SEJARAH DRAMA
1. Drama Zaman Yunani
Seperti dibicarakan pada
bagian awal, bahwa drama berasal dari zaman Yunani Kuno. Titik tolak dari
pandangan ini bermula dari kegiatan upacara ritual yang dilakukan oleh
masyarakat Yunani dalam menghormati keberadaan dewa sebagai penguasa bumi
sekitar tahun 600 SM. Dalam upacara-upacara keagamaan tersebut mereka
mengadakan festival tarian dan nyanyian hingga melahirkan dramawan masyhur
bernama Thespis.
Tokoh Yunani lainnya yang terkenal
dalam dunia drama adalah Plato, Aristoteles, dan Sophocles. Dengan cara
pandangnya yang berbeda, ketiga tokoh ini berperan penting dalam meletakkan dasar-dasar
dramaturgi yang dikenal sekarang. Plato yang terkenal dengan karyanya The Republic memandang seni sebagai
mimetik atau tiruan dari kehidupan jasmaniah manusia. Aristoteles berpendapat
berbeda, dia memandang karya seni bukan hanya sebagai imitasi kehidupan fisik
belaka tetapi harus juga dipandang sebagai karya yang mengandung kebajikan
dalam diri karya itu sendiri.
Berbeda dengan Plato dan
Aristoteles, Sophocles (496-406 SM.) memandang seni sebagai pelukisan manusia
seperti seharusnya manusia. Drama-dramanya tidak mempersoalkan kejahatan dan
hukumannya secara abstrak. Sedangkan pola drama yang digunakan selalu
memunculkan tokoh berkepribadian kuat yang memilih jalan hidup meski berat dan
sulit hingga membuatnya menderita. Beberapa karya dramanya yang terkenal yaitu Ayax, Antigone, Wanita-wanita Trachia,
Oidipus Sang Raja, Electra, Philoctetes, dan oidipus di Kolonus. Beberapa
tokoh drama Yunani lainnya adalah Aeschylus (525-SM.), Euripideus (484-406 SM), Aristophanes (448-380 SM),
dan Manander (349-291 SM.).
Lakon- lakon drama yang
terkenal di Yunani umumnya seputar kisah tragedi dan komedi. Drama tragedi cenderung menyajikan kisah yang membuat penonton tegang, takut, dan kasihan. Tokoh drama yang terkenal dalam drama tragedi zaman
Yunani Kuno adalah Aeskill (525-456 SM) dengan karyanya yang terkenal seperti Trilogi Oresteia, Orang-orang Persia,
Prometheus dibelenggu, dan Para Pemohon, Sophokles (496-406 SM)
dengan karyanya yang terkenal seperti; Trilogi
Oidipus, Ajax, Wanita-wanita Trachia,
dan Electra, juga Euripides (484-406 SM)
dengan karyanya yang terkenal seperti; Hercules,
Medea, Wanita-wanita Troya, dan Cyclop.
Drama
komedi biasanya menyajikan kisah
yang lucu, kasar dan sering mengeritik tokoh terkenal pada waktu itu. Tokoh drama yang
terkenal dalam drama komedi zaman Yunani Kuno adalah Aristhipanes (445-385 SM)
dengan karyanya yang terkenal seperti Para
Perwira, Lysistrata, dan Burung-burung,
dan Menander (349-291 SM) dengan karyanya yang terkenal yaitu Rasa Dongkol. Selain dua jenis drama
tersebut, drama zaman Yunani mengenal juga drama satyr, yaitu bentuk drama yang
berupa komedi ringan dan pendek. Unsur humor yang disajikan merupakan parodi
terhadap mitologi. Karya satyre Yunani Kuno yang diketahui hanya Cyclop karya
Euripides.
Semua
lakon yang sudah ditulis dalam bentuk naskah drama ini dipentaskan di panggung terbuka yang berada di
ketinggian. Panggung tersebut berada di tengah-tengah yang dikelilingi oleh
tempat duduk penonton yang melingkari bukit. Gedung pementasan drama yang
terkenal di Athena pada saat itu adalah Teater
Dionysius di samping bawah bukit Acropolis, pusat kuil kota Athena yang
dapat menampung 14.000 penonton.
Dalam prosesnya, pementasan
drama di Yunani seluruhnya dimainkan pria. Bahkan peran wanitanya dimainkan pria dan
memakai topeng. Hal ini disebabkan karena setiap
pemain memerankan lebih dari satu tokoh. Selain pemeran utama juga ada
pemain khusus untuk kelompok koor (penyanyi), penari, dan narator (pemain yang
menceritakan jalannya pertunjukan).
2. Drama Zaman Romawi
Pada zaman Romawi, drama mulai
dipentaskan pada tahun 240 SM di kota Roma oleh seniman Yunani yang bernama Livius Andronicus.
Bentuk yang dipentaskan pada saat itu adalah drama tragedi. Penulis drama
tragedi lainnya yang terkenal adalah Lucius Annaeus Seneca. Selain bentuk
tragedi, drama zaman Romawi juga mementaskan bentuk komedi meskipun dalam
penyajiannya banyak mencontoh dan mengembangkan komedi baru Yunani. Penulis
drama tragedi zaman Romawi yang terkenal adalah Terence dan Plautus.
Karena merupakan hasil adaptasi dari drama Yunani,
maka dalam konsep pertunjukkan drama Romawi juga terdapat konsep pertunjukkan
drama Yunani. Meski demikian, drama zaman Romawi memiliki kebaruan-kebaruan dalam penggarapan dan penikmatan yang asli
dimiliki oleh masyarakat Romawi dengan ciri-ciri sebagi berikut :
1.
Koor tidak
lagi berfungsi mengisi setiap adegan.
2.
Musik
menjadi pelengkap seluruh adegan. Tidak hanya menjadi tema cerita tetapi juga
menjadi ilustrasi cerita.
3.
Tema
berkisar pada masalah hidup kesenjangan golongan menengah.
4.
Karekteristik
tokoh tergantung kelas yaitu orang tua yang bermasalah dengan anak-anaknya atau
kekayaan, anak muda yang melawan kekuasaan orang tua dan lain sebagainya.
5.
Seluruh
adegan terjadi di rumah, di jalan dan di halaman.
Dalam sejarahnya, drama zaman Romawi menjadi penting karena pengaruhnya pada
zaman Renaisance. Banyak penulis Renaisance yang mempelajari drama-drama Yunani lewat
saduran-saduran Romawinya, misalnya dramawan William Shakespeare. Namun secara perlahan,
drama Romawi mengalami kemunduran
setelah bentuk Republik diganti dengan kekaisaran tahun 27 Sebelum Masehi. Drama Romawi kemudian tidak muncul lagi setelah terjadi
penyerangan bangsa-bangsa Barbar serta munculnya kekuasaan gereja.
Pertunjukan drama terakhir yang
diselenggarakan di Roma terjadi
tahun 533 M.
3. Drama Abad Pertengahan
Drama abad pertengahan
berkembang antara tahun 900 – 1500 M dengan mendapat pengaruh dari Gereja
Katolik. Dalam pementasannya terdapat nyanyian yang dilagukan oleh para rahib
dan diselingi dengan koor. Kemudian ada pagelaran ‘pasio’ seperti yang sering
dilaksanakan di gereja menjelang upacara Paskah sampai saat ini. Lakon yang
dimainkan mula-mula peristiwa kenaikan Yesus ke surga, sekitar cerita Natal,
cerita-cerita dari bible, hingga lakon tentang para orang suci (santo-santo).
Ketika gereja tidak memperbolehkan
mementaskan drama di dalam gereja, maka drama kemudian dipentaskan di jalan-
jalan dan di lapangan. Hal ini berpengaruh pada perubahan tema lakon yang lebih
cenderung tentang kebajikan, kekayaan, kemiskinan, pengetahuan, kebodohan, dan
sebagainya. Pementasan drama seperti ini disebut drama moral, karena
mengajarkan adanya pertarungan abadi antara kejahatan dengan kebaikan dalam
hati manusia. Di tengah pementasan, biasanya dimasukkan unsur badut untuk
memancing tawa penonton karena jenuh menyaksikan pementasan yang berjalan
lamban. Ketika muncul reformasi sekitar tahun 1600 M, perkembangan drama abad
pertengahan mengalami kemunduran hingga lenyap sama sekali.
Ciri-ciri teater abad Pertengahan adalah sebagai berikut:
a)
Dimainkan
oleh aktor-aktor yang belajar di universitas sehingga dikaitkan dengan masalah
filsafat dan agama.
b)
Aktor
bermain di panggung di atas kereta yang bisa dibawa berkeliling menyusuri
jalanan.
c)
Dekor
panggung bersifat sederhana dan simbolis.
d) Lirik-lirik dialog drama menggunakan dialek
atau bahasa.
e)
Dimainkan di tempat umum dengan memungut bayaran.
f)
Tidak
memiliki nama pengarang secara pasti untuk lakon yang dipentaskannya.
4. Drama Zaman Italia
Selama abad ke-17, Italia
berusaha mempertahankan bentuk Commedia
dell’arte yang bersumber dari komedi Yunani. Pada tahun 1575 bentuk ini sudah populer di Italia. Kemudian menyebar luas
di Eropa dan mempengaruhi semua bentuk komedi yang diciptakan pada tahun 1600.
