A.
Kajian Struktur
Teks Drama
1.
Alur dan Pengaluran
Algirdas Julien
Greimas (A.J. Greimas) adalah penganut aliran strukturalis dari Prancis. Ia
mengembangkan teori Propp menjadi dasar sebuah analisis naratif yang universal
(Teeuw, 1988: 293). Sebelumnya, Propp telah memperkenalkan unsur naratif
terkecil yang sifatnya tetap dalam sebuah karya sastra sebagai fungsi (Todorov,
1985: 48). Berdasarkan penelitiannya tentang dongeng Rusia, Propp membatasi
fungsi cerita sebanyak 31 fungsi. Semua fungsi tersebut sifatnya tetap serta
urutannya sama dalam setiap dongeng (Hutomo, 1991: 25). Berdasarkan teori Propp
inilah Greimas mengemukakan teori aktan.
Menurut Greimas
(dalam Jabrohim, 1996: 13) aktan adalah sesuatu yang abstrak, seperti cinta,
kebebasan, atau sekelompok tokoh. Menurutnya juga, aktan adalah satuan naratif
terkecil. Dikaitkan dengan satuan sintaksis naratif, aktan berarti unsur
sintaksis yang mempunyai fungsi-fungsi tertentu. Fungsi adalah satuan dasar
cerita yang menerangkan tindakan logis dan bermakna yang membentuk narasi.
Dengan kata lain, skema aktan tetap mementingkan alur sebagai energi terpenting
yang menggerakkan cerita sehingga menjadi penceritaan, dengan episode
terpenting yang terdiri atas permulaan, komplikasi dan penyelesaian (Ratna,
2004: 139). Kemudian Greimas mengelompokkan aktan ke dalam tiga perangkat
oposisi biner. Tiga pasangan oposisional fungsi aktan tersebut disusun dalam
skema berikut.
-
subjek vs objek (Subject vs object)
-
pengirim vs penerima (Sender vs receiver)
-
pembantu vs penentang (helper vs
opposant)
Berikut ini adalah bagan skema aktan A.j. Greimas
PENGIRIM
|
è
|
OBJEK
|
è
|
PENERIMA
|
|
|
é
|
|
|
|
|
|
|
|
PENOLONG/
PEMBANTU
|
è
|
SUBJEK
|
ç
|
PENENTANG/
PENGHAMBAT
|
Adapun fungsi
atau kedudukan masing-masing aktan adalah sebagai berikut.
a. Pengirim
(sender) adalah seseorang atau sesuatu yang menjadi sumber ide dan penggerak
cerita. Pengirim memberikan karsa kepada subjek untuk mencapai objek.
b.Objek adalah
sesuatu yang dituju atau diinginkan oleh subjek.
c. Subjek adalah
sesuatu atau seseorang yang ditugasi pengirim untuk mendapatkan objek.
d. Pembantu
(helper) adalah sesuatau atau seseorang yang membantu atau mempermudah usaha
subjek untuk mendapatkan objek.
e. Penerima
(receiver) adalah sesuatu atau seseorang yang menerima objek yang diusahakan
oleh subjek.
f. Penentang
(opposant) adalah seseorang atau sesuatu yang menghalangi usaha subjek dalam
mencapai objek.
Selain menunjukkan bagan aktan,
Greimas juga mengemukakan model cerita yang tetap
sebagai alur. Model itu dibangun oleh berbagai tindakan yang disebut fungsi. Model yang
kemudian disebut model fungsional itu memiliki cara kerja yang tetap karena memang sebuah cerita selalu bergerak dari situasi awal ke situasi akhir. Berikut adalah bagan model fungsional A.J. Greimas.
sebagai alur. Model itu dibangun oleh berbagai tindakan yang disebut fungsi. Model yang
kemudian disebut model fungsional itu memiliki cara kerja yang tetap karena memang sebuah cerita selalu bergerak dari situasi awal ke situasi akhir. Berikut adalah bagan model fungsional A.J. Greimas.
SITUASI AWAL
|
TRANSFORMASI
|
SITUASI AKHIR
|
||
Tahap Uji Kecakapan
|
Tahap Utama
|
Tahap Keberhasilan
|
||
|
|
-
Dalam situasi awal, cerita diawali dengan munculnya
pernyataan adanya keinginan untuk mendapatkan sesuatu. Di sini ada panggilan,
perintah, atau persetujuan.
-
Dalam transformasi terdapat tiga tahap, yaitu:
*tahap kecakapan (adanya
keberangkatansubjek, munculnya penentang dan penolong, dan jika pahlawan tidak
mampu mengatasi tantangan akan didiskualifikasi sebagai pahlawan),
*tahap utama (adanya pergeseran
ruang dan waktu, dalam arti pahlawan telah mengatasi tantangan dan melakukan
perjalanan kembali).
*tahap kegemilangan atau keberhasilan (kedatangan pahlawan, eksisnya pahlawan asli,terbongkarnya tabir pahlawan palsu, hukuman bagi pahlawan palsu, dan jasi bagi pahlawan sejati).
*tahap kegemilangan atau keberhasilan (kedatangan pahlawan, eksisnya pahlawan asli,terbongkarnya tabir pahlawan palsu, hukuman bagi pahlawan palsu, dan jasi bagi pahlawan sejati).
- Dalam situasi akhir objek telah
diperoleh dan diterima oleh penerima, keseimbangan
telah terjadi, berakhirnya suatu
keinginan terhadap sesuatu, dan berakhirlah sudah
cerita.
Dua skema aktan dan model fungsional
yang diajukan oleh Greimas memiliki hubungan kausalitas: hubungan antaraktan
ditentukan oleh fungsi-fungsi dalam membangun struktur cerita.
2.
Tokoh dan Penokohan
Tokoh cerita
(character), menurut Abrams (1981:20), adalah orang-orang yang ditampilkan
dalam suatukarya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan
memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang di ekpresikan
dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tidakan.
Tokoh ialah
individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam cerita. Tokoh
pada umumnya berwujud manusia, meskipun dapat juga berwujud binatang, atau
benda yang diinsankan. Tokoh dalam cerita rekaan bersifat fiktif. Meskipun
demikian, agar kehadirannya dapat diterima pembaca, tokoh hendaknya tidak
terlalu asing bagi pembaca. Tetapi harus disadari pula bahwa tokoh di dalam
cerita rekaan tidak sama persis dengan manusia pada dunia nyata. Tokoh cerita
rekaan tidak sepenuhnya bebas. Ia merupakan bagian dari suatu keutuhan
artistik, yaitu karya sastra.
Pembagian tokoh
berdasarkan fungsinya, yaitu:
1)
Tokoh Sentral
Tokoh sentral
ini dibagi menjadi 3, yaitu:
(a) Tokoh
Utama/Protagonis
Tokoh
utama/protagonis yaitu tokoh yang memegang peran pimpinan. Ia menjadi pusat
sorotan dalam cerita. Kriteria penentuan tokoh utama:
1. Intensitas keterlibatan tokoh itu dalam
peristiwa-peristiwa yang membangun cerita.
2. Hubungan antar tokoh
(b) Tokoh
Antagonis (tokoh penentang protagonis)
(c) Tokoh
Wirawan/Wirawati dan Antiwirawan
2) Tokoh Bawahan
Tokoh bawahan
yaitu tokoh yang tidak sentral kedudukannya di dalam cerita, tetapi
kehadirannya sangat diperlukan untukk menunjang atau mendukung tokoh utama.
Yang termasuk tokoh bawahan misalnya:
(a) Tokoh
Andalan
Tokoh andalan
yaitu tokoh bawahan yang menjadi kepercayaan protagonis yang dimanfaatkan untuk
memberi gambaran lebih terinci mengenai tokoh utama.
