Pernahkah terpikirkan bahwa judi ternyata
mampu membawa kesejahteraan pada seluruh penduduk di suatu negeri.
Terdapat sebuah negeri dimana penduduknya menggantungkan hidup dalam
bercocok tanam menanam padi, sayuran, buah-buahan, bahkan tanaman hias.
Pemerintah negeri ini mengatur permukiman dengan gaya modern dan tertata rapi. Masing-masing penduduk mendapatkan jatah lahan sama
rata, 10000 meter persegi untuk bercocok tanam. Pemerintah negeri ini
menjunjung tinggi kesetaraan, sehingga tak ada penduduk yang kaya raya
dan tak ada pula yang terlalu miskin. Kehidupan disana seperti
memberikan gambaran nyata tentang keadilan.
Tak ada yang istimewa dari penduduk
negeri ini. Semua dari mereka tak mengenyam pendidikan. Semua orang
bahkan pejabat di pemerintahan tak ada yang mampu membaca apalagi
berhitung. Segala arus informasi berjalan melalui lisan dan segala
bentuk transasksi dilakukan melalui barter. Tak ada penduduk yang
berniat tipu menipu, walaupun semua berjudi. Laki-laki dewasa, ibu-ibu,
nenek tua renta hingga anak-anak berusia sepuluh tahun sangat menyukai
berjudi. Fakta yang terjadi, tak ada yang benar-benar kaya dari berjudi
dan tak ada yang jatuh miskin karenanya. Tingkat pendidikan yang tak
tinggi membuat penduduk tak menerapkan sama sekali strategi untuk
memenangkan perjudian, mereka semua hanya mengandalkan insting dan
naluri yang sama tumpulnya dengan kecerdasan yang mereka miliki.
Tiba-tiba datang seorang penduduk baru,
bedanya ia sama sekali tak berminat untuk berjudi. Ia mendapatkan lahan
yang sama untuk mendirikan rumah dan berladang, tapi ia langsung pulang
ke rumah ketika selesai berladang disetiap sorenya. Hanya satu orang
saja dan seluruh penduduk negeri itu menjadi gempar.
“Mengapa kamu tak berjudi wahai penduduk baru?” seorang kakek renta yang menjadi tokoh masyarakat memulai bertanya.
“Aku sama sekali tak bisa melakukan permainan seperti itu, kehadiranku hanya akan mengacaukan.”
“Tata caranya sangat mudah, kamu hanya
memilih angka dimana dadu yang dilempar akan memilih siapa yang menang.
Atau yang paling mudah kamu menebak mata koin yang akan muncul. Tak
perlu perhitungan, semua orang disini tak ada yang pandai dalam
berhitung.”
“Tak ada barang yang mampu aku pertaruhkan,” kembali alasan penduduk baru tersebut hadirkan agar tak ikut berjudi.
“Kamu bisa taruhkan hasil ladangmu, bukan?”
“Aku baru saja menanam, tak ada hasil yang kudapatkan.”
Semua penduduk merasa lelah dalam
membujuk, penduduk yang tak mau berjudi itu selalu memberikan alasan
‘tak ada yang bisa aku pertaruhkan’ sebagai alasan ketidakinginannya
dalam berjudi.
Banyak gunjingan yang beredaar, seperti
seharusnya ia bisa mempertaruhkan hasil ladang yang akan ia peroleh.
Bukannya Sumijan acap kali melakukan hal ini. Atau ia bisa saja
berhutang barang, nanti setelah hari panen tiba ia bisa membayarkannya.
Darurat kestabilan politik terjadi di
negeri itu, semua penduduk menggunjingkanya. Semua orang tak
berkonsentrasi lagi dengan permainannya, tak memperdulikan lagi insting
dalam memilih angka dadu. Semua sibuk bergunjing tentang penduduk yang
tak ingin berjudi itu. Hingga akhirnya pemerintah turun tangan dan
menteri urusan dalam negeri menemui penduduk baru tersebut dan
mengajaknya untuk berjudi. Ini hanya permainan sederhana yang tak
merugikan siapapun. Sudah seratus dua puluh tiga tahun permainan ini
dilakukan, tak ada penduduk yang jatuh miskin, tak ada yang kalah judi
melakukan bunuh diri, kilahnya membujuk penduduk tersebut.
Seluruh penduduk menanti kedatangan
penduduk yang tak ingin berjudi di berbagai arena yang mungkin saja akan
ia datangi. Tapi jam berlalu dan hari ikut berlalu, tak ada jua batang
hidung penduduk baru tersebut untuk melangkahkan kaki ke arena
perjudian.