Ciri Khas Commedia Dell’arte adalah:
a)
Menggunakan
naskah lakon yang berisi garis besar cerita.
b)
Para
pemain dibebaskan berimprovisasi mengikuti jalannya cerita dan dituntut
memilikik pengetahuan luas yang dapat mendukung permainan improvisasinya.
c)
Cerita yang
dimainkan bersumber pada cerita yang diceritakan secara turun menurun.
d)
Cerita
terdiri dari tiga babak didahului prolog panjang.
e)
Plot
cerita berlangsung dalam suasana adegan lucu.
f)
Peristiwa
cerita berlangsung dan berpindah secara cepat .
g)
Terdapat
tiga tokoh yang selalu muncul, yaitu tokoh penguasa, tokoh penggoda, dan
tokoh pembantu.
h)
Tempat
pertunjukannya di lapangan kota dan panggung-panggung sederhana.
i)
Setting
panggung sederhana yaitu; rumah, jalan, dan lapangan.
Para penulis naskah komedi
terkenal pada masa itu adalah Carlo Goldoni, dengan karya-karyanya seperti: Hamba Dua Majikan (1745), Keluarga Pedagang Antik (1750), Si Pendusta (1750), Nyonya Sebuah Penginapan (1753); dan Carlo Gozzi, dengan
karya-karyanya yang banyak mengambil tokoh-tokoh dongeng dan fantasi. Commedia
dell’arte mulai merosot dan tidak populer di Italia pada akhir abad ke-18.
Sedang dalam tragedi, penulis Italia yang menonjol pada abad itu adalah
Vittorio Alfieri dengan karyanya yang terkenal yaitu Saul (1784) dan Mirra
(1786).
5. Drama Zaman Elizabeth
Pada awal pemerintahan Ratu
Elizabeth I di Inggris (1558-1603), drama berkembang dengan sangat pesatnya. Gedung-gedung pementasan besar bermunculan mengikuti gedung pemntasan yang telah lebih dulu
diangun atas prakarsa sang ratu. Salah satu gedung pementasan terbesar yang disebut Globe, bisa menampung 3.000
penonton. Globe mementaskan drama-drama karya William Shakespeare, penulis
drama terkenal dari inggris yang hidup dari tahun 1564 sampai tahun1616.
Ciri-ciri teater zaman Elizabeth adalah:
a)
Menggunakan
naskah lakon yang dilaognya cenderung berbentuk puitis dan panjang-panjang.
b)
Penyusunan naskah lebih bebas , tidak mengikuti hukum
yang sudah ada.
c)
Pertunjukan
dilaksanakan siang hari dan tidak mengenal waktu istirahat.
d) Tempat adegan ditandai dengan ucapan yang disampaikan dalam dialog para tokoh.
e)
Tokoh
wanita dimainkan oleh pemain anak-anak laki-laki, bukan pemain wanita.
f)
Penontonnya berbagai lapisan masyarakat dan diramaikan
oleh penjual makanan dan minuman.
g)
Corak
pertunjukannya merupakan perpaduan antara teater keliling dengan teater sekolah
dan akademi yang keklasik-klasikan.
Dramawan
paling terkenal pada zaman ini adalah William Shakespeare (1546-1616). Selain Romeo dan Juliet, Shakespeare juga
menulis beberapa naskah drama lainnya seperti The Comedy of Error, A Midsummer Night’s Dream, The Merchant of Venice,
Julius Caesar, Hamlet, Macbeth, King Lear, Richard II, Richard III, Hnery V,
dan sebagainya. Di Indonesia, beberapa naskah drama karya Shakespeare
diterjemahkan oleh Trisno Sumardjo, Muh. Yamin, dan Rendra. Dramawan lainnya setelah
Shakespeaer adalah Thomas Dekker, Thomas Heywood, John Marston, Thomas
Middleton, dan Christopher Marlowe.
Kegiatan drama
di Inggris sempat mengalami kemunduran ketika kaum Puritan yang
berkuasa menutup dan melarang segala bentuk kegiatan
pementasan drama. Namun setelah Charles II berkuasa kembali, ia
menghidupkan kembali kegiatan drama. Fase ini disebut zaman
restorasi. Adapun ciri- ciri teater
pada zaman restorasi adalah:
a)
Tema
cerita bersifat umum dan penonton sudah mengenalnya.
b)
Tokoh
wanita diperankan oleh Pemain wanita.
c)
Penonton
tidak lagi semua lapisan masyarakat, tetapi hanya kaum menengah dan kaum atasan.
d)
Gedung
teater mencontoh gaya Italia.
e)
Pementasan diselenggarakan di gedung
proscenium diperluas dengan menambah area yang disebut
apron sehingga terjadi komunikasi yang intim antara
pemain dan penonton.
f)
Setting
panggung bergambar perspektif dan lebih bercorak umum, misalnya taman
atau istana.
6. Drama Zaman Perancis
Drama di Perancis merupakan penerus drama abad pertengahan, yaitu drama yang mementingkan pertunjukan dramatik,
bersifat seremonial dan ritual kemasyarakatan. Beberapa kelompok drama
amatir yang eksis pada masa itu dikelola oleh para pengusaha seperti Confrerie de la Passion yang memiliki
gedung pementasan yang tetap di Paris sekitar tahun 1400. Kelompok ini memiliki
monopoli di bawah lindungan istana hingga tahun 1598 sebelum akhirnya disewa
oleh rombongan Les Comedians du Roi.
Drama zaman Prancis memiliki konsep penulisan naskah yang cenderung menggabungkan
drama-drama klasik dengan tema-tema sosial yang dikaitkan dengan budaya pikir
kaum terpelajar. Perubahan besar terjadi sekitar tahun 1630-an, ketika teori neoklasik dari
Italia masuk ke Prancis. Pada waktu itu di Prancis teori ini amat dipegang
teguh dan dipatuhi lebih dari negara manapun. Dasar dari teori neoklasik itu
adalah:
a)
Hanya ada 2 bentuk drama, yaitu tragedi dan komedi
yang keduanya tak boleh dicampur.
b)
Drama harus berisi ajaran moral yang disajikan secara
menarik.
c)
Karakter harus menggambarkan sifat umum, yang
universal dan bukan individual.
d)
Mempertahankan kesatuan waktu, tempat, dan kejadian.
Dramawan Perancis yang terkenal pada
waktu itu adalah Pierre Corneille (1606–1684) dengan karya-karya: Horace, Cinna, Polyceucte, dan Rodogune; Jean Racine (1639-1699) dengan
karya-karya: La Thebaide, Alexandre, Les
Plaideurs; Moliere (1622-673) dengan karya-karyanya yang sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: Sekolah
Istri, Dokter Gadungan, Cacad Bayangan, dan sebagainya.
Pada abad 18, drama
di Perancis dimonopoli oleh pemerintah dengan Comedie Francaise-nya. Secara tetap mereka mementaskan komedi dan
tragedi, sedangkan bentuk opera, drama pendek dan burlesque dipentaskan oleh
rombongan drama Italia : Comedie Italienne yang biasanya
mementaskan di pasar-pasar malam. Sampai akhir abad 18, Perancis menjadi pusat kebudayaan Eropa. Drama
Perancis yang neoklasik menjadi model di seluruh Eropa. Kecenderungan
neoklasik menjalar ke seluruh Eropa.
7. Drama Abad 19
Abad 19 merupakan babak baru
bagi proses perkembangan drama. Perpindahan orang-orang berkelas ke kota karena
Revolusi Industri turut menyebabkan perubahan pada seni drama. Di Inggris,
sebuah drama kloset atau naskah lakon yang sepenuhnya tidak dapat
dipentaskan mulai bermunculan. Tercatat beberapa nama penulis drama kloset seperti Wordswoth,
Coleridge, Byron, Shelley, Swinburne, Browning, dan Tennyson. Baru pada akhir
abad 19, drama di Inggris menunjukkan
tanda-tanda kehidupan dengan munculnya Henry Arthur Jones, Sir Arthur Wing Pinero,
dan Oscar Wilde. Juga terlihat kebangkitan pergerakan teater
independen yang menjadi perintis pergerakan “Teater Kecil” yang
nanti di abad ke 20 tersebar luas, misalnyai Theatre Libre Paris, Die
Freie Buhne Berlin, independent Theater London dan Miss
Horniman’s Theater Manchester yang mana Ibsen, Strindberg, Bjornson, Yeats,
Shaw, Hauptmann dan Synge mulai dikenal masyarakat.
Selama akhir abad 19 di
Jerman muncul dua penulis lakon kaliber internasional yaitu Hauptmann dan
Sudermann. Seorang doktor Viennese, Arthur Schnitzler, juga menjadi dikenal luas di luar tempat asalnya
Austria dengan naskah lakon yang ringan dan menyenangkan berjudul Anatol.
Di Perancis, Brieux menjadi perintis teater realistis dan klinis.
Sedangkan
di Paris dikenal naskah drama
berjudul Cyrano de Bergerac karya Edmond Rostand.
Sementara itu di Italia Giacosa
menulis lakon terbaiknya yang banyak dikenal, As the Leaves, dan
mengarang syair-syair untuk opera, La Boheme, Tosca, dan Madame
Butterfly. Verga menulis In the Porter’s Lodge, The Fox Hunt, dan Cavalleria
Rusticana, yang juga lebih dikenal melalui opera Muscagni. Penulis lakon Italia abad 19 yang paling
terkenal adalah, Gabriel d’Annunzio, Luigi Pirandello dan Sem Benelli dengan
lakon berjudul Supper of Jokes yang dikenal di Inggris dan Amerika
sebagai The Jest. Bennelli dengan lakon Love of the Three Kings-nya
dikenal di luar Italia dalam bentuk opera.
