AUS
By
Pena Biru
Bandara Hang Nadim, Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Aku duduk
diruang tunggu bandara. Jam di dinding ruang tunggu menunjukkan pukul 8:15.
Lima belas menit lagi, aku akan berada di pesawat. Rute yang akan kutempuh
cukup jauh. Batam – Kendari, transit di Surabaya dan di Makassar.
Air mineral dan sepotong roti telah kusiapkan. Maskapai lion air
tidak menyediakan snack ataupun makan berat gratis di dalam pesawat selama
penerbangan. Jadi, lebih baik sedia payung sebelum hujan. Bakal kelaparan dan
kehausan di udara bila tidak membawa bekal. Apalagi waktu tempuh Batam –
Surabaya sekitar dua jam lima belas menit.
“Perhatian-perhatian, penumpang pesawat lion air dengan nomor
penerbangan JT 972 tujuan Surabaya dipersilahkan naik ke pesawat melalui pintu
keberangkatan nomor 3, terima kasih”. Suara dari toa bandara menggema memanggil
penumpang. Selanjutnya diikuti dengan bahasa Inggrisnya. Maaf saya belum bisa
menuliskan versi bahasa Inggrisnya.
***
Beberapa saat kemudian, pesawat telah mengangkasa. Lamunanku
kembali pada sehari sebelumnya. Saat aku bersama sahabatku berkendara
mengelilingi kota Batam. Terbayang cerita sahabatku tentang Batam masa lalu dan
Batam masa kini. Sejak Otorita batam dicabut dan kota Batam dinyatakan
bergabung ke Provinsi Kepulauan Riau, Batam tidak segemerlap dahulu, demikian
sahabatku mengawali ceritanya. Dahulu di sini ada beberapa casino besar,
orang-orang Singapura dan Malaysia datang bermain judi di sini. Hotel-hotel
penuh, aktifitas masyarakat 24 jam.
Kami melewati suatu kompleks yang cukup luas. “Tempat apa ini
bro?”, aku bertanya pada sahabatku. “Ini rencananya adalah taman hiburan,
semacam “ancol” nya batam lah, tetapi tempat ini jadi proyek gagal, terlalu
tinggi pasang tarif, akhirnya masyarakat tidak ada yang mau masuk, mendingan ke
Singapura”, sahabatku memberi penjelasan.
Kami mengambil jalan memutar, kuperhatikan deretan ruko yang sudah
tidak terurus. “Aus sudah tu, tak berguna lagi’, sahabatku menimpali seakan
mengerti apa yang akan kutanyakan. “Ruko-ruko tu dahulu ramai, banyak pedagang,
jual HP murah, elektronik murah, pokoknya serba miring harganya, kini hanya
beberapa yang masih berguna, buat sekolah pelayaran dan perhotelan”.
Tak terasa hari mulai gelap. “Kita sholat Magrib dulu ya”,
sahabatku memarkirkan mobilnya di halaman Masjid Raya Kota Batam. Sulit juga
mencari parkiran. Akhirnya kami menemukan dibagian belakang sudut halaman
masjid. Arsitektur Masjid Raya Batam terlihat modern, dengan desain segitiga
piramid membentuk atap dan kubahnya. Di seblahnya ada kantor Walikota Batam
yang berdiri dengan megah. “Kantorku yang disana”, sahabatku berkata sambil
menunjukkan jarinya ke sebuah gedung perkantoran arah Barat Masjid dan
berhadapan dengan kantor Walikota. “Tetapi aku tak punya anak buah, aku bekerja
sendiri, rasanya mubazir punya kantor, karena waktuku lebih banyak di lapangan,
kerjaku lebih banyak di Palembang-Jakarta-Italia, 14 hari kerja, 14 hari
libur”. Sahabatku ini bekerja di perusahan minyak asing, tak kusangka sejak
berpisah saat tamat SMA dahulu, kini dia mencapai karier gemilang. Bekerja
sebagai konsultan perkapalan untuk perusahaan minyak internasional, tentu saja
gajinya berlipat-lipat kali gaji PNS ku.
Setelah sholat Magrib, kami makan malam bersama. Bergabung juga
dengan kami seorang sahabatku lainnya. Dia bekerja di galangan kapal. Kami
bereruni, bernostalgia, bercerita masa-masa SMA dahulu, saling bertanya kabar
teman-teman kami, hal-hal lucu, konyol, sedih bercampur aduk. Kami berpisah
sudah lebih dari 16 tahun sejak tamat SMA. Senang sekali bisa berjumpa dengan
dua sahabatku ini. Dalam hati aku bersyukur kepada Allah, masih dipertemukan
dengan sahabat-sahabatku.
