Kritik Historis Pada Naskah Drama "Mengapa Kau Culik Anak Kami?"
Kritik Historis Pada Naskah Drama "Mengapa Kau Culik Anak Kami?"
Karya Seno Gumira Adjidarma
Naskah drama “Mengapa Kau Culik Anak Kami?” karya Seno Gumira Ajidarma merupakan
naskah drama tiga babak, yang dikemas dan diangkat dari permasalahan di
Jakarta. Kumpulan drama tersebut memaparkan sebuah kisah nyata yang disajikan
dalam dunia rekaan. Peristiwa ini menimbulkan penderitaan bagi warga akibat
tindak kerusuhan yang terjadi dan konflik sosial antara pemerintah, gerilyawan,
pejabat yang ingin berkuasa dan warga Jakarta. Masalah sosial yang terdapat
dalam kumpulan naskah drama ini yaitu adanya pemerkosaan, penculikan,
penganiayaan masyarakat Jakarta yang dilakukan oleh orang yang ingin menguasai
negara Indonesia. Dibuktikan dengan kutipan berikut ini:
IBU
Waktu itu aku tidak
tahu kalau sekolah libur. Aku berangkat ke sekolah. Ketika sampai di kelas, aku
Cuma mencium bau amis darah. Darah orang-orang yang disiksa menyiprat di
tembok, papan tulis dan bangku-bangku. Di mana-mana orang bergerombol,
berteriak-teriak, mencari orang-orang yang diburu. (Ajidarma, 2001: 8).
IBU
Habis,
perempuan-perempuan itu diperkosa kok menterinya diam saja. (Ajidarma, 2001: 25).
IBU
Jadi mereka dengan
sadar melakukan pemaksaan. Menculik. Menanyai sambil menempeleng dan menyetrum.
Atau menyuruhnya tidur di atas balok es. Orang-orang yang dilepaskan bercerita
seperti itu kan? (Ajidarma,
2001: 26).
Naskah drama ini tokoh yang dimunculkan
hanya seorang ibu dan bapak bercerita tentang anaknya yang diculik oleh seorang
pemerintah karena kekritisan pemikiran yang dimiliki oleh anaknya, anaknya itu
bernama Satria. Naskah ini dikarang pada masa penculikan aktivis sekitar tahun
1997/1998 pada masa Pemerintahan Orde Baru. Satria digambarkan sebagai seorang
anak yang manja, dan sangat dekat dengan ibunya. Kemanjaan itu muncul karena
Satria adalah anak terakhir dari tiga bersaudara, akan tetapi ia memiliki
pemikiran yang kritis dan tajam. Hal ini tergambar dalam kutipan berikut ini :
BAPAK
Kurus dan sakit-sakitan.
Tapi pikirannya tajam (Ajidarma,
2001: 24).
BAPAK
Dia kan lebih dekat
sama kamu bu!
IBU
Yah, anak itu, sudah
segede itu masih suka cerita sambil tidur dipangkuanku.
BAPAK
Anak mami!
IBU
Memang anak mami!
Cerita macam-macam hal sambil tiduran. Impian-impiannya, harapan-hrapannya,
kekecewaannya, kepahitannya. Dia memang peduli sekali dengan politik. Aku
sendiri nggak suka ngerti omongannya. Aku pernah bilang, hati-hati dengan
politik. Kubilang “kamu datang dengan pikiran-pikiran hebat, tapi orang bisa
menyambut kamu dengan pikiran ingin menyembelih. Dia bilang “politik yang
dewasa tidak begitu bu. Setiap orang harus mau mendengar pikiran orang lain.
“aku bilang lagi, “pokoknya hati-hati, di negeri ini politik selalu ebrarti
kekerasan, bukan pemikiran.” (Ajidarma,
2001: 28).
Latar ceritanya berlangsung di sebuah
ruangan di rumah mereka. Pada suatu malam, pasca penculikan aktivis menjelang
kejatuhan pemerintahan Soeharto. Mereka memperbincangkan nasib anaknya dan
berbagai kondisi lainnya dari pukul 22.00 hingga 01.00 pagi sampai mereka tidak
bisa tidur. Dalam drama ini tokoh Bapak digambarkan memakai sandal kulit
silang, ibu berselop tutup. Bapak menonton TV, ibu membaca buku. Mereka sudah
berusia paruh baya sekitar 50-an, Bapak mengenakan kaos oblong putih dan
sarung, sedangkan ibu mengenakan kain dan kebaya Sumatera.