Di Spanyol Jose Echegaray menulis
The World and His Wife; Jose Benavente dengan karyanya Passion
Flower dan Bonds of Interest dipentaskan di Amerika; dan Sierra
bersaudara dengan naskah lakon Cradle Song menjadi
penghubung abad ke 19 dan 20, seperti halnya Shaw, Glasworthy, dan
Barrie di Inggris, serta Lady Augusta Gregory dan W.B. Yeats di
Irlandia.
Perkembangan
drama di Amerika sampai abad 19 dikuasai oleh “Stock Company” dengan
sistem bintang. Stock Company merupakan sebuah rombongan drama lengkap dengan peralatannya serta bintang-bintangnya yang rutin mengadakan perjalanan keliling. Dengan
dibangunnya jaringan kereta api pada tahun 1870-an, Stock Company makin
berkembang. Hal ini menyebabkan seni drama tersebar luas di seluruh Amerika hingga memunculkan beberapa kelompok drama lokal. Stock
company lenyap sekitar tahun 1900. Sindikat teater berkuasa di Amerika dari
tahun 1896-1915. Realisme kemudian menguasai panggung-panggung drama
Amerika pada Abad 19. Usaha melukiskan kehidupan nyata secara teliti dan
detail ini dimulai dengan pementasan-pementasan naskah-naskah sejarah. Setting
dan kostum diusahakan sepersis mungkin dengan zaman cerita. Charles Kenble
dalam memproduksi “King
John” tahun 1823 (naskah Shakespeare) mengusahakan
ketepatan sampai hal-hal yang detail.
Zaman Realisme yang lahir pada
penghujung abad 19 dapat dijadikan landas pacu lahirnya seni drama modern di barat. Penanda yang kuat adalah
timbulnya gagasan untuk mementaskan lakon kehidupan di atas pentas dan
menyajikannya seolah peristiwa itu terjadi secara nyata. Gagasan ini melahirkan
konvensi baru dan mengubah konvensi lama yang lebih menampilkan seni drama sebagai sebuah pertunjukan yang memang
dikhususkan untuk penonton. Tidak ada lagi pamer keindahan bentuk akting dan
puitika kata-kata dalam Realisme. Semua ditampilkan apa adanya seperti sebuah
kenyataan kehidupan.
8. Drama Modern
Drama
modern pada dasarnya merupakan proses lanjutan dari kejayaan pementasan drama sebelumnya
yang dimulai sejak zaman Yunani. Perubahan yang nampak terdapat pada hampir
seluruh unsur drama pentas. Berbagai karakter tokoh di atas pentas
diekspresikan dengan konsep pementasan modern yang memiliki efek-efek khusus
dan teknologi baru dalam unsur musik,
dekorasi, tata cahaya, dan efek elektronik. Gaya permainannya pun
cenderung didominasi realistis hingga mengalami kejenuhan dan lebih menjurus
pada gaya permainan yang eksperimental.
Perkembangan gaya eksperimental ditandai dengan banyaknya
gaya baru yang lahir baik dari sudut pandang pengarang, sutradara, aktor
ataupun penata artistik. Tidak jarang usaha para dramawan berhasil dan mampu memberikan pengaruh seperti
gaya; Simbolisme, Surealisme, Epik, dan Absurd. Tetapi tidak jarang pula usaha
mereka berhenti pada produksi pertama. Lepas dari hal itu, usaha pencarian
kaidah artistik yang dilakukan oleh seniman drama modern patut diacungi jempol karena
usaha-usaha tersebut mengantarkan kita pada keberagaman bentuk ekspresi dan
makna keindahan.
Selain konsep dan bentuk
pementasan yang modern, perkembangan drama modern dunia juga ditandai dengan
munculnya beberapa dramawan yang namanya mendunia seperti:
1. Henrik Ibsen (1828-1906) dari Norwegia
dengan karyanya seperti Nora, Love’s
Comedy, Brand and Peer Gynt, A Doll’s House, An Enemy of the People, The Wild
Duck, Hedda Gabler, dan Rosmershom.
2. Augst Strindberg (1849-1912) dari Swedia
dengan karyanya seperti Saga of the
Folkung, Miss Julia, The Father, A Dream Play, The Dance of Death, dan The Spook Sonata.
3. George Bernard Shaw (1856-1950) dari
Inggris dengan karyanya seperti Man and
Superman, Arms and The Man, Major Barbara, Saint Joan, The Devil’s Disciple, dan Caesar and Cleopatra.
4. William Butler Yeats (1884) dari Irlandia
dengan karyanya seperti The Shadow of a
Gunman, Juno and the Paycock, The Plough and the Stars, The Silver Tassie,
Within the Gates, dan The Star Turns
Red.
5. Emile Zola (1840-1902) dari Prancis dengan
karya drama terkenalnya yaitu Therese
Raquin. Selain Zola, dramawan
Prancis lainnya yang terkenal adalah Jean paul Sartre (1905-....) dengan
karyanya seperti Huis Clos dan Les
Mouches.
6. Bertolt Bercht (1898-1956) dari Jerman
dengan karyanya seperti Threepenny Opera,
Mother Courage, dan The Good Woman of
Setzuan.
7. Luigi Pirandello (1867-1936) dengan
karyanya seperti Right You Are, If You
Think You Are, As You Desire Me, Henry IV, Naked, Six Characters in Search of
an Author, dan Tonight We Improvise.
8. Federico Garcia Lorca (1889-1936) dari
Spanyol dengan karyanya seperti The
Shoemaker’s Prodigius Wife, dan The
House of Bernarda Alba.
9. Maxim Gorky (1868-1936) dari Rusia dengan
karya drama terkenalnya yaitu The Lower
Depth.
10. Tennesse Williams (1914-....) dari Amerika
dengan karyanya seperti Cat on a Hot Tin
Roof, Orpheos Descending, Baby Doll, dan Sweet Bird of Youth.
b. Sejarah Drama Indonesia
Bangsa kita
sudah mengenal drama sejak jaman dulu. Keberadaannya
ditandai dengan adanya kegiatan
ritual keagamaan yang dilakukan oleh para pemuka agama dan diikuti oleh masyarakat sekitarnya. Karena kegiatan ritual keagamaan erat
kaitannya dengan kehidupan masyarakat, maka kegiatan ritual ini kemudian
mengalami perkembangan dengan dimasukannya
unsur tari dan musik sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat itu
pula. Dibanding dengan
upacara-upacara ritual keagamaan di Barat, upacara-upacara ritual di Indonesia
sifatnya lebih puitis karena dilakukan dengan cara mengucapkan mantera- mantera.
Pada perkembangan berikutnya, Berdasarkan
cara-cara melakukan upacara keagamaan itu lahirlah tontonan drama, yang
kemudian berkembang sesuai dengan selera masyarakat dan perkembangan zaman. Berdasarkan kurun waktunya, perkembangan
drama di Indonesia dikelompokkan menjadi drama atau teater tradisional, drama atau teater transisi dan drama atau
teater modern.
1. Drama atau Teater Tradisional
Sebelum masa kemerdekaan, Indonesia
mengenal istilah drama
tradisional yaitu bentuk drama yang yang bersumber dari tradisi masyarakat
lingkungannya. Drama tradisional ini
merupakan hasil kreatifitas berbagai suku bangsa Indonesia di beberapa daerah. Dasar
cerita yang digunakannya bersumber dari sastra lama seperti pantun, syair,
dongeng, legenda atau sastra lisan daerah lainnya. Karena bertolak dari sastra
lisan inilah, maka drama tradisional dipentaskan tanpa menggunakan naskah. Semua dialog serta gerak laku aktor di atas
panggung diungkapkan secara spontan dan hanya mengandalkan improvisasi. Dalam penyajiannya, drama tradisional ini
juga dilakukan dengan menari menyanyi dengan diiringi oleh tetabuhan serta
sisipan lelucon, dagelan, atau banyolan.
Kemunculan drama tradisional di Indonesia
antar daerah satu dengan daerah lainnya sangat bervariasi. Hal ini disebabkan oleh
unsur-unsur pembentuk teater tradisional itu yang berbeda-beda, tergantung dari
kondisi dan sikap budaya masyarakat, sumber dan tata-cara di mana teater
tradisional lahir.
Drama tradisional ini
terbagi lagi menjadi drama atau teater tutur, drama atau teater rakyat, serta
drama ata teater wayang. Berikut ini disajikan beberapa bentuk teater
tradisional yang ada di daerah-daerah di Indonesia.
a) Drama atau Teater Tutur
Drama atau teater
tutur merupakan suatu jenis pementasan drama yang bertolak dari sastra lisan
yang dituturkan dan belum diperagakan secara lengkap. Proses pementasannya hanya
dituturkan oleh dalang dan sering dilakukan dengan menyanyi serta diiringi oleh
suatu tabuhan. Berikut ini disajikan beberapa bentuk drama atau
teater tutur yang ada di daerah-daerah di Indonesia.
1)
PMTOH di
Aceh
Drama atau teater tutur di Aceh bermula dari pembacaan hikayat (peugah haba) yang disampaikan oleh seorang penutur cerita yang hanya dilengkapi dengan sebilah pedang dan bantal. Penampilan nyaris tanpa akting, dan agak
sulit mengikuti alur cerita karena tidak terjadi perubahan karakter tokoh. Penggiat drama tutur ini adalah Mak Lapee dan Teungku Ali Meukek.
