternyata juga mampu membimbing masyarakat
sekitarnya menjadi sadar akan pentingnya pendidikan. Keadaan tersebut
benar-benar telah menggugah alam pikiran Tuti. Ia menyadari bahwa
kehidupan mulia, mengabdi kepada masyarakat tidak hanya dapat dilakukan
di kota atau dalam kegiatan-kegiatan organisasi, sebagaimana yang selama
ini ia lakukan, tetapi juga di desa atau di masyarakat mana pun,
pengabdian itu dapat dilakukan.
Sejalan
dengan keadaan hubungan Yusuf dan Tuti yang belakangan ini tampak makin
akrab, kondisi kesehatan Maria sendiri justru kian mengkhawatirkan.
Dokter yang merawatnya pun rupanya sudah tak dapat berbuat lebih banyak
lagi. Kemudian setelah Maria sempat berpesan kepada Tuti dan Yusuf agar
keduanya tetap bersatu dan menjalin hubungan rumah tangga, Maria
mengjhembuskan napasnya yang terakhir. “Alangkah bahagianya saya di
akhirat nanti, kalau saya tahu, bahwa kakandaku berdua hidup rukun dan
berkasih-kasihan seperti kelihatan kepada saya dalam beberapa hari ini.
Inilah permintaan saya yang penghabisan dan saya, saya tidak rela
selama-lamanya kalau kakandaku masing-masing mencari peruntungan pada
orang lain”. Demikianlah pesan terakhir almarhum Maria. Lalu sesuai
dengan pesan tersebut Yusuf dan Tuti akhirnya tidak dapat berbuat lain,
kecuali melangsungkan perkawinan karena cinta keduanya memang sudah
tumbuh bersemi.