(b) Tokoh
Tambahan
Tokoh tambahan
yaitu tokoh yang tidak memegang peranan yang penting dakam cerita, misalnya
tokoh lantaran
Pembagian tokoh berdasarkan cara menampilkan tokoh dalam cerita, yaitu:
1) Tokoh Dasar/Sederhana/Pipih
Tokoh
dasar/sederhana/pipih adalah tokoh yang hanya diungkap salah satu segi wataknya
saja. Watak tokoh datar sedikit sekali berubah. Termasuk di dalam tokoh datar
adalah tokoh stereotif.
2) Tokoh
Bulat/Kompleks/Bundar
Tokoh
bulat/kompleks/bundar adalah tokoh yang wataknya kompleks, terlihat kekuatan
dan kelemahannya. Ia mempunyai watak yang dapat dibedakan dengan tokoh-tokoh
yang lain. Tokoh ini dapat mengejutkan pembaca karena kadang-kadang darinya
dapat terungkap watak yang tak terduga sebelumnya.
3.
Latar
Menurut Corvin (dalam Bachmid,
1990:30-32) ruang dalam teks drama dapat dibedakan ke dalam ruang yang terlihat
(yang teraktualisasikan) dan ruang yang tidak terlihat (yang mungkin
diaktualisasikan), ruang yang bersifat fungsional, dan ruang yangbernilai
metaforis. Ruang yang terlihat adalah ruang tempat para tokoh berlaku dan tempat
cerita berlangsug. Sementara itu, ruang yang tidak terlihat dapat
dikelompokkanlagi ke dalam (1) ruang tak terlihat di balik panggung (yang
berfungsi memberi kesannyata pada lakuan terdapat pada kramagung), (2) ruang
dekat (ruang yang kemudianakan diaktualisasikan oleh tokoh petunjuk: tokoh
menyebut tempat yang akan di kunjungi), dan (3) ruang jauh (mengacu pada masa
lampau atau pada dunia yang tidak nyata, misalnya
dunia mimpi. Ruang yang bersifat fungsional tampak apabila menjadi latar cerita
atau penunjang laku seorang tokoh. Terakhir, ruang yang bernilai metaforis akan
muncul apabila pada teks drama atau pementasannya mengingatkan pembaca atau
penonton untuk mengingat ruang lain di luar cerita sehingga dapat memunculkan
interpretasi psikologis, metafisis, atau politik.
4.
Perlengkapan
Perlengkapan
berkaitan dengan jenis-jenis benda dalam teks drama atau teater. Perlengkapan
juga tunduk pada konvensi seperti unsur yang telah kita sebutkan. Perlengkapan merupakan unsur khas drama atau teater, yang dapat berupa
objek atau benda-banda yang diperlukan sebagai pelengkap cerita, seperti
perlengkapantokoh, kostum, dan perlengkapan panggung.
Perlengkapan (dalamkramagung dan wawancang) selalu sesuai dengan keperluan cerita.
Menurut Ubersfeld (dalam Bachmid, 1990:32) membedakan benda-benda
teaterberdasarkan fungsinya, yaitu (1) sekedar melengkapi lakuan (pistol,
pedang, dsb.), (2) bersifat referensial
(misalnya, ruang tamu yang menunjukkan status sosial pemiliknya),dan (3)
bersifat metaforis atau retoris (melambangkan realitas tertentu, psikolosis,
atau sosiokultural).
5.
Bahasa
Bahasa dalam drama konvensional juga
tunduk pada konvensi stilistika. Misalnya,
para tokoh melakukan dialog dengan menggunakan ragam bahasa yang sesuai dengan
lingkungan sosial mereka serta watak mereka. Selain itu, seorang tokoh berkomunikasi
dengan tokoh lainnya untuk menyampaikan suatu amananat. Kemudian, diantara
mereka diharapkan terjadi dialog yang bermakna sehingga menyebabkan cerita
berkembang.
B.
Kajian Sosiologi sastra
A. Pengertian Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra merupakan pendekatan
yang bertolak dari orientasi kepada semesta, namun bisa juga bertolak dari
orientasi kepada pengarang dan pembaca. Menurut pendekatan sosiologi sastra,
karya sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu
mencerminkan kenyataan. Kenyataan di sini mengandung arti yang cukup luas,
yakni segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya
sastra.
Demikianlah, pendekatan sosiologi sastra
menaruh perhatian pada aspek dokumenter sastra, dengan landasan suatu pandangan
bahwa sastra merupakan gambaran atau potret fenomena sosial. Pada hakikatnya,
fenomena sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari,
bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasikan. Oleh pengarang, fenomena itu
diangkat kembali menjadi wacana baru dengan proses kreatif (pengamatan,
analisis, interpretasi, refleksi, imajinasi, evaluasi, dan sebagainya) dalam
bentuk karya sastra.
Sastra menyajikan
gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri dari
kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antar masyarakat
dengan orang-orang, antarmanusia, antarperistiwa yang terjadi dalam batin
seseorang. Maka, memandang karya sastra sebagai penggambaran dunia dan kehidupan
manusia, kriteria utama yang dikenakan pada karya sastra adalah
"kebenaran" penggambaran, atau yang hendak digambarkan. Namun Wellek
dan Warren mengingatkan, bahwa karya sastra memang mengekspresikan kehidupan,
tetapi keliru kalau dianggap mengekspresikan selengkap-lengkapnya. Hal ini
disebabkan fenomena kehidupan sosial yang terdapat dalam karya sastra tersebut
kadang tidak disengaja dituliskan oleh pengarang, atau karena hakikat karya
sastra itu sendiri yang tidak pernah langsung mengungkapkan fenomena sosial,
tetapi secara tidak langsung, yang mungkin pengarangnya sendiri tidak tahu.
Oleh karena itu, karya sastra yang lahir ditengah-tengah masyarakat merupakan
hasil pengungkapan jiwa pengarang tentang kehidupan, peristiwa, serta
pengalaman hidup yang telah dihayatinya.
Dengan demikian, sebuah karya sastra tidak pernah berangkat dari kekosongan sosial. Artinya karya sastra ditulis berdasarkan kehidupan sosial masyarakat tertentu dan menceritakan kebudayaan-kebudayaan yang melatar belakanginya.
Dengan demikian, sebuah karya sastra tidak pernah berangkat dari kekosongan sosial. Artinya karya sastra ditulis berdasarkan kehidupan sosial masyarakat tertentu dan menceritakan kebudayaan-kebudayaan yang melatar belakanginya.
B. Sosiologi Sastra
Sebagai Pendekatan Menganalisis Karya Sastra
Sosiologi adalah ilmu
objektf kategoris, membatasi diri pada apa yang terjadi dewasa ini (das sain)
bukan apa yang seharusnya terjadi (das solen). Sebaliknya karya sastra bersifat
evaluatif, subjektif, dan imajinatif.
Menurut Ratna (2003: 2)
ada sejumlah definisi mengenai sosiologi sastra yang perlu dipertimbangkan
dalam rangka menemukan objektivitas hubungan antara karya sastra dengan
masyarakat, antara lain.
1. Pemahaman terhadap
karya sastra dengan pertimbangn aspek kemasyarakatannya.
2. Pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya.
2. Pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya.
3. Pemahaman terhadap
karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang melatarbelakangi.
4. Sosiologi sastra adalah hubungan dua arah (dialektik) anatara sastra dengan masyarakat.
5. Sosiologi sastra berusaha menemukan kualits interdependensi antara sastra dengan masyarakat.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra tidak terlepas dari manusia dan masyarakat yang bertumpu pada karya sastra sebagai objek yang dibicarakan.
Sosiologi sebagai suatu pendekatan terhadap karya sastra yang masih mempertimbangkan karya sastra dan segi-segi sosial Wellek dan Warren (1956: 84, 1990: 111) membagi sosiologi sastra sebagai berikut.
