Translate

cerpen perjuangan sang juara

Written By iqbal_editing on Rabu, 02 November 2016 | 14.46

Menjadi seorang pemain basket profesional adalah mimpiku sejak remaja. Aku sangat senang menyaksikan pertandingan basket NBA di TV tetanggaku. Maklum, aku berasal dari keluarga yang ekonominya masih kurang dan tinggal dirumah yang sederhana.Aku tidak memiliki sepatu atau apapun yang bisa kupakai untuk bermain basket. Tapi inilah tantangan untuk ku dan memulai perjalanan menjadi sang juara.
“ Patuh, cepat antarkan Buku ini ke Rumah Tantemu” suruh ibu sambil memasukan jajan-jajan tadi kedalam Tas.
“ Iya bu” sahutku kepada ibu
          Aku bergegas mengantarkan Buku itu ke Rumah Tanteku.Saat pulang dari mengantarkan Buku ke rumah tanteku, aku bertemu dengan sahabat karibku, Alex. Alex adalah teman dekatku sejak dibangku SD. Dia adalah pemain basket yang terkenal hebat dengan teknik basket yang bisa dikatakan luar biasa di sekolahku. Dia juga menjadi kapten tim basket sekolah SMPku.
“ Hay Patuh, Mau kemana lo?” sapa alex.
“ Gue mau back to home dulu, baru selesai nganter Aqua ke Bu Joko nih.” sahutku kepada Alex
“ Patuh, gue mau ke lapangan basket sekarang, lo mau ikut ga?” tanya Alex lagi.
“Ok. Yuk cap-cus sekarang Lex.” Jawabku kepada alex sambil tersenyum.
Aku dan Alex segera menuju ke lapangan basket yang ada didaerah kompleks. Biasanya aku kesini jika aku ada waktu senggang ketika aku tidak sibuk.
“ Tuh, mana sepatu lo?” Tanya alex sambil Memainkan bola basket Spalding kesayangannya.
“ Gue ga punya sepatu, Lex. Jadi kalau aku main basket disini selalu nyeker” sahutku sambil menggaruk kepalaku.
“ Lo bisa minta sepatu gue,men. Kita kan sudah temenan lama. Gue ga mau melihat teman gue kesusahan seperti ini. Sekarang kita ke rumah gue aja. Lo bisa milih sepatu gue yang loe mau dah. Gratis!!” kata Alex kepada ku sambil tersenyum. Maklum Alex adalah anak seorang pengacara yang sangat terkenal di kota gue.Jadi dia bisa membeli sepatu-sepatu basket dengan brand terkenal dengan gampangnya.
“ Tapi emang ga apa-apa apa jika aku mengambil sepatu lo”
“ Jangan pikirin itu. Lo kan sudah best friend gue “
“ Terima kasih Alex” jawab gue dengan semangat dan segera memeluk alex dengan eratnya. Gue ga bisa menyembunyikan perasaan bahagia ini. Sungguh Alex adalah Best friends gue. Gue sudah menganggap alex sebagai saudara gue sendiri. Persahabatan itu bagaikan kepompong ( itu sih kata orang-orang ).
Segera gue dan Alex bergegas ke rumah Alex yang ada di kompleks sebelah. Dalam perjalanan menuju TKP alias rumahnya Alex, aku menceritakan keinginan gue untuk menjadi seorang pemain basket yang memiliki skill sama seperti Alex. Aku ingin berlatih basket dengannya dan bisa masuk tim basket disekolah gue. Maklum, untuk bisa masuk menjadi anggota tim basket di sekolahku harus melalui seleksi yang ketat dan menghadapi teman-teman yang sudah memiliki kemampuan basket diatas rata-rata. Memang tim basket SMA gue adalah tim basket terhebat di kota gue bahkan sudah menjadi juara 2 basket tingkat nasional.
“Ok. Gue siap melatih lo asalkan lo serius untuk menekuni basket. Gue mau lo bisa masuk tim basket di sekolah. Siap ga lo?”