Drama atau teater tutur ini menjadi menarik setelah
dikembangkan Teungku Adnan dengan mempergunakan alat musik rapa’i, pedang,
suling (flute), bansi (block flute) dan mempergunakan proferti mainan
anak-anak, serta kostum. Oleh Teungku Adnan dan para
apresiatornya pertunjukkan drama ini dinamai PMTOH. Nama ini diambil dari
sebuah tiruan bunyi klakson
bus bernama P.M.T.O.H yang sering ditumpangi oleh Teungku Adnan ketika hendak berjualan obat sambil menunjukkan
kepiawaiannya bercerita. Kekuatan
yang paling mendasarkan dalam teater tutur P.M.T.O.H adalah daya improvisasi
penyaji yang sangat tinggi. Gaya komedikalnya membawakan hikayat masa lalu
dikaitkan dengan peristiwa masa kini.
2)
Bakaba di
Sumatera Barat
Bakaba merupakan drama rakyat
dari Sumatera Barat yang dalam pertunjukkannya dituturkan oleh
sekurang-kurangnya dua tukang cerita dalam prosa liris yang dilagukan. Lagu
yang disampaikan disesuaikan dengan kebutuhan cerita. Untuk mengiringi tukang
cerita tersebut, biasanya digunakan musik pengiring seperti rebab, kecapi dan
rebana. Pada saat pertunjukkan tidak jarang terjadi komunikasi antara penutur
cerita dengan para penonton. Pertunjukkan Bakaba ini biasanya dilaksanakan
apabila salah satu anggota keluarga melangsungkan acara perkawinan, pesta panen
atau menempati rumah baru.
3)
Pantun Sunda
dari Jawa Barat
Sesuai
dengan arti kata pantun yaitu ‘padi’, pada awalnya pantun Sunda dihubungkan
dengan pemujaan terhadap Dewi Padi yaitu Nyi Pohaci, Kersa Nyai, atau Nyi
Pohaci Sang Hyang Sri. Pada perkembangan selanjutnya sering dilaksanakan pada
upacara keluarga seperti ruwatan, kelahiran, khitanan, perkawinan, kematian,
dan nazar.
Cerita
pantun kebanyakan memaparkan kerajaan-kerajaan Sunda lama seperti Galuh dan
Pajajaran. Cerita lain yang sering muncul antara lain ‘Munding Laya Dikusumah’,
‘sangkuriang’, ‘Ciung Wanara’, ‘Sumur Bandung’, ‘Sulanjaya’, ‘Kidang Pananjung’,
dan lain-lain. Cerita-cerita tersebut disampaikan oleh seorang juru pantun yang
dibantu oleh dua orang nayaga yaitu penabuh musik pengiring (kecapi).
4)
Kentrung, dari Jawa Timur
Secara umum, kentrung merupakan bentuk drama berupa cerita yang
disampaikan secara lisan oleh dalang kentrung. Meski demikian, pengertian kata kentrung bisa
dibedakan menjadi dua, yakni berdasarkan penyingkatan dua kata dan bunyi yang dikeluarkan oleh
instrumen. Pengertian yang
pertama, kentrung berasal
dari kata Ngre’ken (menghitung ) dan Ngantung (berangan-angan). Maksudnya
mengatur jalannya dengan berangan-angan. Pengertian kedua berasal
dari bunyi kata Kluntrang-Kluntrung yang artinya pergi dan
mengembara kesana kemari.
Kesenian kentrung banyak dijumpai di Jawa Tengah dan
Jawa Timur khususnya di derah pesisir timur selatan. Selain itu, juga terdapat
di sentra daerah, misalnya Surabaya, Jember, Pasuruan, Bojonegoro, Lamongan.
Nganjuk dan Jombang. Kentrung
biasanya
dipentaskan pada acara sunatan, tingkeban, perkawinan, atau ruwatan. Cerita
yang disajikan adalah prosa yang diselingi oleh puisi yang dilagukan dengan
iringan tabuhan rebana, gendang, angklung, lesung, terompet, dan lain-lain.
Sepanjang pementasanya
Kentrung hanya diisi oleh seorang dalang yang merangkap sebagai penabuh gendang
dan ditemani oleh penyenggak
serta para personel yang memegang instrumen jidor,
ketipung/kempling/timplung, dan kendang. Dalam
perkembangannya pemain kentrung sudah bisa berekspresi memerankan tokoh seperti
pemain ludruk dan kesenian ketoprak.
5)
Cekepung di Lombok.
Cekepung berawal dari tiruan
bunyi alat musik yang diujarkan cek...cek...cek...pung. Cekepung pada dasarnya
adalah seni membaca kitab lontar yang diiringi oleh instrumen suling, dan
beberapa peniruan bunyi alat musik oleh ujaran. Pemain cekepung sedikitnya
terdiri dari 6 orang pemusik dan penyanyi serta seorang pembaca lontar. Masing-masing bertugas memainkan suling,
redep (rebab, sejenis alat musik yang digunakan dalam kesenian gambang
keromong, Betawi). Kemudian ada pemaos
(pembaca naskah lontar), penyokong
(pendukung), dan punggawa
(penerjemah) naskah Lontar Monyeh sebagai sumber cerita. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Sasak dengan penjelasan gerak tari,
mimik wajah, dan lawakan.
6)
Sinrilik di Sulawesi Selatan
Sinrilik merupakan pertunjukkan
drama tutur yang dari
Sulawesi Selatan (khususnya daerah Gowa dan Maros) yang dinyanyikan dalam
bahasa Makasar oleh seorang pasinrili
dan dimainkan para pemain dengan iringan keso-keso (rebab). Tema-tema sinrilik
menyangkut kepahlawanan, keagamaan dan cinta. Baik ceritanya maupun musiknya
diimprovisasikan, namun mampu membangkitkan perasaan, keindahan dan komedi.
Dulu Sinrilik hanya dipentaskan apabila raja yang
meminta, namun kesenian ini kemudian berubah bentuk menjadi pertunjukkan drama populer yang disenangi seluruh lapisan
masyarakat. Pertunjukkannya biasanya dilakukan di
anjungan rumah atau halaman pada acara-acara tertentu sperti syukuran, pesta
panen, membangun rumah, dan sebagainya. Sedangkan waktunya dilakukan siang hari
atau malam setelah sembahyang isya.
7)
Wayang Beber
dari Pacitan
Wayang Beber berbentuk lukisan
di atas kertas tentang wayang yang bergambar seperti wayang kulit purwa.
Lukisan wayang tergantung pada cerita yang disajikan, jadi semacam komik tanpa
dialog. Lukisan wayang terdiri dari enam gulung, dan setiap gulung terdiri dari
empat adegan. Sambil membeberkan lukisan itu, dalang bernarasi sambil diiringi
seperangkat gamelan, rebab, kendang, kenong, gong, dan lain-lain yang dipikul
beberapa pemusik. Pertunjukkan ini turun temurun artinya tidak bisa diturunkan
atau diajarkan kepada orang lain selain keluarga. Biasanya pertunjukkan untuk
upacara ruwatan dan nazar saja.
b) Drama atau Teater Rakyat
Drama atau Teater Rakyat
merupakan jenis drama yang berkembang dan hidup di tengah masyarakat pedesaan. pada umumnya dilakukan secara spontan dengan
cerita-cerita yang hidup di daerah tersebut. Cerita-cerita tersebut biasanya diambil dari cerita lisan atau
diambil dari sastra lisan.
Seperti drama tutur, dalam
pertunjukkannya jenis drama ini juga dilengkapi dengan musik tradisional,
tari-tarian, serta lagu. Jenis drama ini
juga dikenal begitu akrab dengan penontonnya. Humor atau banyolan selalu
spontan muncul sebagai dialog segar dari para aktor yang kadang bisa dijawab
oleh para penontonnya. Berikut ini disajikan beberapa bentuk drama atau
teater rakyat yang ada di daerah-daerah di Indonesia.
1)
Randai dari
Sumatera Barat
Randai
merupakan suatu bentuk teater tradisional yang bersifat kerakyatan yang
terdapat di daerah Minangkabau, Sumatera Barat. Randai hidup, berkembang, serta
masih digemari oleh masyarakatnya, terutama di daerah pedesaan atau di
kampung-kampung. Seperti drama
tradisional lainnya di Minangkabau, cerita Randai bertolak dari sastra lisan
yang disebut “kaba” (dapat diartikan sebagai cerita).
Ada
dua unsur pokok yang menjadi dasar Randai, yaitu.
a) Unsur penceritaan. Cerita
yang disajikan adalah kaba, dan disampaikan lewat gurindam, dendang dan lagu.
Sering diiringi oleh alat musik tradisional Minang, yaitu salung, rebab, bansi,
rebana atau yang lainnya, dan juga lewat dialog.
b)
Unsur laku dan gerak, atau tari, yang dibawakan
melalui galombang. Gerak tari yang digunakan bertolak dari gerak-gerak
silat tradisi Minangkabau, dengan berbagai variasinya dalam kaitannya dengan
gaya silat di masingmasing daerah.
2)
Lenong, dan Topeng
Blantek di Jakarta.
(a) Lenong
Lenong
merupakan drama rakyat dari Betawi (Jakarta). Selain lenong, di Jakarta masih
terdapat empat jenis drama rakyat lainnya seperti topeng Betawi, topeng
blantek, dan jipeng atau jinong. Pada kenyataannya keempat teater rakyat
tersebut banyak persamaannya. Perbedaan umumnya hanya pada cerita yang
dihidangkan dan musik pengiringnya. Cerita lenong umumnya mengandung pesan
moral, yaitu berbuat kebajikan dan melawan kejahatan. Berbagai cerita yang
ditampilkan di atas panggung akan berkembang dari lawakan-lawakan yang
dirangkai-rangkai hingga menjadi pertunjukan semalam suntuk dengan lakon
panjang dan utuh.
Dalam pertunjukkannya, lenong
menggunakan bahasa Betawi kental yang segar, penuh humor, dan saling ledek.
Drama jenis ini telah menggunakan panggung, dekorasi, dan properti seperti meja
dan dua buah kursi. Musik yang digunakan untuk mengiringi adegan cerita dalam
lenong adalah gambang, kromong, gong, kendang,
kempor, suling, dan kecrekan, serta alat musik unsur Tionghoa seperti tehyan,
kongahyang, dan sukong.
Lenong berkembang sejak akhir
abad ke-19 atau awal abad ke-20. Kesenian teatrikal tersebut mungkin merupakan
adaptasi oleh masyarakat Betawi atas kesenian serupa seperti "komedi
bangsawan" dan "teater stambul" yang sudah ada saat itu. Pada
mulanya kesenian ini dipertunjukkan dengan mengamen dari kampung ke kampung.
Pertunjukan diadakan di udara terbuka tanpa panggung. Selanjutnya, lenong mulai
dipertunjukkan atas permintaan pelanggan dalam acara-acara di panggung hajatan
seperti resepsi pernikahan. Baru di awal kemerdekaan, teater rakyat ini murni
menjadi tontonan panggung.
Dalam perkembangan selanjutnya,
terdapat dua jenis lenong yaitu lenong denes dan lenong preman. Dalam lenong
denes (dari kata denes dalam dialek Betawi yang berarti "dinas" atau
"resmi"), aktor dan aktrisnya umumnya mengenakan busana formal dan
kisahnya ber-seting kerajaan atau lingkungan kaum bangsawan, sedangkan dalam
lenong preman busana yang dikenakan tidak ditentukan oleh sutradara dan umumnya
berkisah tentang kehidupan sehari-hari. Selain itu, kedua jenis lenong ini juga
dibedakan dari bahasa yang digunakan; lenong denes umumnya menggunakan bahasa
yang halus (bahasa Melayu tinggi), sedangkan lenong preman menggunakan bahasa
percakapan sehari-hari.
(b) Topeng Blantek
Menurut asal katanya, Blantek
mengandung arti ‘campur aduk’ atau ‘tidak karuan’. Topeng Blantek ini muncul di
wilayah Jawa Barat bagian selatan Jakarta seperti Bojong Gede, Pondok Rajeg,
Citayem, dan Ciseeng. Cerita yang dimainkan biasanya pendek dan bernafaskan
Islam. Pada saat pergantian babak sering diperdengarkan lagu-lagu dzikir
berbahasa Arab atau lagu-lagu berbahasa Betawi. Musik pengiringnya terdiri dari
rebab, kecrek, kromong, kenong, dan gong.
3)
Ludruk di Jawa timur.
Ludruk merupakan drama rakyat yang berasal dari daerah Jombang,
Jawa Timur selain reog dan jemblung. Dalam perkembangannya
ludruk menyebar ke daerah-daerah sebelah barat seperti karesidenan Madiun,
Kediri, dan sampai ke Jawa Tengah. Ciri-ciri bahasa dialek Jawa Timuran tetap
terbawa meskipun semakin ke barat makin luntur menjadi bahasa Jawa setempat.
Dibandingkan dengan kesenian
drama rakyat lainnya, ludruk memiliki ciri khusus pada para pemainnya yang
semuanya diperankan oleh laki-laki. Untuk peran wanitapun dimainkan oleh
laki-laki. Hal ini terjadi karena pada zaman itu wanita tidak diperkenankan
muncul di depan umum.
Dengan menggunakan bahasa Jawa
dialek Jawa Timuran yang segar
dan penuh humor, para pemain ludruk bisanya memainkan cerita tentang
segala hal yang berhubungan dengan lingkungan sekitarnya. Peralatan musik
daerah yang digunakan untuk mengiringi adegan terdiri dari kendang, cimplung, jidor dan gambang. sedangkan
lagu-lagu (gending) yang digunakan, yaitu Parianyar, Beskalan,
Kaloagan, Jula-juli, Samirah, Junian.
4)
Ketoprak di Jawa tengah.
Ketoprak merupakan drama
rakyat yang begitu populer di Jawa Timur dan Jawa Tengah terutama di daerah
Yogyakarta selain Srandul, Jemlung, dan Gotoloco. Pada mulanya ketoprak bukanlah sebuah tontonan, tapi
hanya merupakan permainan orang-orang desa yang sedang menghibur diri dengan
menabuh lesung pada waktu bulan purnama, yang disebut gejogan. Dalam
perkembangannya ditambahi nyanyian, juga tarian hingga menjadi suatu bentuk drama
rakyat yang lengkap.
Kesenian ketoprak pertama
kali ditemukan oleh Wreksodiningrat di Klaten. Dari penemuan ini kemudian
dikembangkan dengan menambahkan beberapa alat musik pengiring seperti kendang,
terbang, suling, dan kecrek. Pada tahun 1909, ketoprak pertama kali dipentaskan
di depan penonton. Cerita yang disajikan biasanya seperti ‘Damarwulan’, ‘Aji
Saka’, ‘Lara Mendut’, dan lain-lain.
Dalam pertunjukannya, ketoprak
sangat memperhatikan bahasa yang digunakan. Meskipun yang digunakan bahasa
Jawa, namun harus diperhitungkan masalah unggahungguh (tingkatan-tingkatan)
bahasa. Selain itu, diperhatikan pula kehalusan bahasa. Karena itu muncul yang
disebut bahasa ketoprak, bahasa Jawa dengan bahasa yang halus dan spesifik.
5)
Ubrug dan
Longser di Jawa Barat.
a) Ubrug
Ubrug merupakan teater tradisional
bersifat kerakyatan yang terdapat di daerah Banten. Bahasa yang digunakan dalam
pertunjukkan ubrug adalah bahasa campuran daerah Sunda, Jawa dan Melayu. Musik
yang digunakan untuk megiringi drama ini terdiri dari iringan musik gamelan dan
goong buyung. Busana yang dikenakan para pemeran disesuaikan dengan cerita yang
dekat dengan kehidupans ehari-hari. Sedangkan untuk para penari berbusana
srimpian. Para pemain biasanya bertukar busana dan berhias di tempat pemusik.
Seperti drama rakyat lainnya,
Ubrug dapat dipentaskan di ruang terbuka seperti halaman rumah atau tanah
lapang dengan menggunakan penerangan obor atau petromaks yang disimpan di
tengah arena pentas. Ubrug dipentaskan bukan saja untuk hiburan, tetapi juga untuk
memeriahkan suatu “hajatan”, atau meramaikan suatu “perayaan”. Untuk apa saja,
yang dilakukan masyarakat, ubrug dapat diundang tampil.
Cerita-cerita yang dipentaskan terutama
cerita rakyat, sesekali dongeng atau cerita sejarah Beberapa cerita yang sering
dimainkan ialah Dalem Boncel, Jejaka Pecak, Si Pitung atau Si
Jampang (pahlawan rakyat setempat, seperti juga di Betawi). Gaya penyajian
cerita umumnya dilakukan seperti pada teater rakyat, menggunakan gaya humor (banyolan),
dan sangat karikatural sehingga selalu mencuri perhatian para penonton.
b)
Longser
Menurut asala katanya, longser
berasal dari kata melong (melihat) dan seredet (tergugah).
Artinya barang siapa melihat (menonton) pertunjukan, hatinya akan tergugah.
Pertunjukan longser sama dengan pertunjukan kesenian rakyat yang lain, yang
bersifat hiburan sederhana, sesuai dengan sifat kerakyatan, gembira dan jenaka.
Sebelum longser lahir, ada beberapa kesenian yang sejenis dengan Longser, yaitu
lengger. Ada lagi yang serupa, dengan penekanan pada tari, disebut ogel atau
doger.
Longser merupakan jenis drama rakyat
yang terdapat di wilayah Priangan seperti Subang, bandung, dan sekitarnya. Pertunjukan
longser hampir sama dengan drama rakyat di Jawa Barat lainnya. Perbedaannya
terdapat pada jenis-jenis tarian yang sering memasukkan silat dan ketuk tilu
yang dilengkapi dengan sinden atau juru kawih. Gamelan pengiring yang digunakan
adalah gamelan salendro dengan dua belas nayaga. Selian longser, ada juga jenis
kesenian drama rakyat lainnya seperti Banjet, Topeng Cirebon, Tarling,
dan Ketuk tilu.
6)
Mamanda dan Bapandung di Kalimantan Selatan.
Mamanda merupakan drama rakyat asli
suku Banjar di Provinsi Kalimantan Selatan. Menurut sejarahnya, pada tahun 1897
datang ke Banjarmasin suatu rombongan bangsawan Malaka. Selain untuk
kepentingan berdagang, rombingan ini juga memperkenalkan suatu kesenian baru
yang bersumber dari syair Abdoel Moeloek. Kesenian tersebut kemudian dikenal
dengan sebutan Badarmuluk. Seiring
perkembangan zaman, sebutan untuk kesenian ini berkembang menjadi bamanda atau Mamanda.
