Oleh : Goenawan Mohamad
Maka sebuah slogan pun menjadi sajak perkasa
Karena kenyataan yang hidup dicerminkannya.
Feng Chih, dari Shih-nein Shih Ch'ao,
Peking, 1959.
Slogan telah bersaing engan puisi. Persaingan ini barangkali
merupakan salah satu ciri kesusastraan abad keduapuluh, sebuah "abad
politik".
Mengapa justru dmikian? Politik adalah penyusunan kekusaan dan
penggunaan kekuasaan, dan karenanya fungsi slogan menjadi amat
pentingnya dalam kehidupan ini. Ia penting untuk mengerahkan masssa yang
secara fisik merupakan faktor utama di dalam melaksanakan tujuan-tujuan
politik. Dengan demikian slogan adalah penghubung dan pembentuk
solidaritas antara massa rakyat dengan pemimpin-pemimpin politik.,
solidaritas yang lazimnya diperlukan sekali pabila sebuah rencana sedang
atau akan dijalankan oleh pimpinan politik, baik rencana itu untuk atau
tidak untuk rakyat di bawhnya. Terbentuknya solidaritas oleh pemimpin
mana pun merupakan syarat mutlak bagi tujuan-tujuannya. Sebab ada
kabarnya ada sebuah kata pepatah: "Berdiam dirinya rakyat adalah sebuah
pelajaran buat sang raja". Sesungguhnya penggunaan sebuah slogan, atau
arah yang hendak dicapainya, ialah suatu solidaritas yang murni,
meskipun dapat juga yang timbul hanyalah suatu solidaritas yang palsu.
Kita bisa saja mengejek dengan kepongahan, setiap macam slogan.
Tapi kita toh tidak bisa menampik kenyataan bahwa beberapa kebutuhan
bersama memerlukan suatu kohesi antara manusia, antara sesama anggota
suatu masyarakat, dan bahwa kohesi itu kadang-kadang hanya bersifat
fisik, sekedar suatu penghimpunan, untuk tindakan-tindakan praktis.
Slogan merupakan teknik, salah satu cara yang ringkas dan singkat untuk
mencapai itu. Memang, merupakan suatu hal yang lebih mulia bila yang
terjadi bukan cuma itu., melainkan suatu pertemuan antara pribadi yang
satu dengan pribadi yang lain, suatu solidaritas murni. Akan tetapi
slogan tidak boleh mengharap terlampau banyak. Ia berbeda dengan puisi.
Persyaratan puisi yang paling esensiil ialah kenyataan. Tak ada
puisi tanpa realitas. Tak ada kesusastraan, dan bentuk seni apa pun,
apabila ia tidak bertolak dari sana, karena kita tidak bisa berseru,
seperti Tuhan, "Kunfayakun". Namun sudah tentu realitas dalam seni
bukanlah replika kasar dari sejumlah bahan kasar. Seni pun merupakan
suatu proses dan hasil dialektik, di mana harus ada seseorang yang
merdeka, suatu kepribadian. Dan jika dengan realitas puisi membentuk
suatu hubungan yang kreatif, dengan orang lain ia menyediakan suatu
dialog.
Slogan juga seharusnya menyediakan kemungkinan semacam itu. Tentu
saja kita bisa saja mengenal slogan-slogan yang lahir dari sikap
semena-mena, slogan-slogan yang memaksakan diri untuk dipercaya,
slogan-slogan bohong. Tapi yang seperti itu pada akhirnya akan berakhir
pada suatu nonsens, pada suatu kematian fungsi. Dia pada gilirannya
tidak akan bisa membentuk suatu solidaritas. Maka yang kita perlukan
ialah slogan yang berdasarkan kenyataan atau realitas yang hidup, agar
ia bisa - dalam kata-kata Feng Chih, -- "menjadi sajak perkasa". Dalam
keadaan itulah slogan makin mendekati kemampuan untuk menciptakan sebuah
kebersamaan seperti yang dibuahkan oleh puisi. Pada akhirnya kita tidak
cukup hanya mengharapkan suatu kelompok mahasiswa yang dihimpun sebagai
semata-mata kekuatan fisik dengan sifat sementara. Kita juga
membutuhkan puisi, yang menghendaki pertemuan dari hati ke hati.
Seribu slogan dan sebuah puisi: manakah yang lebih perlu?
Kedua-duanya. Tapi apabila kita sadari bahwa yang jadi tujuan bukanlah
sekedar kebersamaan yang hanya dipergunakan untuk kekuasaan, maka puisi
akan lebih berarti. Karena puisi memungkinkan percakapan yang bebas, ia
memustahilakan kekompakan yang munafik. Seorang tiran atau seorang
Hitler setiap hari bisa saja membuat seribu slogan, tapi ia tidak akan
sanggup membuat sajak yang sejati.
0 komentar:
Posting Komentar