Translate

cerpen perjalanan wisata ke ahkirat

Written By iqbal_editing on Senin, 04 September 2017 | 23.21


 
Pagi itu di pasar, kupandangi dari kejauhan si Bangsat yang sedang teriak-teriak di tengah keramaian orang .
 
"Bapak ibu sekalian yang mau beli tiket paket wisata ke surga-neraka silahkan bisa pesan ke saya!" teriaknya.
 
Nih orang goblok juga, kupikir. Mana mungkin orang-orang lagi sibuk begitu mau acuh.
 
"Tenang, bapak ibu sekalian. Kita tidak langsung nyemplung ke neraka atau menikmati keindahan surga. Kita hanya melihat-lihat dari kejauhan sebagai persiapan kita sebelum mati nanti. Yaaah hitung-hitung sebagai visilah bagi bapak ibu nanti kira-kira mau masuk kemana."
 
Dari kejauhan terdengar suara orang bertanya, "Tapi setelah itu masih bisa kembali ke dunia ini kan?" Sayangnya tak kelihatan pula rupa orang yang bertanya tadi.
 
Kulihat si Bangsat juga mencari-cari sumber suara itu.
"Ya jelas dong, Mas, Om. Kita pasti balik ke dunia, kok. Saya jamin. Lagian ini bukan permasalahan iman. Mas, Om, mau percaya dengan adanya surga neraka atau tidak itu terserah Mas, Om. Kita cuma jalan-jalan, plus tarifnya sudah termasuk akomodasi makan siang di sana," jawab si Bangsat.
 
Kalau kuperhatikan sih sepertinya orang-orang mulai tertarik dengan tawaran si Bangsat. Kelihatan dari kerumunan orang yang mulai bertambah.
 
"Jangan takut bapak ibu sekalian. Kalau ada yang mau bertanya silahkan kepada saya sendiri. Ini promo terbaru dan baru di tempat ini pula saya menawarkannya kepada bapak ibu sekalian. Ya kalau dalam istilah film yang baru mau tayang, semacam premier gitu-lah. Jadi bisa dikatakan bapak ibu sekalianlah orang yang pertama kali menyaksikan surga dan neraka. Silahkan, silahkan, ini saya bagikan brosurnya!" teriak si Bangsat lagi sambil membagikan brosur kepada orang-orang di sekitarnya.
 
Aneh memang, kalau kuperhatikan tak ada mimik ketakutan pada wajah mereka melihat gambar-gambar neraka yang begitu mengerikan.
 
"Ah, ini cuma foto-foto bikinan saja," kata seorang lelaki di situ.
 
"Tidak, Pak," jawab si Bangsat. "Masak sih saya berani membohongi bapak ibu sekalian dengan mengada-adakan foto semacam itu? Itu surga neraka Tuhan lho, Pak. Kalau saya bohong berarti saya juga mempermainkan Tuhan, dong? Tidaklah, mana berani saya sama Tuhan."
 
"Terus, darimana kamu dapat foto-foto ini?" tanya seorang ibu-ibu penjualan sayur.
 
"Nah, kalau itu saya sudah minta izin sama Tuhan, Buk," jawab Bangsat lagi. "Saya tidak membuat-buat atau mengada-adakan sesuatu, kok. Semua itu saya berani jamin keasliannya. Kalau tidak, nyawa saya jadi taruhan."
 
Kelihatan bahwa orang-orang mulai percaya dengan kata-katanya.
 
"Silahkan kalau bapak ibu sekalian tertarik, data tarif dan berbagai akomodasinya ada di bagian belakang brosur." Mereka kemudian serentak membalik brosur itu.
 
"Wah, mahal bener!" komentar bapak-bapak yang entah siapa lagi.
 
"Saya kira harga yang bapak ibu sekalian lihat itu sudah sebanding, ekuivalen dengan apa yang akan bapak ibu dapatkan sepulang perjalan tersebut," argumen si Bangsat. "Perjalanan ini jelas akan membawa dampak dan berimplikasi pada paradigma maupun sikap hidup bapak ibu sekalian setelah kita kembali ke dunia ini," tambahnya.
 
"Tapi masak tarifnya perorangan? Apa tak ada tarif per keluarga gitu, Mas?" Tanya seorang ibu-ibu gendut. "Kan asyik kalau bisa bareng keluarga rame-rame. Sekalian bisa selfi-selfi. Jarang-jarang tuh bisa foto-foto di surga."
 
"Lha kan kita perginya juga rame-rame, Buk. Tapi mohon maaf, sebelumnya saya informasikan supaya bapak ibu sekalian tidak kecewa, bahwa di sana nanti tak boleh bawa kamera atau alat perekam lainnya. Satu alat perekam yang paling penting itu adalah memori kita. Tapi saya jamin kesan yang akan bapak ibu dapatkan jelas adalah kesan personal yang tidak akan terlupakan," jawab Si Bangsat dengan sabar.
 
Lama juga aku melihat mereka dari kejauhan. Bangsat pun masih tetap setia menjawab pertanyaan orang-orang satu persatu dan meyakinkan sebagian orang yang masih ragu atas kebenaran paket wisata tersebut. Lagian, karena aku cuma kebagian menemani si Bangsat, terasa capek juga menunggu hasilnya mereka tertarik jadi berangkat atau tidak. Kupikir, kutinggalkan sajalah dia di sana. Tepatnya di parkiran, di atas bangku kayu yang sudah goyang dan rapuh itu aku menunggunya sambil tidur. Oh ya, di bawah pohon rindang.

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik