Sudah?” Laki-laki di depanku bertanya. Aku menggeleng cepat. Sedikit
kesal, kurapikan kembali kertas-kertas hasil perjuanganku selama satu
bulan.
“Sini aku bantu,” laki-laki itu menggeser duduknya. Berpindah dari
kursi ke lantai. Duduk berhadapan denganku. Sebenarnya aku ingin
menolak. Aku tak cukup bisa untuk bersikap biasa saja jika ia repot
membantuku seperti ini.
“Ini gimana ya? Maksudnya aku harus menyusunnya seperti apa?” tanyanya.
“Susun seperti ini Mas,” aku memberinya contoh satu bendel laporanku.
“Ibumu kemarin telepon,”
“Telepon Mas Aji? Ngapain?”
“Biasa lah, nanyain kamu. Katanya akhir-akhir ini kamu suka lama
balas smsnya dan jarang telepon ke rumah. Ibu tanya sebenarnya kamu
sibuk apa,”
Duh, apa-apaan coba ibu ini, kenapa pakai acara telepon Mas Aji, kan
sudah aku bilang kalau seminggu ini aku sibuk menyusun laporan kuliah
kerja lapanganku.
“Maaf ya Mas,” entahlah, kenapa tiba-tiba aku meminta maaf pada
laki-laki ini. Memangnya aku salah apa? Dan aku pasti tahu ia akan
bertanya balik kepadaku.
“Maaf untuk apa?”
Nah kan, tepat sekali. Sekarang aku harus pandai-pandai menyusun kata.
“Membuat Mas Aji repot karena harus mengangkat telepon ibu,”
“Lintang, kamu berlebihan,” katanya.
***
“Lintang bisa keluar sebentar?” suara laki-laki itu di seberang telepon.
“Keluar?” jawabku bingung. Bagaimana tidak? Ini masih pukul 6 pagi, hari minggu pula. Aku harus keluar kemana?
“Aku di depan kos kamu, keluar sebentar ya?”
Aku meloncat dari tempat tidurku. Hei? Kenapa pula laki-laki ini
sudah ada di depan kos pagi-pagi begini? Kemarin dia bilang, hari ini
akan ke Jogja untuk urusan Rumah Sakit atau apapun itu aku tak begitu
ingin tahu.
Aku mengenakan jilbab meran marun, rok panjang dan jaket.
Laki-laki itu sudah berdiri di depan mobilnya. Pakaiannya? Tentu saja rapi.
“Ada apa mas?” tanyaku.
Laki-laki itu tersenyum.
“Ini, kubawakan bubur ayam kesukaanmu,”
Aku terdiam. Bingung.
“Kaget ya? Tadi aku tiba-tiba ingat kemarin kamu bilang ingin sarapan sama bubur ayam, ya sudah aku bawakan ini untukmu,”
Sepertinya aku terlalu lama membiarkan bubur ayam itu menggantung antara diberikan dan diterima.
“Tak seharusnya Mas Aji repot-repot begini Mas, aku kan bisa beli sendiri nanti,” jawabku seraya menerima bubur ayam itu.
“Aku nggak merasa repot. Sudah ya, aku harus segera berangkat ke Jogja,”
Aku mengangguk. Masih saja diam. Aku bahkan tak sempat bilang ‘terimakasih’.
***
Aku meletakan bubur ayam di atas meja makan. Aku duduk dan kupandangi bubur ayam itu.
“Hei! Pagi-pagi jangan bengong atuh neng,” suara cempereng Euis mengagetkanku.
“Ciee baru dianterin bubur ayam ya?”
Aku mengangguk.
“Sudah deh Lintang, kamu masih mikir apa lagi sih untuk Mas Aji? Udah
ganteng, pinter, dokter muda pula! Kalau aku jadi kamu sih udah aku
pacarin dari dulu,”
Aku hanya tersenyum menanggapi perkataan teman satu kosku itu dan aku memilih untuk masuk ke kamar.
Aku masih bimbang.
***
Aku tahu sikapku kepada laki-laki ini berubah sejak dua minggu yang
lalu. Sejak laki-laki itu bilang ia akan melamarku di depan ayah dan
ibu.
Aku sudah bilang ke ibu kalau laki-laki yang selama ini ia
idam-idamkan sebagai menantunya akhirnya melamarku. Aku sudah bilang
tepat di hari laki-laki itu bilang hendak melamarku. Meski hanya bicara
lewat telepon, aku tahu diujung sana ibuku pasti sedang tersenyum
bahagia. Tapi, aku menunjukan antiklimaksnya.
