Sayang sekali
bukti-bukti tertulis yang dinyatakan kapan sebenarnya Syeikh Hamzah Fansuri
lahir dan wafat, di mana dilahirkan dan di mana pula jasadnya dibaringkan dan
di tanam, tak dijumpai sampai sekarang.[1]
Tetapi dari syair dan dari namanya sendiri menunjukkan bahwa sudah sekian lama beliau
berdominasi di Fansur, dekat Singkel, sehingga mereka dan turunan mereka pantas
digelari Fansur.
Pada ahli
cenderung memahami dari syair-syairnya bahwa Hamzah Fansuri lahir di tanah
Syahmawi, tapi tidak ada kesepakatan mereka dalam mengidentifikasikan tanah
Syahmawi itu, ada petunjuk tanah Aceh sendiri ada yang menunjuk tanah Siam, dan
bahkan ada sarjana yang menunjuk negeri Persia sebagai tanah yang di Aceh oleh
nama Syamawi.[2]
Dalam buku Hamzah Fansuri Penyair Aceh,
Prof. A. Hasymi menyebut bahwa Syeikh Hamzah Fansuri hidup dalam masa
pemerintahan Sultan Alaidin Riayat Syah IV Saiyidil Mukammil (997-1011
H-1589-1604 M) sampai ke permulaan pemerintahan Sultan Iskandar Muda Darma
Wangsa Mahkota Alam (1016-1045 H-1607-1636 M).
Dari berbagai sumber disebutkan bahwa
Syeikh Hamzah al-Fansuri telah belajar berbagai ilmu yang memakan waktu lama. Selain belajar di Aceh sendiri
beliau telah mengembara ke pelbagai tempat, di antaranya ke Banten (Jawa Barat),
bahkan sumber yang lain menyebut bahwa beliau pernah mengembara keseluruh tanah
Jawa, Semenanjung Tanah Melayu, India, Parsi dan Arab. Dikatakan bahwa Syeikh
Hamzah al-Fansuri sangat mahir dalam ilmu-ilmu fikih, tasawuf, falsafah, mantiq, ilmu
kalam, sejarah, sastra dan lain-lain. Dalam bidang bahasa pula beliau menguasai
dengan kemas seluruh sektor ilmu Arabiyah, fasih dalam ucapan bahasa itu,
berkebolehan berbahasa Urdu, Parsi, Melayu dan Jawa.
C.
Karya-karya Hamzah Fansuri
Syair-syair
Syeikh Hamzah Fansuri terkumpul dalam buku-buku yang terkenal, dalam
kesusasteraan Melayu / Indonesia tercatat buku-buku syairnya antara lain :
a. Syair burung
pingai
b. Syair dagang
c. Syair
pungguk
d. Syair sidang
faqir
e. Syair ikan
tongkol
f. Syair perahu
Karangan-karangan
Syeikh Hamzah Fansuri yang berbentuk kitab ilmiah antara lain :
a. Asfarul ‘arifin fi bayaani ‘ilmis suluki wa tauhid
b. Syarbul ‘asyiqiin
c. Al-Muhtadi
d. Ruba’i Hamzah al-Fansuri
Karya-karya
Syeikh Hamzah Fansuri baik yang berbentuk syair maupun berbentuk prosa banyak
menarik perhatian para sarjana baik sarjana barat atau orientalis barat maupun
sarjana tanah air. Yang banyak membicarakan tentang Syeikh Hamzah Fansuri
antara lain Prof. Syed Muhammad Naquib dengan beberapa judul bukunya mengenai
tokoh sufi ini, tidak ketinggalan seumpama Prof. A. Teeuw juga r.O Winstedt
yang diakuinya bahwa Syeikh Hamzah Fansuri mempunyai semangat yang luar biasa
yang tidak terdapat pada orang lainnya. Dua orang yaitu J. Doorenbos dan Syed
Muhammad Naquib al-Attas mempelajari biografi Syeikh Hamzah Fansuri secara
mendalam untuk mendapatkan Ph.D masing-masing di Universitas Leiden dan
Universitas London. Karya Prof. Muhammad Naquib tentang Syeikh Hamzah Fansuri
antaranya :
- The
Misticim of Hamzah Fansuri (disertat 1966), Universitas of Malaya Press
1970
- Raniri and
The Wujudiyah, IMBRAS, 1966
- New Light
on Life of Hamzah Fansuri, IMBRAS, 1967
- The Origin
of Malay Shair, Dewan Bahasa dan Pustaka, 1968[3]
Menurut beberapa pengamat
sastra sufi, sajak-sajak Syaikh Hamzah
al-Fansuri tergolong dalam Syi'r al- Kasyaf wa
al-Ilham,
yaitu puisi yang berdasarkan ilham dan ketersingkapan (kasyafi yang umumnya
membicarakan masalah cinta Ilahi) [4].
Pemikiran dan Pengaruh Hamzah Fansuri
Banyak ualama
Indonesia di kenal lantaran karya-karya mereka yang tersebar di berbagai
wilayah dunia Islam. Di antara ulama Indonesia yang dikenal sebagai pengarang adalah Nuruddin
Ar-Raniri, Hamzah Fansuri, Abdurrauf Singkel, dan Syaikh Muhammad Arsyad al
Banjari.[5]
Di bidang
keilmuan Syeikh Hamzah Fansuri telah
mempelajari penulisan risalah tasawuf atau keagamaan yang demikian sistematis
dan bersifat ilmiah. Sebelum karya-karya Syeikh muncul, masyarakat muslim
Melayu mempelajari masalah-masalah agama, tasawuf dan sastra melalui
kitab-kitab yang ditulis di dalam bahasa Arab atau Persia. Di bidang sastra
Syeikh mempelopori pula penulisan puisi-puisi filosofis dan mistis bercorak
Islam, kedalaman kandungan puisi-puisinya sukar ditandingi oleh penyair lan
yang sezaman ataupun sesudahnya. Penulis-penulis Melayu abad ke-17 dan 18 kebanyakan
berada di bawah bayang-bayang kegeniusan dan kepiawaian Syeikh Hamzah Fansuri.
Di bidang kesusastraan pula Syeikh Hamzah Fansuri adalah orang pertama yang
memperkenalkan syair, puisi empat baris dengan skema sajak akhir a-a-a-a syair
sebagai suatu bentuk pengucapan sastra seperti halnya pantung sangat populer
dan digemari oleh para penulis sampai pada abad ke-20.
Di bidang
kebahasaan pula sumbangan Syeikh Hamzah Fansuri sukar untuk dapat di ingkari.
Pertama, sebagai penulis pertama kitab keilmuan di dalam bahasa Melayu, Syeikh
Hamzah Fansuri telah berhasil mengangkat martabat bahasa Melayu dari sekedar lingua
franca menjadi suatu bahasa intelektual dan ekspresi keilmuan yang canggih
dan modern. Dengan demikian keduudkan bahasa Melayu di bidang penyebaran ilmu
dan persuratan menjadi sangat penting dan mengungguli bahasa-bahasa Nusantara
yang lain, termasuk bahasa Jawa yang sebelumnya telah jauh lebih berkembang.
Kedua, jika kita membaca syair-syair dan risalah-risalah tasawuf Syeikh Hamzah
Fansuri, akan tampak betapa besarnya jasa Syeikh Hamzah Fansuri dalam proses
Islamisasi bahasa Melayu dan Islamisasi bahasa adalah sama dengan Islamisasi
pemikiran dan kebudayaan.
Di bidang
filsafat, ilmu tafsir dan telaah sastra Syeikh Hamzah Fansuri telah pula mempelopori
penerapan metode takwil atau hermeneutika keruhanian, kepiawaian Syeikh
Hamzah Fansuri di bidang hermeneutika terlihat di dalam Asrar
al-‘arifin (rahasia ahli makrifat), sebuah risalah tasawuf klasik paling
berbobot yang pernah dihasilkan oleh ahli tasawuf nusantara, disitu Syeikh
Hamzah Fansuri memberi tafsir dan takwil atas puisinya sendiri, dengan analisis
yang tajam dan dengan landasan pengetahuan yang luas mencakup metafisika,
teologi, logika, epistemologi dan estetika. Asrar bukan saja merupakan salah
satu risalah tasawuf paling orisinal yang pernah ditulis di dalam bahasa
Melayu, tetapi juga merupakan kitab keagamaan klasik yang paling jernih dan
cemerlang bahasanya dengan memberi takwil terhadap syair-syairnya sendiri
Syeikh Hamzah Fansuri berhasil menyusun sebuah risalah tasawuf yang dalam
isinya dan luas cakrawala permasalahannya.[6]
Simaklah syair Hamzah Fansuri yang ditulis beliau berjudul
“Sidang Ahli Suluk” pada bagian I di bait 1:
“Sidang Faqir empunya kata,
Tuhanmu
Zahir terlalu nyata.