“Kalau kesini lagi, usahakan bawa paspor, biar saya traktir ke
Singapura”, sahabatku mengingatkan. Memang keberangkatanku ke Batam sangat
mendadak, hingga aku tidak sempat membuat paspor. Padahal tinggal selangkah
lagi ke Singapura. Empat jam lamanya kami bersama di Batam, Sahabatku
mengantarku ke hotel tempat kumenginap di kawasan Nagoya Kota Batam. Kami
bertukar salam. “Selamat jalan kawan, sampaikan salamku sama teman-teman di
Sultra”, kami berjabat tangan erat. “Makasih bro, insya Allah saya ke Batam
lagi, kalau ke Kendari, kasi kabar na”.
***
“Para penumpang yang terhormat, saat mendarat sudah dekat, harap
mengenakan sabuk pengaman, melipat meja dihadapan anda, menegakkan sandaran
kursi dan membuka jendela. Terima kasih”, suara pramugari dari speaker pesawat
memudarkan lamunanku. Pesawat mendarat mulus di Bandara Internasional Djuanda
Surabaya di Sidoarjo. Jam menunjukkan pukul 11:15 WIB.
Pesawat
lion air yang ke Makassar akan berangkat jam 12:15 WIB. Jadi masih ada waktu
untuk makan siang dulu. Tak lupa pula kubeli sepotong roti dan sebotol air
mineral. Perjalanan ke Makassar akan memakan waktu kurang lebih 2 jam. Seperti biasa,
sedia makan minum sebelum lapar di udara. Diantara para penumpang, ada beberapa
wajah yang sudah sering kulihat, kayaknya mereka akan ke Kendari juga. Kami
bertukar senyum saja.
Beberapa saat kemudian, pesawat lion air dengan nomor penerbangan JT
780 mengudara menuju Makassar. Aku tertidur di pesawat. Bug..bug, aku terbangun
ketika pesawat terguncang cukup keras. Mungkin karena menabrak awan yang cukup
tebal. Kulihat searah jendela, putih keabu-abuan. Nampaknya memang cuaca
lagi tidak bersahabat.
“Para penumpang yang terhormat, keadaan cuaca buruk, harap kembali
ke kursi masing-masing dan memasang sabuk pengaman sampai lampu tanda kenakan
sabuk pengaman di padamkan, terima kasih”, suara pramugari dari speaker
pesawat.
Terasa pesawat berputar dua kali di atas Makassar. Kemudian
menukik turun untuk persiapan mendarat di Bandar Udara Internasional
Hasanuddin. Kulihar ke luar nampak masih abu-abu dan hujan. Tapi pesawat tetap
menukik turun. Tidak lama kemudian terdengar suara dari speaker pesawat. “Para
penumpang yang terhormat, saat mendarat sudah dekat, harap mengenakan sabuk
pengaman, melipat meja dihadapan anda, menegakkan sandaran kursi dan membuka
jendela. Terima kasih”.
Pendaratan kali ini terasa mengguncang bumi istilahnya
“hardlanding”. Cuaca di Makassar hujan. Bakal ada delay pikirku. Jam di
Makassar menunjukkan pukul 15:15. Ada perbedaan waktu lebih lambat satu jam
dari waktu di Surabaya. Menurut informasi, pesawat yang akan ke Kendari
berangkat jam 15:40. Masih sempat sholat Ashar dan sholat Dzuhur yang belum
sempat kulaksanakan di Surabaya. Dalam ajaran agama Islam, sholat boleh
digabung (dijama’) bila seseorang dalam perjalanan (safar). Yang boleh digabung
adalah dzuhur dan ashar, magrib dan Isya. Setelah sholat, aku berjalan-jalan di
toko-toko di terminal bandara, mau cari roti Boy. Istri dan anakku sangat suka
roti Boy. Sebagai ole-oleh, aku beli sepuluh buah. Kuperhatikan, kebanyakan
penumpang yang akan ke Kendari juga membeli roti Boy. Semacam “tradisi”
kayaknya. Pulang ke Kendari bawa roti Boy. Ada juga yang beli donat.
Cuaca di Makassar semakin gelap. Dan ...benar dugaanku, pesawatnya
delay. “Perhatian-perhatian, pesawat lion air dengan nomor penerbangan JT 768
tujuan Kendari mengalami penundaan keberangkat hingga waktu yang belum ditentukan,
terima kasih”, suara toa bandara menggema diiringi dengan suara ah..yang hampir
bersamaan dari para penumpang tujuan Kendari. Beberapa orang penumpang
berinisiatif bertanya kepada para petugas dari Lion Air. Cuaca buruk, demikian
kesimpulannya.
Hujan sudah mulai reda. Beberapa maskapai telah menerbangkan
pesawatnya. Jam sudah menunjukkan pukul 17:05 WITA. Namun belum ada kabar
berita pesawat Lion Air menuju ke Kendari akan diberangkatkan. Para penumpang
nampak gelisah. Salah seorang penumpang bertopi merah dan berkumis tebal kesal.
Ia mendatangi seorang petugas lion air. Aku mengamati dari kejauhan. Dia
marah-marah sama petugas itu. Petugas itu berusaha menenangkannya.
Beberapa saat kemudian...