Ada dua jenis aliran dalam
mamanda, yaitu:
1.
Aliran Batang Banyu
Ciri khas dari liran ini adalah dari proses
pementasannya yang dilakukan di perairan atau di sungai. Aliran yang juga
disebut Mamanda Periukdan berasal dari Margasari ini merupakan cikal bakal
Mamanda.
2.
Aliran Tubau
Aliran yang berasal dari Desa Tubau Rantau ini
merupakan perkembangan baru dari Mamanda yang kini justru lebih terkenal dari
Mamanda aliran Batang Banyu. Dalam pementasannya, cerita yang diangkat tidak
bersuber dari syair atau hikayat, namun dikarang sendiri dan disesuaikan dengan
perkembangan zaman. Struktur pertunjukkannya masih sama seperti pementasan
drama lainnya yang dimulai dari ladon atau konom, sidang kerajaan, dan cerita.
Pementasan aliran ini tidak mengutamakan musik atau tari, namun lebih
mengutamakan bagaimana isi ceritanya. Aliran ini dipentaskan di daratan
sehingga juga dikenal dengan sebutan Mamanda Batubau.
7)
Makyong dari
Riau
Makyong merupakan drama rakyat Melayu yang masih
hidup sampai di Malaysia, Singapura, bahkan Muangthai. Makyong yang paling tua terdapat di pulau Mantang, salah satu pulau di
daerah Riau. Pada mulanya kesenian Makyong berupa tarian joget atau ronggeng.
Dalam perkembangannya kemudian dimainkan dengan cerita-cerita rakyat, legenda
dan juga cerita-cerita kerajaan. Makyong juga digemari oleh para bangsawan dan
sultansultan, hingga sering dipentaskan di istana-istana.
Pertunjukkan makyong menggunakan media ungkap tarian, nyanyian, laku, dan
dialog dengan membawa cerita-cerita rakyat yang sangat populer di daerahnya.
Cerita-cerita rakyat tersebut bersumber pada sastra lisan Melayu. Drama ini
dipertunjukkan di tempat terbuka untuk
keperluan hajatan. Semua pemeran yang sebgian besar wanita ini menggunakan
topeng dalam pertunjukkannya. Iringan musik yang digunakan adalah kendang,
serunai, rebab, gong, mong-mong (gong kecil) masing-masing satu buah.
Pementasan makyong selalu diawali dengan bunyi tabuhan yang dipukul
bertalu-talu sebagai tanda bahwa ada pertunjukan makyong dan akan segera
dimulai. Setelah penonton berkumpul, kemudian seorang pawang (sesepuh dalam
kelompok makyong) tampil ke tempat pertunjukan melakukan persyaratan sebelum
pertunjukan dimulai yang dinamakan upacara buang bahasa atau upacara
membuka tanah dan berdoa untuk memohon agar pertunjukan dapat berjalan
lancar.

Penari dalam pertunjukan makyong
8) Arja
di Bali.
Menurut asal
katanya, Arja berasal dari bahasa Sansekerta “reja” yang kemudian mendapat awalan “a” sehingga
menjadi “areja” dan akhirnya berubah
menjadi Arja yang berarti keindahan atau mengandung keindahan. Sebagai suatu bentuk drama, Arja merupakan seni drama yang sangat kompleks karena merupakan
perpaduan dari berbagai jenis kesenian yang hidup di Bali, seperti seni tari,
seni drama, seni vokal, seni instrumentalia, puisi, seni peran, seni pantomim,
seni busana, seni rupa dan sebagainya. Di Bali, Arja masih tersebar di banyak wilayah, seperti Bangli,
Klungkung, Gianyar, Anlapura, Badung, Tabanan, Jembrana, hingga Singaraja.
Arja menyajikan
cerita kerajaan dan perwatakannya sangat diperngaruhi oleh adanya kasta seperti Cerita Panji, Cerita Mahabarata, Ramayana dan sejenisnya. Pada tahapan berikutnya, cerita dalam pertunjukkan
Arja berkembang sampai
cerita-cerita keseharian yang dapat membuat orang sejenak melupakan
segala permasalahan keluarga, pekerjaan dan lainnya yang dialami pada siang
hari sebelumnya.
Selain bentuk-bentuk drama
rakyat di atas, masih banyak lagi jenis drama atau teater rakyat lainnya baik
yang berupa drama tutur maupun drama rakyat yang sudah diperagakan yang
semuanya tersebar di seluruh wilayah nusantara. Sebagian dari drama rakyat
tersebut telah mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan kreatifitasnya. Perkembangan teknologi serta komunikasi yang cukup pesat
bahkan membawa pengaruh terhadap tumbuh
dan berkembangnya kesenian tersebut.
Beberapa jenis drama
tradisional kemudian dikenal luas oleh masyarakat dari etnis lainnya. Kesenian
longser, yang semula dikenal sebagai jenis teater tradisional dari Jawa Barat,
kini digemari pula oleh masyarakat lainnya di luar Jawa Barat. Demikian juga
dengan ketoprak (Jawa Tengah), ludruk (Jawa Timur), lenong (Jakarta), dan yang
lainnya. Gejala perkembangan seperti ini merupakan kebahagiaan
tersendiri bagi kesenian tradisional di Indonesia. Selain memupuk rasa
toleransi berkesenian antar etnis, juga diharapkan mampu menjaga kelestarian
kekayaan seni tradisi yang kini mulai mengkhawatirkan. Budaya global secara
negatif yang sangat cepat diserap oleh generasi muda, akan terkikis dengan
sendirinya bila diimbangi dengan semangat cinta akan kesenian tradisi milik
sendiri.
c) Drama atau Teater Wayang/Klasik
Wayang merupakan suatu bentuk drama tradisional yang sangat tua. Jejak
keberadaannya dapat kita temukan pada berbagai prasasti pada Zaman Raja Jawa,
antara lain pada masa Raja Balitung. Pada masa pemerintahan Raja Balitung,
telah ada petunjuk adanya pertunjukan Wayang seperti yang terdapat pada
Prasasti Balitung dengan tahun 907 Masehi. Prasasti tersebut mewartakan bahwa
pada saat itu telah dikenal adanya pertunjukan wayang. Petunjuk lainnya juga dapat
ditemukan dalam sebuah kakawin Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa, pada
Zaman Raja Airlangga dalam abad ke-11. Namun
bentuk wayang pada zaman itu belum jelas tergambar model pementasannya.
Di Jawa, awal mula adanya wayang
diketahui pada saat Prabu Jayabaya bertakhta di Mamonang pada tahun 930
M. Saat itu Sang Prabu ingin mengabadikan wajah para leluhurnya dalam bentuk
gambar yang kemudian dinamakan Wayang Purwa. Dalam gambaran itu diinginkan
wajah para dewa dan manusia Zaman Purba. Pada mulanya hanya digambar di dalam rontal
(daun tal). Kemudian berkembang menjadi wayang kulit sebagaimana
dikenal sekarang.
Secara harfiah, wayang berarti bayangan. Artinya, dunia yang diperlihatkan
lewat pertunjukkan wayang merupakan bayangan dari kehidupan kita sehari-hari.
Dari segi fisik, pertunjukkan wayang, terutama wayang kulit, memang terjadi
dari bayangan boneka wayang yang disorot oleh lampu blencong dan jatuh pada kain
putih bertepi merah yang merentang lebar (kelir).
Penyajian wayang biasanya dilakukan semalam suntuk oleh seorang dalang.
Dalang ini memiliki peran dominan dalam pertunjukkan wayang. Seorang dalang
harus bisa menguasai semua dialog dan jenis suara tiap karakter, membuat
suara-suara pembentuk suasana adegan, memberi komando pada pemain gamelan,
sambil tetap memainkan wayang di tangannhya. Pertunjukkan dibuka dan ditutup
dengan permainan wayang berbentuk seperti daun bernama gunungan/kayon. Gunungan
ini merupakan pohon kehidupan, simbol dari dunia.
Berikut ini disajikan beberapa bentuk drama wayang yang ada di
daerah-daerah di Indonesia.
1)
Wayang Kulit
Wayang kulit merupakan drama
klasik yang menggunakan bentuk wayang dari kulit tipis yang dilukis cermat
dengan warna-warni yang menjelaskan karakter. Untuk mementaskan pertunjukan wayang kulit secara
lengkap dibutuhkan kurang lebih sebanyak 18 orang pendukung. Satu orang sebagai
dalang, 2 orang sebagai waranggana, dan 15 orang sebagai penabuh gamelan
merangkap wiraswara. Rata-rata pertunjukan dalam satu malam adalah 7
sampai 8 jam, mulai dari jam 21.00 sampai jam 05.00 pagi. Bila dilakukan pada
siang hari pertunjukan biasanya dimulai dari jam 09.00 sampai dengan jam 16.00. Tempat pertunjukan
wayang ditata dengan menggunakan konsep pentas yang bersifat abstrak. Arena pentas terdiri
dari layar berupa kain putih dan sebagai sarana tehnis di bawahnya ditaruh
batang pisang untuk menancapkan wayang.