Jika
sungguh engkau bermata,
lihatlah
dirimu rata-rata”.
Bagi Syeikh Hamzah Fansuri, kehadiran Tuhan
itu sangatlah Maha Nyata (Zahir). Karena itu sang sufi, atau disebut sebagai
Faqir, adalah orang yang telah meninggalkan keterikatannya pada segala sesuatu
di luar dirinya, dan memulai perjalanan ruhaninya dengan “melihat” atau
mengenali dirinya sendiri setiap saat.
Selanjutnya Syeikh Hamzah Fansuri
menegaskan bahwa untuk mengenal Jati Diri, seorang sufi harus memulai dengan
suatu metode tafakur tertentu, suatu latihan tertentu. Suatu metode atau
latihan yang sebenarnya juga banyak digunakan oleh berbagai aliran mistik
keagamaan atau spiritual di berbagai belahan dunia, yang lebih dikenal dengan
istilah meditasi. Selama ini pengertian meditasi atau tafakur sering disalahtafsirkan
hanya sebagai latihan pernapasan, atau berzikir, atau merapal mantra.
Tetapi Syeikh Hamzah Fansuri menjelaskan
dengan tepat esensi dari tafakur atau meditasi atau latihan sufi di dalam syair
berjudul “Sidang Ahli Suluk” pada bagian I di bait 9:
“Hapuskan akal dan rasamu,
lenyapkan
badan dan nyawamu.
Pejamkan
hendak kedua matamu,
di
sana kaulihat permai rupamu”.
Syeikh Hamzah Fansuri dengan sangat jelas
menyatakan bahwa setiap tafakur atau metode latihan sufi apa pun harus dimulai
dengan “hapuskan akal dan rasamu”, yang berarti suatu cara untuk menuju kepada
kondisi “No-Mind”, kondisi berada dalam Kesadaran Murni atau Kesadaran Ilahi.
Untuk mencapai kondisi “No-Mind” tersebut, maka seorang sufi harus “lenyapkan
badan dan nyawamu”, yang berarti melepaskan keterikatan terhadap tubuh dan
berbagai pemikiran atau nafsu (nyawa). Setelah itu, barulah sang sufi
memejamkan kedua mata inderawinya, untuk mengaktifkan “mata-ruhaninya”, guna
melihat rupa dari Jati Dirinya yang senantiasa berada dalam kondisi permai,
kondisi “bahagia yang abadi”. Inilah sesungguhnya inti dari tafakur atau
meditasi menurut Syeikh Hamzah Fansuri.[7]
Pada
hakikatnya, menurut Hamzah, pemahaman akan Tuhan itu mudah, hanya memerlukan
kepasrahan dan keberanian karena “Kekasih zahir terlalu terang/Pada kedua alam
nyata terbentang.” Jadi, ciri khas pemahaman tasawuf Hamzah adalah hakikat
Allah itu dekat dan menyatu, hanya saja manusia tidak menyadarinya.[8]
Dalam jaringan Ulama Timur Tengah dan
Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII Azumardi Azra menyebutkan bahwa faham
Hamzah Fansuri berpaham Wujudiyah, berbeda dengan Ar-Raniri yang memementingkan
Syariah dan dianggap sebagai perintis gerakan pembarahu Islam atau neo-sufisme.[9]
Fahamnya tersebut mendapat pertentangan
dari syekh Nuruddin ar-Raniri. Dan untuk membasi faham wujudiyah ini,
kitab-kitab berfaham wujudiyah, seperti kitab-kitab hamzah fansuri bahkan dibakar
di depan masjid baiturrahman Aceh.[10]
Pada abad ke XVII,
kerajaan Aceh mencapai zaman kejayaannya. Kerajaan Aceh pada masa ini
banyak dikunjungi oleh ulama dan orang-orang Muslim yang ingin menuntut
ilmu Islam, baik dari mancanegara maupun dalam negeri. Hal ini
disebabkan karena Aceh pada waktu itu merupakan tempat studi agama Islam
yang terkenal di kepulauan Nusantara dan sekitarnya. Selama di Aceh,
orang-orang yang menuntut ilmu agama Islam ini bekerja sebagai pengajar
ilmu agama dan ada juga yang menjadi pengarang kitab dari berbagai
cabang ilmu pengetahuan. Salah satu cendikiawan yang turut menuntut ilmu
di Aceh ialah Hamzah Fansuri yang terkenal dengan ajaran tasawuf
wujudiyah-nya. Kehidupan Hamzah Fansuri tidak terlepas dari sejarah
perjalanan penyebaran agama Islam di Nusantara. Hamzah Fansuri merupakan
orang pertama yang mempelopori pengembangan sastra Melayu di Nusantara
dengan aliran tasawuf wujudiyah yang diaplikasikan dalam kehidupan dan
dipaparkan dengan lirik sastra Melayu.
