Telah dua
bulan lamanya, Ompu Keli dan istrinya menunggu dengan cemas keberadaan anak
angkatnya La Hami yang telah disuruh pergi olehnya bertandang ke Gunung Donggo.
Perjalanannya mengendarai kuda Sumba dengan senjata parang, tombak, panah,
jerat, dan tanpa membawa bekal makanan. Perjalanannya dari sini ke Kempo
melalui Sanggar, dompo, padende, lalu ke Gunung Soromandi. Di Sanggar, La Hami
di sambut senang oleh Ompu Ito bahkan La Hami diberi bekal makanan olehnya.
Selain perjalanannya ke Gunung Donggo, La Hami juga melakukan perjalanan ke
Bima. Ketika perjalanan ke Bima La Hami mengalami beberapa halangan, La Hami
turun dari Gunung Soromandi ke Bima tanpa menunggang Sumba. Ketika menyeberang
menuju Bima, ikutlah nelayan yang bernama Kifa dan dia menginap di rumahnya. Di
tempat tinggal Kifa kebetulan sedang ada perayaan Maulid Nabi dan upacara
perayaan Sirih Puan yang diramaikan dengan permainan Kuraci (berpukul-pukulan
badan dengan rotan) dan permainan bersepak kaki. Melihat permainan bersepak
kaki La Hami tampaknya pingin mencoba, setelah diladeni jago Wera ternyata
roboh oleh La Hami. Datang orang tinggi besar menahannya untuk berlawanan,
dengan terpaksa karena La Hami dilecehkan, akhirnya dia menuruti tantangan jago
dari Sape tersebut dan akhirnya Sape tersebut kalah. La Hami dipanggil Sultan
Bima yakni Sultan Kamarudin. Di depan pramesuri Sultan, putri-putrinya, dan
para punggawa untuk diberi pekerjaan. Namun, La Hami mohon untuk pulang kampung
Sanggar pamit pada kedua orang tuanya.
Malam hari
Ompu Keli bercerita kepada La Hami tentang asal-usulnya. Diceritakan pada 24
tahun yang lalu, yang menjadi Datuk Rangga di negeri Sumbawa adalah Raja Ajong
atau Ompu Keli dan didampingi sang istri Putri Nakia. Saat itu Raja Sumbawa
adalah Sultan Badrunsyah. Kepergiannya karena keadaan pemerintahan saat itu
tidak stabil. Terjadilah fitnah dari Daeng Matita yang haus jabatan. Ia bekerja
sama dengan Ponto Wanike, seorang pimpinan bajak dari pulau Ragi. Pada suatu
hari, Ompu Keli pergi memancing ke pantai, di situlah, Dewa mendengar tangisan
bayi. Setelah didekati ternyata seorang bayi laki-laki yang berumur sekitar
satu bulan. Diletakan di atas sampan beralaskan tikar jontal yang baik
anyamannya, berkalung dokoh yang terbuat dari mas, berselimutkan sutera
bertekad emas dan semuanya berciri dari Bima. Lalu dibawanya pulang dan di beri
nama La Hami, Ina Rinda atau Putri Nakia merasakan senang karena selama ini tak
berketurunan.
Terdengar
kabar oleh Daeng Matita bahwa Raja Ajong yang menyingkirkan diri dari Sumbawa
kini ada di pantai Sanggar dengan mengganti nama Ompu Keli dan akhirnya timbul
kembali dendam lamanya yang sudah 24 tahun. Daeng Matita akan segera menyerang
Sanggar. Di bagilah tugas mereka dengan Ponto Wanike menyerang pantai Sanggar
dan Daeng Matita menyerang dari arah darat yakni di Lembah Jambu. Perang belum
dimulai namun rencana serangan pasukan sumba telah tercium oleh pasukan Sanggar
sehingga Sanggar telah bersiap-siap. Di kedua belah pihak terdapat pasukan yang
mati dan luka-luka, namun jumlah yang celaka lebih banyak di pihak Sumba.
Dengan gagah berani, Ponto Wanike bisa dibunuh oleh La Hami. Kemudian pasukan
Sanggar menuju lembah Jambu untuk membabantu Raja Ajong dan Lalu Jala, di
tengah perjalanan pasukan yang dipimpin Daeng Matita dihadang oleh pasukan Sanggar
dan peperangan terjadi dengan dahsyatnya. Pasukan Sumba terlihat kewalahan
karena harapan bantuan dari pasukan lain tidak kunjung datang sementara pasukan
Sanggar mendapat bantuan dari Dompo dan Kempo. Semakin paniklah Daeng Matita.