4. Sosiologi sastra adalah hubungan dua arah (dialektik) anatara sastra dengan masyarakat.
5. Sosiologi sastra berusaha menemukan kualits interdependensi antara sastra dengan masyarakat.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra tidak terlepas dari manusia dan masyarakat yang bertumpu pada karya sastra sebagai objek yang dibicarakan.
Sosiologi sebagai suatu pendekatan terhadap karya sastra yang masih mempertimbangkan karya sastra dan segi-segi sosial Wellek dan Warren (1956: 84, 1990: 111) membagi sosiologi sastra sebagai berikut.
1. Sosiologi pengarang,
profesi pengarang, dan istitusi sastra, masalah yang berkaitan di sini adalah
dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial status pengarang, dan
idiologi pengarang yang terlibat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya
sastra, karena setiap pengarang adalah warga masyarakat, ia dapat dipelajari
sebagai makhluk sosial. Biografi pengarang adalah sumber utama, tetapi studi
ini juga dapat meluas ke lingkungan tempat tinggal dan berasal. Dalam hal ini,
informasi tentang latar belakang keluarga, atau posisi ekonomi pengarang akan
memiliki peran dalam pengungkapan masalah sosiologi pengarang (Wellek dan
Warren,1990:112)
2. Sosiologi karya
sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri yang menjadi pokok
penelaahannya atau apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi
tujuannya. Pendekatan yang umum dilakukan sosiologi ini mempelajari sastra
sebagai dokumen sosial sebagai potret kenyataan sosial. (Wellek dan Warren,
1990:122). Beranggapan dengan berdasarkan pada penelitian Thomas Warton
(penyusun sejarah puisi Inggris yang pertama) bahwa sastra mempunyai kemampuan
merekam ciri-ciri zamannya. Bagi Warton dan para pengikutnya sastra adalah
gudang adat-istiadat, buku sumber sejarah peradaban.
3. Sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan dampak sosial karya sastra, pengarang dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat; seni tidak hanya meniru kehidupan, tetapi juga membentuknya. Banyak orang meniru gaya hidup tokoh-tokoh dunia rekaan dan diterapkan dalam kehidupannya.
Klasifikasi Wellek dan
Warren sejalan dengan klasifikasi Ian Watt (dalam Damono, 1989: 3-4) yang
meliputi hal-hal berikut.
1.
Konteks sosial pengarang, dalam hal ini ada kaitannya dengan posisi sosial
sastrawan dalam masyarakat, dan kaitannya dengan masyarakat pembaca termasuk
juga faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi karya sastranya, yang
terutama harus diteliti yang berkaitan dengan : (a) bagaimana pengarang
mendapat mata pencahariannya, apakah ia mendapatkan dari pengayoman masyarakat
secara langsung, atau pekerjaan yang lainnya, (b) profesionalisme dalam
kepengaragannya, dan (c) masyarakat apa yang dituju oleh pengarang.
2. Sastra sebagai cermin masyarakat, maksudnya seberapa jauh sastra dapat dianggap carmin keadaan masyarakat. Pengertian “cermin” dalam hal ini masih kabur, karena itu, banyak disalahtafsirkan dan disalahgunakan. Yang harus diperhatikan dalam klasifikasi sastra sebagai cermin masyarakat adalah (a) sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ditulis, sebab banyak ciri-ciri masyarakat ditampilkan dalam karya itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia ditulis, (b) sifat “lain dari yang lain” seorang pengarang sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya, (c) genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh mayarakat, (d) sastra yang berusaha untuk menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya mungkin saja tidak dapat dipercaya sebagai cermin masyarakat. Sebaliknya, sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat mungkin masih dapat digunakan sebagai bahan untuk mendapatkan informasi tentang masyarakat tertentu. Dengan demikian, pandangan sosial pengarang diperhitungkan jika peneliti karya sastra sebagai cermin masyarakat.
3.
Fungsi sosial sastra, maksudnya seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan
nilai-nilai sosial. Dalam hubungan ini ada tiga hal yang harus diperhatikan (1)
sudut pandang ekstrim kaum Romantik yang menganggap sastra sama derajatnya
dengan karya pendeta atau nabi. Karena itu, sastra harus berfungsi sebagai
pengbaharu dan perombak, (2) sastra sebagai penghibur saja, dan (3) sastra
harus mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur.
Dalam bukunya A Glossary of Literature Term. Abrams menulis bahwa dari sosiologi sastra ada tiga perhatian yang dapat dilakukan oleh kritikus atau peneliti yaitu:
1. Penulis dengan
lingkungan budaya tempat ia tinggal.
2. Karya, dengan
kondisi sosial yang direfleksikan di dalamnya.
3. Audien atau pembaca
(1981: 178).
Endraswara dalam
bukunya Metodologi Pengajaran Sastra, memberi pengertian bahwa sosiologi sastra
adalah penelitian yang terfokus pada masalah manusia karena sastra sering
mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam menentukan masa depannya,
berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisi (2003: 79). Sementara, Faruk
(1994: 1) memberi pngertian bahwa sosiologi sastra sebagai studi ilmiah dan
objektf mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga dan proses-proses
sosial. Selanjutnya, dikatakan bahwa sosiologi berusaha menjawab pertanyaan
mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya, dan
mengapa masyarakat itu bertahan hidup.
Menurut Ratna (2003:
332) ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa sastra memiliki kaitan
erat dengan masyarakat dan dengan demikian harus diteliti dalam kaitannya
dengan masyarakat, sebagai berikut.
1. Karya sastra ditulis
oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin,
ketiganya adalah anggota masyarakat.
2. Karya sastra hidup
dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat
yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat.
3. Medium karya sastra
baik lisan maupun tulisan dipinjam melalui kompetensi masyarakat yang dengan
sendirinya telah mengandung masalah kemasyarakatan.
4. Berbeda denga ilmu
pengetahuan, agama, dan adat-istiadat dan tradisi yang lain, dalam karya sastra
terkandung estetik, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat
berkepentigan terhadap ketiga aspek tersebut.
5. Sama dengan
masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat
menemukan citra dirinya dalam suatu karya.
Berdasarkan uraian
tersebut dapat dikatakan bahwa sosiologi sastra dapat meneliti melalui tiga
perspektif, pertama, perspektif teks sastra, artinya peneliti menganalisisnya
sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat dan sebaliknya. Kedua, persepektif
biologis yaitu peneliti menganalisis dari sisi pengarang. Perspektif ini akan
berhubungan dengan kehidupan pengarang dan latar kehidupan sosial, budayanya.
Ketiga, perspektif reseptif, yaitu peneliti menganalisis penerimaan masyarakat
terhadap teks sastra.
Sosiologi karya sastra
itu sendiri lebih memperoleh tempat dalam penelitian sastra karena
sumber-sumber yang dijadikan acuan mencari keterkaitan antara permasalahan
dalam karya sastra dengan permasalahan dengan masyarakat lebih mudah diperoleh.
Di samping itu, permasalahan yang diangkat dalam karya sastra biasanya masih
relevan dalam kehidupan masyarakat.
BAB III
ANALISIS TEKS “PELANGI” KARYA N. RIANTIARNO
A.
Sinopsis
Mama
(nyonya Lattumahina) adalah janda yang memiliki empat orang anak yang sudah
beranjak dewasa yaitu Siska, Rody, Gina dan si bungsu Diana. Diana mengatakan
pada sang mama bahwa ia sudah mempunyai calon suami yang akan datang untuk
melamar dan menikahinya. Mama menyetujui niat putrinya tersebut untuk segera
menikah dengan Hasan, laki-laki pujaan hatinya yang seorang dokter. Namun niat
Diana untuk menikah tidak mulus lantaran Siska, kakak pertamanya tidak stentang
niatnya untuk menikah dan kedatangan Hasan yang akan melamarnya meskipun mama
dan Rody kakak ketiganya telah mendukung niatnya tersebut.
