Cerpen Karangan: Bergman Siahaan
Kategori: Cerpen Kehidupan, Cerpen Keluarga
Lolos moderasi pada: 22 April 2013
Aku adalah seorang wanita yang sangat beruntung, di saat yang sama aku merasa wanita yang sangat malang. Bulan depan genap delapan puluh empat tahun usiaku. Aku beruntung karena bisa menikmati dunia dengan segala ceritanya ini lebih dari delapan puluh tahun. Ragaku masih sehat dan seluruh fungsi tubuh masih bekerja dengan baik. Orang bilang ini adalah berkat yang spesial dari Yang Maha Kuasa karena hampir semua teman-teman sebayaku sudah menepi dari hiruk pikuknya dunia ini.
Aku wanita yang sangat malang karena suamiku telah pergi beberapa tahun yang lalu. Tempatku berbagi suka dan duka selama lebih dari lima puluh tujuh tahun kini telah tiada. Aku merasa kesepian. Lalu semua orang akan bertanya, kemana anak-anakku? Mereka masih ada. Mereka ada di suatu tempat sedang menjalani hidupnya masing-masing. Mereka sibuk. Terlalu sibuk untuk membiarkanku mengganggu kenyamanan mereka. Terlalu sibuk untuk menyisihkan waktu menemaniku menghabiskan sisa usia ini. Dunia modern nan kejam tak memungkinkan mereka untuk selalu bisa merawatku. Itu sebabnya aku berada di sini, bersama orang-orang yang senasib, menanti uluran tangan orang lain untuk merawat, mengurus ataupun sekedar mengajak kami berbincang-bincang.
Namun aku jenuh. Kegiatan yang berulang-ulang kami lakukan itu membuatku jengah. Bangun pagi, dimandikan, makan, ngobrol-ngobrol, tidur, begitu berulang-ulang setiap hari. Beruntung bagiku masih bisa berjalan-jalan keliling panti. Kakek tua yang ada di sebelahku sekarang tidak seberuntung aku. Dokter bilang sendi-sendinya tidak kuat lagi menopang tubuhnya. Mmm… Entah apa istilahnya, aku tak ingat. Oleh karena itu, sepanjang hari ia hanya duduk di kursi roda atau berbaring di tempat tidur. Inilah yang kusebut bersyukur. Aku masih diberi kesehatan yang lumayan jika dibandingkan dengan pria tua yang sudah sulit berkomunikasi, bahkan sulit untuk mengenali orang. Koneksitas pikiran dan tindakannya yang payah membuatnya hidup bagaikan di dunia pararel.
Meskipun demikian, aku bisa katakan kakek tua ini, Pak Wawan, adalah sahabatku. Padanya aku sering curhat tentang manis pahitnya hidup ini. Meski sering tidak nyambung dan melompat-lompat, tapi obrolan kami rasanya klop. Cara berpikirnya, ketika dalam keadaan normal dan sehat, tidak jauh berbeda denganku. Seperti sendok yang menemukan garpu. Seperti shuttlecock yang menemukan raket. Di tengah kesibukan kami yang hampa, aku sering membantunya beranjak ke kamar kecil atau sekedar mengambilkan sesuatu barang. Hari ini misalnya, aku sedang menemaninya duduk di teras samping, melihat-lihat taman yang sudah ribuan kali kami pandangi.
“Pikir-pikir, hidup ini singkat ya…,” ujarnya lambat dan pelan tanpa menoleh kepadaku. Suaranya serak dan pandangan matanya jatuh di rumput-rumput taman walau tanpa fokus yang jelas.
“Yah… begitulah,” ucapku datar.
Dia berkata lagi, “Kenangan-kenangan masa kecilku… masih terlihat jelas. Tak terasa… sudah tujuh puluh… Eeh…, delapan puluh tahun… berlalu.”
Aku mengangguk-angguk perlahan. “Apa… yang anda rasakan…?” tanyaku terputus-putus oleh untaian nafas. “Ada penyesalan dalam… emm… hidupmu… selama ini?” sambungku meski sebenarnya tidak mengharap jawaban yang baik darinya mengingat kepikunannya itu.
Namun kemudian ia berujar, “Oh, tidak… Aku cukup bersyukur dengan hidupku… Punya anak-anak… yang berhasil… dan istri… yang baik… Itu sudah cukup.”
Aku hanya diam tak bereaksi. Kami pun terdiam beberapa saat dalam lamunan masing-masing, sebelum akhirnya dia balik bertanya, “Kalo kamu…? Apa yang kamu rasakan…?”
Aku menarik napas dalam-dalam. Biasanya obrolan kami tak seserius ini, pikirku. Tapi aku jawab saja dengan lambat-lambat, “Aku juga bersyukur… Tapi… kalau boleh memilih… aku tak ingin hidup lebih lama lagi kalau keadaannya begini. Sudah tua… ditinggalkan keluarga… Padahal aku masih sehat. Apa sih yang kubuat yang merugikan mereka?” Suaraku sedikit disusupi nada geram.