Melalui dialog kedua tokoh utama ini,
munculah sejumlah karaker yang dapat dikategorikan sebagai tokoh tambahan dalam
drama ini. Tokoh-tokoh tersebut antara lain:
a.
Satria (anak
bungsu mereka yang hilang diculik karena pemikirannya yang kritis terhadap
penguasa)
b.
Si Mbok (orang
tua yang mengalami trauma terhadap peristiwa pembantaian tiga puluh tahun yang
lalu)
c.
Para tentara dan
komandan (yang melakukan tindak penculikan terhadap para aktivis sebagai bentuk
melaksanakan perintah atasan guna mengamankan negara)
d.
Penguasa (yang
mengidentikan dirinya sebagai negara)
e.
Saras (pacar
Satria)
f.
Ibu Saleha (ibu
Saras, calon besan tokoh Ibu dan Bapak)
g.
Yanti (orang
yang memberikan kaos Hard Rock Cafe kepada Satria).
Tokoh Ibu dan Bapak dideskripsikan oleh
pengarang sebagai mahasiswa yang pernah ikut mogok makan dan demonstrasi. Hal
ini dijelaskan pada kutipan berikut.
BAPAK
Apa kamu tidak keras
kepala? Siapa dulu yang mogok makan?
IBU
Yah, kan itu masih
muda.
BAPAK
Waktu sudah tua juga!
Siapa yang bawa poster di depan kantor menteri wanita?
IBU
Habis,
perempuan-perempuan itu diperkosa kok menterinya diam saja (Ajidarma, 2001: 25).
Keadaan
keluarga pada naskah drama “Mengapa Kau Culik Anak Kami?” merupakan gambaran
sebuah kelurarga yang hangat, harmonis serta penuh kasih sayang. Hal ini
dibuktikan pada kutipan dialog berikut ini :
IBU
Kalau satria bisa
bertahan, kenapa aku ibunya tidak? Tapi aku merasa seolah-olah ia masih berada
di sini. Aku masih selalu menyiapkan sarapannya setiap hari, siapa tahu dia
pulang. Kamu tahu pak, dia selalu sarapan roti, pakai telur isi ceplok setengah
matang dilapisi beef bacon yang kalau dia iris lantas kuningnya meleler
memenuhi piringnya. Lantas ia sapu dengan rotinya itu. Minum kopi susu. Hampir tidak pernah bosan ia
dengan telur. Tapi tidak pernah ia jerawatan pak. Tahun belakangan ia sering
tidak pulang, tapi paling lama juga dua- tiga hari, itu pun selalu menelpon ke
rumah. Sibuk rapat katanya. Atau demo ini-itu. Aku selalu menyediakan vitamin
karena tubuhnya kurus begitu. Tapi semangatnya itu pak, kalau sudah ngomong,
waduh, matanya berapi-api. Aku tahu dia bisa bertahan dalam penderitaan (Ajidarma, 2001: 24).
Tema drama ini yaitu mengenai
kegelisahan kedua orang tua Satria yang menunggu kembalinya Satria putra bungsu
mereka yang hilang karena kasus penculikan. Kedua orang Satria itu mempertanyakan
apakah negara (penguasa) berhak melakukan pembungkaman para pengkritiknya
dengan cara penculikan melalui aparatur negara?. Alur yang terdapat dalam
naskah drama ini yaitu menggunakan alur campuran, dimana pada awal cerita ada
pada masa sekarang, namun inti dari dialog ibu dan bapak menceritakan pada masa
lalu. Sudut pandang yang dipakai pengarang dalam drama ini yaitu menggunakan
sudut pandang orang ketiga. Amanat yang disampaikan pada naskah drama ini yaitu
bahwa kita harus tetap menegakan keadilan dan kebenaran terutama untuk
kepentingan bersama dalam bermasyarakat dan bernegara.
Lewat drama ini, pengarang telah
melakukan konstruksi ideologis atau formasi ideologi terhadap kelompok dominan
yang dalam konteks kehidupan sosial politik Indonesia yaitu pemerintah Orde
Baru, pemerintahan Soeharto yang neo-fasisme militer. Konstruksi yang dibangun
atau proses strukturasi yang dilakukan oleh drama ini yaitu berupa counter
hegemoni atau resistensi terhadap pihak penguasa.
Meski demikian drama ini tidak mendapat
pelarangan atau pembredelan seperti yang terjadi pada sejumlah karya sastra
lainnya (seperti yang terjadi pada pengarang Lekra) mengingat Seno Gumira
Ajidarama adalah pengarang hegemonik dalam kesusastraan Indonesia. Selain itu,
drama bersifat imajinatif bukan berita yang faktual.
