PEDANG
ORION
karya : Agresti Retno S
Kala jarak berkuasa
di antara kita. Saat langit malam enggan bercerita. Tetap berteman dengan waktu
yang setia merajut cinta dan asa. Juga hujan yang membantu menyamarkan air
mata. Hanya angin yang mampu mengirimkan rindu ini. Kegelisahan menjelma
menjadi tanya. Apakah makna semua pertanda yang menelusuk ini benar adanya?
Ataukah hanya fatamorgana?
***
Orion melemparkan diri ke
ranjangnya. Berharap bisa menghilangkan sedikit kepenatannya seusai menjalani
sederet rutinitas di sekolah. Teriknya mentari hari ini membuat kepenatan Orion
berlipat ganda. Pendingin udara yang memfasilitasi kamarnya pun belum cukup
untuk melawan panasnya suhu siang ini.
Selesai mengganti seragam
sekolah dengan baju rumah, Orion beranjak ke meja belajarnya. Tiga pucuk surat
sudah menantinya sedari tadi. Inilah ritual wajib Orion sepulang sekolah.
Berbekal dengan keahliannya dalam bergaul, Orion selalu menyegani setiap orang
yang menawarkan pertemanan lewat surat. Entah siapa pengirimnya, Orion merasa
berdosa jika tidak membalas surat itu. Sebenarnya bisa saja, Orion menggunakan
telepon genggamnya untuk berbalas pesan. Namun Orion terlalu mencintai
kegemaran surat-menyuratnya.
Dari
: Brigitha Laura
Untuk
: Orion Kaisar
Hai ... salam kenal! Aku Gita. Umurku 15 tahun. Aku sedang
butuh teman curhat nih ... Balas suratku, ya!
Surat pertama yang dibaca
Orion. Terselip foto pengirim di belakang kertas surat ungu polkadot itu. Orion
tersenyum saat melihat foto pengirimnya.
Sudah
biasa!, gumam Orion
sembari menyiapkan kertas surat untuk menulis surat balasannya. Kesan yang
biasa, juga balasan yang biasa ditulis Orion.
“Hey ... Udah sibuk aja, nih!”
seseorang mengagetkan Orion.
“Eh, Kak Rozzy! Udah pulang?”
tanggap Orion.
“Kalo belum, aku nggak bakal di
sini, lah.”
“Bisa aja, kalo bolos!”
“Eh, Dek, punya temen baru lagi,
ya?” Kak Rozzy mengubah topik.
“Iya, nih. Ada tiga yang baru!
Cewek semua lagi.”
“Liat, donk!” pinta Kak Rozzy.
“Ini, nih, cantik fotonya!
Masih SMP lho, Kak!” Orion memperliharkan foto-foto pengirim surat.
“Cewek-cewek yang model begitu
udah biasa ... cari yang beda, donk!” protes Kak Rozzy setelah melihat salah
satu foto pengirim surat. “Lagian, kenalan lewat surat! Beli hape buat apa
coba?”
“Daripada situ, hobi kok
nganggur!” balas Orion tak mau kalah.
Adu mulut pun terjadi di siang
bolong ini. Menambah panas suasana yang sudah panas. Biasanya, adu mulut ini
tidak akan berhenti sebelum ada yang menang.
***
Tuan Cessar tengah bersantai,
bernaung di bawah langit senja. Di temani segelas teh hangat dan koran yang
baru dibelinya. Dimanjakan oleh semilir angin sore, Tuan Cessar menikmati waktu
bersantai disela kesibukkannya.
Halaman demi halaman pada koran
habis dibacanya. Sampai-sampai, halaman
iklan pun dibacanya. Ada satu yang mencuri pandangan Tuan Cessar. Entah apa
itu, hingga Tuan Cessar bernostalgia sejenak. Sembari membenarkan letak
kacamatanya, Tuan Cessar kembali memastikan penglihatannya.
Apa
itu dia? Ya, kurasa memang dia!,
gumam Tuan Cessar.
***
Nasib baik memang sedang
berpihak pada Orion. Siang ini, seperti biasa, sudah banyak surat yang
mengantri di meja belajarnya. Orion menyapu pandangan pada setiap amplop yang
membungkus surat-surat itu. Entah mengapa, Orion begitu tertarik pada sebuah
amplop bergambar pedang dan dilatar belakangi oleh warna cokelat. Layaknya
amplop yang membungkus, isi suratnya pun beda dari yang lain.
Orion, sang pemburu raksasa. Nama yang tercipta dari sebuah
harapan. Perkenalkan, aku Arsa, seorang pemimpi yang tak pernah menyalahkan
keadaan. Dan seorang perindu yang selalu menantikan senja merah manis untuk
berbagi cerita. Kuanggap ini sebagai pembuka perkenalan kita ...
Tanpa nama lengkap, dan tanpa
foto. Namun isi surat itu begitu membuat Orion tertarik. Kesan yang tidak biasa
bagi Orion. Segera Orion mengambil kertas surat, dan menulis surat balasannya.