“Aah… Sebenarnya kita beruntung berada di sini,” sahutnya. “Kita di rawat dengan baik… Ada yang menemani setiap hari… Ada teman seperti anda. Tidak sepi… Belum tentu begitu di rumah anak kita… Mereka sibuk… Kita bahkan mungkin malah terlantar.” Jawabanya dengan penuh keyakinan.
Aku hanya membisu berupaya mencerna perkataannya. Sampai akhirnya semerbak aroma yang akrab di hidungku memutus kebisuanku.
“Anda pipis…?” tanyaku kepadanya. “Popok anda, penuh itu…”
Dia melihat-lihat celananya yang sudah basah sambil bergumam tak jelas. Bau air seni semakin jelas di indera penciumanku. Tapi aku sudah terbiasa. Orang tua ini memang sudah mengenakan popok dewasa karena otot-ototnya tidak mampu lagi dikendalikan oleh otak untuk menahan pipis.
Emosiku sering berkecamuk. Sedih dan marah bercampur aduk melihat penurunan fisik dan mental manusia di usia senja. Pria tua ini, setauku dulunya adalah seorang atlit. Pria perkasa yang juga seorang pecinta alam. Fisiknya sangat kuat untuk menghadapi berbagai rintangan alam. Mentalnya pun tentu sudah terlatih. Tetapi sosok lelaki yang ada di sebelahku sekarang ini adalah sosok seorang renta yang –jangankan untuk berlari atau memanjat tebing – bahkan untuk menahan pipisnya pun tak mampu! Lalu untuk apa manusia hidup lama tetapi dengan penderitaan seperti ini? Aku memarahi diriku sendiri. Aku tak mau dikalahkan usia. Aku tak rela termakan oleh waktu. Aku akan melawannya! Batinku menjerit.
“Tina…?” tegurnya. Ia menoleh kepadaku dengan mata menyipit, berusaha melihatku dengan lebih jelas.
“Hmm…?” Antara bergumam dan mendehem aku meresponnya. Ia mulai lagi… Pikirku.
“Aku… hanya mau berterima kasih… atas semua yang telah kamu lakukan selama ini…”
“Ya, baiklah… Nanti kusampaikan pada isteri Anda…” ucapku sekenanya.
“Terima kasih…” katanya dengan suara lirih.
Aku kemudian berdiri dari tempat dudukku. “Sebentar… aku panggilkan suster ya… Untuk mengganti popok dan celanamu itu…” Aku pun meninggalkannya. Setelah memberitahu suster, aku masuk ke kamar untuk beristirahat. Tubuh ini cepat sekali merasa letih.
Tak tahu berapa lama dibuai lelap. Sepotong suara lembut terdengar di telingaku, “Ma… Mama…!” Bahuku diguncang pelan. Aku terjaga. Kulihat wajah suster yang sedang membungkuk di samping tempat tidurku. Disebelahnya ada seorang laki-laki yang wajahnya tak asing bagiku.
“Ma…,” suster itu memegang tanganku dengan raut sedih. “Papa sudah pergi ya…”
Dibelakangnya, di pintu kamar, kulihat beberapa orang berjejal seperti penasaran ingin melihat reaksiku.
“Ada apa ini…?” Aku heran. Perlahan aku bangkit dari tempat tidur. Suster itu memapahku keluar dari kamar tidurku menuju ruang tengah, tanganku dipegangnya erat-erat seakan menyalurkan semua perasaan yang ada di hatinya. Ada sebuah tempat tidur di ruang tengah yang diatasnya terbaring seseorang. Aku mendekat, kulihat wajah pria tua itu, Setiawan Nugroho lelaki yang bersamaku siang tadi terbujur dengan tenang. Orang-orang yang ada disitu lalu bergantian mengahampiri dan menyalamiku. Ada beberapa yang memelukku. Dalam kebingungan, kulihat Suster disebelahku, yang sedari tadi memegang tanganku. Wajahnya perlahan-lahan menjadi sangat kukenal. Dia adalah anak perempuanku, sedang meneteskan air mata, sementara suaminya mengusap-usap pundaknya.
Aku melihat ke sekeliling ruangan. Ini adalah rumah putriku. Tempat aku tinggal dan dirawat selama ini. Orang-orang yang berada disitu sebagian tidak kukenal tetapi sebagian lagi adalah anak-anak dan cucu-cucuku.
Sesaat kemudian seorang berpakaian putih seperti dokter mendekat menghampiriku. Ia menjulurkan tangannya, “Turut berdukacita ya, bu Kristina.”
Cerpen Karangan: Bergman Siahaan
Blog: bergmansiahaan.com
0 komentar:
Posting Komentar