Dalam pertunjukkannya, wayang
kulit digerakkan oleh seorang dalang yang bercerita juga berdialog sekaligus. Ketika
berdialog, dalang mampu mengubah suaranya sesuai dengan tokoh wayang yang
sedang dimainkannya dari balik layar. Karenanya, dalam pertunjukkan wayang
kulit penonton tidak dapat melihat wayang yang dimainkan dalang secara
langsung, melainkan hanya melihat bayangan wayangnya saja. Musik yang
mengiringi pertunjukkan wayang kulit berasal dari gamelan lengkap dan tembang yang
dinyanyikan oleh pesinden.
2)
Wayang
wong (wayang orang)
Dalam bahasa Indonesia Wayang
Wong artinya wayang orang, yaitu pertunjukan yang dimainkan oleh para
pemeran yang memerankan tokoh wayang.
Pertunjukan wayang orang terdapat di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Sedangkan di Jawa Barat ada juga pertunjukan wayang orang (terutama di Cirebon)
tetapi tidak begitu populer.
Berbeda dengan pertunjukkan
wayang kulit, wayang wong tidak memunculkan dalang sebagaimana dalam wayang
kulit. Dalang wayang orang hanya bertindak sebagai pengatur perpindahan adegan,
yang ditandai dengan suara suluk atau monolog. Dalam dialog yang diucapkan oleh pemain, sedikit
sekali campur tangan dalang. Dalang hanya memberikan petunjuk-petunjuk garis
besar saja. Selanjutnya pemain sendiri yang harus berimprovisasi dengan
dialognya sesuai dengan alur ceritera yang telah diberikan oleh sang dalang. Selain harus pandai berakting, para pemain ini harus
pandai menari dan menyanyi di atas panggung yang sudah menggunakan set dekorasi
lengkap dengan gambar realis seperti hutan, alun-alun, gerang keraton, jalan
desa, dan lain-lain.
Lama pertunjukan wayang orang biasanya sekitar 7
atau 8 jam untuk satu lakon, biasanya dilakukan hanya pada malam hari. Untuk menyelenggarakan pertunjukan wayang
orang secara lengkap, biasanya dibutuhkan pendukung sebanyak 35 orang, yang
terdiri dari 20 orang sebagai pemain (terdiri dari pria
dan wanita), 12 orang sebagai penabuh gamelan merangkap
wiraswara, 2 orang sebagai waranggana, dan 1 orang sebagai dalang. Sedangkan untuk musik pengiring yang digunakan
adalah seperangkat Gamelan
seperti juga dalam wayang kulit yaitu pelog dan slendro.
3)
Wayang Golek
Wayang golek merupakan drama klasik yang berasal dari
Jawa Barat. Seperti wayang kulit, wayang golek juga tidak menggunakan manusia
sebagai medianya, tetapi menggunakan boneka kayu berwujud tokoh-tokoh wayang. Berbeda
dengan wayang kulit, wayang golek ini lebih realis, karena bentuknya menyerupai bentuk badan manusia serta dilengkapi dengan kostum yang terbuat dari kain.
Dalam pertunjukkannya, dalang merupakan orang yang
bercerita sekaligus berdialog mewakili para tokoh wayang. Untuk berdialog,
dalang mampu mengubah suaranya sedemikian rupa sehingga menarik. Jenis drama
ini pun menggunakan musik gamelan lengkap sebagai pengiringnya, dan dibantu
beberapa sinden sebagai penyanyi yang isi syairnya memperjelas cerita.
2. Drama atau Teater Transisi
Drama atau Teater Transisi merupakan jenis drama
tradisional yang sudah mendapat pengaruh
konsep teater Barat yang dipentaskan oleh orang-orang Belanda di
Indonesia sekitar tahun 1805 yang kemudian berkembang hingga di Betawi
(Batavia) dan mengawali berdirinya gedung Schouwburg pada tahun 1821
(Sekarang Gedung Kesenian Jakarta). Selain konsep teater dari Barat, drama bangsawan juga dipengaruhi bentuk teater
yang datang dari Timur Tengah, dan sangat kuat ditunjang oleh kebudayaan
Melayu.
Pengaruh ini nampak dari beberapa perubahan
yang terdapat pada penulisan cerita dan cara penyajian pertunjukkan. Cerita dalam
drama atau teater bangsawan sudah mulai ditulis, meskipun masih dalam wujud
cerita ringkas atau outline story (garis besar cerita per adegan). Cara
penyajian cerita pun sudah menggunakan set panggung lengkap dengan tata dekor,
lampu, rias dan lain-lain layaknya drama modern.
Beberapa kelompok drama yang
lahir pada masa transisi ini diantaranya adalah sebagai berikut.
a.
Perkumpulan kelompok
drama Komedie
Stamboel di Surabaya pada tahun 1891 yang didirikan oleh Agust Mahieu.
b.
Sandiwara Dardanella (The Malay Opera Dardanella) yang
didirikan Willy Klimanoff alias A. Pedro pada tanggal 21 Juni 1926.
c.
Opera Stambul, Komidi Bangsawan, Indra Bangsawan,
Sandiwara Orion, Opera Abdoel Moeloek, Sandiwara Tjahaja Timoer, juga kelompok
sandiwara Maya yang dipimpin oleh Usmar Ismail.
3.
Drama atau Teater Modern
Drama atau teater modern
merupakan periode baru dalam drama
tradisional yang sudah mendapatkan pengaruh dari ‘Teater Barat’. Artinya,
susunan naskah, cara pentas, gaya
penyuguhan, dan pola pemikiran banyak bersumber dari pola pendekatan dan
pemikiran ‘kebudayaan barat’. Jadi jelas, bahwa Drama atau teater modern mulai tumbuh dengan ditandai dengan adanya
penulisan naskah serta diikat oleh
hukum-hukum dramaturgi.
Periode pementasan drama
dengan menggunakan naskah sebenarnya dimulai sejak tahun 1901 ketika F. Wiggers
menulis sastra drama satu babak yang pertama berjudul ‘Lelakon Beij Retno’. Meskipun tidak jelas untuk keperluan apa
naskah tersebut dibuat, namun mulai nampak kecenderungan pengaruh dari ‘Barat’ tersebut yang diikuti pula oleh penulis-penulis naskah
drama lainnya.
Meski demikian, bentuk sastra drama yang
pertamakali menggunakan bahasa Indonesia dan disusun dengan model dialog antar
tokoh dan berbentuk sajak adalah Bebasari (artinya kebebasan yang
sesungguhnya atau inti kebebasan) karya Rustam Efendi (1926). Lakon Bebasari
merupakan sastra drama yang menjadi pelopor semangat kebangsaan. Setelahnya
kemudian muncul beberapa penulis lakon lainnya seperti Sanusi Pane, Muhammad
Yamin, Armiijn Pane, Nur Sutan Iskandar, Imam Supardi, Dr. Satiman
Wirjosandjojo, Mr. Singgih, hingga Ir. Soekarno. Penulis-penulis ini adalah
cendekiawan Indonesia, menulis dengan menggunakan bahasa Indonesia dan berjuang
untuk kemerdekaan Indonesia. Naskah-naskah yang ditulisnya memiliki tema
kebangsaan, persoalan, dan harapan serta misi mewujudkan Indonesia sebagai
negara merdeka.
Pada tahun 1940-an, semua unsur kesenian dan
kebudayaan dikonsentrasikan untuk mendukung pemerintahan totaliter Jepang.
Segala daya kreasi seni secara sistematis diarahkan untuk menyukseskan
pemerintahan totaliter Jepang. Rombongan sandiwara yang mula-mula berkembang
pada zaman ini adalah rombongan sandiwara profesional. Dalam kurun waktu ini
semua bentuk seni hiburan yang berbau Belanda lenyap karena pemerintah
penjajahan Jepang anti budaya Barat. Rombongan sandiwara
keliling komersial, seperti misalnya Bintang Surabaya, Dewi Mada, Mis Ribut,
Mis Tjitjih, Tjahaya Asia, Warna Sari, Mata Hari, Pancawarna, dan lain-lain
kembali berkembang dengan mementaskan cerita dalam bahasa Indonesia, Jawa,
maupun Sunda.
Pertumbuhan
sandiwara profesional tidak luput dari perhatian Sendenbu. Jepang menugaskan
Dr. Huyung (Hei Natsu Eitaroo), ahli seni drama atas nama Sendenbu memprakarsai
berdirinya POSD (Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa) yang beranggotakan semua
rombongan sandiwara profesional. Sendenbu menyiapkan naskah lakon yang harus
dimainkan oleh setiap rombongan sandiwara karangan penulis lakon Indonesia dan
Jepang, Kotot Sukardi menulis lakon, Amat Heiho, Pecah Sebagai Ratna,
Bende Mataram, Benteng Ngawi. Hei Natsu Eitaroo menulis Hantu, lakon
Nora karya Henrik Ibsen diterjemahkan dan judulnya diganti dengan Jinak-jinak
Merpati oleh Armijn Pane. Lakon Ibu Prajurit ditulis oleh Natsusaki
Tani. Oleh karena ada sensor Sendenbu maka lakon harus ditulis lengkap berikut
dialognya.
Para
pemain tidak boleh menambah atau melebih-lebihkan dari apa yang sudah ditulis
dalam naskah. Sensor Sendenbu malah menjadi titik awal dikenalkannya naskah
dalam setiap pementasan sandiwara. Menjelang akhir pendudukan Jepang muncul
rombongan sandiwara yang melahirkan karya ssatra yang berarti,
yaitu Penggemar Maya (1944) pimpinan Usmar Ismail, dan D. Djajakusuma dengan
dukungan Suryo Sumanto, Rosihan Anwar, dan Abu Hanifah dengan para anggota
cendekiawan muda, nasionalis dan para profesional (dokter, apoteker, dan
lain-lain). Kelompok ini berprinsip menegakkan nasionalisme, humanisme dan
agama. Pada saat inilah pengembangan ke arah pencapaian teater nasional
dilakukan. Teater tidak hanya sebagai hiburan tetapi juga untuk ekspresi
kebudayaan berdasarkan kesadaran nasional dengan cita-cita menuju humanisme dan
religiositas dan memandang teater sebagai seni serius dan ilmu pengetahuan. Kelak, Penggemar Maya menjadi pemicu berdirinya
Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) di Jakarta.
ATNI
merupakan akademi teater modern yang pertama di Asia Tenggara yang menggalakkan
dan memapankan realisme dengan mementaskan lakon-lakon terjemahan dari Barat,
seperti karyakarya Moliere, Gogol, dan Chekov. Sedangkan metode pementasan dan
pemeranan yang dikembangkan oleh ATNI adalah Stanislavskian. Alumni Akademi
Teater Nasional yang menjadi aktor dan sutradara antara lain, Teguh Karya,
Wahyu Sihombing, Tatiek Malyati, Pramana Padmadarmaya, Galib Husein, dan Kasim
Achmad. Mereka adalah dramawan-dramawan Indonesia yang juga melahirkan beberapa
naskah drama modern yang berkualitas.
Jika diurutkan berdasarkan
angka tahun, berikut ini adalah gambaran beberapa naskah drama yang
berhasil ditulis oleh para dramawan
Indonesia.
1.
Tahun 1913 :
naskah drama berjudul ‘Karina, Adinda, Lelakon komedie Hindia Timoer’ karya
lauw Giok Lan yang disadur dari naskah karya Victor Ido.
2.
Tahun 1917 : naskah ‘Tjerita Satoe Ibu Tiri Pinter Adjar
Anak’ karya Kiong Ho Hie.
3.
Tahun 1919 : naskah ‘Allah Jang Palsoe’ karya Kwee Tek Hoay
saduran dari naskah karya E. Philip Oppeinheim berjudul ‘The False Gods’.
4.
Tahun 1923 : naskah ‘Lajar Malaise’ karya Ang Jan Goan.
5.
Tahun
1924 : naskah
‘Siapa jang Berdosa’ karya Oen Tjing Tiauw.
6.
Tahun
1926 : naskah
‘Bebasari’ karya Roestam Effendi.
7.
Tahun 1926 : naskah ‘Korbannja Kong Ek’ karya Kwee Tek
Hoay.
8.
Tahun
1927 : naskah Rainbow, Krukut Bikutbi, dan Dr. Setan karya Ir. Soekarno.
9.
Tahun 1928 : naskah ‘Airlangga’ karya Sanoesi Pane.
10.
Tahun 1930 : naskah ‘Kebiasaan Boesoek’ karya Tjing Tiauw.
11.
Tahun 1931 : naskah ‘Bapak Kerbo Anak Sapi’ karya Ong Pik
Lok.
12. Tahun
1932 : naskah
‘Kertajaya’ karya Sanusi Pane.
13. Tahun 1932 : naskah ‘Eenzame Garoedavlucht’ karya Sanusi Pane.
14.
Tahun 1933 : naskah ‘Djoeal Air Kringet’ karya Ong Pik Lok.
15.
Tahun 1934 : naskah ‘Ken Arok dan Ken Dedes’ karya Muhamad
Yamin.
16.
Tahun 1936 : naskah ‘Biji Lada’ karya Kwee Tek Hoay.
17.
Tahun 1937 : naskah ‘Setahun di Bedahulu’ karya Armijn
Pane.
18. Tahun
1937 : naskah
‘Loekisan Masa’ karya Armijn
Pane.
19.
Tahun 1938 : naskah ‘Satoe Katja’ karya Oen Tjing Tiauw.
20. Tahun
1939 : naskah
‘Nyai Lenggang Kencana’ karya Armijn Pane.
21. Tahun
1940 : naskah ‘Manoesia Baroe’ karya Sanoesi Pane.
22.
Tahun 1943 : naskah ‘Citra’ karya Usmar Ismail.
23.
Tahun 1944 : naskah ‘Liburan Seniman’ karya Usmar Ismail.
24.
Tahun 1945 : naskah ‘Dokter Bisma’ karya Idrus.
25.
Tahun 1946 : naskah ‘Suling’ karya Utuy Tatang Sontani.
26.
Tahun 1947 : naskah ‘Bunga Rumah Makan’ karya Utuy Tatang
Sontani.
27.
Tahun 1948 : naskah ‘Keluarga Surono’ karya Idrus.
28.
Tahun 1950 : naskah ‘Prabu dan Putri’ karya Rustandi Karta
Kusumah.
29.
Tahun 1951 :
naskah ‘Heddie dan Tuti’ karya Rustandi Karta Kusumah.
30.
Tahun 1952 : naskah ‘Bentrokan dalam Asmara’ karya Achdiat
Kartamihardja.
31.
Tahun 1953 : naskah ‘Tjendera Kirana’ karya Sri Murtono.
32.
Tahun 1954 : naskah ‘Jalan Mutiara’ karya Sitor Situmorang.
33.
Tahun 1958 : naskah ‘Bunga Merah Merah Semwa. Bunga Putih
Putih Semwa’ karya Rustandi Karta Kusumah’.
34.
Tahun 1960 :
naskah ‘Sejuta Matahari’
karya Motingge Busye.
35. Tahun
1961 : naskah ‘Pertahanan terakhir’
karya Endang Achmadi.
Pada periode tahun 1960 hingga akhir tahun 90-an, naskah drama semakin
menunjukan banyak perkembangan. Penulisnya tidak hanya terfokus pada sastrawan yang
sudah ternama, para mahasiswa atau para remaja yang tergabung dalam
sanggar-sanggar teater juga sudah mulai menunjukkan bakatnya dalam bidang
menulis naskah. Sebagian dari
mahasiswa penggiat drama di kampus tersebut diantaranya ada Darmanto Jt. di Undip,
Sanento Juliman di ITB, Bakdi Sumanto di Sanata Dharma, Godi Suwarna di IKIP
Bandung, Hikmat Gumelar di UNPAD, dan beberapa nama lainnya hingga era tahun
2000-an seperti Yani Mae di STSI Bandung, Aan Sugianto Mas dari Uniiversitas
Kuningan, Sosiawan Leak di UNS dan yang lainnya.
Dari beberapa sanggar drama,
muncul beberapa nama seperti WS. Rendra (1935-2009) dari Bengkel Teater, Teguh
Karya (1937-2001) dari Teater Populer, Nano Riantiarno (1949- ...) dari Teater
Koma, Arifin C. Noor (.......) dari Teater Kecil, Putu Wijaya (1944-......)
dari Teater Mandiri, Suyatna Anirun (........) dari Studiklub Teater Bandung,
Rahman Sabur (1957-...........) dari Teater Payung Hitam, Mohamad Sunjaya (1937-.....)
dari Actors Unlimited, Heru Kesawa Murti (1957-.....) dari Teater Gandrik,
Dindon W. S. (1960-.....) dari Teater Kubur, hingga generasi Shinta Febriany
(1979-......) dari Teater Kala di Makasar, dan yang lainnya.
Kondisi drama modern di
Indonesia terus berkembang seiring dengan pesatnya kemajuan zaman. Meski gedung
dan sarana pementasan lainnya tidak murah lagi, namun geliat aktivitas bermain
drama tetap bertahan. Beberapa kelompok drama bahkan kembali kepada konsep pementasan
drama tradisional yang menyelenggarakan aksi pentasnya di area terbuka seperti
lapangan bola, alun-alun, aula sekolah, balai desa, dan sebagainya. Di beberapa
sekolah dan kampus bahkan sudah memiliki kelompok drama yang rutin
menyelenggarakan pementasan. Tercatat beberapa kelompok drama dari kampus yang
masih rutin menyelenggarakn pementasan seperti Teater Awal dari STAIN (Jakarta,
Bandung, Cirebon), Teater SK dari IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, Teater
................. dari Universitas Negeri Jakarta, Teater Lakon dari UPI
Bandung, Teater Pecut di Universitas Kuningan, juga beberapa kelompok lainnya.
Untuk memotivasi dan
memunculkan potensi-potensi berbakat dalam dunia drama, beberapa komunitas dan
lembaga yang peduli pada kemajuan drama menyelenggarakan workshop serta
festival drama. Diantara festival drama yang sudah digelar adalah Festival Seni Pertunjukan Rakyat yang diselenggarakan Departemen Penerangan
Republik Indonesia tahun 1983
di Yogyakarta, Festival Teater Jakarta (sebelumnya disebut
Festival Teater Remaja) di
Jakarta, Festival Drama Basa Sunda oleh Teater Sunda Kiwari di Bandung, Festival Drama Lima Kota di Surabaya, dan festival-festival drama lainnya. Sedangkan
workshop drama marak dan cukup rutin diselenggarakan di beberapa sanggar teater
seperti pelatihan ‘Gladiactor’ oleh
Teater Populer, ‘Workshop Teater untuk
Siswa SMA’ oleh Teater Koma, dan yang lainnya.
0 komentar:
Posting Komentar