Suatu
hari siska menemukan karangan bunga anggrek dan kartu ucapan yang ditujukan
untuk Diana dan kelurganya dari Hasan yang isinya bahwa nanti malam ia akan
datang untuk melamar resmi Diana. Seketika itu emosi Siska meningkat dan
mengintrogasi Diana tentang maksud dari karangan bunga anggrek dan surat yang
dikirim oleh Hasan tersebut. Diana akhirnya mengakui dan mengatakan pada Siska
bahwa ia memang berniat untuk menikah dan nanti malam Hasan akan datang untuk
melamarnya. Siska tetap tidak setuju, ia menghendaki Diana jangan terlebih
dahulu menikah dan harus menyelesaikan kuliahnya terebih dahulu, namun Diana
membantah. Baginya usianya sudah cukup matang untuk menikah dan menentukan masa
depannya sendiri dan Siska tidak berhak untuk mengatur masa depannya. Sang mama
pun membantu meluluhkan hati Siska dengan mengatakan bahwa ia sebenarnya sudah
ingin menggendong cucu dengan harapan Siska akan mengijinkan adiknya menikah
terlebih dahulu. Sesuai dengan surat yang dikirimnya, malam itu Hasan datang
besama Suruh untuk melamar Diana. Namun sayang, Siska tetap kekeh pada
pendiriannya untuk tidak menjinkan Diana menikah terlebih dahulu dan justru
menyuruh Hasan untuk pulang. Hal ini membuat Rody sebagai kakak kedua Diana
kecewa hingga terjadi perdebatan sengit
antara dirinya yang membela niat Diana
dan Siska yang menentang.
Dua
bulan kemudian tanpa persetujuan Siska, Diana akhirnya menikah dengan Hasan dan berangkat ke Banjarmasin.
Seluruh keluarga Diana berharap ia bahagia disana dengan pernikahannya. Diana
bercerita kepada mama tentang mimpinya. Ia bermimpi tentang seekor buruh
layang-layang yang ingin terbang tinggi menembus pelangi namun jatuh ketanah dan
akhirnya mati. Setelah itu datang nenek dengan laxie anjinya yang telah sembuh
dari sakitnya setelah si anjing dinikahkan dan ingin berterimakasih kepada Rody
yang telah memberinya saran untuk menikahkan anjingnya tersebut. Tiba-tiba
Siska menjerit begitu tahu keadaan mama. Sang mama telah meninggal.
B.
ANALISIS STRUKTURAL TEKS “PELANGI” KARYA
N.RIANTIARNO
1.
Alur dan Pengaluran
Pengkajian alur
dan pengaluran adalah menggunakan skema aktan dan bagan fungsional A.J Greimas.
Kajian alur dan pengaluran penulis terhadap teks drama “Pelangi” karya N.
Riantiarno adalah dengan skema aktan dan model fungsional berdasarkan
jumlah adegan dalam teks yang terdiri
atas tiga adegan/babak dan satu skema aktan dan model fungsional A.J Greimas
utama yang mencangkup keseluruhan adegan/babak dalam teks.
a.
Adegan
1
|
PENGIRIM
Keinginan Diana
Untuk segera menikah
|
è
|
OBJEK
Menikah dengan Hasan
|
è
|
PENERIMA
Hasan
|
|
|
é
|
|
|
|
|
|
|
|
PENOLONG/
PEMBANTU
Mama
Rody
|
è
|
SUBJEK
Diana
|
ç
|
PENENTANG/
PENGHAMBAT
Siska
|
PENGIRIM
Diana
|
è
|
OBJEK
Mengatakan pada Siska
bahwa Hasan akan datang untuk melamar dan menikahinya
|
è
|
Siska
|
|
|
|
é
|
|
|
|
|
|
|
|
||
PENOLONG/
PEMBANTU
Mama
Rody
Suruh
|
è
|
SUBJEK
Diana
|
ç
|
PENENTANG/
PENGHAMBAT
Siska
|
PENGIRIM
Mimpi Siska
|
è
|
OBJEK
Penyesalan
Siska telah melarang Diana menikah
|
è
|
Mama
|
|
|
|
é
|
|
|
|
|
|
|
|
||
PENOLONG/
PEMBANTU
Mimpi
Siska
|
è
|
SUBJEK
Siska
|
ç
|
PENENTANG/
PENGHAMBAT
-
|
|
|
|
|
|
|
PENGIRIM
Keinginan
hati Diana untuk menikah dengan Hasan
|
è
|
OBJEK
Harapan mendapatkan ijin dari Siska
|
è
|
Diana
|
||||||
|
|
é
|
|
|
||||||
|
|
|
|
|||||||
PENOLONG/
PEMBANTU
Mama
Rody
Suruh
|
è
|
SUBJEK
Diana
|
ç
|
PENENTANG/
PENGHAMBAT
Siska
|
||||||
b.
Bagan
Fungsional
|
|
c.
|
|
|
||||||
SITUASI AWAL
|
|
TRANSFORMASI
|
|
|
||||||
Tahap Uji Kecakapan
|
Tahap Utama
|
Tahap Keberhasilan
|
|
|||||||
Keinginan Diana untuk menikah dengan Hasan, mendahului kakak-kakaknya.
|
Diana mengatakan perihal niatnya itu kepada mamanya juga kepada Rody,
kakaknya.
|
Kebimbangan dan ketakutan hati Diana untuk mengatakan bahwa ia akan
dilamar oleh Hasan kepada Siska.
|
Mama membantu meluluhkan hati Siska dengan mengatakan bahwa ia sudah
ingin memiliki cucu.
|
Siska tetap ingin Diana menyelesaikan pendidikannya terlebih dahulu dan
tidak terburu-buru menikah.
|
||||||
SITUASI AWAL
|
|
TRANSFORMASI
|
|
||
Tahap Uji Kecakapan
|
Tahap Utama
|
Tahap Keberhasilan
|
|
||
Diana ingin mengatakan pada Siska bahwa Hasan akan datang untuk
melamarnya.
|
Siska menemukan karangan bunga anggrek untuk diana dan surat yang isinya
nanti malam Hasan akan datang untuk melamarnya.
|
Diana akhirnya mengatakan pada Siska bahwa nanti malam Hasan akan datang
untuk melamarnya.
|
Hasan datang untuk melamar Diana namun Siska menolaknya. Ia tidak setuju
Diana menikah terlebih dahulu.
|
Terjadi perdebatan sengit antara Siska dengan Rody perihal niat Diana
untuk menikah
|
Adegan
3
|
SITUASI AWAL
|
|
TRANSFORMASI
|
|
SITUASI AKHIR
|
|||
Tahap Uji Kecakapan
|
Tahap Utama
|
Tahap Keberhasilan
|
|
||||
Diana akhirnya menikah tanpa persetujuan Siska dan berangkat ke Banjarmasin.
|
Harapan seluruh keluarga Diana supaya Diana bahagia disana setelah
menikah dengan Hasan.
|
Mimpi Siska tentang burung layang-layang yang ingin terbang menembus
pelangi namun jatuh ketanah dan akhirnya mati.
|
Penyesalan Siska telah melarang Diana menikah dengan Hasan.
|
Mama akhirnya meninggal dunia.
|
|||
SITUASI AWAL
|
|
TRANSFORMASI
|
|
|
|||
Tahap Uji Kecakapan
|
Tahap Utama
|
Tahap Keberhasilan
|
|
||||
Cerita berawal dari keinginan Diana untuk menikah dengan Hasan dan
mendahului kakak-kakaknya.
|
Ketidaksetujuan Siska untuk Diana menikah. Ia ingin Diana Diana
menyelesaikan kuliahnya terlebih dahulu baru menikah.
|
Akhirnya Diana mengatakan pada Siska bahwa Hasan akan datang untuk
melamar dan menikahinya, namun siska tetap tidak setuju.
|
Diana dan Hasan akhirnya menikah tanpa persetujuan Siska dan mereka
berangkat ke Banjarmasin.
|
Penyesalan Siska telah melarang Diana menikah dan kematian mama.
|
|||
2.
