Puisi Seorang Bajak Laut
Ku arungi samudera tanpa tujuan, sekedar untuk menikmati laut.
Ku tebas semua hutan, sekedar untuk mencapai puncak gunung tertinggi.
Ku selami palung terdalam, sekedar untuk mencari harta terpendam.
Kini tiba saat nya aku pulang..
Kemana?
Kemana ku harus pulang?
Aku tak tahu
Kuharap aku bisa pulang ketempat dimana aku pernah merasa lebih hidup.
Tempat dimana aku bisa kembali kuat meski ku tak cukup makan.
Tempat dimana aku bisa kembali tertawa meski ku tak menonton komedi.
Tempat dimana aku ingin tetap tinggal meski ku harus pergi
Ingin aku pulang.
Tapi apakah benar tempat itu pernah menjadi rumah bagiku?
Meski aku menganggapnya rumah tetap saja aku tak yakin apakah rumah itu dulu telah menerimaku.
Andai aku pulang sekarang, apakah kau menerimanya?
Atau haruskah ku terus berlayar agar angin bintang dan tantangan akan menghapus sepi.
Bajak Laut tanpa kapal..
KASIHAN
RAKYAT KU
Kasihan Rakyat ku yang pakiannya berbau busuk
bangkai, yang memakan roti dari sisa-sisa tikus penghayat.
Kasihan Rakyat ku yang minun dan mandi dari air
keruh beracun. Kecerdasan sebagai pecundang Negara yang Menyembah Lembaran di
lembah hitam berduri.
Rumah surga sebagai lambang, sekaligus dari
utusan Tuhan yang terbatas.
Para penghayat Laknat menghancurkan Negeri lalu
Rakyatku menangis.
Atas fallibillisme sisi buruk, sebagai kelemahan
bila ada intervensi lain untuk membunuh.
Sauvinistis tak melekat dalam diri, yang tampak hanyalah kapiditas sebagai kehormatan
pembohong.
Belenggu sebgai alang, menangis berjawat
kecandan, kelik-kelik pelan semakin sakit dibelakang mencencang menetak. Mati
sebagai batas waktu, mereka berkata.
0 komentar:
Posting Komentar