Untuk
: Arsa
Senang berkenalan denganmu. Kukira, kita bisa banyak berbagi
cerita. Dan kau tak perlu lagi bercerita pada senja merah manis! Karena tak
akan ada jawaban yang kau dapat. Hey ... aku suka caramu bersurat! Dan aku suka
sebutanmu untukku. Sang pemburu raksasa. Itu keren! Bisakah kau sedikit
bersajak untukku? Aku suka gaya berbahasamu. Kutunggu surat balasanmu, ya! Bye
...
Orion Kaisar
Orion melipat kertas suratnya,
dan menyelipkannya ke amplop. Hai ...
Arsa! Kuharap, kau bisa menjadi inspirasiku, batin Orion. Dan sesimpul
senyum pun mengembang.
***
Malam yang dingin memuarakan
jiwa Tuan Cessar pada ketenangan. Secangkir teh panas masih setia menawarkan
kehangatan untuk Tuan Cessar. Pohon kelapa yang melambai-lambai menambah lengkap
waktu bersantai Tuan Cessar. Suasananya lebih indah dari melihat adegan
romantis dalam gerak lambat.
Tuan Cessar memandangi secarik
kertas yang lama ditunggunya. Kata demi kata mulai habis dibacanya. Senyum
penuh kebahagiaan selalu mengiringi setiap aksara yang memenuhi kertas
tersebut. Setiap aksara yang penuh akan makna. Seakan kegelapan yang mendamba
lentera, Tuan Cessar mendekap erat kertas yang tadi dibacanya.
Kau
memang belum berubah. Tunggu aku sampai di hadapanmu. Itu janjiku, batin Tuan Cessar.
***
Cari pedangmu dan persembahkan kepada sebuah penantian.
Temukan jawaban pada malam ketiga setelah sebuah pertanda.
Di malam saat dirimu menunggu di singgasana tertinggi.
Arsa.
“Bahasanya terlalu tinggi,”
komentar Kak Rozzy.
“Aku yakin, ini pasti punya
makna,” ujar Orion tanpa mengalihkan pandangan dari kertas surat yang
digenggamnya.
“Apa?”
“Entah. Tapi ini seperti
teka-teki. Aku harus memecahkannya!”
“Sepertinya bakal susah.”
“Tunggu, Kak. Aku tau betul
asal namaku. Orion itu juga nama sebuah rasi bintang. Katanya ... Orion memang
punya pedang. Jadi ... mana pedangku?”
“Bisa jadi ... maksud pedang di
situ bukan apa, tapi siapa. Jadi, kalau kita ubah pertanyaan menjadi siapa
pedangmu, masuk akal, kan?” ujar Kak Rozzy membenarkan.
“Cerdas! Sepertinya, aku sudah
tau siapa pedangku. Pedang yang setia melindungiku, menguatkanku, dan membuatku
berani menyerang. Pedang yang sangat berarti bagi hidupku,” kata Orion sembari
mengembangkan senyum penuh kemenangan.
“Siapa?”
***
Temukan
jawaban pada malam ketiga setelah sebuah pertanda.
Orion mengernyit, berusaha
mencerna sebaris kalimat tersebut. Mencoba memecahkan makna yang pasti terselip
dari kalimat itu.
“Apa maksud kata pertanda di
situ, ya?” tanya Orion pada dirinya sendiri, “pertanda apa yang kudapat?” imbuhnya.
Orion terus memutar otak.
“Pertanda ... pertanda ... Sesuatu yang terasa berbeda. Um ... sepertinya tidak
ada, kecuali ... surat ini. Ya! Itu dia! Surat ini! Surat ini adalah pertanda
itu!” gumam Orion, “dan malam ketiga setelah pertanda ini. Berarti, malam
ketiga setelah surat ini dikirim. Hari ini sudah malam kedua. Jadi, malam
ketiga itu besok!” seru Orion girang.
Di
malam saat dirimu menunggu di singgasana tertinggi.
Kalimat terakhir yang karus
dipecahkan Orion. Sekali lagi, kalimat itu mengundang rasa penasarannya.
“Aku menunggu di singgasana
tertinggi? Kapan? Oiya ... aku Orion. Mungkin maksudnya saat rasi bintang Orion
ada di tempatnya. Sekarang pertengahan bulan Januari. Tanggal ketika rasi
bintang Orion ada pada puncaknya. Aku baru saja menyelesaikan teka-teki ini!
Yeah!” seru Orion, puas dengan jawaban yang didapatnya.
“Berarti, aku harus memberikan
jawaban siapa pedangku, kepada sesuatu yang sedang kunantikan. Sesuatu itu akan
datang besok, saat bintang Orion bersinar terang. Yesss ...” sorak Orion
kegirangan.
***
Gelap gulita. Itulah
pemandangan yang kini memenuhi pandangan Tuan Cessar. Dari dalam kereta api
yang sedang melaju, pikirannya terus bernostalgia. Berusaha menahan rindu yang
terus membayang. Demi sesuap nasi, Tuan Cessar rela meninggalkan rumah hingga
berbulan-bulan dan mengadu nasib di kota orang. Kini, pikirannya pun terus
tertuju pada keluarga di rumah. Terlebih pada kedua putranya, Rozzy dan Orion.