Tokoh dan Penokohan
Pengkajian
terhadap tokoh dan penokohan akan penilis kaji berdasarkan tokoh utama, yaitu
tokoh antagonis, protagonis, wirawan/anti wirawan. Dalam teks drama “Pelangi”
karya N.Riantiarno jumlah tokohnya ada delapan, yaitu Mama, Siska, Gina, Rody, Diana,
Oma, Hasan dan suruh. Namun dikaitkan dengan pengkajian berdasarkan tokoh utama hanya akan dikaji enam tokoh,
yaitu Mama, Siska, Rody, Gina, Diana dan Hasan.
a.
Mama
Mama atau nyonya
Lattumahina adalah janda dan ibu dari
empat orang anak yang lumpuh berusia 57 tahun. Mempunyai penyakit asmatis. Ia
hanya bisa duduk terbaring di kursi roda untuk melakukan segala aktivitasanya.
Tokoh mama termasuk wirawan karena mama sangat bijak dalam menanggapi
permasalahan yang terjadi pada anak-anaknya. Ia membela niat Diana untuk
menikah berusaha membantu meluluhkan hati Siska, tanpa memaksa. Seperti tampak
pada kutipan berikut.
“Mama:
Sudah waktunya ibu-ibu seumur aku menggendong cucu laki-laki atau perempuan.
Alangkah bahagianya merasakan bayi kencing dipangkuanku, menangis keras-keras,
melihat kalian sibuk membuat susu untuk anak kalian. .....”
(Pelangi:15)
Dari kutipan
tersebut dapat dilihat dialog tokoh mama sangat bijak dalam menanggapi
ketidaksetuan Siska terhadap pernikahan Diana. Ia tidak mengatakan secara langsung agar Siska
menyetujui, namun dengan kata-kata yang halus sehingga tidak akan menyinggung
perasaan Siska.
b.
Siska
Siska adalah
anak pertama mama yang berusia 31 tahun. Penokohan Siska termasuk tokoh yang
antagonis karena Siska sangat menentang niat Diana untuk menikah. Selain itu,
sebagai anak tertua Siska merasa dirinya berhak untuk mengatur masa depan
adik-adiknya. Ia sesalu menganggap apa yang menjadi keputusannya benar dan
harus ditaati oleh adik-adiknya, termasuk masalah masa depan. Hal ini tampak
pada kutipan berikut.
“Siska:
Ya, itu juga bisa, tapi bukan itu yang kuinginkan. Aku mau kau menyelesaikan
sekolahmu dulu. Selesai dari rumah ini, seperti pesan papa sebelum meninggal.
Dan juga supaya kau merasa bersedia, rela banting tulang untuk kau Diana. Untuk
kau!” (Pelangi:25)
Dari kutipan
tersebut tampak Siska adalah tokoh antagonis karena tindakannya sangat
mengekang masa depan Diana dan sangat menentang apa yang diinginkan oleh
adik-adiknya, juga sangat ingin berkuasa.
c.
Gina
Gina adalah anak
kedua mama, adik pertama Siska yang berusia 30 tahun. Penokohan Gina dalam teks
drama ini sebenarnya sangat terbatas, namun dari beberapa dialog yang ada Gina
termasuk kedalam tokoh wirawan karena ia menjadi penengah keributan antara
Siska dan Rody, seperti tampak pada kutipan berikut.
“
Gina: Rody, kau tahu, karena kau bisa merelakan Diana kawin lebih dulu dari
kakak? (Rody menggeleng) karena kau laki-laki, kau bisa melakukan apa saja asal
kau mau. Tapi Siska, dia perempuan. Dan nasib perempuan adalah menunggu itu
dari dulu, biar bagaimanapun rasanya tabu baginya untuk mencari.” (Pelangi:30)
Dalam kutipan
tersubut tampak tokoh Gina mempunyai budi pekerti yang luhur, ia dapat melerai
dan menjadi penengah keributan antara Siska dan Rody.
d.
Rody
Rody adalah
kakak laki-laki Diana berusia 28 tahun. Tokoh Rody termasuk tokoh protagonis
karena ia berusaha membela keinginan dan kebahagiaan Diana untuk menikah.
Bahkan demi membela keinginan adiknya tersebut ia sampai bertengkar dengan
Siska, kakaknya. Hal ini tampak pada kutipan berikut.
“
Rody: Tapi kau tak berhak melarang. Kau Cuma kakak. Cuma mama yang boleh melarang
dan akhirnya tergantung Diana sendiri.” (Pelangi:23)
Dari kutipan
tersebut tampak Rody sangat membela niat Diana untuk menikah dan berusaha
memberi pengertian pada Siska tentang sikapnya yang keras kepala tidak
mengijinkan Diana menikah.
e.
Diana
Diana adalah
anak bungsu dari mama Lattumahina. Adik ketiga dari Siska yang usianya 27
tahun. Diana termasuk kedalam tokoh protagonis dan menjadi sentral cerita,
yaitu keinginannya untuk menikah mendahului kakak-kakaknya namun mendapat
pertentangan dari Siska, Kakaknya. Dengan sabar ia berusaha memberikan
pengertian kepada Siska bahwa pernikahan tidak akan mengganggu sekolahnya. Hal
ini tampak pada kutipan berikut.
“Diana
: Aku janji akan lanjutkan sekolahku setelah kawin.” (Pelangi:
25)
Kutipan tersebut
menunjukan sikap Diana tentang keinginannya menikah namun tanpa mengganggu
sekolahnya dan ingin berjanji kepada Siska, dengan harapan Siska menyetujui
niat pernikahannya.
f.
Hasan
Hasan adalah
kekasih Diana, Dokter yang baru saja lulus dan berumur 35 tahun. Hasan termasuk
tokoh protagonis karena dengan sabar ia menanti Diana, walaupun Siska, kakaknya
tidak merestuinya. Bahkan ketika datang untuk melamar Diana dan diusir oleh
Siska ia tidak lantas marah tetapi sabar menunggu sampai semua keluarga Diana
setuju. Seperti tampak pada kutipan berikut.
“Hasan:
Apa boleh buat. Pintu masih terkunci mudah-mudahan lusa sudah terbuka sedikit
hingga akau menduga apa isinya, baiklah, saya permisi. (Pelangi:28)
Dari kutipan
tersebut tampak sekali sikap sabar Hasan, bahkan ketika datang untuk melamar
Diana dan diusir oleh Siska ia tidak lantas marah tetapi sabar menunggu sampai
semua keluarga Diana setuju.
3.
Latar
·
Waktu
a.
Waktu kini
Pertentangan
Siska atas niat Diana menikah terlebih dahulu.
“Siska:
kalau memang betul laki-lakimu mencintaimu, biarlah dia pergi ke Banjarmasin,
menyelesaikan tugas-tugasnya disini. Menyelesaikan sekolah 2 atau 3 tahun kan
bukan soal biasa? Lagi pula kawin buru-buru tidak akan menghasilkan sesuatu hal
yang baik. Sudah banyak contohnya, Norma dan Ferry contohnya.” (Pelangi:23)
b.
Waktu lampau
Kebiasaan
almarhum papa yang suka main sandiwara
natal di gereja-gereja.
Mama:
“Dulu juga begitu. Sering main sandiwara natal. Main-main di gereja. Biasanya
suka jadi imam besar kayafas...........” (Pelangi:5)
c.
Waktu yang akan datang
Niat
kedatangan Hasan untuk melamar besok malam.