“ Siap pak bos” jawab gue dengan semangat. Saat itu, aku berkata dalam hatiku, inilah awal perjalanan sang juara. Awal untuk meraih semua mimpiku
          Setelah berbincang panjang lebar dengan Alex, tak terasa kita pun sampai di depan rumah Alex. Dari depan rumah Alex, aku bisa melihat kemegahan rumah Alex. Aku dan Alex segera menuju ke sebuah ruangan yang ternyata berisi koleksi sepatu dan peralatan basket dengan brand terkenal mulai dari luar negeri sampai dalam negeri. Wow, tak bisa kubayangkan berapa uang yang harus dikeluarkan untuk membeli peralatan basket sebanyak ini.
“ Patuh, Lo bisa pilih sepatu basket yang ada dilemari itu”
“Wow. Amazing” gumam gue dalam hati. Gue melihat lemari itu penuh dengan sepatu basket yang terlihat begitu elegan. Gue sulit untuk menentukan pilihan, mana yang harus kupilih. Gue ga mau ambil sepatu yang harganya terlalu mahal. Gue ga mamau ngerepotin Alex. Setelah lama aku mencari sepatu yang cocok buat gue, gue nemuin sepatu League yang gue perkirakan udah lama ga digunakan oleh Alex karena warnanya yang sudah pudar dan di kulit sepatunya sudah terlihat robekan kecil. Tapi gue melihat sepasang sepatu yang udah ga asing lagi buat gue. Gue ingat, itu adalah sepatu dari pemain idola gue dari CLS Knight, Dimas Muhairi. Dalam hati gue, gue ingin sekali memiliki sepatu itu. Tapi, itu adalah sepatu kesayangan dari Alex. Gue tetap pada pilihan pertama gue.
“ Alex, gue ambil yang ini ya”
“ Lo ga mau pilih yang lain. Kan masih banyak yang lebih bagus daripada sepatu ini. Sepatu gue kurang menarik ya buat lo”
“Ooh, ga. Gue cuma ga mau ngerepotin lo” jawab gue dengan rasa gugup.
“Ooh, kalau itu sudah pilihan lo, gue ga bisa ngelarang”
“Terima kasih Alex” seru gue dengan perasaan yang tak bisa dikatakan dengan kata-kata.
          Terdengar suara adzan maghrib berkumandang. Ini bertanda gue untuk balik pulang. Gue pun berpamitan kepada Alex dan mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas sepatu yang diberikan buat gue. Gue merasa udah seperti pemain basket asli dengan sepatu baruku ini. Walaupun ini hanya pemberian dari sahabat gue tapi rasa syukur selalu kuucapkan kepada Tuhan atas apa yang telah diberikannya hari ini.
Esoknya, sepulang sekolah gue bergegas pulang ke rumah untuk membantu ibu untuk mengantarkan kue yang telah dibuatnya untuk diantarkan ke warung terdekat.  Aku sangat bersemangat hari ini karena aku akan berlatih basket bersama Alex. Selesai membantu ibu, gue langsung tancap gas menuju lapangan basket.
Di lapangan basket udah melihat Alex sedang melakukan slam dunk. Gue tercengang ketika melihat Alex melakukan itu. Sangat mengagumkan pasti ketika gue bisa melakukan hal itu juga. Gue pun bertekad agar gue bisa melakukan gerakan tersebut.
“Hay Alex. Ayo kita mulai latihannya sekarang.”
“Patuh, kita pemanasan dulu biar ga cedera gitu.”
          Gue dan Alex segera melakukan pemanasan dengan berlari kecil mengitari lapangan basket ini. Pemanasan ini kujalani dengan serius agar tidak terjadi cedera. Selesai pemanasan, aku diajarkan teknik dasar bermain basket, mulai dari dribble bola sampai cara menembak bola yang baik dan benar. Gue berlatih dengan Alex selama 2 minggu lamanya. Dalam 2 minggu tersebut, gue udah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Aku sudah bisa menguasai teknik dasar basket sampai teknik yang begitu rumit yang harus dipelajari berbulan-bulan lamanya. Alex pun terkejut dengan perkembanganku yang begitu pesat.