Aku bingung. Kenapa bisa secepat ini? Bahkan aku dan Mas Aji tidak
pernah pacaran. Kenapa tiba-tiba ia berkata ingin melamarku? Kami hanya
kenal karena sebatas ibunya Mas Aji itu teman satu kantor ibuku. Dan
kebetulan kami satu universitas.
Dan aku hanya bertemu langsung denganya empat kali. Pertama, saat ibu
memaksaku ikut kondangan ke rumah rekan kerjanya, kami bertemu disana.
Jujur, saat pertama melihat laki-laki itu dadaku bergemuruh. Dia, bisa
dibilang tampan. Aku tak bisa bohong jika penilaianku pertama kali pada
seseorang jatuh dari segi fisik. Kami yang mulai sadar jika pertemuan
ini direncanakan akhirnya tertawa bersama. Hari itu kami berpisah dengan
kesan baik, tanpa meninggalkan nomer hp, pin bb, atau akun media sosial
lainnya. Aku hanya ingin semuanya berjalan senatural mungkin.
Kedua, kami bertemu di toko alat tulis secara tak sengaja. Aku tengah
sibuk membeli kertas untuk tugas kuliahku, sedangkan laki-laki itu
bilang sedang mencari bolpoin favoritnya. Ia ingin tahu rumah kosku. Aku
setuju. kami menuju rumah kosku dengan cara yang aneh. Aku di depan
naik motor, dan dia di belakang dengan mobilnya. Dia sempat membantuku
menyusun laporan tugas lapanganku. Di pertemuan itu kita bertukar nomer
telepon.
Pertemuan ketiga adalah pertemuan paling absurd menurutku.
Ia berdiri di depan kamar kosku, meneleponku dan memintaku menemuinya.
Waktu itu kulihat ia begitu berbeda. Terlihat cemas dan ragu-ragu. Saat
aku tanya kenapa, ia hanya bilang “Aku ingin melamarmu. Tapi tidak
sekarang, nanti kalau aku pulang, aku akan melamarmu di depan ayah dan
ibumu,”. Kemudian dia tersenyum. Dan aku ingat, aku belum sempat
membalas senyumnya. Laki-laki itu masuk ke dalam mobil dan pergi.
Yang terakhir? Tentu saja tadi pagi saat ia datang membawakanku bubur
ayam. Aku memang pernah bilang kepadanya kalau aku suka bubur ayam yang
di jual di depan kampus. Aku kira dia tidak sungguh-sungguh
memperhatikan, tapi ternyata…
Aku belum pernah diperlakukan seperti ini. Aku hanya….tidak pernah merasa sebahagia ini.
***
Rumah mulai lengang. Aku merapikan jilbabku lagi, ini sudah yang
kelima kalinya. Sebenarnya aku malas memakai jilbab lilit-lilit seperti
ini. Ribet. Tapi, apa daya ibu memintaku untuk tampil lebih rapi dari
biasanya.
“Ini kamu antarkan ini untuk mas-mu,” ibu memberiku segelas air putih beserta nampannya.
“Dia pasti capek,”
Aku beringsut dari tempatku duduk. Sebenarnya aku ingin menolak,
jujur, aku malu jika harus sendirian berhadapan dengan laki-laki itu.
Ia sedang duduk sendiri di taman samping rumahku. Di atas ayunan bercat biru.
“Ratu bubur ayam datang membawa hadiah untuk Pangeran Nasi Uduk,”
Laki-laki itu menoleh. Ia tersenyum.
“Kamu masih ingat makanan favoritku?” tanyanya.
“Karena ini,” aku mengelus kepalaku sendiri.
“Terima kasih otak, sudah membantu mengingatkan makanan favorit pangeran di depanku ini,”
“Haha, terimakasih Ratu Bubur Ayam, Pangeran Nasi Uduk tersanjung
atas usahamu mengingat makanan favoritku,” laki-laki itu menerima gelas
yang aku sodorkan lantas meminumnya.
“Aku mau cerita. Boleh ya?” katanya.
“Boleh. Aku siap mendengarkan. Dengan penuh semangat!” jawabku.
“Dan penuh perhatian,”
“Tentu saja! Kalau nggak memperhatikan nanti nggak bisa jawab soal ujian,”
“Ini bukan materi anatomi fisiologi Lintang,” Dia tertawa. Manis sekali. Aku suka melihat tawanya.