Sabarlah
Orion, sebentar lagi kau akan dapatkan jawabannya, batin Tuan Cessar.
***
Malam ini Orion menepati apa
yang diminta dari surat balasan Arsa. Sejak cakrawala diambil alih bulan, Orion
sudah termenung di kamarnya. Detik berganti menit. Menit pun berganti jam.
Tidak kurang dari tiga jam Orion dengan sabar menunggu. Tapi penantiannya belum
menghasilkan apapun.
“Udah, lah, Dek. Mungkin surat
dari Arsa itu hanya omong kosong! Tahu apa dia tentang hidupmu? Don’t waste your time, Bro!” kata Kak
Rozzy yang tak tega melihat adiknya menyita banyak waktu hanya untuk jawaban
misterius dari surat itu.
“Enggak, Kak. Aku yakin, pasti
ada arti dari surat itu. Siapa tahu, Arsa memang bukan orang biasa?” sangkal
Orion.
“Oke, kalau itu mau kamu.
Semoga penantianmu nggak sia-sia, ya. Good
luck,” kata Kak Rozzy sebelum meninggalkan Orion yang masih bertopang dagu
menatap langit malam.
Dengan menahan kantuk yang
sudah luar biasa, Orion tetap menunggu “keajaiban” yang dijanjikan malam ini.
Namun kini Orion ada pada dua diandra yang berbeda. Merasa dilema mulai
menyergapnya. Putus asa mulai menggoda dirinya. Jarum jam sudah menunjukkan
waktu pukul setengah dua belas malam. Belum ada sesuatu yang menjadikan malam
ini istimewa.
Sepertinya
benar apa kata Kak Rozzy. Surat Arsa itu hanya omong kosong. Aku sudah banyak
membuang waktuku demi ini. Dan kuputuskan untuk mengakhirinya, batin Orion yang sudah putus asa.
Baru saja Orion hendak
menyentuh ranjangnya, seseorang mengetuk pintu dari luar. Diurungkannya niat
untuk merebahkan diri di ranjang, dan segera menuju pintu kamar yang
terus-menerus diketuk. Siapa yang mampir
ke kamarku malam-malam begini? Kuharap, yang mengetuk itu manusia, bukan
makhluk lain, ujar Orion dalam hatinya.
Pintu kamar dibuka, mata Orion
membulat seketika. Senyumnya tidak hanya sekedar senyum simpul.
“Ayaaaahh...!” seru Orion tak
percaya sembari memeluk Tuan Cessar.
“Iya, Orion. Ini Ayah,” Tuan
Cessar membalas pelukannya.
Di hadapan Ibu dan Kak Rozzy,
Orion meneteskan air mata di pelukan Tuan Cessar. Begitu pelukkan dilepas, Tuan
Cessar seperti ingat sesuatu.
“Oiya, kau ingat ini Orion?”
tanya Tuan Cessar seraya mengeluarkan tiga kertas surat bergambar pedang
bewarna cokelat. Tentu, Orion sudah tak asing dengan itu.
“Itu kan ...” Orion terheran.
“Cari pedangmu dan persembahkan
kepada sebuah penantian. Temukan jawaban pada malam ketiga setelah sebuah
pertanda. Di malam saat dirimu menunggu di singgasana tertinggi,” ujar Tuan
Cessar, dan diakhiri seutas senyum penuh makna.
“Jadi ... Arsa itu ...”
kata-kata Orion terbata karena tak percaya.
“Iya, Arsa itu Ayah. Kau
memasang iklan sahabat pena di koran, kan? Ayah masih hafal dirimu, Nak,” jelas
Tuan Cessar.
“Dan aku berhasil memecahkan
tiga kalimat Ayah tadi. Aku menemukan pedangku, dan akan kukatakan pada
penantianku. Iya, penantianku menunggu Ayah, dan pedangku adalah Ayah. Ayah
adalah senjata yang selalu melindungiku, menguatkanku, dan membuatku berani menyerang.
Itu jawabanku, Yah.” Tutur Orion.
“Ayah bangga padamu. Juga kau,
Rozzy. Amanah yang Ayah titipkan untuk selalu menjaga Orion sudah kau
laksanakan,” Tuan Cessar melempar pandangan kepada Kak Rozzy. Kak Rozzy pun
membalas dengan senyuman dan anggukan kecil.
“Ayo kita rayakan dengan pesta
tengah malam!” seru Ibu tak mau kalah.
“Yeeeyy ...”
Dalam benaknya, Orion berkata, malam ini, benar-benar malam teristimewa
dalam hidupku. Aku benar-benar menemukan hasil dari sebuah penantian. Tak salah
aku berkiblat pada kalimat, semua akan indah pada waktunya. Dan terlalu sulit
untuk menjelaskan perasaanku saat ini. Dari semua rasa yang hadir, kukemas
menjadi satu kata: bahagia.
***
0 komentar:
Posting Komentar