Jika dilihat dari segi sosial drama ini
menggambarkan keadaan pemerintah yang otoriter, tidak berpihak kepada rakyat
hanya mementingkan kekuasaan demi kelompok-kelompok yang merasa dirinya sebagai
negara.
Dari segi hukum drama ini tidak
mencerminkan dan menerapkan pancasila dan UUD sebagai landasan negara
Indonesia. Mereka dipaksa untuk sependapat, jika ada yang memiliki pendapat
yang sedikit menentang terhadap kekuasaan pemerintahan maka pemerintah tidak
akan segan-segan menangkap ataupun menculik orang tersebut. Bagi pemerintahan orang
yang memiliki pemikiran kritis itu sangatlah berbahaya. Berikut kutipan yang
menjelaskan tentang hal ini.
BAPAK
Kritis. Kritis itu
berbahaya bagi Negara.
IBU
Lho, kritis itu berguna
untuk Negara.
IBU
Yang namanya kritis
itu, di zaman apapun, di Negara manapun selalu berguna. Kenapa dianggap
berbahaya?
BAPAK
Pada dasarnya sikap
kritis memang berguna untuk Negara, tapi yang menganggap berbahaya ini
sebetulnya bukan Negara, melainkan orang-orang yang me-ra-sa di-ri-nya adalah
Negara! (Ajidarma,
2001: 15).
Dari segi moral penculikan tidak mencerminkan
keprimanusiaan dan keadilan, karena mereka merenggut kebebasan para aktivis
menyuarakan pendapatnya. Selain itu, mereka juga melakukan tindakan kekerasan
terhadap para aktivis yang diculik. Hal ini dijelaskan pada kutipan berikut.
BAPAK
Mereka bertanya sambil
mengemplang. Bertanya sambil menyetrum. Mereka menginginkan jawaban seperti
yang mereka kehendaki. Interogasi kok seperti itu. Maksa! Dan satria itu
orangnya ngeyelan. Mana mau dia ngaku meski disakiti
BAPAK
Kamu harus siap dengan
penderitaan. Orang-orang yang dilepaskan bercerita bagaimana mereka bukan Cuma
ditanyai sambil dikemplang, ditanyai sambil diestrum. Belum bener juga lantas
kepalanya dimasukkan ke air sampai mereka megap-megap. Rata-rata pengalamannya
hampir sama (Ajidarma,
2001: 25).
IBU
Jadi mereka dengan
sadar melakukan pemaksaan. Menculik. Menanyai sambil menempeleng dan menyetrum.
Atau menyuruhnya tidur di atas balok es. Orang-orang yang dilepaskan bercerita
seperti itu kan? (Ajidarma,
2001: 26).
Dari segi politik drama ini menggambarkan keadaan
pemerintahan orde baru yang penuh kekuasaan dibandingkan dengan masa
pemerintahan sekarang yang demokratis sehingga orang bebas berpendapat.
Dari segi pendidikan naskah drama ini dapat dijadikan
sebagai bahan ajar, karena dalam cerita ini para tokoh merupakan sosok yang
pernah mengenyam pendidikan perguruan tinggi sehingga mereka memiliki
pemikiran-pemikiran yang kritis terhadap apa yang terjadi. Diharapkan bagi para
pembaca dapat melihat segi positif dari
tokoh Satria yang memiliki pemikiran kritis, agar pembaca tidak merasa takut
ataupun khawatir jika mereka ingin mengungkapkan pendapat mereka.
Naskah
drama “Mengapa Kau Culik Anak Kami” karya Seno Gumira Ajidarma ini dikaji
dengan menggunakan jenis kritik historis, yaitu kritik sastra yang mengadakan
survei terhadap kegiatan sastra pada suatu periode sejarah tertentu, ataupun
menempatkan seorang pengarang dalam kelompoknya serta menunjukkan hubungannya
dengan kelompok tersebut, dan sebagainya (Tarigan,1984: 206).
Dalam
pengkajiannya kami menyoroti tentang peristiwa-peristiwa pada tahun 1997-1998
yaitu peristiwa penculikan para aktivis ketika akan diadakannya Pemilu
(Pemilihan Umum) tahun 1997 dan Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun
1998. Bagaiman konflik-konflik terjadi akibat kekuasaan politik. Orang-orang
yang berani menentang kekuasaan itu tidak segan-segan dihabisi, mereka diculik
dan diasingkan. Hal ini tercantum pada sumber lain, yakni Selama periode 1997/1998, KONTRAS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) mencatat 23 orang telah dihilangkan oleh alat-alat negara. Dari angka itu, 1 orang ditemukan meninggal (Leonardus Gilang), 9 orang dilepaskan penculiknya, dan 13 lainnya
masih hilang hingga hari ini (Wikipedia, Penculikaan Aktivis 1997/1998).
Dalam
drama ini aktivis yang belum diketahui keberadaannya digambarkan sebagai Satria
yaitu anak dari tokoh Bapak dan Ibu. Hal ini tergambar pada kutipan dialog
berikut:
BAPAK
Gila! Mereka menculik anak kita!
Bagaimana aku bisa lupa? (Ajidarma, 2001: 21).
Penulis
mengkaji dengan pendekatan historis karena pengarang pernah menyaksikan baik
secara langsung atau tidak terhadap peristiwa pada tahun 1997/1998, dikuatkan
dengan latar belakang pengarang yang pernah menjadi seorang waratawan pada
salah satu surat kabar di Jakarta. Latar belakang yang menunjang peristiwa ini
lah pengarang berhasil menciptakan dan menggarap nasakah drama yang bertajuk
tentang kekerasan dan gambaran peristiwa tahun 1997/1998. Meskipun karya sastra
bersifat imajinatif, namun hal itu tidak menjadikan pengarang menciptakan karya
sastra semata-mata bersifat imajinatif, akan sutau hal kejadian yang dialami
atau dirasakan pengarang melalui pengalamannya untuk menciptakan karya sastra
tersebut. Naskah drama ini merupakan bentuk kritikan terhadap pemerintahan masa
Orde Baru yang dinilai ada yang pro dan kontra. Pengarang menggambarkan kondisi
keluarga yang menjadi salah satu korban penculikan pada masa pemerintahan
tersebut, agar pemerintah menyadari betapa berharganya sebuah keutuhan dalam
berkeluarga.
Mengenai
pengarangnya sendiri yaitu Seno Gumira Ajidarma dilahirkan di Boston pada
tanggal 19 Juni 1958 dan dibesarkan di Yogyakarta. Puisinya yang pertama dimuat
dalam rubrik "Puisi Lugu" majalah Aktuil asuhan Remy Silado,
cerpennya yang pertama dimuat di surat kabar Berita Nasional, dan esainya yang
pertama, tentang teater, dimuat di surat kabar Kedaulatan Rakyat. Seno kemudian
mendirikan "pabrik tulisan" yang menerbitkan buku-buku puisi dan
menjadi penyelenggara acara-acara kebudayaan. Pada tahun yang sama Seno mulai
bekerja sebagai wartawan lepas pada surat kabar Merdeka. Tidak lama kemudian,
ia menerbitkan majalah kampus yang bernama Cikini dan majalah film yang bernama
Sinema Indonesia. Setelah itu, ia juga menerbitkan mingguan Zaman, dan terakhir
ikut menerbitkan (kembali) majalah berita Jakarta-Jakarta pada tahun 1985.
Pekerjaan sebagai wartawan dijalani Seno sambil tetap menulis cerpen dan
esai.Selama menganggur, Seno kembali ke kampus, yang ketika itu telah menjadi
Fakultas Televisi dan Film, Institut Kesenian Jakarta. Ia menamatkan studinya
dua tahun kemudian. Setelah sempat diperbantukan di tabloid Citra, pada akhir
tahun 1993 Seno kembali diminta memimpin majalah Jakarta-Jakarta, yang telah
berubah menjadi majalah hiburan.
Hingga kini Seno telah menerbitkan
belasan buku yang terdiri kumpulan sajak, kumpulan cerpen, kumpulan esai,
novel, dan karya nonfiksi.Atas prestasinya di bidang penulisan cerita pendek,
Seno Gumira Ajidarma mendapat penghargaan dari Radio Arif Rahman Hakim (ARH)
untuk cerpennya Kejadian (1977), dari majalah Zaman untuk cerpennya Dunia Gorda
(1980) dan Cermin (1980, dari harian Kompas untuk cerpennya Midnight Express
(1990) dan Pelajaran Mengarang (1993), dan dari harian Sinar Harapan untuk
cerpennya Segitiga Emas (1991). Selain itu, Seno juga memperoleh Penghargaan
Penulisan Karya Sastra dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa untuk
kumpulan cerpen Saksi Mata (1995) dan Penghargaan South East Asia (S.E.A.)
Write Award untuk kumpulan cerpen Dilarang Mennyanyi di Kamar Mandi (1997)
0 komentar:
Posting Komentar