Datanglah pasukan La Hami tambahlah kacau pasukan Sumba. Sebagian besar pasukan
Sumba terbunuh, Daeng Matita melarikan diri setelah menebas rusuk Raja Ajong.
Namun setelah dikejar oleh pasukan Sanggar yang terpencar akhirnya Daeng Matita
bisa dilumpuhkan, sedangkan pasukan yang tersisa diampuni dan kembali ke Sumba.
Sultan
Komarudin yang sedang asik bercengkerama dengan permaisuri Cahya Amin dan
putrinya Putri Sari Langkas, teringatlah bahwa suatu saat tak ada lagi yang
bisa menggantikan baginda karena tak punya anak putra. Anak sulungnya telah
diculiknya 24 tahun yang lalu, sedangkan Putri Sari Langkas adalah putri kedua.
Akhirnya teringatlah sang permaisuri kepada pemuda yang bernama La Hami karena
umur dan perawakannya mirip dengan putra sulungnya bahkan mirip dengan Sultan
Komarudin. Khayalannya dengan La Hami akhirnya membuat penasaran yang semakin
mendalam. Namun, permaisuri tidaklah yakin karena pemuda itu bernama La Hami
yang telah membinasakan Daeng Matita dan Ponto Wanike dari Sumbawa. Cahya Amin
lalu membayangkan dan mencari-cari sebab Ompu Keli ternyata Raja Ajong atau
Datu Ranga Sumbawa dulu yang menyingkir ke pantai Sanggar 24 tahun lalu. Namun,
permaisuri ragu karena Raja Ajong seingat permaisuri tidak punya anak. Akhirnya
permaisuri mengutus pengawal untuk mencari tahu tentang La Hami ke Sanggar.
Beberapa hari kemudian, utusan itu pulang memberi kabar bahwa yang sebenarnya
La Hami adalah anak Ompu keli, Raja Ajong Sanggar yang dulu adalah Datu Ranga
Sumbawa. La Hami adalah anak angkat yang ditemukan di pantai Sanggar ketika
masih berumur sekitar satu bulan dengan tanda-tanda ada sehelai tilam daun
jontal, sehelai selimut buatan Bima, dan dokoh mas yang amat permainya.
Mendengar kabar Cahya Amin sangat gembira karena pastilah La Hami itu putranya
dan dengan segera beberapa hari kemudian menyuruh utusan untuk menjemput La
Hami.
Kabar yang
menyenangkan seisi istana Sanggar ini membuat Raja Sanggar, Sultan Amarullah,
Raja Ajong, Lalu Jala, La Hami, dan Putri Nakia datang menghadap Sultan Abdul
Azis untuk mengabarkan perihal yang sebenarnya. Sebelum datang rombongan dari
Sanggar, terdengarlah kabar kalau Sultan Bima Sultan Kamaruddin akan datang ke
Dompo untuk menjemput putranya La Hami. Perjalanan dari Dompo ke Sanggar,
Sultan Kamaruddin diiring oleh Raja Ajong, Permaisuri Cahya Amin dan Putri Sari
Langkas diiring oleh Putri Nakia, dan La Hami dengan Lalu Jala. Dalam
perjalanan menuju Sanggar terlihatlah pula kalau Lalu Jala menyukai adik La
Hami yakni Putri Sari Langkas. Pada suatu hari, Sultan Bima menyampaikan maksudnya
melamar Putri Nila Kanti untuk La Hami dan Raja Sanggar Sultan Amarullah
melamar Putri Sari Langkas kepada Sultan Bima Sultan Kamaruddin untuk Lalu
Jala. Pada hari yang telah ditentukan, dilangsungkanlah perkawinan keempat
sejolo ini dengan meriah. Beberapa bulan kemudian, La Hami dinobatkan menjadi
Sultan Bima dengan gelar Sultan Abdul Hamid dan Lalu Jala dinobatkan menjadi
Sultan Sanggar dengan gelar Sultan Abdul Jalal.
0 komentar:
Posting Komentar