Pagi itu di pasar, kupandangi dari kejauhan si Bangsat yang sedang teriak-teriak di tengah keramaian orang .
"Bapak ibu sekalian yang mau beli tiket paket wisata ke surga-neraka silahkan bisa pesan ke saya!" teriaknya.
Nih orang goblok juga, kupikir. Mana mungkin orang-orang lagi sibuk begitu mau acuh.
"Tenang,
bapak ibu sekalian. Kita tidak langsung nyemplung ke neraka atau
menikmati keindahan surga. Kita hanya melihat-lihat dari kejauhan
sebagai persiapan kita sebelum mati nanti. Yaaah hitung-hitung sebagai
visilah bagi bapak ibu nanti kira-kira mau masuk kemana."
Dari
kejauhan terdengar suara orang bertanya, "Tapi setelah itu masih bisa
kembali ke dunia ini kan?" Sayangnya tak kelihatan pula rupa orang yang
bertanya tadi.
Kulihat si Bangsat juga mencari-cari sumber suara itu.
"Ya
jelas dong, Mas, Om. Kita pasti balik ke dunia, kok. Saya jamin. Lagian
ini bukan permasalahan iman. Mas, Om, mau percaya dengan adanya surga
neraka atau tidak itu terserah Mas, Om. Kita cuma jalan-jalan, plus
tarifnya sudah termasuk akomodasi makan siang di sana," jawab si
Bangsat.
Kalau
kuperhatikan sih sepertinya orang-orang mulai tertarik dengan tawaran
si Bangsat. Kelihatan dari kerumunan orang yang mulai bertambah.
"Jangan
takut bapak ibu sekalian. Kalau ada yang mau bertanya silahkan kepada
saya sendiri. Ini promo terbaru dan baru di tempat ini pula saya
menawarkannya kepada bapak ibu sekalian. Ya kalau dalam istilah film
yang baru mau tayang, semacam premier gitu-lah. Jadi bisa dikatakan
bapak ibu sekalianlah orang yang pertama kali menyaksikan surga dan
neraka. Silahkan, silahkan, ini saya bagikan brosurnya!" teriak si
Bangsat lagi sambil membagikan brosur kepada orang-orang di sekitarnya.
Aneh memang, kalau kuperhatikan tak ada mimik ketakutan pada wajah mereka melihat gambar-gambar neraka yang begitu mengerikan.
"Ah, ini cuma foto-foto bikinan saja," kata seorang lelaki di situ.
"Tidak,
Pak," jawab si Bangsat. "Masak sih saya berani membohongi bapak ibu
sekalian dengan mengada-adakan foto semacam itu? Itu surga neraka Tuhan
lho, Pak. Kalau saya bohong berarti saya juga mempermainkan Tuhan, dong?
Tidaklah, mana berani saya sama Tuhan."
"Terus, darimana kamu dapat foto-foto ini?" tanya seorang ibu-ibu penjualan sayur.
"Nah,
kalau itu saya sudah minta izin sama Tuhan, Buk," jawab Bangsat lagi.
"Saya tidak membuat-buat atau mengada-adakan sesuatu, kok. Semua itu
saya berani jamin keasliannya. Kalau tidak, nyawa saya jadi taruhan."
Kelihatan bahwa orang-orang mulai percaya dengan kata-katanya.
"Silahkan
kalau bapak ibu sekalian tertarik, data tarif dan berbagai akomodasinya
ada di bagian belakang brosur." Mereka kemudian serentak membalik
brosur itu.
"Wah, mahal bener!" komentar bapak-bapak yang entah siapa lagi.
"Saya
kira harga yang bapak ibu sekalian lihat itu sudah sebanding, ekuivalen
dengan apa yang akan bapak ibu dapatkan sepulang perjalan tersebut,"
argumen si Bangsat. "Perjalanan ini jelas akan membawa dampak dan
berimplikasi pada paradigma maupun sikap hidup bapak ibu sekalian
setelah kita kembali ke dunia ini," tambahnya.
"Tapi
masak tarifnya perorangan? Apa tak ada tarif per keluarga gitu, Mas?"
Tanya seorang ibu-ibu gendut. "Kan asyik kalau bisa bareng keluarga
rame-rame. Sekalian bisa selfi-selfi. Jarang-jarang tuh bisa foto-foto
di surga."
"Lha
kan kita perginya juga rame-rame, Buk. Tapi mohon maaf, sebelumnya saya
informasikan supaya bapak ibu sekalian tidak kecewa, bahwa di sana
nanti tak boleh bawa kamera atau alat perekam lainnya. Satu alat perekam
yang paling penting itu adalah memori kita. Tapi saya jamin kesan yang
akan bapak ibu dapatkan jelas adalah kesan personal yang tidak akan
terlupakan," jawab Si Bangsat dengan sabar.
Lama
juga aku melihat mereka dari kejauhan. Bangsat pun masih tetap setia
menjawab pertanyaan orang-orang satu persatu dan meyakinkan sebagian
orang yang masih ragu atas kebenaran paket wisata tersebut. Lagian,
karena aku cuma kebagian menemani si Bangsat, terasa capek juga menunggu
hasilnya mereka tertarik jadi berangkat atau tidak. Kupikir,
kutinggalkan sajalah dia di sana. Tepatnya di parkiran, di atas bangku
kayu yang sudah goyang dan rapuh itu aku menunggunya sambil tidur. Oh
ya, di bawah pohon rindang.
0 komentar:
Posting Komentar