“Diana: Besok malam Hasan datang
kemari.” (Pelangi:6)
·
Ruang
a.
Ruang terlihat
-
Ruang tengah rumah mama
Kisah ini terjadi seluruhnya diruan
tengah rumah mama yang juga dipakai sebagai ruang dan ruang tengah. (Pelangi:1)
b.
Ruang tak terlihat
-Dapur
Siska : (Cuma suaranya saja)
Celaka...asap kompor bikin ruangan ini jadi hitam. Tugas sudah dibagi-bagi,
masih tetap saja tidak tahu apa yang harus dilakukan.
(Pelangi:17)
-Kamar
Diana : (Sambil masuk kedalam
kamar) aku punya rencana untuk berhenti sekolah. Untuk meringankan beban untuk
meringankan beban. (Pelangi:12)
-Luar
rumah mama (Pekarangan rumah)
Rody: (dari luar) alaa papa juga
mandinya cuma seminggu sekali. (Pelangi:13)
c.
Ruang dekat
-Kota
Banjarmasin
Ditempat yang sama. Dua bulan
kemudian. Diana akhirnya kawin juga dengan Hasan Miscount tanpa persetujuan
Siska. Kakaknya. Hari ini dia berangkat bersama suaminya ke Banjarmasin. (Pelang:31)
d.
Ruang jauh
-Gereja
Mama:
“Dulu juga begitu. Sering main sandiwara natal. Main-main di gereja. Biasanya
suka jadi imam besar kayafas...........” (Pelangi:5)
-Kota
Ambon
Mama:
Kalau tahu kejadiannya bakal begini, kita akan tetap tinggal di Ambon dan tidak
terburu-buru dengan yang lain pindah kemari. (Pelangi:6)
4.
Perlengkapan
a. Sekedar melengkapi lakuan
-Hiasan-hiasan dinding
dari kain bersulam
Dinding-dinding rumah berwarna
putih bersih dengan hiasan-hiasan dinding dari kain bersulam.
(Pelangi:1)
-Lampu
Hari
itu pukul 17.30 sore ketika lampu ruangan menyala perlahan.
(Pelangi:1)
-Meja makan dan kursi
Kisah ini terjadi seluruhnya diruan
tengah rumah mama yang juga dipakai sebagai ruang dan ruang tengah. Ada meja
makan dan 6 kursi. (Pelangi:1)
-Sofa
Kisah ini terjadi seluruhnya diruan
tengah rumah mama yang juga dipakai sebagai ruang dan ruang tengah. Ada meja
makan dan 6 kursi. Sofa lengkap dengan meja pendeknya. (Pelangi:1)
b. Bersifat referensial
-Karpet
Rody:
Karpet itu bau, mesti dicuci dulu, kemarin dulu kulihat sudah jadi sarang
tikus, gudang tikus. (Pelangi:9)
-Gordin
“Mama:
(Mererawang tapi sendat) kalau saja aku masih bugar pasti aku sudah sibuk
mempersiapkan segala sesuatunya. Gordin itu mesti diganti dengan yang baru.
...” (Pelangi:9)
-Anjing
Oma
: (berbisik) Lexia sakit...(sambil menunjuk ke arah anjingnya yang digendong
dengan sayang)
-Pispot
Mama:
tidak, tidak apa-apa (minta tolong) pispot..( diana mengambil pispot dan
memberikannya pada mama yang saat itu masih saja batuk). (Pelangi:2)
-Kursi
roda
Hari
itu pukul 17.30 sore ketika lampu ruangan menyala perlahan. Mama duduk di kursi
roda berselimut kordurai hijau pekat. (Pelangi:1)
-Jendela
Mama:(melihat
keluar jendela dengan nafas yang agak sesak) sudah yakin betul, ...”
(Pelangi:3)
-karangan
bunga anggrek
Siska:
nanti kau lihat sendiri, kalau saja oma matimu tidak kemari dari tadi aku membicarakan
hal ini. (Gina datang membawa karangan bunga anggrek)...” (Pelangi:22)
- kartu ucapan
Siska
: (membaca kartu) Untuk mama Lattumahina dan kakak-kakak, ...” (Pelangi:22)
c.Bersifat metaforis atau retoris
Didalam teks
drama “Pelangi” karya N. Riantiarno ini tidak ditemukan perlengkapan yang bersifat metafora atau
retoris (melambangkan realitas tertentu, psikolosis, atau sosiokultural). Semua
hanya bersifat sekedar melengkapi lakuan dan referensial.
5.
Bahasa
Dalam teks drama
“Pelangi” karya N.Riantiarno ini setiap tokohnya lebih banyak menggunakan
Bahasa Indonesia yang baku dan baik. Namun beberapa dialog juga menunjukan
adanya sedikit penggunaan bahasa daerah. Seperti tampak pada kutipan dibawah ini.
Siska : Kau mesti berani mengambil resiko.
Gina : Sudah. Gin, Sudah!
Diana : Aku tidak minta kau ikut-ikutan menentukan
masa depanku. (Pelangi:25)
Ketiga rangkaian
dialog tadi dapat menunjukan bahasa yang digunakan oleh para tokoh, yaitu
bahasa Indonesia baku. Penggunaan bahasa daerah tampak pada kutipan berikut:
Nenek : Mana nyong Rody? Betul? Seperti apa yang dia
katakan. ...” (Pelangi:34)
Kata ‘Nyong’
merupakan bahasa daerah masyarakat Ambon yang artinya bung (panggilan untuk laki-laki muda).
C.
ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA
1.
Konteks Sosial Karya Sastra
Di dalam teks drama “Pelangi” karya N.
Riantiarno terkandung beberapa konteks sosial tentang realitas yang terjadi di
masyarakat, realitas itu antara lain:
a.
Keributan yang Dapat Mengganggu Tetangga
Dalam drama
diceritakan pasangan muda Norma dan Ferry yang selalu bertengkar setiap hari
dengan suara yang keras hingga mengganggu para tetangganya. Hal ini bertambah
semakin parah kerena tinggal disekitar kompleks dengan rumah yang hampir tak
ada jarak antara rumah yang satu dengan yang lain.
Mama:
Dan juga kemarinnya, kemarinnya lagi. Hampir setiap hari selalu ada
pertengkaran (menghela nafas) Ah, kadang-kadang mama ingin kita semua pindah
dari kompleks ini ketempat yang lebih enak, lebih tenang, jauh dari kebisingan
tetangga-tetangga yang suka usil dan berceloteh. ...” (Pelangi:1)
Dari kutipan
tersebut tampak adanya ketidaknyamanan mama tinggal di komples yang selalu ada
keributan setiap hari. Hal ini banyak juga terjadi di masyarakat, terutama masyarakat
yang tinggal di komples perumahan dengan hampir tidak ada jarak antar rumah. Sedikit
saja saja terjadi keributan disalah satu rumah akan terdengar dirumah
tetangganya, dan itu sangat mengganggu ketentraman si tetangga. Bahkan kejadian
ini tak jarang dapat menimbulkan keributan baru antar tetangga.
b.
Usia Pernikahan Muda Banyak Menimbulkan
Masalah
Berkaitan dengan
teks drama “Pelangi” ini terdapat anggapan bahwa menikah muda banyak
menimbulkan banyak masalah. Adanya tokoh simbolis Norma dan Ferry dalam drama
ini yang memicu munculnya anggapan tersebut. Hal ini tampak pada kutipan
berikut.
Mama : (Menggumam) Norma dan Ferry. Itulah
akibatnya kalau kawin terlalu muda, selalu cekcok, tidak pernah tentram. (Pelangi:1)
Dari kutipan
tersebut muncul anggapan bahwa menikah muda hanya akan banyak menimbulkan
masalah. Realitas ini pula yang berkembang di masyarakat. Menikah di usia yang
terlalu muda dianggap sebagai pilihan
yang akan menimbulkan masalah dalam rumah tangga. Anggapan ini muncul karena
banyaknya pasangan nikah diusia muda yang tidak bisa saling mengontrol emosinya
yang masih relatif sangat tinggi. Akibatnya percekcokan dan pertengkaran pun
tidak bisa dihindarkan. Bagi wanita, menikah dibawah usia 20 tahun membawa
resiko tersendiri, yaitu resiko meninggal ketika melahirkan yang lebih besar
daripada wanita berusia 20 tahun keatas. Namun menikah di usia muda juga
memiliki dampak positif, antara lain menikah dapat menghindarkan diri dari
perbutan dosa yang yang dilarang oleh agama, bahkan dikatakan bahwa pernikahan
dapat membuka pintu rejeki seseorang. Pada akhirnya menikah muda adalah suatu
pilihan yang butuh keberanian untuk menjalankannya karena memiliki dampak
positif dan negatif yang sama-sama besar.
c.
Istri Harus Patuh dan Berbakti Kepada
Suami
Realitas sosial
bahwa istri harus patuh pada suami ditunjukan tokoh Diana dan Hasan. Setelah
menikah dengan Hasan, Diana kemudian mengikuti suaminya pindah ke Banjarmasin.
Seperti tampak pada kutipan berikut.
Ditempat
yang sama. Dua bulan kemudian. Diana akhirnya kawin juga dengan Hasan Miscount
tanpa persetujuan Siska. Kakaknya. Hari ini dia berangkat bersama suaminya ke
Banjarmasin. (Pelangi:31)
Kutipan tersebut
sebagai bukti empiris sekaligus menunjukan realitas sosial yang terjadi di
masyarakat. Istri setelah menikah harus tunduk dan berbakti kepada suaminya.
Mengikuti suami dan meninggalkan rumah keluarganya adalah wujud bakti seorang
istri kepada suaminya. Bagi seorang wanita, terutama anak bungsu ini bukan
perkara mudah. Wanita sebagai anak bungsu lebih banyak mempunyai ikatan
emosional dan keterikatan yang tinggi dengan keluarganya, terutama dengan sang
ibu sehingga seringkali terjadi pergolakan batin dalam dirinya. Namun ini
menjadi resiko dan konsekuensi wanita dari sebuah pernikahan.
1.
Konteks Budaya Karya Sastra
Di dalam teks
drama “Pelangi” karya N. Riantiarno terkandung beberapa konteks budaya tentang
realitas yang terjadi di masyarakat, realitas itu antara lain:
a.
Larangan Melangkahi Kakak
Perempuan Dalam Pernikahan
Teks drama “Pelangi” karya N. Riantiarno secara tersirat nenampilkan
adanya larangan melangkahi kakak perempuan dalam pernikahan. Pertentangan Siska
atas niat Diana menikah memicu adanya anggapan ini, seperti yang terdapat pada
kutipan berikut.
Siska: Kalau memang betul
laki-lakimu mencintaimu, biarlah dia pergi ke Banjarmasin, menyelesaikan
tugas-tugasnya disini. Menyelesaikan sekolah 2 atau 3 tahun menunggu kan bukan
soal biasa? Lagipula kawin buru-buru tidak akan menghasilkan hal yang baik.
Sudah banyak contohnya, Norma dan Ferry. (Pelangi:23)
Larangan itu muncul karena adanya ketidaksetujuan Siska jika Diana
manikah terlebih dahulu dengan alasan harus menyelesaikan pendidikannya sampai
mendapat gelar sarjana. Jika melihat lebih dalam ada ada semacam perasaan
kecewa seorang kakak perempuan dilangkahi menikah oleh adiknya perempuannya,
terlebih usia sang kakak yang sudah memasuki usia 30-an. Bagi wanita, memasuki usia 30 dan belum mendapat pasangan
adalah menjadi kekhawatiran sendiri. Anggapan perawan tua acapkali disematkan
pada dirinya.
Pada
sebagian masyarakat, memang merupakan sesuatu yang tabu jika adik melangkahi
kakaknya dalam pernikahan. Bahkan ada yang baru dibolehkan menikah setelah 1
tahun kakaknya menikah. Beberapa masyarakat yang lain, mengatakan bahwa
melangkahi kakak dalam pernikahan itu boleh-boleh saja, tetapi ada tradisi adat
yang harus dilalui oleh sang kakak yaitu prosesi langkahan.
a.
Tradisi Melamar Kepada Keluarga Wanita
Dalam
teks drama “Pelangi” karya N.Riantiarno terdapat adanya tradisi melamar sang
wanita kepada kelurganya. Hal ini dilakukan oleh Hasan dan perwakilan keluarganya
(Surun) ketika datang kepada keluarga Diana untuk melamarnya. Seperti tampak pada kutipan berikut.
Surun: Kami datang untuk melamar.
Barangkali itu sudah diketahui. (Pelangi:27)
Pada
acara lamaran ini, Keluarga calon mempelai pria mendatangi (atau mengirim
utusan) ke keluarga calon mempelai perempuan untuk melamar putri keluarga
tersebut menjadi istri putra mereka. Biasanya dengan membawa seserahan atau
barang bawaan untuk si perempuan. Pada acara ini, kedua keluarga jika belum
saling mengenal dapat lebih jauh mengenal satu sama lain, dan
berbincang-bincang mengenai hal-hal yang ringan. Biasanya keluarga dari calon
mempelai perempuan yang mempunyai hak menentukan lebih banyak, diterima atau
tidaknya lamaran tersebut.
b.
Nilai-Nilai Karya Sastra
Di dalam teks drama “Pelangi” karya N.
Riantiarno terkandung beberapa nilai-nilai yang ada di masyarakat. Nilai-nilai
itu antara lain:
1.
Nilai Moral
·
Menjaga Tali Kekeluargaan dan
Silaturahmi
Dalam teks drama “Pelangi” menunjukaan
adanya pertengkaran antara Rody dan Siska yang membela Diana. Seperti terlihat pada kutipan berikut.
Siska:
Katakan, katakan saja aku tidak takut !
Rody:
Jauh dilubuk hatimu, jauh didalam situ (Gina muncul diambang pintu,
memperhatikan Rody yang sudah kalap)...kau tidak rela adik-adikmu mendahului
kau untuk kawin. Kau berpikir picik tapi tidak mau berterus terang tentang
harga dirimu. (Pelangi: 29)
Pertengkaran ini harusnya tidak terjadi,
karena hanya akan merusak tali kekeluargaan. Disini ada nilai moral yang bisa
kita petik yaitu walaupun berbeda pendapat, jangan sampai menyelesaikan dengan
pertengkaran. Bukan antar kelurga, di dalam bermasyarakat pun kita harus bisa
saling menghargai perbedaan pendapat dan menyelesaikannya dengan jalan yang
sebaik mungkin. Hal ini penting untuk tetap menjaga keharmonisan tali
silaturahmi, baik didalam keluarga maupun didalam masyarakat.
2.
Nilai Sosial
·
Jangan Bertengkar Berlebihan Yang Dapat
Mengganggu Tetangga
Dalam drama
diceritakan pasangan muda Norma dan Ferry yang selalu bertengkar setiap hari
dengan suara yang keras hingga mengganggu para tetangganya. Hal ini bertambah
semakin parah kerena tinggal disekitar kompleks dengan rumah yang hampir tak
ada jarak antara rumah yang satu dengan yang lain.