“Perhatian-perhatian, pesawat lion air dengan nomor penerbangan JT
768 tujuan Kendari akan diberangkatkan kira-kira pukul 20:00, mohon maaf atas
ketidaknyamanan ini, terima kasih”, demikian suara dari toa bandara. Lengkap
sudah kekecewaan para menumpang. Aku coba mendekati seorang petugas lion air
yang pakaiannya berbeda dengan petugas-petugas lainnya. Kupikir dia manajernya
atau lebih tinggi pangkatnya dibanding yang lainnya.
“Pak, ada masalah apa hingga penundaan sampai malam baru
diberangkatkan?”, aku meminta penjelasannya. “ Begini pak, tadi sewaktu
dilakukan pengecekkan pesawat, didapat kerusakan pada landing gir pesawat”.
Petugas itu berusaha menjelaskan padaku, kemudian bahasanya sudah sulit kucerna
karna penuh dengan istilah-istilah mekanis mesin pesawat. Petugas itu mengerti
bahwa aku tidak paham. “Jadi sederhananya begini pak, kampas rem roda
pendaratan pesawat sudah Aus, jadi kita lagi penunggu pesawat lion air dari
Jakarta untuk membawakan suku cadangnya, Insya Allah pesawat dari Jakarta akan
mendarat 10 menit lagi, mudah-mudahan teknisi di sini bisa memasang dan
mengatasinya sekitar 15 menit, doakan saja supaya hujannya tidak deras supaya
memperlancar pemasangan”, petugas tersebut menjelaskannya panjang lebar padaku.
Aku termanggut-mangut.
Kalau penundaan begini, ada konsekwensi dari perusahaan kan pak?”,
aku bertanya sekaligus meminta kepastiannya. Petugas itu tersenyum dipaksakan.
“Ada pak, kami akan menyediakan snack dan makan malam, juga dengan konsekwensi
pengembalian biaya, sesuai peraturan penerbangan”.
Beberapa menit kemudian, para petugas lion air meminta kami
berkumpul di ruang tunggu nomor 6. Mereka meminta kami mengeluarkan KTP dan
tiket untuk difotocopy. Setelah itu kami diberi snack. Setelah magrib, katanya
kami akan diberi makan malam, jadi KTP dan tiket diberikan untuk difotokopi
sebagai bukti pertanggungjawaban buat kru lion air Makassar.
Setelah magrib, kami makan malam bersama. Suasana sudah mulai
tenang. Penumpang yang beberapa waktu lalu pada mengomel kini khusuk dalam
makannya, mungkin karena sudah lapar.
Jam sudah menunjukkan pukul 19:30 WITA, para petugas lion air
memanggil kami untuk segera naik pesawat. Ternyata lebih cepat dari jadwal
yaitu 20:00 WITA. Didepan pintu pengecekan tiket, setelah merobek potongan
tiket, petugas lion air memberikan Rp.300.000 pada setiap penumpang sebagai
pengembalian biaya tiket sebagai konsekwensi keterlambatan. Lumayan.
Namun dalam hati masih was-was apakah kampas rem roda pendaratan
telah terpasang dengan baik atau tidak. Roti boy yang kubeli tadi siang sudah
dingin. Perjalanan dari Makassar ke Kendari memakan waktu 45 menit. Jadi aku
tak perlu menyiapkan bekal. Lagipula sudah kenyang habis makan malam.
***
Beberapa waktu kemudian, pesawat lion air telah mengangkasa di
atas teluk bone. Sebentar lagi Kolaka akan terlihat. Langit cukup cerah
ditandai dengan bintang-bintang terlihat jelas dari jendela pesawat. Aku berdoa
semoga cuaca bersahabat sampai di Kendari. Tidak ada suara-suara dari
penumpang. Mungkin kelelahan marah atau kekenyangan. Para pramugari pun duduk
diam di kursinya. Tidak ada yang beraktifitas. Mungkin perasaanya sama dengan
kami para penumpang.
“Para penumpang yang terhormat, saat mendarat sudah dekat, harap
mengenakan sabuk pengaman, melipat meja dihadapan anda, menegakkan sandaran
kursi dan membuka jendela. Terima kasih”, suara dari speaker pesawat, kali ini terdengar begitu indah dan
dirindukan. Sebentar lagi akan mendarat di Bandara Haluoleo Kendari.
Pesawat mendarat mulus di run way bandara. Dan tidak sampai di
ujung landasan pesawat sudah berhenti. Terasa kalau remnya masih baru.
Alhamdulilah, alhamdulillah, alhamdulillah. Syukur dan zikir kupanjatkan hingga
pesawat berhenti dengan sempurna di tempat parkir bandara.
Istri, anak dan ponakanku menjeputku malam itu. Tergambar dalam
wajah mereka kekhawatiran karena keterlambatan pesawat tiba. Begitu melihatku,
senyum mereka mengembang dan melambai-lambaikan tangan, kekhawatiran telah
berganti wajah kerinduan.
Kerinduan dan cinta yang kuharap tak pernah aus selamanya.....
0 komentar:
Posting Komentar