Hamzah Fansuri adalah seorang cendikiawan, ulama tasawuf, sastrawan, dan
budayawan terkemuka. Ia diperkirakan telah menjadi penulis pada masa
Kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Alauddin Riayat Syah Sayid
al-Mukammal (1588-1604) dan dapat ditarik benang merah jika Hamzah
Fanshuri hidup antara pertengahan abad ke-16 hingga awal abad ke-17. Ia
berasal dari Fansur yakni sebuah kota pantai di barat Sumatera bagian
utara, arah ke selatan daerah Aceh (sekarang sebagian masuk dalam
wilayah Sumatera Utara). Ciri khas negeri Fansur itu adalah penghasil
kapur barus yang sangat terkenal di dunia pada saat itu. Ia sering
melakukan perjalanan untuk menuntut ilmu, antara lain ke Kudus, Banten,
Johor, Siam, India, Persia, Irak, Mekah, Madinah, dan lain-lain. Setelah
pengembaraannya selesai, ia kembali ke Aceh dan mengajarkan ilmunya.
Pada mulanya ia berdiam di Barus lalu ke Banda Aceh, kemudian ia
mendirikan dayah di Oboh, Singkil.
Hamzah Fansuri termasuk orang yang sangat gemar dan mementingkan dalam
mencari ilmu, terutama ilmu agama, khususnya tasawuf. Untuk itu, ia
tidak segan-segan berpergian jauh dalam waktu lama untuk tujuan itu.
Namun, perjalanannya tidak hanya untuk mencari ilmu pengetahuan tetapi
juga untuk kepentingan amalan agama, terutama berkaitan dengan ajaran
tasawuf yang dianutnya. Hamzah Fansuri dapat dikatakan tokoh tasawuf
dari Aceh yang membawa faham wahdatul wujud. Ajaran Hamzah Fansuri ini
banyak bersumber dari pemikiran Ibnu Arabi. Ajaran wahdatul wujud adalah
ajaran yang meyakini bahwa Tuhan dapat bersatu dengan makhluknya atau
serupa dengan pengertian pantheisme. Jasanya yang paling menonjol dalam
bidang pendidikan adalah usahanya memperkaya bahasa Melayu menjadi
bahasa ilmu pengetahuan yang tidak kalah dengan bahasa-bahasa ilmu
pengetahuan dunia lain. Oleh karena itu, Hamzah Fansuri dianggap sebagai
perintis penggunaan bahasa Melayu menjadi bahasa ilmu pengetahuan yang
hingga kini semakin berkembang pesat.
Pada mulanya Hamzah Fansuri mempelajari ilmu tasawuf setelah
menjadi anggota tarekat Qadiriyah yang didirikan oleh Abdul Qadir
Jailani. Pengaruh Hamzah Fansuri cepat tersebar di seluruh Nusantara
terutama melalui pengajaran-pengajaran yang beliau berikan selama
perantauan ke berbagai tempat dan melalui karya-karyanya yang tersebar
di seluruh Asia Tenggara. Murid-muridnya pun tersebar pula di mana-mana.
Hamzah Fansuri tidak saja dikenal sebagai ulama tasawuf dan sastrawan
terkemuka tetapi juga seorang perintis dan pelopor pembaharuan yang
sangat besar bagi perkembangan kebudayaan Islam di Nusantara. Khususnya
di bidang kerohanian, keilmuan, filsafat, bahasa, dan sastra. Di bidang
keilmuan, Hamzah Fansuri telah mempelopori penulisan risalah tasawuf
atau keagamaan yang demikian sistematis dan bersifat ilmiah. Sebelum
karya-karya Hamzah Fansuri muncul, masyarakat Melayu mempelajari
masalah-masalah agama, tasawuf, dan sastra melalui kitab-kitab yang
ditulis dalam bahasa Arab dan Persia.
Hamzah Fansuri juga telah berhasil meletakkan dasar-dasar puitika dan
estetika Melayu. Dasar-dasar puitika ini terekam dalam syair-syair
Hamzah Fansuri yang diketahui tidak kurang 32 untaian. Syair ini
dianggap sebagai syair Melayu pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu,
yaitu sajak empat baris dengan pola bunyi akhir a-a-a-a pada setiap
barisnya. Ciri-ciri sajaknya yang menonjol akhirnya dijadikan semacam
konvensi sastra atau puisi Melayu klasik. Pertama, pemakaian penanda
kepengarangan. Kedua, banyak petikan ayat Al Qur’an, Hadits, Pepatah,
dan kata-kata Arab. Itu menunjukkan derasnya proses Islamisasi untuk
pertamakalinya melanda bahasa, kebudayaan dan sastra Melayu abad ke-16.
Ketiga, dalam setiap bait terakhir syairnya selalu mencantumkan
takhallus (nama diri), yaitu nama julukan yang biasanya didasarkan pada
nama tempat kelahiran penyair atau tempat ia dibesarkan. Keempat,
terdapat pula tamsil dan citraan-citraan simbolik atau konseptual yang
biasa digunakan oleh penyair-penyair Arab dan Persia dalam melukiskan
pengalaman dan gagasannya. Kelima, karena paduan yang seimbang antara
diksi atau pilihan kata, rima dan unsur-unsur puitik lainnya. Sumbangan
pemikiran selanjutnya mengenai kebahasaan dapat dibaca dalam syair-syair
dan risalah-risalah tasawuf Hamzah Fansuri. Hamzah Fansuri mempelopori
pula penulisan puisi-puisi filosofis dan mistis bercorak Islam. Sangat
besar jasanya dalam proses Islamisasi bahasa Melayu. Islamisasi bahasa
sama saja dengan Islamisasi pemikiran dan kebudayaan. Syair-syairnya
bukan saja memperkaya perbendaharaan kata bahasa Melayu tetapi juga
mengintegrasikan konsep-konsep Islam dalam berbagai bidang kehidupan
dalam sistem bahasa dan budaya Melayu. Kedalaman kandungan
puisi-puisinya sukar ditandingi oleh penyair lain yang sezaman bahkan
sesudahnya.
Bidang kebahasaan, Hamzah Fansuri telah memberikan sumbangan
pemikirannya. Pertama, sebagai penulis pertama kitab keilmuan dalam
bahasa Melayu. Ia telah berhasil mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa
intelektual dan ekspresi keilmuan yang hebat. Dengan demikian,
kedudukan bahasa Melayu di bidang penyebaran ilmu dan persuratan menjadi
sangat penting dan mengungguli bahasa-bahasa Nusantara lainnya pada
waktu itu. Oleh karena itu, pada abad ke-17 bahasa Melayu menjadi bahasa
pengantar pada berbagai lembaga pendidikan Islam. Bahkan digunakan pula
oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai bahasa administrasi dan bahasa
pengantar di sekolah-sekolah pemerintah. Hal ini memberikan peluang
besar terhadap bahasa Melayu untuk berkembang maju dan dipilih serta
ditetapkan menjadi bahasa persatuan dan kebangsaan Indonesia pada dewasa
ini.
Dalam bidang filsafat, ilmu tafsir dan telaah sastra, Hamzah Fansuri
telah mempelapori penerapan metode takwil atau hermeneutika keruhanian.
Sebagai contoh, dalam tulisannya Rahasia Ahli Makrifat, Hamzah Fansuri
menyampaikan analisisnya dengan tajam dan dengan landasan pengetahuan
yang luas mencakup metafisika, teologi, logika, epistemologi, dan
estetika.