“ Patuh, lo hebat banget. Lo cepat banget bisa main basketnya. Gue bisa kalah nih” kata alex sambil tersenyum.
“Ini semua berkat lo,Lex. Kalo ga ada lo, gue ga mungkin bisa bermain basket sebagus ini. Tapi, masih hebatan lo daripada gue.”Jawab gue yang memuji kehebatannya dalam bermain basket. 
“ Ga juga. Lo juga hebat kok. Patuh, gue ada berita buat lo. Seminggu lagi ada seleksi pemain untuk DBL nanti. Lo harus iku ya.”
“Tapi, gue bukan anggota tim basket di sekolah. Gimana gue bisa ikut?”
“Udah, jangan dipikirin. Nyantai aja. Nanti gue yang daftarin lo.”
“Yang bener? Terima kasih ya.”
          Perasaan senang tak dapat tertahan lagi. Tapi, masih ada yang mengganjal dihati gue. Apa aku diijinkan untuk mengikuti seleksi tersebut. Gue kan bukan anggota tim basket di sekolah. Tapi, ga ada kata menyerah dalam hidup.Hidup itu butuh perjuangan untuk mencapai keberhasilan.
Semalaman gue ga bisa tidur. Gue terus mikirin tentang seleksi pemain basket untuk DBL nanti. Gue berharap bisa diijinin dan bisa menjadi bagian dari tim DBL, ini adalah ajang tahunan yang sangat bergengsi bagi setiap sekolah yang mengikuti turnamen ini. Besar harapan gue untuk bisa mengikuti turnamen ini. Tapi, gue harus menunggu kabar dari Alex terlebih dahulu. Intinya adalah tetap bersabar.
Esoknya, aku degdegan menanti kabar dari Alex. Gue cepat-cepat mencari Alex. Tapi, udah mencarinya sampai keliling sekolah. Sayangnya, itu belum membuahkan hasil. Gue pun mulai bingung. Dimana lo Lex? Gue pun bertanya kepada teman-teman dekatnya, tapi ga ada yang tahu dia dimana. Gue pun mengecek ke kelasnya dan gue bertemu dengan Rudi yang tak lain adalah teman satu tim Alex.
“ Rudi, lo liat Alex?”
“Loh. Lo ga tau kabar tentang Alex ,ya. Kemarin dia masuk rumah sakit.”
“ Kenapa?”
“Dia kena serangan tomcat. Gimana sih lo. Lo kan teman dekatnya Alex seharusnya lo tau dong tentang keadaan teman lo sendiri.”
“Soalnya gue belum dapat ketemu sama Alex.”
“Ooh….Jadi sekarang lo gitu sama teman sendiri. Gue denger dari pelatih lo mau ikut seleksi ya?”
“Gue belum tau. Soalnya belum ada kabar dari Alex. gue cari Alex sebenarnya mau menanyakan soal ini.”
“ Ooh… gitu ya. Jadi lo lebih mementingkan seleksi ini daripada Alex. Lo udah ga peduli lagi sama Alex sekarang. Lo jahat banget. Habis manis sepah dibuang” umpat Rudi kepada dengan tatapan muka seperti baru tersulut api yang begitu panas.
“Bukan begitu sobat. Gue sebenarnya belum tau apakah gue diijinin untuk megikuti seleksi ini atau ga. Hanya Alex yang tau tentang hal ini. Maka dari itu gue mau cari Alex. Janganlah kita memperumit masalah ini. Gue dan Alex adalah best friend sejak kecil. Gue ga akan sanggup melihat teman gue dalam keadaan sakit seperti itu.”
“Sorry. Gue marah-marah ga jelas sama lo. Sekali lagi, gue minta maaf ya.”
“Gue juga Rudi. Maaf kalo gue membuat lo naik pitam sekarang”
“Ya, ga apa-apa lah. Jangan dipikirkan tentang hal tadi. Tadikan lo mau nanya sama Alex kan, apa lo diijinkan untuk ikut seleksikan?”
