“ Patuh, cepat
antarkan Buku ini ke Rumah Tantemu” suruh ibu sambil memasukan jajan-jajan tadi
kedalam Tas.
“ Iya bu” sahutku
kepada ibu
Aku bergegas mengantarkan Buku itu ke Rumah Tanteku.Saat pulang dari mengantarkan Buku ke rumah tanteku, aku bertemu dengan sahabat karibku, Alex. Alex adalah teman dekatku sejak dibangku SD. Dia adalah pemain basket yang terkenal hebat dengan teknik basket yang bisa dikatakan luar biasa di sekolahku. Dia juga menjadi kapten tim basket sekolah SMPku.
Aku bergegas mengantarkan Buku itu ke Rumah Tanteku.Saat pulang dari mengantarkan Buku ke rumah tanteku, aku bertemu dengan sahabat karibku, Alex. Alex adalah teman dekatku sejak dibangku SD. Dia adalah pemain basket yang terkenal hebat dengan teknik basket yang bisa dikatakan luar biasa di sekolahku. Dia juga menjadi kapten tim basket sekolah SMPku.
“ Hay Patuh, Mau
kemana lo?” sapa alex.
“ Gue mau back to home
dulu, baru selesai nganter Aqua ke Bu Joko nih.” sahutku kepada
Alex
“ Patuh, gue mau ke
lapangan basket sekarang, lo mau ikut ga?” tanya Alex lagi.
“Ok. Yuk cap-cus
sekarang Lex.” Jawabku kepada alex sambil tersenyum.
Aku dan Alex segera
menuju ke lapangan basket yang ada didaerah kompleks. Biasanya aku kesini jika
aku ada waktu senggang ketika aku tidak sibuk.
“ Tuh, mana sepatu
lo?” Tanya alex sambil Memainkan bola basket Spalding kesayangannya.
“ Gue ga punya sepatu,
Lex. Jadi kalau aku main basket disini selalu nyeker” sahutku
sambil menggaruk kepalaku.
“ Lo bisa minta
sepatu gue,men. Kita kan sudah temenan lama. Gue ga mau melihat teman gue
kesusahan seperti ini. Sekarang kita ke rumah gue aja. Lo bisa milih sepatu
gue yang loe mau dah. Gratis!!” kata Alex kepada ku sambil tersenyum. Maklum
Alex adalah anak seorang pengacara yang sangat terkenal di kota gue.Jadi dia bisa
membeli sepatu-sepatu basket dengan brand terkenal dengan gampangnya.
“ Tapi emang ga apa-apa apa jika
aku mengambil sepatu lo”
“ Jangan pikirin itu.
Lo kan sudah best friend gue “
“ Terima kasih Alex”
jawab gue dengan semangat dan segera memeluk alex dengan eratnya. Gue ga bisa
menyembunyikan perasaan bahagia ini. Sungguh Alex adalah Best friends gue. Gue
sudah menganggap alex sebagai saudara gue sendiri. Persahabatan itu bagaikan
kepompong ( itu sih kata orang-orang ).
Segera gue dan Alex
bergegas ke rumah Alex yang ada di kompleks sebelah. Dalam perjalanan menuju TKP
alias rumahnya Alex, aku menceritakan keinginan gue untuk menjadi seorang pemain
basket yang memiliki skill sama seperti Alex. Aku ingin berlatih basket
dengannya dan bisa masuk tim basket disekolah gue. Maklum, untuk bisa masuk
menjadi anggota tim basket di sekolahku harus melalui seleksi yang ketat dan
menghadapi teman-teman yang sudah memiliki kemampuan basket diatas rata-rata.
Memang tim basket SMA gue adalah tim basket terhebat di kota gue bahkan sudah
menjadi juara 2 basket tingkat nasional.
“Ok. Gue siap melatih
lo asalkan lo serius untuk menekuni basket. Gue mau lo bisa masuk tim basket
di sekolah. Siap ga lo?”