Murid Hamzah Fansuri yang terkenal ialah Syekh Syamsuddin bin Abdullah
as Samathrani. Ia sangat berpengaruh dalam kehidupan keagamaan di
Kesultanan Aceh Darussalam, terutama pada masa pemerintahan Sayid al
Mukammal dan Sultan Iskandar Muda. Pendirian Syekh Syamsuddin itu
merupakan cerminan dari pendirian Hamzah Fansuri. Hal itu dapat dilihat
dari seluruh karya Syamsuddin, bahkan karyanya tersebut dapat dianggap
memperjelas pendirian Hamzah Fansuri. Salah satu pandangan dan uraian
Syamsuddin atas karya Hamzah Fansuri berjudul Ruba-i Hamzah Fansuri.
Namun, setelah Sultan Iskandar Muda meninggal, ajaran Hamzah Fansuri dan
Syamsuddin mendapat serangan hebat dari ulama besar lainnya yaitu
Nuruddin Ar-Raniri dan Abdurrauf Al Singkili. Bentuk dan sifat
pertentangan ini berpangkal pada adanya dua aliran dalam ilmu tasawuf
yang memang sulit untuk dikompromikan. Aliran pertama seperti sudah
disebutkan yaitu wujudiyah, teori ini merupakan monisma (serba esa).
Menurut ahli tasawuf dari aliran itu, dunia hanyalah emanasi atau
pancaran dari inti sari yang tidak tercipta. Aliran yang kedua
wihdatussyuhud yakni kesatuan persaksian.
Pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda sebenarnya telah ada
benih-benih pertentangan kedua aliran tasawuf tersebut tetapi dengan
kebijaksanaan Sultan Iskandar Muda pertentangan itu tidak sampai
menimbulkan kekacauan dikehidupan keagamaan. Sesudah Sultan Iskandar
Muda mati maka Syekh Nuruddin Ar Raniri berhasil mempengaruhi Sultan
Iskandar Sani untuk meberantas ajaran-ajaran Hamzah Fansuri dan
Syamsuddin As Samathrani yang dianggap olehnya sebagai ajaran sesat.
Buku-buku karya Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as Samathrani dibakar dan
dimusnahkan. Serta rakyat Aceh dilarang menganut faham kedua tokoh
tersebut.
Karya-karya Hamzah Fansuri dapat disebutkan di kesusasteraan
Melayu/Indonesia antaranya adalah:
Syair Burung Pinggai, bercerita tentang burung pinggai yang
melambangkan jiwa manusia dan Tuhan. Dalam syair itu, Hamzah Fansuri
mengangkat satu masalah yang banyak dibahas dalam tasawuf, yaitu
hubungan satu dan banyak. Yang esa adalah Tuhan dengan alamnya yang
beraneka ragam.
Syair Burung Pungguk, bercerita tentang hubungan manusia denga
Tuhan.
Syair Perahu, melambangkan tubuh manusia sebagai perahu layar di
laut. Pelayaran itu penuh marabahaya. Apabila manusia kuat memegang
keyakinan akan Tuhan maka dapat dicapai suatu tahap yang menunjukkan
tidak adanya perbedaan antara Tuhan dengan Hambanya.
Syair Dagang, bercerita tentang kesengsaraan seorang anak dagang
yang hidup di rantau.
Asrar al Arifin fi Bayan Ilmi as Suluk wa at Tauhid (keterangan
mengenai perjalanan ilmu suluk dan keesaan Tuhan), berisi pandangan
Hamzah Fansuri tentang makrifat Tuhan, sifat Tuhan, dan nama Tuhan.
Dalam karya ini ia mengatakan bahwa pada dasarnya syariat, hakikat, dan
makrifat adalah sama.
Syarah al Asyiqin (minuman orang-orang yang cinta kepada Tuhan).
Berisi antara lain tentang perbuatan syariat, perbuatan tarikat,
perbuatan hakikat, perbuatan makrifat, kenyataan zat Tuhan, dan
sifat-sifat Tuhan. Di sini Hamzah Fansuri memandang Tuhan sebagai yang
maha sempurna dan yang maha mutlak. Dalam kesempurnaan itu, Tuhan
mencakup segala-galanya. Apabila tidak mencakup segala-galanya, Tuhan
dapat disebut maha sempurna dan maha mutlak, karena mencakup
segala-galanya maka manusia juga termasuk dalam Tuhan.
Syair sidang faqir
Syair ikan tongkol
Al-Muhtadi
Ruba’i Hamzah al-Fansuri
Today Deal $50 Off : https://goo.gl/efW8Ef
Today Deal $50 Off : https://goo.gl/efW8Ef
0 komentar:
Posting Komentar