“Berani sekali ia tak menghiraukan perintah presiden yang datang melalui menteri dalam negeri.”
“Seorang menteri yang penuh wibawa
datang, membujuknya, dan sampai hari ini ia tak muncul juga di hadapan
kita. Apa maunya orang itu?” seorang jawara kampung mulai emosi dan
mulai menaik turunkan parang dari sarungnya.
“Sepertinya tak ada jalan lain, kita harus mengusir dia dari negeri ini.”
Seorang yang berumur menengahi, “tak
pernah dalam sejarahnya di negeri ini, kita mengusir penduduk, bahkan
untuk seorang pencuri sekalipun.”
“Tapi ia tak ikut berjudi, itu lebih
membahayakan dibandingkan perampok sekalipun” seorang remaja yang masih
belum tumbuh jakun membantah.
“Ia benar sekali, tak ada dalam sejarah hidupku seorang penduduk negeri ini yang tak ikut berjudi,” Nenek renta ikut menimpali.
“Kita bakar saja rumahnya, Pak. Biar ia pergi dengan sendirinya,” seorang anak sepuluh tahun memberikan ide.
“Wah ide bagus itu, kita bakar bahkan dengan ladang yang ia punya,” giliran ibu yang hamil tua ikut memamanaskan perdebatan.
Seorang pemuda bertato mendebat,“tapi seumur hidup kita tak pernah penduduk bersekongkol untuk melakukan tindakan kriminal.”
“Tapi ia tak menghiraukan peringatan dari, Presiden.”
Segala perdebatan menghiasi setiap arena
perjudian. Tak ada lagi penduduk yang fokus untuk berjudi, semua
berganti prilaku menjadi suka bergunjing. Laju perputaran barang semakin
lambat di negeri ini. Pajak yang diperoleh dari arena perjudian menurun
drastis.
Sedangkan sang penduduk yang tak ingin
berjudi semakin dikucilkan oleh seluruh penduduk. Tak ada yang mau
barter hasil ladang dengannya. Hasilnya tubuh penduduk yang tak ingin
berjudi itu tampak tak bertenaga dan lemas, karena hanya memakan nasi
tanpa sayur dan lauk. Bahkan garam untuk memberikan rasa di lidah pun ia
tak punya. Jadilah ia tak sanggup lagi untuk pergi ke ladang.
Sedangkan penduduk negeri ini masih saja
menggunjingkan penduduk itu, waktu berladang semakin berkurang. Semua
orang berkumpul di arena perjudian hanya sibuk bergunjing, berjudi hanya
selingan ketika mereka lelah memaki.
Dua tahun tiba setelah kedatangan
penduduk yang tak ingin berjudi itu, kini penduduk yang tak ingin
berjudi itu mati di gubuknya sendiri karena kekurangan gizi, tubuhnya
kurus tak ada daging pembungkus tulang. Seluruh penduduk bersuka cita
mendapati kabar kematian penduduk yang tak ingin berjudi tersebut dan
kembali mengunjingkannya.
Hari demi hari seluruh penduduk
menggunjingkan kematian penduduk yang tak ingin berjudi tersebut, tak
bosan, selalu saja ada kisah baru dari sumber yang tak jelas, dengan
kisah yang semakin tak masuk akal saja. Seperti, perihal penduduk
tersebut dirasuki setan, sebenarnya gila, atau merupakan hasil hubungan
gelap antara manusia dengan kerbau yang menyebabkannya memiliki pikiran
tak waras, enggan untuk berjudi.
Akhirnya, waktu panen telah tiba dan tak
ada satupun penduduk yang memanen ladangnya. Tahun ini tak ada hasil
ladang yang tercipta dari ladang-ladang penduduk. Semua mati, tak
terurus. Padi meranggas, sayuran layu tak sempat di panen. Buah-buahan
seakan ikut dengan nasib tanaman lain, enggan untuk memberikan hasil.
Pemerintah tak memiliki kuasa apa-apa
untuk memberikan subsidi makan kepada seluruh penduduk. Dan akhirnya
sebagian besar penduduk mati kelaparan dan sebagian lagi menderita
busung lapar dan tak ada satu pun penduduk yang mampu melakukan
aktivitas sehari-hari berladang apalagi berjudi.
Pernah terdapat suatu negeri yang
sejahtera karena judi, tapi hanya karena satu orang negeri tersebut
punah dimakan zaman, yang teringgal hanya kisah-kisah bagaimana
kesejahteraan meliputi negeri tersebut dan tak tahu pula sudah berapa
banyak bumbu yang dimasukan agar kisah-kisah tersebut menjadi nikmat
untuk didengar dan dipercayai.
0 komentar:
Posting Komentar