“ Siap pak bos”
jawab gue dengan semangat. Saat itu, aku berkata dalam hatiku, inilah awal
perjalanan sang juara. Awal untuk meraih semua mimpiku
Setelah berbincang panjang lebar dengan Alex, tak terasa kita pun sampai di depan rumah Alex. Dari depan rumah Alex, aku bisa melihat kemegahan rumah Alex. Aku dan Alex segera menuju ke sebuah ruangan yang ternyata berisi koleksi sepatu dan peralatan basket dengan brand terkenal mulai dari luar negeri sampai dalam negeri. Wow, tak bisa kubayangkan berapa uang yang harus dikeluarkan untuk membeli peralatan basket sebanyak ini.
Setelah berbincang panjang lebar dengan Alex, tak terasa kita pun sampai di depan rumah Alex. Dari depan rumah Alex, aku bisa melihat kemegahan rumah Alex. Aku dan Alex segera menuju ke sebuah ruangan yang ternyata berisi koleksi sepatu dan peralatan basket dengan brand terkenal mulai dari luar negeri sampai dalam negeri. Wow, tak bisa kubayangkan berapa uang yang harus dikeluarkan untuk membeli peralatan basket sebanyak ini.
“ Patuh, Lo bisa
pilih sepatu basket yang ada dilemari itu”
“Wow.
Amazing” gumam gue
dalam hati. Gue melihat lemari itu penuh dengan sepatu basket yang
terlihat
begitu elegan. Gue sulit untuk menentukan pilihan, mana yang harus
kupilih. Gue ga mau ambil sepatu yang harganya terlalu mahal. Gue ga
mamau ngerepotin Alex. Setelah lama aku mencari sepatu yang cocok buat
gue, gue nemuin sepatu League yang gue perkirakan udah lama ga digunakan
oleh Alex
karena warnanya yang sudah pudar dan di kulit sepatunya sudah terlihat
robekan
kecil. Tapi gue melihat sepasang sepatu yang udah ga asing lagi buat
gue. Gue
ingat, itu adalah sepatu dari pemain idola gue dari CLS Knight, Dimas
Muhairi. Dalam hati gue, gue ingin sekali memiliki sepatu itu. Tapi, itu
adalah
sepatu kesayangan dari Alex. Gue tetap pada pilihan pertama gue.
“ Alex, gue ambil yang
ini ya”
“ Lo ga mau pilih
yang lain. Kan masih banyak yang lebih bagus daripada sepatu ini. Sepatu gue
kurang menarik ya buat lo”
“Ooh, ga. Gue cuma ga mau ngerepotin lo” jawab gue dengan rasa gugup.
“Ooh, kalau itu sudah
pilihan lo, gue ga bisa ngelarang”
“Terima kasih Alex”
seru gue dengan perasaan yang tak bisa dikatakan dengan kata-kata.
Terdengar suara adzan
maghrib berkumandang. Ini bertanda gue untuk balik pulang. Gue pun
berpamitan kepada Alex dan mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas
sepatu yang diberikan buat gue. Gue merasa udah seperti pemain basket asli
dengan sepatu baruku ini. Walaupun ini hanya pemberian dari sahabat gue tapi rasa
syukur selalu kuucapkan kepada Tuhan atas apa yang telah diberikannya hari ini.
Esoknya, sepulang
sekolah gue bergegas pulang ke rumah untuk membantu ibu untuk mengantarkan kue
yang telah dibuatnya untuk diantarkan ke warung terdekat. Aku sangat bersemangat hari ini karena aku akan
berlatih basket bersama Alex. Selesai membantu ibu, gue langsung tancap
gas menuju lapangan basket.
Di lapangan basket udah melihat Alex sedang melakukan slam dunk. Gue tercengang
ketika melihat Alex melakukan itu. Sangat mengagumkan pasti ketika gue bisa
melakukan hal itu juga. Gue pun bertekad agar gue bisa melakukan gerakan
tersebut.
“Hay Alex. Ayo kita
mulai latihannya sekarang.”
“Patuh, kita pemanasan
dulu biar ga cedera gitu.”
Gue dan Alex segera
melakukan pemanasan dengan berlari kecil mengitari lapangan basket ini. Pemanasan
ini kujalani dengan serius agar tidak terjadi cedera. Selesai pemanasan, aku
diajarkan teknik dasar bermain basket, mulai dari dribble bola sampai cara
menembak bola yang baik dan benar. Gue berlatih dengan Alex selama 2 minggu
lamanya. Dalam 2 minggu tersebut, gue udah mengalami perkembangan yang sangat
pesat. Aku sudah bisa menguasai teknik dasar basket sampai teknik yang begitu
rumit yang harus dipelajari berbulan-bulan lamanya. Alex pun terkejut dengan
perkembanganku yang begitu pesat.
“ Patuh, lo hebat
banget. Lo cepat banget bisa main basketnya. Gue bisa kalah nih” kata alex
sambil tersenyum.
“Ini semua berkat lo,Lex. Kalo ga ada lo, gue ga mungkin bisa bermain basket sebagus ini. Tapi,
masih hebatan lo daripada gue.”Jawab gue yang memuji kehebatannya dalam bermain
basket.
“ Ga juga. Lo juga
hebat kok. Patuh, gue ada berita buat lo. Seminggu lagi ada seleksi pemain
untuk DBL nanti. Lo harus iku ya.”
“Tapi, gue bukan
anggota tim basket di sekolah. Gimana gue bisa ikut?”
“Udah, jangan
dipikirin. Nyantai aja. Nanti gue yang daftarin lo.”
“Yang bener? Terima
kasih ya.”
Perasaan senang tak
dapat tertahan lagi. Tapi, masih ada yang mengganjal dihati gue. Apa aku
diijinkan untuk mengikuti seleksi tersebut. Gue kan bukan anggota tim basket
di sekolah. Tapi, ga ada kata menyerah dalam hidup.Hidup itu butuh
perjuangan untuk mencapai keberhasilan.
Semalaman gue ga bisa
tidur. Gue terus mikirin tentang seleksi pemain basket untuk DBL nanti. Gue
berharap bisa diijinin dan bisa menjadi bagian dari tim DBL, ini adalah ajang
tahunan yang sangat bergengsi bagi setiap sekolah yang mengikuti turnamen ini. Besar
harapan gue untuk bisa mengikuti turnamen ini. Tapi, gue harus menunggu kabar
dari Alex terlebih dahulu. Intinya adalah tetap bersabar.
Esoknya,
aku degdegan
menanti kabar dari Alex. Gue cepat-cepat mencari Alex. Tapi, udah
mencarinya sampai keliling sekolah. Sayangnya, itu belum membuahkan
hasil. Gue
pun mulai bingung. Dimana lo Lex? Gue pun bertanya kepada teman-teman
dekatnya, tapi ga ada yang tahu dia dimana. Gue pun mengecek ke kelasnya
dan gue bertemu dengan Rudi yang tak lain adalah teman satu tim Alex.
“ Rudi, lo
liat Alex?”
“Loh. Lo ga tau
kabar tentang Alex ,ya. Kemarin dia masuk rumah sakit.”
“ Kenapa?”
“Dia kena serangan
tomcat. Gimana sih lo. Lo kan teman dekatnya Alex seharusnya lo tau dong
tentang keadaan teman lo sendiri.”
“Soalnya gue belum
dapat ketemu sama Alex.”
“Ooh….Jadi sekarang
lo gitu sama teman sendiri. Gue denger dari pelatih lo mau ikut seleksi ya?”
“Gue belum tau. Soalnya
belum ada kabar dari Alex. gue cari Alex sebenarnya mau menanyakan soal ini.”
“ Ooh… gitu ya. Jadi
lo lebih mementingkan seleksi ini daripada Alex. Lo udah ga peduli lagi sama
Alex sekarang. Lo jahat banget. Habis manis sepah dibuang” umpat Rudi kepada
dengan tatapan muka seperti baru tersulut api yang begitu panas.
“Bukan begitu
sobat. Gue sebenarnya belum tau apakah gue diijinin untuk megikuti seleksi ini
atau ga. Hanya Alex yang tau tentang hal ini. Maka dari itu gue mau cari
Alex. Janganlah kita memperumit masalah ini. Gue dan Alex adalah best
friend sejak kecil. Gue ga akan sanggup melihat teman gue dalam keadaan
sakit seperti itu.”
“Sorry. Gue
marah-marah ga jelas sama lo. Sekali lagi, gue minta maaf ya.”
“Gue juga Rudi. Maaf
kalo gue membuat lo naik pitam sekarang”
“Ya, ga apa-apa lah. Jangan
dipikirkan tentang hal tadi. Tadikan lo mau nanya sama Alex kan, apa lo diijinkan
untuk ikut seleksikan?”
“Ya, apa lo tau
tentang hal itu?”
“Kemarin Alex bilang
sama gue, kalau lo bisa ikut seleksi tim untuk DBL nanti.”
“Itu benar? lo ga
bohong kan?”
“Ya, itu benar.”
Gue senang
banget mendengar hal tersebut. Aku bersyukur kepada Tuhan karena telah mengabulkan
doa gue. Aku harus bertemu dengan Alex untuk mengucapkan terima kasih atas
bantuannya. Gue juga berterima kasih kepada Rudi. Sepulang sekolah aku menuju
rumah sakit tempat Alex dirawat. Sesampainya dirumah sakit aku langsung mencari
kamar tempat Alex dirawat. Akhirnya aku menemukan kamar tempat Alex dirawat. Di
dalam kamar, gue melihat Alex terbaring lemas sambil ditemani ibu dan ayahnya. Aku
langsung masuk kedalam dan menyapa orang tua Alex.
“Selamat siang,
om.”Sapa gue kepada Ayah Alex.
“Siang. Ooh Patuh…Ayo
masuk. Mau jenguk Alex ya?”
“Iya om.”
Ayah Alex pun
mempersilahkanku untuk menemui Alex. Beliau bersama istrinya meninggalkan Patuh dan Alex
berdua dikamar. Beliau menyuruh gue untuk menjaga Alex sebentar.
“Om tinggal dulu ya.
Om mau ketemu sama dokter dulu. Patuh tolong temani Alex dulu ya.”
“Siap, om!!!”
Gue pun langsung
mengajak ngobrol Alex. Gue menanyakan kenapa dia bisa terkena serangan Tomcat. Tak
lupa gue mengucapkan terima kasih kepada Alex karena dia bisa merayu pelatih tim
basket sekolah gue yang terkenal galak dan judes itu sehingga aku bisa mengikuti
seleksi untuk DBL seminggu lagi. Dia pun tertawa dan berkata kepada gue bahwa
inilah arti persahabatan. Kita harus saling tolong-menolong dan melengkapi satu
sama lain. Setelah berbincang lama dengan Alex dan orang tua Alex pun sudah
kembali, gue segera berpamitan kepada Alex dan orang tuanya.
Dalam perjalanan
pulang, gue berpikir siapa yang akan melatihku sekarang. Tapi, tak ada kata
menyerah untuk menjadi seorang juara.Gue harus berlatih sendiri. Gue ga mau
membuat Alex susah. Walaupun tanpa dia, gue bisa berlatih semampu gue. Selama 5
hari gue berlatih sendiri. Dengan semangat perjuangan 45, gue berlatih tanpa kenal
lelah. Walaupun pengetahuan gue tentang basket tak sehebat Alex, Gue hanya
melatih kembali apa yang telah diajarkan oleh Alex kepadaku.
Seleksi pemain pun
akan dilaksanakan nanti sore.
Gue
harus
mempersiapkan tenaga dan mental untuk mengikuti seleksi pemain nanti.
Ketika gue mau berangkat, tiba-tiba gue melihat ibu gue jatuh pingsan.
Aku segera
membawa ibu gue ke puskesmas terdekat. Gue menunggu dengan cemas hasil
pemeriksaan dari dokter. Gue juga memikirkan apakah gue bisa mengikuti
seleksi
bila keadaan ibu gue yang masih terbaring lemas dikasur. Gue ga mungkin
ninggalin ibu gue sendirian, tapi bila gue ngelewatin kesempatan untuk
bisa
menjadi tim inti DBL sekolah gue, itu merupakan suatu kerugian buat gue.
Gue sangat
bingung sekarang. Mana yang harus gue pilih, apakah gue harus diam
disini atau
megikuti seleksi yang gue tau belum tentu aku bisa lolos. Tapi gue
membuat
keputusan gue harus diam disini dan menunggu ibu gue sampai keadaannya
kembali
normal. Dengan terpaksa gue harus melepas kesempatan emas gue yang tak
mungkin
datang untuk kedua kalinya. Perjuangan gue berlatih keras tanpa kenal
lelah akan
terbuang sia-sia. Tapi ini demi ibu gue. Gue ga mau jadi anak yang
durhaka.