“Hari ini aku bahagia. Sekali. Super bahagia,” Ia memandangku. Sepertinya serius sekali ucapannya.
“Aku bersyukur, karena Allah telah membimbingku untuk bertemu dengan
kamu. Sampai tahap ini, tahap dimana dua keluarga besar kita bertemu.
Tahap aku bisa melamarmu,”
Aku menyimak. Sebenarnya, saat itu aku ingin sekali memeluknya lantas balas bilang Aku juga bahagia. Mungkin sepuluh kali lipat dari bahagianya kamu, mas! Tapi nggak mungkin aku peluk dia. Laki-laki di depanku ini belum halal buatku.
“Sekarang aku mau tanya. Boleh?” tanyanya.
“Siap menjawab,”
“Dengan semangat?”
“Dengan semangat!”
“Apa yang Lintang rasakan saat ini?”
“Terbang,” jawabku.
“Karena apa?”
“Terbang karena aku bahagia,”
“Karena aku?”
“Salah satunya. Tapi yang paling penting aku bahagia karena doa-doa
yang selama ini aku panjatkan telah Allah kabulkan. Kamu salah satu
jawabannya,”
“Kalau aku menjadi salah satu, berarti masih ada salah dua dan salah tiga kan? Kalau boleh tau itu tentang apa?”
“Ra.ha.sia. belum bisa aku buka karena belum saatnya,”
Laki-laki itu tersenyum. Ia meminum air putih lagi. Sekarang gelasnya
sudah kosong. Aku menawarinya untuk mengembalikan gelas ke dapur. Ia
menggeleng.
“Biar aku saja. Aku ingin bertemu ibu kamu. Mau bilang sesuatu,”
“Bilang apa mas?”
“Mau bilang terimakasih karena sudah mendidik kamu menjadi secemerlang ini,”
Aku tersipu mendengar jawabannya. Untung saja aku menaruh sedikit blush on
di kedua pipiku, jadi mungkin bisa membantu menyamarkan semburat merah
yang baru saja tercipta karena ulah laki-laki di hadapanku ini.
“Mas,” kataku tertahan.
“Ya?”
“Boleh aku bilang sesuatu juga?”
“Siap mendengarkan,”
“Dengan penuh semangat?”
“Dengan penuh semangat!”
“Aku cuma mau bilang terima kasih. Terima kasih sudah mau berjuang,
memperjuangkan, dan menjadi pejuang untuk semua ini. Aku tak pernah
merasakan bahagia seperti ini. Bahagia karena telah diperjuangkan,”
Laki-laki itu berdiri, menoleh ke arahku, menarik napas dan mulai berkata.
“Lintang sini aku kasih tahu. Kamu itu berharga, maka aku berjuang untuk kamu.Tapi
pernikahan tidak akan mungkin bertahan jika hanya salah seorang saja
yang berjuang. Aku ingin kita melakukannya bersama-sama. Nah, sekarang
aku tanya, Lintang mau berjuang bersama Aji?”
Mataku panas, pipiku juga. Aku seperti akan….menangis. aku mengangguk sebelum laki-laki itu berkata lagi.
“Iya, kita akan berjuang bersama-sama, Mas,”
Tersenyum lagi. Ia senyum lagi. Aku tersipu. Ia benar-benar tahu cara membuatku bahagia.
“Kau tahu Lintang?” katanya lagi. Posisi kita sudah ada di depan pintu masuk.
“Aku ingin bulan ini cepat berlalu,”
“Karena apa?”
“Karena aku berharap dua bulan dari sekarang bisa dipercepat. Karena
bulan itu, inshaa Allah akan menjadi bulannya aku dan kamu. Bulan kita.
Dan, aku ingin sekali bisa menggandeng tanganmu….dengan halal,”
Aku memandangnya yang kini berjalan masuk ke dalam rumah.
Ya Allah…saya tak pernah merasa sebahagia ini. Terimakasih karena
telah memberi kesempatan kepada hati ini untuk jatuh cinta. Karena
Engkau Sang Maha Pembolak-balik hati, maka mantapkanlah pilihan kami
masing-masing. Izinkanlah laki-laki ini mendapatkan apa yang telah
diperjuangkannya selama ini. Izinkanlah kami berjuang bersama-sama.
Izinkanlah dia menjadi seseorang yang kelak bisa membawa cinta saya
kepada-Mu lebih baik lagi. Aamiiin.
-selesai-
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar