Cerpen : PESAWAT TERBANG
Kuliahku hari ini akan segera dimulai, aku harus segera kuliah. Kupercepat langkahku agar tidak segera ketinggalan kelas karena kelas ini lumayan penting. “Hei Fan!!” Sebuah suara dari belakang membuat aku sedikit melonjak. Aku menoleh “Hei, kelasnya masih belum masuk?? Tanyaku kepada anak yang tadi menyapaku. “Kalo kamu nanya aku, trus aku nanya siapa??? Aku juga tlat tau!!!” Semprot temanku. “Ayo kita ke kelas bareng, aku agak ngeri nih dengan dosennya.” Ajakku. “Sama!!”
“Ini adalah hasil ujian akhir kalian, akan saya umumkan keseluruhan nilai kalian dalam mata kuliah ini selama satu semester, setelah itu kalian akan libur panjang, benar kan??.” Dosenku berkata dengan suara lantang seperti biasa. Hatiku berdegup keras, “berapa akan kudapatkan?” batinku. Setiap nama mulai disebutkan satu per satu. Aku memejamkan mata, “A , B, AB,” aku mendengar satu per satu nilai disebutkan. “Mahfudz A.” “Keren, my best friend dapet A. Memang kuakui dia punya otak yang jenius diantara temen-temenku lainnya walaupun dia kesehariannya hampir sama dengan aku. Walau dia ma aku sering bareng jalan atau bareng-bareng dalam hal lainnya namun jika dipikir-pikir aku ma dia ga bisa dibandingin,
kalau dia dah pergi ke perancis dengan gratis aku masih naek angkot di Surabaya, walaupun dah nimba ilmu darinya tetap aja aku ga ngerti-ngerti. “Alfan Ferdian” deg, namaku disebut, lamunanku buyar. Aku konsentrasi penuh sambil berdoa. “D.” Hatiku mencelos, aku berharap dosen itu salah menyebutkan namaku namun dosen itu terus melanjutkan ke nama berikutnya. Aku lihat muka kawanku yang tadi berseri ikut bersedih ketika melihatku. Dia ganti melihatku, “gimana bisa? Kamu ujiannya bisa semua kan?” “Ya” jawabku singkat. Aku berusaha keras belajar dalam mata kuliah ini namun aku memang merasa tidak punya rantai dan pikiranku buntu untuk mata kuliah satu ini. Aku tidak mengerti logikanya, walaupun sudah berusaha namun tetap saja aku tidak paham. “Trus?” Tanya mahfudz. “ya gimana lagi, masak nilai jelek gitu mo dibiarin, ya musti diulang.” Aku menghela nafas panjang. “Kalopun saat ini kan aku ga bisa apa-apa. Kan lusa dah libur. Kapan kamu pulang ke Jakarta?” “Mungkin besok, kamu mau ga ngantar aku?” Mahfudz melihatku seolah-olah dia juga ikut bersalah dalam nilai jelek yang kuperoleh. “Heh, jangan pasang wajah gitu donk! Ga pa pa, masih bisa diulang, lagipula aku emang ga bisa ama mata kuliah ini, walau udah belajar keras tetap aja ga bisa, jadi emang segitu kemampuanku. Jadi besok? Naik apa?” tanyaku mengalihkan topik. Temenku mengangguk, “ya pesawat lah, masak naik motor!?!?” “Enak banget ya jadi kamu masih mahasiswa naeknya dah pesawat dah pernah ke perancis, gratis lagi. Aku sendiri ke bandara aja belum pernah. Btw, beasiswa dari perusahan tu berlaku ampe kapan?” “Ya ampe aku lulus, kan abis tu langsung kerja di perusahaan itu. Jangan ngomong gitu, setiap orang punya prestasi sendiri-sendiri, ga bisa dibandingin.” “Ya, emang benar, jadi besok jam berapa?” “jemput aku ja di kos jam 4 sore.” “Oke deh, aku balik dulu ya, aku harus segera lapor ortu nih.” “Ok, kalkulus tu ga serumit yang dibayangin kok.” Aku tersenyum dan segera berjalan berlawanan arah dengan Mahfudz.
Sebuah pesawat melintas membelah langit, aku mengamati kerlap-kerlip yang berjalan itu. Hampir sama dengan bintang diatasnya namun ia bergerak dengan cepat. ‘untuk membuat pesawat dibutuhkan ketelitian yang sangat besar’ itu yang pernah aku baca di majalah, kesalahan sedikit saja membuat dampak yang sangat besar. Mahakarya yang agung, itu menurutku, sebagai orang desa asli hal itu sungguh membuat aku takjub. Aku tidak pernah berpikir ataupun terpikir sekalipun untuk naik, melihat saja bagiku sudah merupakan suatu kebanggaan. Apalagi besok ngantar Mahfudz ke bandara, asyik. Sebuah pesawat melintas lagi, ya memang, nilaiku saja masih jelek begini, ngapain mikir naik pesawat. Kurang kerjaan!
Esoknya sesuai janjiku jam empat aku ngantar Mahfudz ke bandara. Baru sekarang aku melihat pesawat dari dekat. Aku ga nyangka pesawat ternyata besar banget. “Fudz, pesawat segede gini gimana bisa terbang?” tanyaku ingin tahu. “Ya bisa lah mesinnya kan juga besar..” jawabnya seenaknya. “Kamu ga pernah naik pesawat terbang?” “Tentu aja nggak. Lha wong ke bandara aja baru kali ini” “Ga pengin naik?” “Kalo naik sih pengin, siapa sih yang ga pengin naik pesawat. Tapi aku ga pernah kepikiran.”jawabku polos. “Sama, aku dulu juga ga pernah kepikiran naik pesawat. 3 tahun yang lalu aku hanya seorang siswa SMU biasa, pergi ke sekolah, abis sekolah membantu orang tuaku jualan di toko, lalu seorang guru menawariku beasiswa yang mungkin cocok denganku. Aku pun iseng-iseng mngirimkan lamaran ke perusahaan itu, beberapa bulan kemudian aku diterima dengan fasilitas biaya pendidikan gratis sampai lulus S1 karena nilaiku terbaik dalam tes tersebut. Berawal dari situlah aku bisa sampai di sini dan bertemu kamu. Teman yang sangat percaya dan mengerti keadaanku. Aku beruntung berkenalan denganmu di bus ketika itu.” “Ah jangan gitu, kayak kita ga bisa ketemu lagi aja, sepertinya yang lebih beruntung itu aku, aku sering belajar pada kamu, kamu sering membantuku jika aku dalam kesulitan.” Aku tersipu malu. Ketika aku mengatakan hal itu, ada sesuatu yang mengganjal di hatiku. Perasaan tidak enak seperti kabut yang tidak kelihatan. “Ok, ampe sini aja” tidak kusadari kami sudah sampai di depan ruang khusus penumpang. “Terima kasih ya.” “Ya ga pa pa.” Dia mengajakku bersalaman. Akupun membalasnya, ketika aku menyentuh tangannya entah mengapa aku merasa sangat jauh, merasa bahwa ini adalah pertemuan yang tidak bisa diulang lagi. “Sampai jumpa semester depan.” “Ya.”
Aku menunggu di lobi agar bisa melihat pesawatnya berangkat. Aku ingin sekali melihat bagaimana benda besar itu bisa terangkat ke udara. Ketika benda itu mulai bergerak hatiku merasa sangat berdebar. Dengan suara gemuruh benda itu terangkat dan mulai mengepakkan sayapnya di angkasa. Tapi aku tidak tahu, entah perasaan apa ini, rasa tidak enak terus ada.
Keesokan harinya aku bangun dengan rasa pegal di seluruh tubuhku, mimpi aneh yang kulihat semalam seakan nyata. Aku lewat di depan kamar temanku. Samar-samar aku mendengar nama Mahfudz disebut-sebut. Aku mencoba melihat siaran itu. Temanku menceritakan apa yang terjadi. Aku shock sekali, aku belum percaya apa yang kulihat dan kudengar. Kukayuh sepedaku dengan cepat ke penjual koran di perempatan. “Bang, koran!!!!” kuambil dengan cepat koran itu “ni uangnya!!” Mataku langsung melihat headline koran itu, ‘LEDAKAN PESAWAT BANGUNKAN WARGA KOTA’ aku lihat judul di bawahnya ‘KERUSAKAN BADAN PESAWAT MENYEBABKAN TURBULENSI TERGANGGU’ aku coba untuk tenang, aku lihat lagi di pojok bawah ‘DAFTAR KORBAN LEDAKAN PESAWAT’ aku lihat kolom itu, aku tidak berharap menemukan namanya, kutelusuri satu persatu nama itu. ’20. Muhammad Mahfudz Rossidi’ hatiku mencelos, mendadak aku lumpuh, aku jatuh terduduk. Tukang koran yang sedari tadi melihatku berteriak panik, “Mas, Mas!! Ada apa Mas? Bangun Mas. Mas sakit ya??” tanyanya panik aku segera menguasai diriku lagi “tidak, tidak apa-apa.” Jawabku. “Saudara Mas jadi korban kecelakaan itu ya Mas?” tanya tukang koran. “Tidak, bukan, bukan apa-apa.”jawabku bohong. Aku sedang tidak ingin bicara. Aku tidak tahu, begitu cepatnya, padahal aku kemarin yang mengantarnya ke bandara. Pesawatnya terbang di tengah kemerlipnya bintang. Temanku, sahabat terbaik, Mahfudz si jenius, orang yang selalu menemani dalam tiap kesulitanku…. Betapa cepat… Betapa mudah diambil… Betapa aku tidak bisa berbuat apa-apa… betapa….
***
Hari ini matahari memancarkan sinar hangatnya. Aku melangkahkan kakiku menyambut pagi ini, teleponku bergetar “Assalamualaikum, gimana kabarnya ? Apa Kau masih gugup?” suara indah perempuan itu menyapaku “waalaikumussalam, sedikit, tapi suaramu telah menenangkan aku. Aku berangkat sebentar lagi, maaf tidak bisa mengajakmu, aku akan membelikan oleh-oleh untuk si kecil.”jawabku. Perempuan itu tersenyum. “Baiklah aku akan selalu berdoa.” “Terima kasih.” “Wassalamualaikum” “waalaikumussalam.” Aku melangkahkan kakiku, lebih mantap, lebih yakin karena suara perempuan tadi. Setidaknya aku bisa hidup berguna bagi orang lain. Kibasan angin menerpa wajahku. Aku lihat benda itu, benda yang kukagumi sekaligus yang membuatku trauma. Aku melihat spanduk besar yang menyambutku ‘WELCOME PROF. Dr. Ir. ALFAN FERDIAN S.T M.Eng THE DISCOVERER OF MMR FLIGHT PASSENGER SAFETY SYSTEM’ seorang bule menyalamiku dan memberiku selamat. Aku masuk dalam burung besi itu. Kumatikan hpku. Karya mahagung ini mulai mengepakkan sayapnya. Banyak orang bicara denganku bagaimana bisa aku menemukan sistem ini tanpa sekalipun aku menaikinya. Aku mengamati wajah mereka satu persatu, mereka mulai sibuk dengan aktifitas mereka sendiri. Kalau saja dia masih hidup mungkin dia akan berada disampingku, berbicara dengan mereka. Dua puluh tahun tidaklah cukup untuk melupakan kejadian mengerikan itu dan sampai kapanpun kejadian itu tidak akan bisa kulupakan. Hal yang selama ini yang tidak pernah aku pikirkan akhirnya aku mengalaminya sendiri. Aku memejamkan mata pada penerbangan pertamaku. Aku melihat Mahfudz tersenyum kepadaku, masih dengan wajah dua puluh tahun yang lalu. Dia berkata “terima kasih.” Aku tersenyum, semakin lama dia semakin menghilang. Penerbangan ke perancis masih 3 jam lagi. Aku mulai tertidur, tidur dengan senyuman dari Mahfudz dan semangat dari keluargaku.
0 komentar:
Posting Komentar