“Patuh anakku” panggil
ibu gue yang membuat aku terkejut.
“Ooh ibu. Ibu sudah
bangun ya. Ibu sudah sehat?”
“Ibu sudah baikan. Kamu
belum berangkat kesekolah. Kamu bilang sekarang ada seleksi pemain basket.”
“Tapi gue ga bisa ninggalin ibu dalam kondisi seperti ini. Aku akan menunggu ibu disini sampai
ibu sudah sehat kembali.”
“Tidak nak. Kamu harus
menggapai mimpi yang telah ada didepan matamu. Ibu tidak ingin melit kamu sedih
jika kamu gagal meraih kesempatan emas menjadi pemain basket yang hebat. Cepat,
kesekolah sekarang. Kejar mimpimu yang sudah ada didepan matamu. Selangkah lagi
kamu akan menjadi sang juara.”
“Tapi ibu.”
“Cepatlah nak. Biar
ibu pulang kerumah sendiri. Ayolah Tuh.”
“Baiklah bu. Terima
kasih.Aku tak akan mengecewakan kepercayaan yang telah diberikanibu.”
Gue langsung menuju
sekolah dengan tergesa-gesa. Gue harus bergegas agar tidak terlambat.
Untunglah gue belum terlambat. Seleksi baru dimulai 10 menit kemudian.
Dalam seleksi ini gue begitu bersemangat. Gue mengeluarkan seluruh
kehebatan gue agar bisa menjadi
salah satu bagian dari tim inti sekolah gue. Semangat yang membara
bagaikan
bertempur di medan perang. Seleksi pun selesai. Gue tinggal menunggu
hasil
seleksi tadi. Jantung gue berdebar-debar menunggu hasil seleksi tadi.
Gue
berharap sekali agar bisa lolos seleksi ini. Saat yang di tunggu-tunggu
pun
tiba. Pelatih membacakan 12 pemain yang akan dibawa ke turnamen DBL 1
minggu
lagi. Dari nomor pertama sampai sekarang nomor 1 yang dibacakan, gue
belum
mendengarkan namaku disebutkan oleh pelatih. Gue hanya mendengar nama
Alex dan
Rudi di dalamnya dan itu pun sudah pasti karena mereka adalah tumpuan
utama
didalam tim ini. Sekarang sudah sampai di nomor terakhir alias nomor 2.
Gue
berharap namaku ada di urutan ini.
“Patuh, kamu lolos
menjadi 2 pemain yang akan dibawa ke DBL nanti.” Kata pelatih.
Mendengar hal
tersebut, gue pun bersujud dan bersyukur kepada Tuhan karena aku bisa lolos
menjadi 2 pemain yang akan dibawa ke DBL nanti. Terima kasih Tuhan, karena
engkau telah mengabulkan doaku. Akupun berjanji untuk tampil semaksimal mungkin
dan berusaha untuk menjadi starting five didalam tim nanti.
Sebulan telah berlalu,
setelah tim kami berhasil menjadi juara DBL untuk ketiga kalinya secara
berturut-turut. Sekarang gue sudah di Amerika bersama tim DBL Indonesia untuk
mengikuti kejuaraan basket tingkat dunia. Tapi sayangnya Alex tak bisa
bersama gue sekarang. Dia menolak tawaran untuk menjadi salah satu pemain tim DBL
Indonesia ke kejuaraan ini. Dia ingin agar gue aja yang bisa ikut mewakili
Indonesia di ajang ini, karena dia ingin gue bisa menggapai mimpi gue untuk
menjadi pemain basket terkenal di dunia. Alex lebih memilih fokus untuk
menggapai cita-citanya menjadi seorang business man yang terkenal. Itulah
alasannya melepas kesempatan emas ini. Mungkin itu sudah pilihan yang terbaik
baginya. Gue sangat senang bisa memiliki sahabat seperti Alex. Alex, jasamu
sangat berharga bagiku karena telah membantuku untuk
meraih impianku menjadi pemain basket yang hebat. Meraih impian menjadi sang
juara karena inilah perjalanan sang juar
0 komentar:
Posting Komentar