Mama:
Dan juga kemarinnya, kemarinnya lagi. Hampir setiap hari selalu ada
pertengkaran (menghela nafas) Ah, kadang-kadang mama ingin kita semua pindah
dari kompleks ini ketempat yang lebih enak, lebih tenang, jauh dari kebisingan
tetangga-tetangga yang suka usil dan berceloteh. ...” (Pelangi:1)
Disini harus
muncul suatu kesadaran dari pasangan tersebut bahwa bertengkar berlebihan dan
dengan suara keras dapat mengganggu ketentraman tetangganya, terlebih dengan
kondisi kompleks perumahan yang hampir tidak ada jarak antara rumah yang satu
dengan rumah yang lain. Tak jarang karena keadaan ini dapat menimbulkan
keributan. Dengan menjaga diri dari
keributan yang berlebihan , hal itu juga akan dapat menjaga keharmonisan
bertetangga.
3.
Nilai Budaya
·
Tradisi Melamar Kepada Keluarga Wanita
Nilai
budaya ini muncul dalam cerita. Hal ini dilakukan oleh Hasan dan perwakilan
keluarganya (Surun) ketika datang kepada keluarga Diana untuk melamarnya. Seperti tampak pada kutipan berikut.
Surun: Kami datang untuk melamar.
Barangkali itu sudah diketahui. (Pelangi:27)
Pada
acara lamaran ini, Keluarga calon mempelai pria mendatangi (atau mengirim
utusan) ke keluarga calon mempelai perempuan untuk melamar putri keluarga
tersebut menjadi istri putra mereka. Biasanya dengan membawa seserahan atau
barang bawaan untuk si perempuan. Pada acara ini, kedua keluarga jika belum
saling mengenal dapat lebih jauh mengenal satu sama lain, dan
berbincang-bincang mengenai hal-hal yang ringan. Biasanya keluarga dari calon
mempelai perempuan yang mempunyai hak menentukan lebih banyak, diterima atau
tidaknya lamaran tersebut.
4.
Nilai Religi
·
Penikahan Berbeda Agama
Dalam teks
drama ini nilai religi muncul ketika Diana yang seorang non muslim akan menikah
dengan Hasan yang seorang muslim. Seperti tampak pada kutipan berikut.
Mama: islam ia. (cepat) ahh, tetapi tak apa, banyak orang yang kawin
berlainan agama tapi bisa hidup bahagia itu artinya kamu mesti kawin di catatan
sipil. Lalu kau dia tidak keberatan, kalau mau ulang saja di gereja, kita ulang
lagi upacaranya. (Pelangi:7)
Didalam
Islam sendiri sebenarnya tidak diijinkan adanya pernikahan berbeda agama,
bahkan menjadi sesuatu yang diharamkan. Dengan adanya pernikahan berbeda agama
antara Diana dan Hasan, sebenarnya menjadi unsur pelanggaran terhadap norma
agama.
5.
Nilai Psikologis
·
Nilai Psikologis Seorang
Anak
Nilai
psikologis dalam drama ini muncul ketika Diana menikah dengan Hasan dan harus meninggalkan
keluarganya setelah menikah untuk mengikuti Hasan, suaminya. Hal ini muncul
dalam kutipan berikut.
Ditempat
yang sama. Dua bulan kemudian. Diana akhirnya kawin juga dengan Hasan Miscount
tanpa persetujuan Siska. Kakaknya. Hari ini dia berangkat bersama suaminya ke
Banjarmasin. (Pelangi:31)
Disini tentu mempunyai
nilai psikologis yang tinggi, yaitu Diana sebagai anak bungsu lebih banyak
mempunyai ikatan emosional dan keterikatan yang tinggi dengan keluarganya,
terutama dengan sang ibu sehingga seringkali terjadi pergolakan batin dalam
dirinya.
·
Nilai Psikologis Seorang Ibu
Nilai psikologis
kembali muncul ketika mama menerima telepon dari Diana, seperti kutipan
berikut.
Mama:
Tadi Diana menangis, tapi aku yakin, itu lantaran dia bahagia seorang laki-laki
akan menjaga dia seumur hidupnya. Ah anak itu nasibnya baik, dokter itu tampan
lagi. Bukankah bisa kita lihat, Hasan betul-betul mencintainaya, Sis? Sis? (Pelangi:32)
Nilai psikologis muncul
pertama kali ketika mama harus merelakan putri bungsunya pergi bersama suaminya
dan meninggalkan kelurganya. Kedua ketika mama mendapat telepon dari Diana yang
menangis dan ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa putrinya tersebut
menangis karena bahagia. Padahal mungkin dalam pikirannya ia sangat khawatir akan
keadaan Diana bersama suaminya disana. Tentang bahagia atau tidaknya Diana
setelah lepas dari pelukannya, keluarga yang selalu menyanyanginya.
6.
Nilai Didaktis
·
Kerja Keras dan Tanggung Jawab
Sikap kerja keras ini
ditunjukan oleh tokoh Siska dan Gina yang kerja hingga 10 jam sehari demi untuk
memenuhi kebutuhan keluarganya dan membiayai kuliah Diana, adiknya. Seperti
tampak pada kutipan berikut.
Siska:
....Supaya aku dan Gina yang kerja 10 jam satu hari untuk mengumpulkan uang
sedikit demi sedikit selama 8 tahun membiayai sekolahnya tidak merasa
disia-siakan. ...” (Pelangi: 23).
Dari kutipan tersebut
tampak sikap kerja keras dan tanggung jawab, terutama Siska. Sebagai anak
pertama ia merasa mempunyai tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan keluarganya
serta bertanggung jawab atas masa depan pendidikan adiknya.
D.
Kesimpulan Analisis
1. Analisis
Struktural
Secara garis
besar, alur dan pengaluran teks drama “Pelangi” ini bercerita tentang keinginan
Diana untuk menikah dan konflik terjadi ketika keinginannya tersebut ditentang
oleh Siska, kakak pertamanya. Tahap utama ketika Diana akhirnya menikah dengan
Hasan tanpa persetujuan Siska dan berangkat ke Banjarmasin dan situasi akhir
cerita berakhir dengan penyesalan Siska dan kematian sang mama. Dalam teks
drama ini Siska menjadi satu-satunya tokoh utama yang bersifat antagonis dan
Diana, Rody, Hasan sebagai tokoh protagonis. Sementara mama dan Gina sebagai
tokoh wirawan, karena mereka memiliki pemikiran yang luhur. Latar drama ini
secara keseluruhan terjadi ruang tengah rumah mama sebagai ruang terlihat dan
kamar, dapur, pekarangan rumah sebagai ruang tak terlihat. Perlengkapan adalah
unsur khas dari pertunjukan drama, antara lain yaitu karpet, gordin, anjing,
pispot, kursi roda, karangan bunga anggrek dan kartu ucapan sebagai perlengkapan referensial atau yang
harus ada. Hiasan-hiasan dinding dari kain bersulam, lampu, meja makan plus
kursi dan sofa adalah perlengkapan yang bersifat sekedar melengkapi lakuan.
Bahasa yang
digunakan dalam teks drama ini secara keseluruhan lebih banyak menggunakan
Bahasa Indonesia baku namun ada sedikit penggunaan bahasa daerah.
2.
Analisis Sosiologi Sastra
Secara
sosiologi sastra, pengkajian teks drama “Pelangi” ini memuat beragam konteks
sosial budaya kemasyarakatan serta nilai-nilai yang ada di masyarakat. Konteks sosial adalah
seorang istri yang harus patuh dan berbakti kepada suami, usia pernikahan muda
banyak menimbulkan masalah dan keributan yang dapat mengganggu tetangga.
Sementara konteks budaya yang terkandung antara lain tradisi melamar dan larangan melangkahi kakak perempuan dalam pernikahan. Semua konteks
itu dapat kita jumpai penerapannya
dimasyarakat. Selain konteks sosial budaya kemasyarakatan, teks drama
ini juga memuat beragai nilai-nilai seperti nilai moral, nilai sosial, nilai
budaya, nilai religi, nilai psikologis dan nilai didaktis yang dapat diambil
sebagai suatu hikmah dari teks drama “Pelangi” ini.
0 komentar:
Posting Komentar