“Ya, apa lo tau tentang hal itu?”
“Kemarin Alex bilang sama gue, kalau lo bisa ikut seleksi tim untuk DBL nanti.”
“Itu benar? lo ga bohong kan?”
“Ya, itu benar.”
          Gue senang banget mendengar hal tersebut. Aku bersyukur kepada Tuhan karena telah mengabulkan doa gue. Aku harus bertemu dengan Alex untuk mengucapkan terima kasih atas bantuannya. Gue juga berterima kasih kepada Rudi. Sepulang sekolah aku menuju rumah sakit tempat Alex dirawat. Sesampainya dirumah sakit aku langsung mencari kamar tempat Alex dirawat. Akhirnya aku menemukan kamar tempat Alex dirawat. Di dalam kamar, gue melihat Alex terbaring lemas sambil ditemani ibu dan ayahnya. Aku langsung masuk kedalam dan menyapa orang tua Alex.
“Selamat siang, om.”Sapa gue kepada Ayah Alex.
“Siang. Ooh Patuh…Ayo masuk. Mau jenguk Alex ya?”
“Iya om.”
          Ayah Alex pun mempersilahkanku untuk menemui Alex. Beliau bersama istrinya meninggalkan Patuh dan Alex berdua dikamar. Beliau menyuruh gue untuk menjaga Alex sebentar.
“Om tinggal dulu ya. Om mau ketemu sama dokter dulu. Patuh tolong temani Alex dulu ya.”
“Siap, om!!!”
Gue pun langsung mengajak ngobrol Alex. Gue menanyakan kenapa dia bisa terkena serangan Tomcat. Tak lupa gue mengucapkan terima kasih kepada Alex karena dia bisa merayu pelatih tim basket sekolah gue yang terkenal galak dan judes itu sehingga aku bisa mengikuti seleksi untuk DBL seminggu lagi. Dia pun tertawa dan berkata kepada gue bahwa inilah arti persahabatan. Kita harus saling tolong-menolong dan melengkapi satu sama lain. Setelah berbincang lama dengan Alex dan orang tua Alex pun sudah kembali, gue segera berpamitan kepada Alex dan orang tuanya.
Dalam perjalanan pulang, gue berpikir siapa yang akan melatihku sekarang. Tapi, tak ada kata menyerah untuk menjadi seorang juara.Gue harus berlatih sendiri. Gue ga mau membuat Alex susah. Walaupun tanpa dia, gue bisa berlatih semampu gue. Selama 5 hari gue berlatih sendiri. Dengan semangat perjuangan 45, gue berlatih tanpa kenal lelah. Walaupun pengetahuan gue tentang basket tak sehebat Alex, Gue hanya melatih kembali apa yang telah diajarkan oleh Alex kepadaku.
Seleksi pemain pun akan dilaksanakan nanti sore.
Gue harus mempersiapkan tenaga dan mental untuk mengikuti seleksi pemain nanti. Ketika gue mau berangkat, tiba-tiba gue melihat ibu gue jatuh pingsan. Aku segera membawa ibu gue ke puskesmas terdekat. Gue menunggu dengan cemas hasil pemeriksaan dari dokter. Gue juga memikirkan apakah gue bisa mengikuti seleksi bila keadaan ibu gue yang masih terbaring lemas dikasur. Gue ga mungkin ninggalin ibu gue sendirian, tapi bila gue ngelewatin kesempatan untuk bisa menjadi tim inti DBL sekolah gue, itu merupakan suatu kerugian buat gue. Gue sangat bingung sekarang. Mana yang harus gue pilih, apakah gue harus diam disini atau megikuti seleksi yang gue tau belum tentu aku bisa lolos. Tapi gue membuat keputusan gue harus diam disini dan menunggu ibu gue sampai keadaannya kembali normal. Dengan terpaksa gue harus melepas kesempatan emas gue yang tak mungkin datang untuk kedua kalinya. Perjuangan gue berlatih keras tanpa kenal lelah akan terbuang sia-sia. Tapi ini demi ibu gue. Gue ga mau jadi anak yang durhaka.
“Patuh anakku” panggil ibu gue yang membuat aku terkejut.
“Ooh ibu. Ibu sudah bangun ya. Ibu sudah sehat?”
“Ibu sudah baikan. Kamu belum berangkat kesekolah. Kamu bilang sekarang ada seleksi pemain basket.”
“Tapi gue ga bisa ninggalin ibu dalam kondisi seperti ini. Aku akan menunggu ibu disini sampai ibu sudah sehat kembali.”
“Tidak nak. Kamu harus menggapai mimpi yang telah ada didepan matamu. Ibu tidak ingin melit kamu sedih jika kamu gagal meraih kesempatan emas menjadi pemain basket yang hebat. Cepat, kesekolah sekarang. Kejar mimpimu yang sudah ada didepan matamu. Selangkah lagi kamu akan menjadi sang juara.”
“Tapi ibu.”
“Cepatlah nak. Biar ibu pulang kerumah sendiri. Ayolah Tuh.”
“Baiklah bu. Terima kasih.Aku tak akan mengecewakan kepercayaan yang telah diberikanibu.”
          Gue langsung menuju sekolah dengan tergesa-gesa. Gue harus bergegas agar tidak terlambat. Untunglah gue belum terlambat. Seleksi baru dimulai 10 menit kemudian. Dalam seleksi ini gue begitu bersemangat. Gue mengeluarkan seluruh kehebatan gue agar bisa menjadi salah satu bagian dari tim inti sekolah gue. Semangat yang membara bagaikan bertempur di medan perang. Seleksi pun selesai. Gue tinggal menunggu hasil seleksi tadi. Jantung gue berdebar-debar menunggu hasil seleksi tadi. Gue berharap sekali agar bisa lolos seleksi ini. Saat yang di tunggu-tunggu pun tiba. Pelatih membacakan 12 pemain yang akan dibawa ke turnamen DBL 1 minggu lagi. Dari nomor pertama sampai sekarang nomor 1 yang dibacakan, gue belum mendengarkan namaku disebutkan oleh pelatih. Gue hanya mendengar nama Alex dan Rudi di dalamnya dan itu pun sudah pasti karena mereka adalah tumpuan utama didalam tim ini. Sekarang sudah sampai di nomor terakhir alias nomor 2. Gue berharap namaku ada di urutan ini.
“Patuh, kamu lolos menjadi 2 pemain yang akan dibawa ke DBL nanti.” Kata pelatih.
Mendengar hal tersebut, gue pun bersujud dan bersyukur kepada Tuhan karena aku bisa lolos menjadi 2 pemain yang akan dibawa ke DBL nanti. Terima kasih Tuhan, karena engkau telah mengabulkan doaku. Akupun berjanji untuk tampil semaksimal mungkin dan berusaha untuk menjadi starting five didalam tim nanti.
          Sebulan telah berlalu, setelah tim kami berhasil menjadi juara DBL untuk ketiga kalinya secara berturut-turut. Sekarang gue sudah di Amerika bersama tim DBL Indonesia untuk mengikuti kejuaraan basket tingkat dunia. Tapi sayangnya Alex tak bisa bersama gue sekarang. Dia menolak tawaran untuk menjadi salah satu pemain tim DBL Indonesia ke kejuaraan ini. Dia ingin agar gue aja yang bisa ikut mewakili Indonesia di ajang ini, karena dia ingin gue bisa menggapai mimpi gue untuk menjadi pemain basket terkenal di dunia. Alex lebih memilih fokus untuk menggapai cita-citanya menjadi seorang business man yang terkenal. Itulah alasannya melepas kesempatan emas ini. Mungkin itu sudah pilihan yang terbaik baginya. Gue sangat senang bisa memiliki sahabat seperti Alex. Alex, jasamu sangat berharga bagiku karena telah membantuku untuk meraih impianku menjadi pemain basket yang hebat. Meraih impian menjadi sang juara karena inilah perjalanan sang juar

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik